Rabu, 28 Februari 2024

penyakit paru 7

 



erforasi esofagus, flail  chest yang tak dapat di atasi dengan cara 

konservatif. 

 

NON MEDIKAMENTOSA 

oksigenasi adekuat,  

transfusi bila HB < 8 g %,  

perbaikan sirkulasi.  

 

9.  Komplikasi Karena penyakit: retensi sputum, bronkospasme, tension 

pneumothorax , gagal napas akut, infeksi, trombo emboli, nutrisi tidak 

adekuat, koagulopati. 

10. Penyakit Penyerta Penyakit paru 

Penyakit jantung 

Penyakit sistemik lainnya 

 

11. Prognosis Tergantung kerusakan yang ditimbulkan 

Tergantung penyakit penyerta 

Tergantung ketersediaan obat maupun fasilitas 

 

12. nasihat   Penjelasan tentang kerusakan organ dan prognosis 

 

13. Indikasi Pulang Sesuai kondisi klinis dan penyakit penyerta 

 


 

KONTUSIO PARU 

  

Kontusio paru yaitu  memar atau peradangan pada paru yang dapat 

terjadi pada cedera tumpul dada akibat kecelakaan kendaraan atau 

tertimpa benda berat. 

Kontusio paru didefinisikan sebagai cedera fokal dengan edema, 

perdarahan alveolar dan interstisial. Kontusio paru merupakan cedera 

yang paling umum yang berpotensi mematikan. Kegagalan pernapasan 

dapat berkembang secara lambat. 

Kontusio paru terjadi pada sekitar 20% dari pasien trauma tumpul 

dengan skor keparahan cedera lebih dari 15, dan merupakan cedera 

dada yang paling umum pada anak-anak. Angka kematian dilaporkan 

sebesar 10- 25%, dan 40-60% dari pasien akan memerlukan ventilasi 

mekanis.  

 

Etiologi 

  Kecelakaan lalu lintas 

  Trauma tumpul dengan fraktur iga multipel 

  Cedera ledakan atau gelombang kejut yang terkait dengan trauma 

penetrasi 

  Organ yang paling rentan terhadap cedera ledakan yaitu  organ 

yang mengandung gas, seperti paru-paru. 

  Flail chest 

  Dapat pula terjadi pada trauma tajam dengan mekanisme 

perdarahan dan edema parenkim. 

  Luka tembak. Memar akibat penetrasi oleh sebuah proyektil 

bergerak cepat biasanya mengelilingi area sepanjang perjalanan 

jaringan yang dilalui oleh proyektil. 

 

2.  Anamnesis 

Ringan: nyeri saja. 

Sedang: sesak napas, mukus dan darah dalam  percabangan bronkial,

batuk tetapi tidak mengeluarkan sekret. 

Berat: sesak napas hebat, takipnea, takikardi, sianosis, agitasi, batuk 

produktif dan kontinu, sekret berbusa, berdarah dan mukoid. 

 

3.  Pemeriksaan Fisik 

  Takikardi 

  Dispnea 

  Bronchorrhea/ sekresi bercampur darah (hemoptisis) 

  Takipnea 

  Hipoksia 

  Perubahan kesadaran 

  memerlukan  waktu untuk berkembang, dan sebanyak setengah 

dari kasus tidak menunjukkan gejala pada presentasi awal. 

  Dapat timbul atau memburuk dalam 24-72 jam sesudah  trauma 

  Pada kasus berat, gejala dapat terjadi secara cepat sekitar 3-4 jam 

pasca trauma. 

  Hipoksemia 

  Sianosis

                                                                                                         

                                                                                                                        

 

4.  Kriteria diagnosa  

Tipe kontusio pulmo menurut Wagner, 1998 

  

Tipe 1 Due to direct chest wall compression against the 

lung parenchyma; this acco unts for the majority 

of cases.  

Tipe 2 Due to shearing of lung tissue across the 

vertebral bodies.  

Tipe 3 Localized lesions due to fractured ribs, which 

directly injure the underlying lung. 

Tipe 4 Due to underlying pleuropulmonary adhesions 

from prior lung injury tearing the parenchyma. 

   

5.  diagnosa  Kerja Kontusio Paru  

6.  diagnosa  Banding Gagal Napas, ARDS, pneumonia  

7. Pemeriksaan Penunjang 

 

  Laboratorium  analisis gas darah (AGD): cukup oksigen dan 

tidak ada karbon dioksida yang berlebihan. Namun kadar gas 

mungkin tidak menunjukkan kelainan pada awal perjalanan luka 

memar paru. 

  Foto toraks: menunjukkan memar paru yang berhubungan dengan 

patah tulang rusuk dan emfisema subkutan. Foto toraks 

menunjukkan gambaran infiltrat. Tanda infiltrat kadang tidak 

muncul dalam 12-24 jam. 

  CT scan: menunjukkan gambaran kontusio lebih awal. 

  USG: menunjukkan memar paru awal yang tidak terlihat pada foto 

toraks. Sindrom interstisial dinyatakan dengan garis putih vertikal, 

“B-Line ”. 

8.  PENGOBATAN 

Penatalaksanaan utama: Patensi jalan napas, oksigenasi adekuat, 

kontrol nyeri. 

Perawatan utama: menemukan luka memar yang menyertai, mencegah 

cedera tambahan, dan memberi  perawatan suportif sambal 

menunggu luka memar paru sembuh. 

 

Tindakan: 

  Bronchial toilet, batasi pemberian cairan (iso/hipotonik), 

oksigenasi, pain control, diuretika, bila perlu ventilator dengan 

tekanan positif (PEEP > 5). 

  Intubasi ET untuk dapat melakukan penyedotan dan memasang 

ventilasi mekanik dengan continuous positive end-expiratory 

pressure (PEEP). 

 

Penatalaksanaan pada kontusio paru ringan 

  Nebulisasi 

  Postural drainage. 

  Fisioterapi. 

  Pengisapan endotrakheal steril. 

  Antimikrobia. 

      

             

  Oksigenasi. 

  Pembatasan cairan. 

 

Penatalaksanaan pada kontusio paru sedang 

  Intubasi dan ventilator. 

  Diuretik. 

  NGT.  

  Kultur sekresi trakeobronkial. 

 

Penatalaksanaan pada kontusio paru berat 

  Intubasi ET dan ventilator. 

  Diuretik. 

  Pembatasan cairan. 

  Antimikrobial profilaktik. 

  Larutan koloid dan kristaloid. 

9.  Komplikasi   Memar paru dapat memicu  kegagalan pernapasan, sekitar 

setengah dari kasus terjadi dalam beberapa jam dari trauma awal. 

  Komplikasi lainnya, termasuk infeksi akut dan sindrom gangguan 

pernapasan (ARDS). Sekitar 50% pasien dengan ARDS memar 

paru, dan 80% pasien dengan kontusio paru melibatkan lebih dari 

20% dari volume paru. 

  Pneumonia, komplikasi yang berkembang pada 20% pasien dengan 

memar paru. 

10. Penyakit Penyerta ARDS 

 

11. Prognosis Dubia 

 

12. nasihat  Segera ke unit gawat darurat untuk mendapatkan pertolongan segera, 

mencegah gagal napas dan komplikasi lain. 

 

13. Indikasi Pulang Bila penyulit dan komplikasi tidak ada, dan tidak ada keluhan sesak 

mendadak. 

 


ASPIRASI BENDA ASING DI SALURAN 

NAPAS BAWAH 

  

Ditemukan benda yang masuk melalui mulut atau hidung di dalam 

saluran napas bawah.  Aspirasi benda asing merupakan 

kegawatdaruratan medis yang dapat mengancam jiwa dan 

memerlukan  intervensi segera, sering ditemukan pada anak. 

 

2.  Anamnesis 

Masuknya benda asing biasanya pada anak, akibat memasukkan benda 

ke mulut, tersedak, tertelan, refleks mengunyah tidak adekuat, diameter 

saluran napas yang lebih kecil serta mekanisme protektif yang masih 

imatur.  Benda asing dapat memicu  obstruksi parsial atau total 

pada saluran napas. Gejala awal umumnya batuk. Gejala obstruksi 

parsial berupa suara serak, hilang suara, odinofagi, hemoptysis dan 

sesak napas. Gejala lain seperti mengi, sesak, nyeri dada serta 

pneumonia berulang. 

 

3.  Pemeriksaan Fisik 

Pemeriksaaan fisik dalam batas normal atau tidak spesifik tergantung 

ukuran benda asing.   

Bunyi mengi pada sisi sakit, stridor, hiperinflasi, juga atelektasis dapat 

terjadi. 

4.  Kriteria diagnosa  

Klasifikasi diagnostik berdasar : 

  Derajat obstruksi: obstruksi parsial dan obstruksi total 

  Asal benda asing: dari dalam dan dari luar tubuh. 

 

Kriteria diagnostik menurut Heyer bila 2 dari 3 kriteria sebagai berikut 

memenuhi kriteria aspirasi benda asing yaitu: 

  hiperinflasi 

  riwayat tersedak 

  leukositosis 

 

Kriteria diagnostik menurut Kadmonet dkk: 

  usia 10-24 bulan 

  ada  objek di mulut pasien diikuti gejala pernapasan berat 

  auskultasi: suara napas abnormal pada sisi unilateral 

  abnormalitas radiogram trakea 

  pemeriksaan foto toraks yang mendukung (gambaran radioopak) 

5.  diagnosa  Kerja Aspirasi benda asing di saluran napas  

6.  diagnosa  Banding 

Laringitis, epiglotitis, massa di trakea, trakeomalasia, bronkitis, 

bronkiektasis, obstruksi lobus, asma, atelektasis. 

 

          

             

 

7.  Pemeriksaan Penunjang 

Radiologi: foto toraks PA, lateral, lateral dekubitus. 

Foto jaringan lunak. 

Fluroskop toraks: mendeteksi pergeseran mediastinum dan respirasi 

diafragma paradoksal 

CT scan toraks dengan kontras 

Bronkoskop virtual (EBUS) 

Laboratorium: pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, analisis gas darah 

Patologi anatomi: bila diperlukan kelanjutan diagnostik 

 

8.  PENGOBATAN 

Prinsip PENGOBATAN 

  Anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk menegakkan diagnosa . 

  Pemeriksaan penunjang yang relevan. 

  memakai klasifikasi diagnostik dan alur diagnostik. 

  Evakuasi secepatnya benda asing dari saluran napas bawah. 

 

Teknik evakuasi dapat menggunakan: 

  membatukkan benda keluar 

  bronkoskopi rigid 

  bronkoskopi fleksibel 

  Fogarty arterial embolectomy ballon catheter  (untuk saluran napas 

yang lebih dalam) 

  Cryoprobe 

  pembedahan: torakotomi/  bronkotomi 

 

9.  Komplikasi Komplikasi minor: desaturasi, bradikardi, bronkospasme. 

Komplikasi mayor: edema laring, pneumotoraks, henti jantung. 

 

10. Penyakit Penyerta Pneumonia berulang, abses, bronkiektasis dan striktur bronkial. 

 

11. Prognosis Tergantung periode tindakan. bila  terlambat berisiko kematian. 

 

12. nasihat  Diperlukan nasihat  agar kejadian tidak berulang  

Diperlukan pula nasihat  risiko tindakan dan komplikasi yang mungkin 

terjadi. 

 

13. Indikasi Pulang Bila benda asing berhasil dikeluarkan, keadaan umum pasien baik dan 

tidak ada komplikasi. 

 


 

 

  

PANDUAN UMUM PRAKTIK KLINIS 

PENYAKIT PARU INTERSTISIAL 

 

 


 

PENYAKIT PARU INTERSTISIAL 

diagnosa :  

 Penyakit Paru Interstitial (Interstitial lung diseases/ILD ) 

  

Penyakit paru interstisial yaitu  kelompok penyakit yang mengenai 

rongga interstitial paru, disebut juga diffuse parenchymal lung 

diseases (DPLD). Proses meliputi inflamasi dan pada akhirnya 

memicu  fibrosis jaringan interstisial paru 

Penyakit paru interstisial dapat dibagi menjadi: 

1. Penyakit paru interstisial yang sebabnya diketahui (ICD X: 

J84.10, J84.89) 

a. Penyakit jaringan ikat (connective tissue diseases ) 

b. Berhubungang dengan pekerjaan dan lingkungan 

c. Berhubungan dengan obat 

d. Infeksi (termasuk fibrosis paru pasca COVID-19: J84.10 atau 

J84.89) 

2. Pneumonia Interstisial Idiopatik (idiopathic interstitial 

pneumonia) 

a.  Grup Mayor 

‐ Fibrosis kronik (chronic fibrosing ) 

- Fibrosis paru idiopatik (idiopathic pulmonary 

fibrosis /IPF) (ICD X: J84.112) 

- Pneumonia interstisial non spesifik (non-specific 

interstitial pneumonia/NSIP) (ICD X: J84.113) 

‐ Akut dan subakut (ICD X: J84.114) 

- Acute interstitial pneumonitis (ICD X: J84.114) 

- Chronic organizing pneumonia (ICD X: J84.116) 

‐ Berhubungan dengan pajanan rokok 

- Desquamative interstitial pneumonia /DIP (ICDX: 

J84.117) 

- Respiratory bronchiolitis interstitial lung diseases /RB-

ILD, (ICD X: J84.115) 

b.  IIP yang jarang didapat 

‐ Idiopathic pleuroparenchymal fibroelastosis /PPFE 

‐ Idiopathic lymphocytic interstitial pneumonia (J84.2) 

c. IIP yang tidak dapat digolongkan  (J.84.111) 

1. Berhubungan dengan penyakit granulomatosis 

‐ Sarkoidosis (D86.9) 

‐ Pneumonitis hipersensitif (J.67) 

2. Bentuk lain 

‐ Limfangioleiomiomatosis (J84.81) 

‐ Histiositosis X (J84.82) 

 

2.  Anamnesis Keluhan utama berupa sesak, batuk, berat badan turun, nyeri dada, bengkak pada kaki, dan jari tabuh. 

          

             

 

3.  Pemeriksaan Fisik 

Pada pemeriksaan fisis paru dapat ditemukan: 

Inspeksi    : Normal atau dapat ditemukan kelainan. 

Palpasi        : Normal atau dapat ditemukan kelainan. 

Perkusi       : Normal atau dapat ditemukan kelainan. 

Auskultasi  : Normal atau dapat ditemukan kelainan, dapat berupa ronki 

basah velkro (velcro crackles ) pada akhir inspirasi pada kedua basal paru.  

Dapat disertai jari tabuh, dan penurunan saturasi oksigen. 

4.  Kriteria diagnosa  Kriteria diagnosa  penyakit paru interstitial meliputi: proses inflamasi dan fibrosis dari jaringan interstisial.

5.  diagnosa  Kerja Penyakit Paru Interstisial (interstitial lun g diseases) (ICD X J84)

6.  diagnosa  Banding 

  Penyakit paru interstisial idiopatik lainnya  

  Pneumonitis hipersensitif 

  Non-specific interstitial pneumonia   

  Penyakit paru interstisial karena penyakit autoimun 

  Chronic-fibrosing inte rstitial lung diseases 

  Penyakit paru interstisial karena obat 

  Penyakit paru akibat kerja 

  Sarkoidosis 

  Bronkiektasis 

  Fibrosis kistik 

  Penyakit paru obstruktif kronik 

  Tuberkulosis 

  Kanker paru 

  Sindrom respirasi pasca COVID-19

7.  Pemeriksaan Penunjang 

  Pemeriksaan radiologi:  

‐ Foto toraks AP/PA dan/atau 

‐ CT scan toraks (HRCT toraks)  

‐ Lung perfusion scan  atas indikasi 

  Pemeriksaan faal paru (di bawah) 

‐ Spirometri rutin 

‐ Pemeriksaan kapasitas difusi 

  Pemeriksaan pulseoksimetri 

  Pemeriksaan laboratorium:  

‐ Darah lengkap 

‐ Faal hati SGOT, SGPT, Bilirubin, GGT 

‐ Faal ginjal: ureum, kreatinin 

‐ Gula darah, HbA1c 

‐ Analisis gas darah dan elektrolit bila diperlukan 

‐ Pemeriksaan D-dimer, PT, APTT, Fibrinogen 

‐ Pemeriksaan ANA penyaring, profil ANA,  

‐ ds-DNA, faktor rheumatoid 

‐ Pemeriksaan ANCA, C3,C4, CRP, dan pemeriksaan panel 

autoimun lainnya. 

‐ Pemeriksaan analisis BAL  

‐ Pemeriksaan analisis metal dan bahan lain dalam BAL.  

‐ Pemeriksaan infeksi (virus, M.Tb, jamur, dan lainnya) 

  Pemeriksaan faal paru:  

‐ Uji jalan 6 menit 

‐ Spirometri 

‐ Kapasitas difusi (DLCO) bila tersedia 

                                                                                                       

                                                                                                                        

‐ Cardiopulmonary Exercise Test  (CPET) bila diperllukan dan 

tersedia 

‐ Ergospirometri bila diperlukan dan sarana tersedia 

‐ Pemeriksaan polisomnografi bila diperlukan dan sarana tersedia 

  Pemeriksaan transtorakal biopsi (core biopsy). 

  Pemeriksaan Bronkoskopi: kurasan bronkus (bronchoalveolar lavage ) 

  Biopsi paru melalui bronkoskopi (transbronchial lung biopsy, 

cryobiopsy)  

  Biopsi paru terbuka (open lung biopsy), VATS 

  Pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) atau ekokardiografi  

  Penilaian kualitas hidup (kuesioner) 

 

8.  PENGOBATAN 

  Diagnostik (seperti di atas) 

  Nonfarmakologis  

‐ Terapi oksigen  

‐ Rehabilitasi paru  

‐ Terapi paliatif  

‐ Nutrisi sesuai angka kecukupan gizi dan komorbid 

‐ Rawat inap, bila ada indikasi 

‐ Vaksinasi 

  Farmakologis  

  Pemberian Antifibrosis Pirfenidone, Nintedanib dapat 

dipertimbangkan pada kasus penyakit fibrosis paru idiopatik 

(idiopathic pulmonary fibrosis /IPF), SSc-ILD, atau ILD dengan 

tipe fibrosis kronik (chronic fibrosing in terstitial lung diseases). 

  Steroid: pemberian steroid dapat diberikan pada kondisi eksaserbasi 

akut. 

  Makrolid: pemberian makrolid sebagai antiinflamasi dapat 

diberikan pada kondisi tertentu, seperti: azitromisin 250-500mg, 

klaritromisin 500mg, eritromisin 2x250mg. 

  Terapi simtomatik: antitusif (non-narkotik, atau narkotik (kodein 

dan lainnya)) 

  Mukolitik bila diperlukan 

  Antioksidan (seperti, n-asetilsistein) bila diperlukan. 

  Antibiotik bila ada infeksi bakterial 

  Mikronutrien 

  Vaksinasi 

 

9.  Komplikasi   Pneumonia     

  Gagal napas        

  Acute Respiratory Distress Syndrome 

  Pneumotoraks  

  Batuk darah 

  Tromboemboli paru 

  Gangguan koagulopati 

  Hipertensi pulmonal  

  Cor pulmonale kronik 

  Gangguan tidur 

  Gangguan psikologis  

 

         

             

10. Penyakit Penyerta   Kanker paru 

  Diabetes mellitus (tipe 1 dan 2) 

  Hepatitis  

  Penyakit terkait geriatri 

  Penyakit terkait autoimun 

  Penyakit ginjal 

  Penyakit hati  

  Penyakit Jantung  

  Hipertensi 

  Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) 

  Asma 

  Tuberkulosis (TB) 

  Penyakit kronik lain 

  Obesitas 

 

11. Follow Up  / Evaluasi Evaluasi dilakukan meliputi: 

 

Keluhan klinis  

  Batuk (evaluasi perubahan gejala batuk), melalui skor gejala batuk. 

  Sesak napas (evaluasi perubahan sesak napas), melalui skor MMRC 

  Kualitas hidup, melalui skor  

  Uji jalan 6 menit (6-minutes walk test ). 

  Pemeriksaan fisis 

  Pemeriksaan  saturasi oksigen 

 

Pemeriksaan faal paru 

Spirometri dan/atau DLCO 

 

Pemeriksaan radiologis 

Pemeriksaan foto toraks atau HRCT toraks 

 

Pemeriksaan laboratorium 

Pemeriksaan darah lengkap, kimia, penanda inflamasi, dan lainnya. 

 

Evaluasi klinis dilakukan sekurangnya setiap bulan, evaluasi faal paru bila 

kondisi klinis memungkinkan, radiologis (HRCT toraks) dilakukan setiap 

8-12 minggu. 

Klinisi menentukan kelanjutan pemberian obat antifibrosis. 

 

12. Prognosis Qua ad vitam: dubia 

Qua ad functionam: dubia 

Qua ad sanationam: dubia 

 

13. Konsultasi Konsultasi ke spesialis lainnya diperlukan sesuai temuan klinis, penyakit 

penyerta/komorbid dan komplikasi pada pasien. 

 

12. nasihat    Kebersihan personal dan lingkungan  

  Etika batuk dan bersin  

  Tidak merokok 

  memakai masker 

  Mencuci tangan teratur 

                                                                                                    

                                                                                                                        

  Menjaga jarak dan menghindari kerumunan 

  Bila keluhan memburuk segera ke pelayanan kesehatan 

  Disarankan vaksinasi influenza, pneumokokus, COVID-19 sesuai 

rekomendasi profesi. 

 

 

13 Indikasi Pulang Sesuai kondisi klinis dan asuhan paliatif bila diperlukan. 

 


 

PNEUMONIA INTERSTISIAL 

 NON SPESIFIK  

  

Pneumonia interstisial non-spesifik (NSIP) merupakan bagian dari 

pneumonia interstisial idiopatik (idiopathic interstitial pneumonia) 

dengan gambaran inflamasi dan fibrosis interstisial yang homogen. 

Dikatakan nonspesifik karena gambaran histoptologi yang nonspesifik, 

biasanya bilateral, dan di lobus bawah paru. NSIP dapat berupa 

idiopatik, atau berhubungan dengan penyakit jaringan ikat (connective 

tissue diseases), infeksi, atau sebab lain, seperti infeksi (HIV atau virus), 

obat (amiodaron, metotrexate), pneumonitis hipersensitif, pneumonia 

interstisial dengan gambaran autoimun (interstitial pneumonia with 

autoimmune features /IPAF) 

2.  Anamnesis Keluhan utama berupa sesak, batuk, berat badan turun, nyeri dada, bengkak pada kaki, dan jari tabuh.

3.  Pemeriksaan Fisik 

Pada pemeriksaan fisis paru dapat ditemukan: 

Inspeksi    : Normal atau dapat ditemukan kelainan. 

Palpasi        : Normal atau dapat ditemukan kelainan. 

Perkusi       : Normal atau dapat ditemukan kelainan. 

Auskultasi  : Normal atau dapat ditemukan kelainan, dapat berupa ronki 

basah velkro (velcro crackles ) pada akhir inspirasi pada kedua basal 

paru.  

Dapat disertai jari tabuh, dan penurunan saturasi oksigen. 

4.  Kriteria diagnosa  

Kriteria diagnosa  penyakit paru interstitial nonspesifik meliputi: proses 

inflamasi dan fibrosis dari jaringan interstisial, gambaran radiologis 

berupa kesuraman (groundglass opacities) disertai gambaran retikuler 

bilateral, disertai dengan gambaran restriksi pada spirometri. 

5.  diagnosa  Kerja Pneumonia interstisial non-spesifik (non-specific inte rstitial pneumonia) (ICD X J84.113) 

6.  diagnosa  Banding 

  Penyakit paru interstisial idiopatik lainnya  

  Pneumonitis hipersensitif 

  Non-specific interstitial pneumonia   

  Penyakit paru interstisial karena penyakit autoimun 

  Chronic-fibrosing inte rstitial lung diseases 

  Penyakit paru interstisial karena obat 

  Penyakit paru akibat kerja 

  Sarkoidosis 

  Bronkiektasis 

  Fibrosis kistik 

  Penyakit paru obstruktif kronik 

  Tuberkulosis 

  Kanker paru 

  Sindrom respirasi pasca COVID-19 

                                                                                                    

                                                                                                                        

 

7.  Pemeriksaan Penunjang 

  Pemeriksaan radiologi:  

‐ Foto toraks AP/PA dan/atau 

‐ CT scan toraks (HRCT toraks)  

‐ Lung perfusion scan  atas indikasi 

  Pemeriksaan faal paru (di bawah) 

‐ Spirometri rutin 

‐ Pemeriksaan kapasitas difusi 

  Pemeriksaan pulseoksimetri 

  Pemeriksaan laboratorium:  

‐ Darah lengkap 

‐ Faal hati SGOT, SGPT, Bilirubin, GGT 

‐ Faal ginjal: ureum, kreatinin 

‐ Gula darah, HbA1c 

‐ Analisis gas darah dan elektrolit bila diperlukan 

‐ Pemeriksaan D-dimer, PT, APTT, Fibrinogen 

‐ Pemeriksaan ANA penyaring, profil ANA,  

‐ ds-DNA, faktor rheumatoid 

‐ Pemeriksaan ANCA, C3,C4, CRP, dan pemeriksaan autoimun  

  Pemeriksaan faal paru:  

‐ Uji jalan 6 menit 

‐ Spirometri 

‐ Kapasitas difusi (DLCO) bila tersedia 

‐ Cardiopulmonary Exercise Test  (CPET) bila diperllukan dan 

tersedia 

‐ Ergospirometri bila diperlukan dan sarana tersedia 

‐ Pemeriksaan polisomnografi bila diperlukan dan sarana tersedia 

  Pemeriksaan biopsi transtorakal 

  Pemeriksaan Bronkoskopi: kurasan bronkus (bronchoalveolar 

lavage ) 

  Biopsi paru melalui bronkoskopi (transbronchial lung biopsy, 

cryobiopsy)  

  Biopsi paru terbuka (open lung biopsy), VATS 

  Pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) atau ekokardiografi  

  Penilaian kualitas hidup (kuesioner) 

 

8.  PENGOBATAN 

  Diagnostik (seperti di atas) 

  Nonfarmakologis  

‐ Terapi oksigen  

‐ Rehabilitasi paru  

‐ Terapi paliatif  

‐ Nutrisi sesuai angka kecukupan gizi dan komorbid 

‐ Rawat inap, bila ada indikasi 

‐ Vaksinasi 

  Farmakologis  

‐ Pemberian antifibrosis Pirfenidone, Nintedanib dapat 

dipertimbangkan pada kasus penyakit fibrosis paru idiopatik 

(idiopathic pulmonary fibrosis /IPF), SSc-ILD, atau ILD dengan 

tipe fibrosis kronik (chronic fibrosing in terstitial lung diseases) 

‐ Steroid: pemberian steroid dapat diberikan pada kondisi 

eksaserbasi akut. 

            | 203 

             

‐ Makrolid: pemberian makrolid sebagai antiinflamasi dapat 

diberikan pada kondisi tertentu, seperti: azitromisin 250-500mg, 

klaritromisin 500mg, eritromisin 2x250mg. 

‐ Terapi simtomatik: antitusif (non-narkotik, atau narkotik (kodein 

dan lainnya)) 

‐ Mukolitik bila diperlukan 

‐ Antioksidan (seperti, n-asetilsistein) bila diperlukan. 

‐ Antibiotik bila ada infeksi bakterial 

‐ Mikronutrien 

‐ Vaksinasi 

 

9.  Komplikasi   Pneumonia     

  Gagal napas        

  Acute Respiratory Distress Syndrome 

  Pneumotoraks  

  Batuk darah 

  Tromboemboli paru 

  Gangguan koagulopati 

  Hipertensi pulmonal  

  Cor pulmonale kronik 

  Gangguan tidur 

  Gangguan psikologis  

 

10. Penyakit Penyerta   Kanker paru 

  Diabetes mellitus (tipe 1 dan 2) 

  Hepatitis  

  Penyakit terkait geriatri 

  Penyakit terkait autoimun 

  Penyakit ginjal 

  Penyakit hati  

  Penyakit Jantung  

  Hipertensi 

  Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) 

  Asma 

  Tuberkulosis (TB) 

  Penyakit kronik lain 

  Obesitas 

 

11. Follow Up  / Evaluasi Evaluasi dilakukan meliputi: 

 

Keluhan klinis  

‐ Batuk (evaluasi perubahan gejala batuk), melalui skor gejala 

batuk 

‐ Sesak napas (evaluasi perubahan sesak napas), melalui skor 

MMR 

‐ Kualitas hidup, melalui skor  

‐ Uji jalan 6 menit (6-minutes walk test ).  

‐ Pemeriksaan fisis

204 |                                                                                                                  

                                                                                                                        

- Pemeriksaan saturasi oksigen 

Pemeriksaan faal paru 

Spirometri dan/atau DLCO 

 

Pemeriksaan radiologis 

Pemeriksaan foto toraks atau HRCT toraks 

 

Pemeriksaan laboratorium 

Pemeriksaan darah lengkap, kimia, penanda inflamasi, dan 

lainnya. 

 

Evaluasi klinis dilakukan sekurangnya setiap bulan, evaluasi faal 

paru bila kondisi klinis memungkinkan, radiologis (HRCT toraks) 

dilakukan setiap 8-12 minggu. 

Klinisi menentukan kelanjutan pemberian obat antifibrosis.  

 

 

12. Prognosis Qua ad vitam: dubia 

Qua ad functionam: dubia 

Qua ad sanationam: dubia 

 

13. Konsultasi Konsultasi ke spesialis lainnya diperlukan sesuai temuan klinis, penyakit 

penyerta/komorbid dan komplikasi pada pasien. 

 

14. nasihat    Kebersihan personal dan lingkungan  

  Etika batuk dan bersin  

  Tidak merokok 

  memakai masker 

  Mencuci tangan teratur 

  Menjaga jarak dan menghindari kerumunan 

  Bila keluhan memburuk segera ke pelayanan kesehatan 

  Disarankan vaksinasi influenza, pneumokokus, COVID-19 sesuai 

rekomendasi profesi. 

 

15. Indikasi Pulang Sesuai kondisi klinis 

 


 

FIBROSIS PARU IDIOPATIK 

(IDIOPATHIC PULMONARY FIBROSIS) 

 

  Fibrosis Paru Idiopatik yaitu  fibrosis yang terjadi di jaringan interstisial 

paru, yang bersifat progresif, kronik, dengan sebab tidak diketahui, yang 

terjadi hanya pada paru, terutama pada usia dewasa. 

 

2.  Anamnesis Keluhan utama berupa sesak, batuk, berat badan turun, nyeri dada, 

bengkak pada kaki, dan jari tabuh. 

3.  Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisis paru dapat ditemukan: 

Inspeksi    : Normal atau dapat ditemukan kelainan. 

Palpasi        : Normal atau dapat ditemukan kelainan. 

Perkusi       : Normal atau dapat ditemukan kelainan. 

Auskultasi  : Normal atau dapat ditemukan kelainan, dapat berupa ronki 

basah velkro (velcro crackles)  pada akhir inspirasi  pada kedua basal 

paru.  

Dapat disertai jari tabuh, dan penurunan saturasi oksigen. 

4.  Kriteria diagnosa  Kriteria diagnosa  fibrosis paru idiopatik (FPI) meliputi:  

  Eksklusi dari seluruh penyebab penyakit paru interstisial yang 

diketahui (pajanan domestik dan kerja, penyakit jaringan ikat, penyakit 

kolagen, efek samping obat dan lainnya) dan, 

  Terlihat gambaran Usual Interstisial Pneumonia  pada HRCT Toraks,  

atau 

  Kombinasi gambaran “probable/possible UIP” dengan atau tanpa 

biopsi paru. 

Jika diperlukan, suatu diskusi multidisiplin dapat dilakukan untuk 

menyepakati diagnosa  FPI, seperti yang tertera dalam algoritma diagnosa  

FPI. 

5.  diagnosa  Kerja Penyakit Fibrosis Paru Idiopatik (idiopathic pulmonary fibrosis ) (ICD X 

J84.112) 

6.  diagnosa  Banding   Penyakit paru interstisial idiopatik lainnya  

  Pneumonitis hipersensitif 

  Non-specific interstitial pneumonia   

  Penyakit paru interstisial karena penyakit autoimun 

  Chronic-fibrosing inte rstitial lung diseases 

  Penyakit paru interstisial karena obat 

  Penyakit paru akibat kerja 

  Sarkoidosis 

  Bronkiektasis 

  Fibrosis kistik 

  Penyakit paru obstruktif kronik 

  Tuberkulosis 

  Kanker paru 

  Sindrom respirasi pasca COVID-19 

                                                                                                       

                                                                                                                        

 

7.  Pemeriksaan Penunjang 

  Pemeriksaan radiologi:  

‐ Foto toraks AP/PA dan/atau 

‐   CT scan toraks (HRCT toraks)  

‐   Lung perfusion scan  atas indikasi 

  Pemeriksaan faal paru (di bawah) 

‐ Spirometri rutin 

‐ Pemeriksaan kapasitas difusi 

  Pemeriksaan pulseoksimetri 

  Pemeriksaan laboratorium:  

‐ Darah lengkap 

‐ Faal hati SGOT, SGPT, Bilirubin, GGT 

‐ Faal ginjal: ureum, kreatinin 

‐ Gula darah, HbA1c 

‐ Analisis gas darah dan elektrolit bila diperlukan 

‐ Pemeriksaan D-dimer, PT, APTT, Fibrinogen 

‐ Pemeriksaan ANA penyaring, profil ANA,  

‐ ds-DNA, faktor rheumatoid 

‐ Pemeriksaan ANCA, C3,C4, CRP 

  Pemeriksaan faal paru:  

‐ Uji jalan 6 menit 

‐ Spirometri 

‐ Kapasitas difusi (DLCO) bila tersedia 

‐ Cardiopulmonary Exercise Test  (CPET) bila diperllukan dan tersedia 

‐ Ergospirometri bila diperlukan dan sarana tersedia 

‐ Pemeriksaan polisomnografi bila diperlukan dan sarana tersedia 

  Pemeriksaan Bronkoskopi: kurasan bronkus (bronchoalveolar lavage ) 

  Biopsi paru melalui bronkoskopi (transbronchial lung biopsy, 

cryobiopsy)  

  Biopsi paru terbuka (open lung biopsy), VATS 

  Pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) atau ekokardiografi  

  Penilaian kualitas hidup (kuesioner) 

 

8.  PENGOBATAN 

  Diagnostik 

Kriteria diagnosa  IPF meliputi: (copas di atas0. 

‐ Eksklusi penyebab ILD yang lain (penyakit jaringan konektif (CTD-

ILD), obat, lingkungan dan pekerjaan) 

‐ Gambaran HRCT: UIP (usual interstitial pneumonia) 

‐ atau bila HRCT tidak menggambarkan suatu UIP, diagnosa  dapat 

diputuskan melalui sebuah diskusi multidisiplin (MDT) sebagai IPF 

 

Algoritma 

Algoritma PENGOBATAN diagnosa  dan terapi pasien fibrosis paru idiopatik 

dapat dilihat pada gambar 1 (lampiran).    

  Nonfarmakologis  

‐ Terapi oksigen  

‐ Rehabilitasi paru  

‐ Terapi paliatif  

‐ Nutrisi sesuai angka kecukupan gizi dan komorbid 

‐ Rawat inap, bila ada indikasi 

 

             

             

  Farmakologis  

‐ Antifibrosis pirfenidone (tablet), dengan dosis 3-3-3 tablet (mg) 

setiap hari atau nintedanib (2x150mg; kapsul lunak gelatin berassal 

dari babi) setiap hari.  

‐ Steroid: pemberian steroid dapat diberikan pada kondisi eksaserbasi 

akut. 

‐ Makrolid: pemberian makrolid sebagai antiinflamasi dapat diberikan 

pada kondisi tertentu, seperti: azitromisin 250-500mg, klaritromisin 

500mg, eritromisin 2x250mg. 

‐ Terapi simtomatik: antitusif (non-narkotik, atau narkotik (kodein dan 

lainnya)) 

‐ Mukolitik bila diperlukan 

‐ Antioksidan (seperti, n-asetilsistein) bila diperlukan. 

‐ Antibiotik bila ada infeksi bakterial 

‐ Mikronutrien 

‐ Vaksinasi 

 

  

Algoritma diagnosa  dan PENGOBATAN Fibrosis Paru Idiopatik (dikutip 

dari 1) 

 

9.  Komplikasi   Pneumonia     

  Gagal napas        

  Acute Respiratory Distress Syndrome 

  Pneumotoraks  

  Batuk darah 

                                                                                              

                                                                                                                        

  Tromboemboli paru 

  Gangguan koagulopati 

  Hipertensi pulmonal  

  Cor pulmonale kronik 

  Gangguan tidur 

  Gangguan psikologis  

10. Penyakit Penyerta   Kanker paru 

  Diabetes mellitus (tipe 1 dan 2) 

  Hepatitis  

  Penyakit terkait geriatri 

  Penyakit terkait autoimun 

  Penyakit ginjal 

  Penyakit hati  

  Penyakit Jantung  

  Hipertensi 

  Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) 

  Asma 

  Tuberkulosis (TB) 

  Penyakit kronik lain 

  Obesitas 

 

11. Follow Up / Evaluasi Evaluasi dilakukan meliputi: 

 

Keluhan klinis  

  Batuk (evaluasi perubahan gejala batuk), melalui skor gejala batuk. 

  Sesak napas (evaluasi perubahan sesak napas), melalui skor MMRC 

  Kualitas hidup, melalui skor  

  Uji jalan 6 menit (6-minutes walk test ).  

  Pemeriksaan fisis 

- Pemeriksaan saturasi oksigen 

 

Pemeriksaan faal paru 

  Spirometri dan/atau DLCO 

 

Pemeriksaan radiologis 

  Pemeriksaan foto toraks atau HRCT toraks 

 

Evaluasi klinis dilakukan sekurangnya setiap bulan, evaluasi faal paru bila 

kondisi klinis memungkinkan, radiologis (HRCT toraks) dilakukan setiap 

8-12 minggu. 

Klinisi menentukan kelanjutan pemberian obat antifibrosis. 

 

12. Prognosis Qua ad vitam: dubia 

Qua ad functionam: dubia 

Qua ad sanationam: dubia 

 

13. Konsultasi Konsultasi ke spesialis lainnya diperlukan sesuai temuan klinis, penyakit 

penyerta/komorbid dan komplikasi pada pasien. 

 

13. nasihat    Kebersihan personal dan lingkungan  

  Etika batuk dan bersin  

            | 209 

             

  Tidak merokok 

  memakai masker 

  Mencuci tangan teratur 

  Menjaga jarak dan menghindari kerumunan 

  Bila keluhan memburuk segera ke pelayanan kesehatan 

  Disarankan vaksinasi influenza dan pneumokokus sesuai rekomendasi 

profesi. 

 

14. Indikasi Pulang Sesuai kondisi klinis dan asuhan paliatif. 

 


 

PENYAKIT PARU INTERSTISIAL TERKAIT 

SKLEROSIS SISTEMIK  

(INTERSTITIAL LUNG DISEASE ASSOCIATED 

WITH SYSTEMIC SCLEROSIS SSC-ILD) 

 

diagnosa :  Penyakit paru interstisial terkait sistemik sklerosis(Interstitial lung disease associated with systemic sclerosis SSc ILD) Kode ICD X: M34.81, J84.10 atau J84.9 

  

Penyakit paru interstisial terkait sistemik sclerosis yaitu  penyakit autoimun yang 

ditandai dengan trias patogenik yang terdiri atas kerusakan mikrovaskular, disregulasi 

sistem imun dan fibrosis pada paru.  

2.  Anamnesis Keluhan utama berupa sesak, batuk kering, berat badan turun dan cepat lelah2 

3.  Pemeriksaan  

     Fisis 

Pada pemeriksaan fisis paru dapat ditemukan: 

Inspeksi    : Normal atau dapat ditemukan kelainan. 

Palpasi        : Normal atau dapat ditemukan kelainan. 

Perkusi       : Normal atau dapat ditemukan kelainan. 

Auskultasi  : Normal atau dapat ditemukan kelainan, dapat berupa ronki basah 

velkro (velcro crackles )  pada akhir inspirasi  pada kedua basal paru.  

Dapat disertai jari tabuh, penurunan saturasi oksigen, penebalan /pengerasan kulit, 

ulkus atau pitting scars, telangiektasia, fenomena Raynaud  

4.  Kriteria  

     diagnosa  

 

Kriteria diagnosa  SSc-ILD meliputi:  

  Gambaran sklerosis sistemik sesuai klasifikasi ACR/EULAR 2013 yaitu 

penebalan kulit jari kedua tangan yang meluas proksimal ke sendi 

metacarphophalangeal, penebalan kulit pada jari-jari tangan, lesi pada ujung jari, 

telangiektasia, kapiler abnormal pada lipatan kuku, fenomena Raynaud, hipertensi 

pulmoner dan autoantibodi yang berkaitan dengan SSc.  

  ada  gambaran fibrosis pada high resolution computed tomography (HRCT) 

atau foto toraks standar yang umumnya terlihat pada bagian basal. Gambaran 

umum pada HRCT yaitu  non-specific inte rstitial pneumonia (NSIP).1 Pada 

sebagian kecil kasus juga dapat ditemukan gambaran usual interstitial pneumonia 

(UIP). 

  Jika diperlukan, suatu diskusi multidisiplin dapat dilakukan untuk menyepakati 

diagnosa  SSc-ILD 

5.  diagnosa  Kerja Penyakit penyakit paru interstisial terkait sistemik sklerosis (Interstitial lung disease associated with systemic sclerosis SSc-ILD)  Kode ICD X: M34.81 

6.  diagnosa   

     Banding 

  Edema paru 

  Pneumonia,  

  Tromboemboli paru kronik 

  Hemoragik alveolar 

  Penyakit paru interstisial idiopatik lainnya  

  Pneumonitis hipersensitif 

  Non-specific inte rstitial pneumonia  

  Chronic-fibrosing inte rstitial lung diseases 

  Penyakit paru interstisial karena obat 

  Sarkoidosis 

          

             

  Fibrosis kistik 

  Tuberkulosis 

  Kanker paru 

  Sindrom respirasi pasca COVID-19 

7.  Pemeriksaan  

     Penunjang 

  Pemeriksaan radiologi:  

‐ Foto toraks AP/PA dan/atau 

‐ CT scan toraks (HRCT toraks)  

  Pemeriksaan faal paru (di bawah) 

‐ Spirometri rutin 

‐ Pemeriksaan kapasitas difusi 

  Pemeriksaan pulseoksimetri 

  Pemeriksaan capillaroscopy 

  Pemeriksaan laboratorium:  

‐ Darah lengkap 

‐ Faal hati SGOT, SGPT, Bilirubin, GGT 

‐ Faal ginjal: ureum, kreatinin 

‐ Gula darah, HbA1c 

‐ Analisis gas darah dan elektrolit bila diperlukan 

‐ Pemeriksaan D-dimer, PT, APTT, Fibrinogen 

‐ Pemeriksaan ANA penyaring, profil ANA, ds-DNA, faktor rheumatoid 

‐ Pemeriksaan ANCA, C3,C4, CRP 

  Pemeriksaan faal paru:  

‐ Uji jalan 6 menit 

‐ Spirometri 

‐ Kapasitas difusi (DLCO) bila tersedia 

  Pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) atau ekokardiografi  

  Penilaian kualitas hidup (kuesioner) 

8.  PENGOBATAN 

  Algoritma 

Algoritma diagnosa  dan PENGOBATAN SSc ILD dapat dilihat pada gambar 

(lampiran).    

  Nonfarmakologis  

‐ Terapi oksigen  

‐ Rehabilitasi paru 

‐ Terapi paliatif  

‐ Nutrisi sesuai angka kecukupan gizi dan komorbid 

‐ Rawat inap, bila ada indikasi 

  Farmakologis  

‐ Antifibrosis pirfenidone (tablet), dengan dosis 3-3-3 tablet (mg) setiap hari atau 

nintedanib (2x150mg; kapsul lunak gelatin asal babi) setiap hari  

‐ Prednisolon 20 mg (selang sehari) diikuti dengan siklofosfamid 600 mg/m2 

setiap 4 minggu (selama 6 kali) diikuti oleh azatioprin 2,5 mg/kg/day 

(maksimal 200 mg/hari) sebagai terapi maintenance. 

‐ Micofenolat mofetil 2x750 mg selama 24 bulan 

‐ Transplantasi sel punca hematopoietik 

‐ Makrolid: pemberian makrolid sebagai antiinflamasi dapat diberikan pada 

kondisi tertentu, seperti: azitromisin 250-500mg, klaritromisin 500mg, 

eritromisin 2x250mg. 

‐ Terapi simtomatik: antitusif (non-narkotik, atau narkotik (kodein dan lainnya) 

‐ Mukolitik bila diperlukan 

‐ Antioksidan (seperti, n-asetilsistein) bila diperlukan. 

‐ Antibiotik bila ada infeksi bakterial 

                                                                                                  

                                                                                                                        

‐ Mikronutrien 

‐ Vaksinasi 

      

 

Algoritma diagnosa  dan PENGOBATAN Sklerosis Sistemik terkait ILD 

 

9.  Komplikasi 

  Pneumonia     

  Gagal napas   

  Acute Respiratory Distress Syndrome  

  Pneumotoraks  

  Batuk darah 

  Tromboemboli paru 

  Gangguan koagulopati 

  Hipertensi pulmonal  

  Cor pulmonale kronik 

  Gangguan tidur 

  Gangguan psikologis

10. Penyakit  

      Penyerta  

   

  Kanker paru 

  Diabetes mellitus (tipe 1 dan 2) 

  Hepatitis  

  Penyakit terkait geriatri 

  Penyakit terkait autoimun 

  Penyakit ginjal 

  Penyakit hati  

  Penyakit Jantung  

  Hipertensi 

  Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) 

  Asma 

  Tuberkulosis (TB) 

  Penyakit kronik lain 

  Obesitas 

  

             

             

 

11. Follow 

Up /Evaluasi 

Evaluasi dilakukan meliputi: 

 

Keluhan klinis  

‐ Batuk (evaluasi perubahan gejala batuk), melalui skor gejala batuk 

‐ Sesak napas (evaluasi perubahan sesak napas), melalui skor MMR 

‐ Kualitas hidup, melalui skor  

‐ Uji jalan 6 menit (6-minutes walk test ).  

‐ Pemeriksaan fisis 

- Pemeriksaan saturasi oksigen 

 

Pemeriksaan faal paru 

Spirometri dan/atau DLCO 

 

Pemeriksaan radiologis 

Pemeriksaan foto toraks atau HRCT toraks 

 

Evaluasi klinis dilakukan sekurangnya setiap bulan, evaluasi faal paru bila kondisi 

klinis memungkinkan, radiologis (HRCT toraks) dilakukan setiap 8-12 minggu. 

Klinisi menentukan kelanjutan pemberian obat antifibrosis.  

 

12. Prognosis 

 

Qua ad vitam: dubia 

Qua ad functionam: dubia 

Qua ad sanationam: dubia 

 

13. Konsultasi 

Konsultasi ke spesialis lainnya diperlukan sesuai temuan klinis, penyakit 

penyerta/komorbid dan komplikasi pada pasien. 

 

14. nasihat  

  Kebersihan personal dan lingkungan  

  Etika batuk dan bersin  

  Tidak merokok 

  memakai masker 

  Mencuci tangan teratur 

  Menjaga jarak dan menghindari kerumunan 

  Bila keluhan memburuk segera ke pelayanan kesehatan 

  Disarankan vaksinasi influenza dan pneumokokus sesuai rekomendasi profesi. 

 


 

FIBROSIS PARU PASCA COVID-19 

  

  Fibrosis Paru pasca COVID-19 

2.  Anamnesis Keluhan utama berupa sesak, batuk, berat badan turun, nyeri dada, bengkak pada kaki, nyeri dada. 

3.  Pemeriksaan  

     Fisis 

Pada pemeriksaan fisis paru dapat ditemukan: 

Inspeksi    : Normal atau dapat ditemukan kelainan. 

Palpasi        : Normal atau dapat ditemukan kelainan. 

Perkusi       : Normal atau dapat ditemukan kelainan. 

Auskultasi  : Normal atau dapat ditemukan kelainan, dapat berupa ronki basah 

velkro (velcro crackles)  pada akhir inspirasi  pada kedua basal paru.  

Dapat disertai jari tabuh, dan penurunan saturasi oksigen.  

4.  Kriteria  

     diagnosa  

Kriteria diagnosa  fibrosis paru pasca COVID-19 meliputi:  

  Riwayat pneumonia COVID-19, 

  Eksklusi dari seluruh penyebab penyakit paru interstisial yang diketahui 

(pajanan domestik dan kerja, penyakit jaringan ikat, penyakit kolagen, efek 

samping obat dan lainnya) dan, 

  Terlihat gambaran Pneumonia Interstisial pada HRCT Toraks, dan, atau  

  Gangguan faal paru berupa gangguan difusi dan atau restriksi 

 

5.  diagnosa  Kerja Fibrosis Paru pasca COVID-19 (post-COVID-19 lung fibrosis ) (ICD X J84.9 atau B94.8)

6.  diagnosa   

     Banding 

  Penyakit paru interstisial idiopatik lainnya  

  Pneumonitis hipersensitif 

  Non-specific interstitial pneumonia   

  Penyakit paru interstisial karena penyakit autoimun 

  Penyakit paru interstisial karena infeksi virus lainnya 

  Chronic-fibrosing interstitial lung diseases 

  Penyakit paru interstisial karena obat 

  Penyakit paru akibat kerja 

  Sarkoidosis 

  Bronkiektasis 

  Fibrosis kistik 

  Penyakit paru obstruktif kronik 

  Tuberkulosis 

  Kanker paru 

  Sindrom respirasi pasca COVID-19


                    Penyakit kronik lain 

  Obesitas 

  

11. Follow Up /Evaluasi 

Evaluasi dilakukan meliputi: 

 

Keluhan klinis  

  Batuk (evaluasi perubahan gejala batuk), melalui skor gejala batuk. 

  Sesak napas (evaluasi perubahan sesak napas), melalui skor MMRC 

  Kualitas hidup, melalui skor  

  Uji jalan 6 menit (6-minutes walk test ). 

  Pemeriksaan fisis 

  Pemeriksaan saturasi oksigen

                                                                                               

                                                                                                                        

 

 

Pemeriksaan faal paru 

Spirometri dan/atau DLCO 

 

Pemeriksaan radiologis 

Pemeriksaan foto toraks atau HRCT toraks 

 

Evaluasi klinis dilakukan sekurangnya setiap bulan, evaluasi faal paru bila 

kondisi klinis memungkinkan, radiologis (HRCT toraks) dilakukan setiap 8-12 

minggu. 

Klinisi menentukan kelanjutan pemberian obat antifibrosis.  

 

12. Prognosis 

 

Qua ad vitam: dubia 

Qua ad functionam: dubia 

Qua ad sanationam: dubia 

 

13. Konsultasi 

Konsultasi ke spesialis lainnya diperlukan sesuai temuan klinis, penyakit 

penyerta/komorbid dan komplikasi pada pasien. 

 

14. nasihat  

  Kebersihan personal dan lingkungan  

  Etika batuk dan bersin  

  Tidak merokok 

  memakai masker 

  Mencuci tangan teratur 

  Menjaga jarak dan menghindari kerumunan 

  Bila keluhan memburuk segera ke pelayanan kesehatan 

  Disarankan vaksinasi influenza dan pneumokokus sesuai rekomendasi 

profesi. 

  


 

 

PANDUAN UMUM PRAKTIK KLINIS 

PENYAKIT SIRKULASI PULMONER 

 

 

 


 

 

CAISSON DISEASE/ DECOMPRESSION 

SICKNESS  

  Suatu kondisi akut yang terjadi karena terbentuknya gelembung-

gelembung gas dari fase larut dalam sirkulasi darah atau jaringan 

secara tiba-tiba akibat penurunan tekanan dengan cepat. Penyakit 

dekompresi terjadi karena perbedaan tekanan udara pada saat 

menyelam. Tubuh seharusnya beradaptasi terhadap tekanan seiring 

dengan kenaikan ketinggian yang cepat. 

 

2. Anamnesis   Pajanan berulang atau penyelaman berulang dalam waktu yang 

singkat 

  Pasien yang melakukan perjalanan udara dengan pesawat segera 

sesudah  menyelam (diving ). 

  Prodromal:  malaise, lelah, rasa tidak enak, anoreksia, dan sakit 

kepala 

 

3. Pemeriksaan  

     Fisik 

Decompression sickness tipe I 

Penyakit dekompresi tipe I menimbulkan gejala ringan dan biasanya 

mempengaruhi sistem organ berikut. 

  Muskuloskletal:  nyeri sendi yang terlokalisir 

  Kutaneus: pruritus biasanya di tubuh bagian atas 

  Limfatik: limfadenopati dan edema lokal, biasanya dengan depresi 

folikel dan efek peau d'orange.  Lesi ini terutama terlihat pada dada 

dan badan 

 

Decompression sickness tipe II 

Penyakit dekompresi tipe II lebih parah dan dapat memicu  cedera 

permanen dan kematian serta mempengaruhi sistem berikut. 

  Neurologis: kerusakan pada sumsum tulang belakang lumbal atas 

atau daerah toraks lebih rendah berupa parestesia, paraplegia, 

hilangnya kontrol sfingter terutama kandung kemih dan otak berupa 

kehilangan memori, ataxia , gangguan penglihatan, perubahan 

kepribadian, ucapan dan emosi. 

  Paru: nyeri dada, mengi, dispnea, dan iritasi faring (tersedak).  

 

4. Kriteria diagnosa  Kumpulan gejala gangguan respirasi, sirkulasi, dan biasanya gangguan 

nervus perifer dan atau gangguan susunan saraf pusat yang terjadi pada 

seseorang yang terpapar penurunan tekanan udara tiba-tiba (biasanya 

terjadi peningkatan tekanan terlebih dulu). 

 

1. diagnosa  Kerja Caisson Disease : 

  Decompression sickness tipe I  

  Decompression sickness tipe II 

 

2. diagnosa  Banding Penyakit emboli udara pada arteri dan vena oleh sebab lain 

3. Pemeriksaan Penunjang - 

 

4. PENGOBATAN   Mempertahankan jalan napas dengan menjamin ventilasi dan 

mencapai sirkulasi optimal.  

       

             

  Rekompresi. Bila perlu penderita dibawa ke ruang rekompresi yang 

terdekat, bila ada RUBT (Ruang Udara BertekananTinggi) portabel 

bertekanan 2 ATA di bawah pemantauan tenaga ahli hiperbarik. 

  Pemberian oksigen 100% 15 liter/menit dengan memakai 

masker reservoir.  

  Pemberian cairan NaCl 0.9% atau kristaloid/ koloid untuk 

mengatasi dehidrasi yang mungkin timbul sesudah  penyelaman 

(diuresis). Perendaman memicu  penyelam kehilangan 250-

500 cc cairan per jam). Rehidrasi diperlukan untuk 

mempertahankan output urin yang baik.  

  Pemberian steroid deksametason 10 sampai 20 mg secara intravena, 

kemudian dilanjutkan 4 mg setiap 6 jam. 

  Diazepam (5-10 mg) jika pasien mengalami pusing, ketidakstabilan 

dan gangguan visual terkait dengan kerusakan labirin (vestibular) 

pada telinga bagian dalam.  

  Dilantin (Fenitoin) diberikan IV 50 mg/menit selama 10 menit 

untuk 500 mg pertama dan kemudian 100 mg setiap 30 menit 

sesudah nya untuk memantau konsentrasi darah yang dipertahankan 

10 sampai 20 mcg/ml. Jika lebih dari 25 mcg/ml akan berbahaya. 

Dapat diberikan aspirin 600 mg sebagai anti-platelet. 

 

5. Komplikasi Kehilangan memori, gangguan penglihatan, dan perubahan 

kepribadian, ucapan dan emosi sampai dengan kematian 

 

6. Penyakit Penyerta - 

7. Prognosis Tipe I biasanya memberi  prognosis yang baik, sedangkan tipe II 

biasanya memberi  prognosis yang jelek tanpa pengobatan yang 

cepat dan tepat. 

 

8. nasihat  Penumpang pesawat terbang sebaiknya disarankan untuk menunggu 12 

jam sebelum penerbangan bila orang ini  melakukan satu 

penyelaman per hari. Individu yang telah menyelam beberapa kali atau 

yang memerlukan penghentian dekompresi harus dipertimbangkan 

menunggu hingga 48 jam sebelum penerbangan. 

 

9. Indikasi Pulang Bila tidak didapatkan lagi tanda kegawatan dan gejala klinis yang 

mematikan. 




HIGH ALTITUDE PULMONARY EDEMA   

 

  

High altitude pulmonary edema (HAPE) yaitu  terjadinya peningkatan 

tekanan paru secara berlebihan (tekanan rerata 36-51 mmHg), yang 

disebabkan oleh vasokonstriksi pulmoner yang tidak homogen dan 

hipoksia yang memicu  peningkatan tekanan kapiler pulmoner 

dan protein endothelin level-1 dan penurunan kadar nitrit oksida.  

 

2.  Anamnesis 

Riwayat pernah berada di ketinggian >2500-3000m. Edema paru 

karena dataran tinggi (HAPE) muncul pada hari ke 2 sampai 5 sesudah  

mencapai dataran tinggi. Gejala awal dari HAPE terdiri dari dispnea, 

batuk, dan penurunan tiba-tiba dari performa olahraga. Selanjutnya 

akan muncul edema pulmoner, orthopnea, sesak napas saat istirahat, 

munculnya ronki dalam dada, batuk progresif, sputum berwarna merah 

muda dan berbusa menunjukkan edema paru yang parah. 

 

3.  Pemeriksaan Fisik 

High altitude pulmonary edema (HAPE) di diagnosa  dengan adanya 2 

atau lebih dari tanda berikut. 

  Takikardi 

  Takipneu 

  Ronki pada auskultasi 

  Sianosis sentral 

  Ketidakseimbangan saturasi oksigen yang rendah yang 

berhubungan dengan ketinggian. 

 

4.  Kriteria diagnosa  

diagnosa  berdasar  gejala dan tanda.  

Sekurang-kurangnya didapatkan dua dari gejala di bawah ini. 

  Sesak saat istrahat 

  Batuk 

  Lemah badan 

  Dada terasa terikat 

4.  Kriteria diagnosa  

Sekurang-kurangnya dua dari tanda di bawah ini. 

  Takikardi 

  Takipneu 

  Crackles pada auskultasi 

  Sianosis sentral 

Ketidakseimbangan saturasi oksigen yang rendah yang 

berhubungan dengan ketinggian. 

 

5.  diagnosa  Kerja High altitude pulmonary edema  

6.  diagnosa  Banding 

  Pneumonia 

  Emboli Paru 

  Infark Paru 

  Penyakit saluran napas hiperaktif 

  Sindrom koroner akut 

  Gagal jantung akut yang terdekompensasi 

  Bronkitis  

  

           

             

7.  Pemeriksaan Penunjang 

Foto toraks 

CT – Scan  Toraks 

Ekokardiografi 

Laboratorium: Leukosit dan BNP (Brain Natriuretic Peptide) 

 

8.  PENGOBATAN 

Peningkatan oksigenasi segera dengan cara 

  Suplemen oksigen 

  Terapi hiperbarik 

  Turun dari ketinggian dengan cepat 

  Istirahat dan tempatkan pasien di tempat yang hangat 

 

Bila tidak bisa turun dari ketinggian dengan cepat, maka diberi obat 

  Nifedipine slow  release 20 mg setiap 6 jam. 

  Kombinasi sildenafil 25-50 mg setiap 8 jam dan deksametasone 

8mg  tiap 12 jam. 

 

9.  Komplikasi   Infeksi 

  Edema serebri 

  Trombosis paru 

  Frostbite 

  Trauma pada titik tumpu selama imobilisasi 

 

10. Penyakit Penyerta Acute mountain sickness 

High altitude cerebral edema 

 

11. Prognosis Terkait dengan kecepatan diagnosa  dan ketepatan terapi serta 

dipengaruhi oleh faktor-faktor: derajat keparahan penyakit, terapi yang 

tersedia, pengalaman klinisi. 

 

12. nasihat    memberi  informasi ke pada pasien untuk turun dari tempat 

dengan ketinggian lebih dari 2500 m secara perlahan sehingga 

tubuh dapat beradaptasi dengan perubahan tekanan udara sekitar 

yang terkait dengan perubahan ketinggian. 

  memberi  informasi kepada pasien bahwa obat-obat yang 

diminum untuk tujuan pencegahan terjadinya HAPE berulang 

seperti nifedipine, deksametason, azetazolamide tidak memberi  

efek signifikan karena pencegahan yang paling utama yaitu  turun 

perlahan dari tempat dengan ketinggian lebih dari 2500 m. 

  memberi  informasi kepada pasien jika mendapati gejala dan 

tanda HAPE segera datang ke pusat pelayanan kesehatan terdekat 

karena semakin cepat terdiagnosa  semakin baik. 

  Hindari faktor-faktor risiko terjadinya HAPE. 

 

13. Indikasi Pulang Jika didapati klinis membaik ditandai dengan hilangnya gejala dan 

tanda HAPE didukung oleh evaluasi radiologis yang menunjukkan 

perbaikan. 

 


 

            

KOR PULMONALE KRONIK  


Kor pulmonale kronik yaitu  perubahan struktur dan fungsi dari 

ventrikel kanan jantung sebagai akibat dari penyakit paru kronis.  

Perubahan yang terjadi berupa hipertrofi ventrikel kanan atau dilatasi 

atau keduanya sebagai akibat dari adanya hipertensi pulmoner. 

Tidak termasuk gangguan paru secara primer mengenai sisi kiri 

jantung atau pada penyakit jantung kongenital.  

Derajat kerusakan kor pulmonale ditentukan pada abnormalitas 

ventrikel kanan. 

 

2.  Anamnesis 

Sesak saat aktivitas, batuk, kelelahan, lesu, nyeri dada, dan sinkop.  

Lemah, lesu saat aktivitas menunjukkan curah jantung menurun karena 

obstruksi di pembuluh darah paru. 

angina yang khas saat aktivitas dapat terjadi. 

Pada PPOK berat sering terjadi orthopneu yang berhubungan dengan 

hiperinflasi paru karena venous return jantung kanan menurun. 

Gejala yang kurang umum seperti batuk, hemoptisis, suara serak. 

Gagal ventrikel kanan yang berat menimbulkan anoreksia dan nyeri 

perut kuadran kanan atas. 

 

3.  Pemeriksaan Fisik 

Nyeri dada, sesak napas saat aktivitas, sianosis perifer.  

Mengi (wheezing), ronki dan hipertensi ringan,  

Peningkatan intensitas bunyi jantung kedua, dapat terdengar di right 

ventricular lift  di regio parasternalis kiri.  

Murmur diastolik pelan, blowing  dan decrescendo. 

Murmur pansistolik keras 

Murmur ejeksi sistolik  

Tanda-tanda gagal jantung kanan seperti distensi vena jugularis, 

hepatomegali dan edema perifer.    

Asites, hepatomegali jarang ditemukan. 

 

4.  Kriteria diagnosa  

Tiga kelompok utama penyakit paru yang dapat menimbulkan kor 

pulmonale, yaitu: 

  Penyakit paru dengan limitasi aliran udara: PPOK dan penyakit 

obstruksi bronkial kronik lainnya. 

  Penyakit paru dengan restriksi volume paru karena faktor ekstrinsik 

atau kelainan parenkim paru, misalnya kifoskoliosis, 

pneumokoniosis, fibrosis paru interstisial idiopatik, penyakit 

neuromuskuler dan penyakit jaringan ikat. 

  Gangguan pada rangsang napas yang tidak adekuat sehingga terjadi 

hipoksia, misalnya hipoventilasi alveolar sentral, obesity-

hypoventilation syndrome , sleep apnea syndrome. 

  diagnosa  kor pulmonale berdasar  pemeriksaan fisik dan 

penunjang. 

  diagnosa  kor pulmonale harus didasarkan pada temuan adanya 

patologi penyakit paru yang mendasari 

 

                                                                                                  

                                                                                                                        

5.  diagnosa  Kerja Kor Pulmonale Kronik  

6.  diagnosa  Banding 

Atrial myxoma

  Blood disorders that are associated with increased blood viscosity  

  Congestive (biventric ular) heart failure  

Constrictive pericarditis  

  High-output heart failure  

  Infiltrative cardiomyopathies  

  Primary pulmonic stenosis  

  Right heart failure due to right ventricular infarction  

  Right-sided heart failure due to congenital heart disease  

  Ventricular se ptal def ect

7.  Pemeriksaan Penunjang 

Pemeriksaan darah 

Hipoksemia dan hiperkapnia pada pasien PPOK yaitu PaO2 <60 mmHg 

dan Pa CO2 >40 mmHg.  

Kadar hematokrit meningkat.  

 

Radiologi 

  Arteri pulmoner utama tampak mengalami dilatasi/pelebaran 16 

mm-18 mm 

  pembesaran arteri pulmoner desenden kanan 

  Ukuran jantung bisa normal atau membesar.  

  Pembesaran ventrikel kanan sulit terlihat  

  Pada foto lateral rongga retrosternal tampak terisi oleh ventrikel 

kanan yang membesar. 

 

Elektrokardiogram (EKG) 

Beberapa gambaran EKG yang berhubungan dengan kor pulmonale 

yaitu : 

  Deviasi aksis kompleks QRS ke kanan 

  Gelombang P tinggi di sadapan II, menandakan pembesaran atrium 

dan perubahan posisi atrium 

  Aksis gelombang P +90 derajat atau lebih menggambarkan 

overload  atrium kanan dan hiperinflasi paru 

  Pola gelombang S1-3 walaupun tidak spesifik namun menandakan 

perubahan arah vector  ventrikel kanan yang lebih ke kanan dan 

superior 

  Pola gelombang S1Q3 lebih sering dijumpai pada kor pulmonale 

akut namun kadang tampak juga pada kor pulmonale kronik 

  Right bundle branch block  (RBBB) berasosiasi kuat dengan kor 

pulmonale namun dapat pula terjadi karena proses penuaan individu 

normal 

  Hipertrofi ventrikel kanan, ditandai oleh gelombang R dominan di 

V1-2 dan rS di V5-6 (tipe A), pola Rs di V1 dengan amplitude 

gelombang R yang tidak turun dari V1 ke V6 (tipe B), serta 

gelombang R kecil dan gelombang S dalam yang muncul persisten 

di sadapan prekordial (tipe C) 

  Kompleks QRS low-voltage  umum dijumpai pada kor pulmonale 

karena PPOK 

  Depresi segmen ST di sadapan II, III, aVF menggambarkan iskemia 

segmen inferior ventrikel kiri. 

           

             

 

Tes fungsi paru 

Tes fungsi paru harus dilakukan pada pasien dengan penyakit paru 

yang mendasari dan pasien dengan fungsi jantung normal untuk 

menyingkirkan penyakit lain.  

 

Ekokardiografi 

Ekokardiografi untuk menilai hipertrofi ventrikel kanan dan 

pergerakan septum kearah ventrikel kiri. Ekokardiografi M-Mode 

memberi  gambaran pergerakan katup pulmoner abnormal pada 

hipertensi pulmoner. 

 

Ventrikulografi radionuklir dan skintigrafi miokardium 

Ventrikulografi memakai sel darah merah atau albumin serum 

yang telah dilabel dengan Technesium-99m  untuk mengevaluasi bentuk 

dan volume ventrikel kanan serta arteri pulmoner.  

Skintigrafi memakai bahan radioaktif seperti Thalium atau 

Technetium,  untuk melihat gambaran miokard pasien dan 

memperkirakan overload ventrikel kanan. 

 

Magnetic resonance imaging  (MRI) 

Sampai saat ini MRI merupakan modalitas terbaik untuk menilai 

dimensi ventrikel kanan (gold standard). Teknik MRI tidak invasif dan 

tidak memberi  beban radioaktif pada pasien.  

MRI menilai indeks hipertrofi ventrikel kanan melalui ketebalan 

dinding ventrikel kanan dengan ketebalan dinding posterior ventrikel 

kiri. 

 

8.  PENGOBATAN 

Tujuan PENGOBATAN kor pulmonale yaitu  untuk mengurangi gejala, 

memperbaiki kapasitas fungsional, menghambat perjalanan penyakit, 

mengurangi derajat hipertensi pulmoner dan perbaikan fungsi ventrikel 

kanan. Terapi spesifik terhadap kelainan di paru harus dilakukan.  

Jika terjadi gagal jantung kanan maka PENGOBATAN meliputi pengobatan 

gagal jantung secara umum. 

 

Terapi oksigen:  

Pemberian  oksigen minimal 15 jam per hari dapat menurunkan 

mortalitas dan  menghambat kenaikan tekanan arteri pulmoner. 

 

Terapi medikamentosa: 

Diuretik dapat menurunkan volume darah sehingga beban kerja 

ventrikel kanan berkurang. Pengurangan volume cairan tubuh 

berlebihan akan menurunkan curah jantung. pemakaian  diuretik 

berlebihan juga dapat menimbulkan alkalosis metabolik sehingga 

terapi diuretik pada kor pulmonale harus dipantau dengan hati-hati. 

 

Vasodilator dipakai untuk menurunkan tekanan arteri pulmoner, 

diantaranya yaitu  penghambat kanal kalsium, nitrat, hidralazine, ACE 

inhibitor sampai pada golongan obat yang lebih baru seperti bosentan 

atau sildenafil. Vasodilator lebih efektif pada hipertensi pulmoner 

primer dibandingkan sekunder. Peningkatan tekanan arteri pulmoner 

yang minimal akibat PPOK tidak banyak mendapat manfaat dari terapi 

ini sehingga pemakaian  terapi vasodilator pada kelompok pasien ini 

masih diperdebatkan. 

                                                                                                     

                                                                                                                        

Digitalis untuk terapi kor pulmonale masih diperdebatkan.  

Efek digitalis ditemukan lebih baik pada pasien gagal jantung kiri. 

Digitalis tidak dipakai pada fase akut gangguan pernapasan saat 

pasien dalam kondisi hipoksemia atau asidosis karena akan 

meningkatkan risiko terjadinya aritmia. 

 

Teofilin telah dilaporkan dapat menurunkan resistansi vaskular paru 

dan memperbaiki fungsi pompa ventrikel kanan dan kiri, sehingga 

pemakaian  teofilin berguna untuk menurunkan afterload  dan 

meningkatkan kontraktilitas otot jantung.  

Teofilin diindikasikan pada pasien kor pulmonale kronik dengan 

PPOK. 

 

Anti koagulan.  

Pemberian warfarin diindikasikan untuk pasien dengan risiko tinggi 

terjadinya tromboemboli, terutama pada pasien dengan hipertensi 

pulmoner primer dan yang disebabkan oleh tromboemboli kronik.  

 

Almitrine merupakan stimulan pernapasan  yang dapat menimbulkan 

efek perbaikan pertukaran gas, dapat memperbaiki  cardiac index, dan 

fungsi sistolik ventrikel. Mekanisme kerjanya yaitu  mengatur pola 

napas dan perbaikan responss kemoreseptor perifer terhadap hipoksia. 

Namun almitrine dapat meningkatkan respons vasokonstriksi pulmonar 

sehingga dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan pada pasien 

kor pulmonale dengan hipoksia kronik 

 

Amrinone, suatu obat inotropik, dapat menurunkan rerata tekanan 

arteri pulmoner dan juga mampu menurunkan tekanan baji kapiler 

pulmoner tanpa perubahan bermakna pada curah jantung, tekanan 

arteri sistemik serta nilai gas darah pada pasien PPOK dengan kor 

pulmonale. 

 

Flebotomi 

Flebotomi dapat menurunkan tekanan arteri pulmoner pada pasien kor 

pulmonale dengan kadar hematokrit yang tinggi. Hematokrit yang 

diturunkan sampai senilai 50% akan memperbaiki hemodinamik pasien 

baik saat istirahat maupun aktivitas serta memperbaiki proses 

pertukaran gas di paru (penurunan resistansi vaskular paru dan 

peningkatan pO2) pada pasien PPOK stabil dan hipertensi pulmoner.  

Flebotomi dilakukan bila kadar hematokrit di atas 55-60% dengan 

pengeluaran volume darah yang kecil (200-300 ml) dan dilakukan 

dalam pengawasan. 

 

Terapi bedah 

Ada beberapa pilihan terapi bedah untuk perbaikan penyakit dasar 

yang memicu  timbulnya kor pulmonale. U vulopalato-

pharyngeoplasty merupakan salah satu pilihan terapi pada pasien 

dengan sleep apnea. Transplantasi paru tunggal atau ganda serta 

transplantasi jantung paru dapat merupakan pilihan pada pasien kor 

pulmonale dan penyakit paru berat.  

Penyakit paru yang paling sering memerlukan  terapi dengan 

transplantasi yaitu  hipertensi pulmoner primer, emfisema, fibrosis 

paru idiopatik dan fibrosis kistik. 

 

       

             

 

9.  Komplikasi 

Sesak napas yang mengancam jiwa 

Retensi cairan yang berat dalam tubuh 

Syok 

Kematian 

10. Penyakit Penyerta PPOK 

11. Prognosis 

Prognosis kor pulmonale yaitu  sangat bervariasi tergantung pada 

kelainan patologi yang mendasari.  

12. nasihat  

Modifikasi gaya hidup meliputi berhenti merokok, restriksi cairan dan 

konsumsi natrium, pencapaian berat badan ideal, olah raga sesuai 

kemampuan dan latihan pernapasan.  

Pasien dengan hipertensi pulmoner berat dianjurkan untuk menghindari 

aktivitas berlebihan, hamil serta berada di ketinggian lebih dari 4000 

kaki (sekitar 1220 meter). 

13. Indikasi Pulang 

Pasien dengan kor pulmonale perlu perhatian khusus pada pengaturan 

rawat jalan.  

Sangat tepat untuk secara teratur menilai kebutuhan oksigen pasien dan 

fungsi paru.  

Mempertimbangkan program rehabilitasi paru secara rutin, karena 

ada  banyak sekali manfaat dari modalitas terapi ini. 


 

                                                                            

                                                                                                                        

 

7.  Pemeriksaan  

     Penunjang 

  Pemeriksaan radiologi:  

‐ Foto toraks AP/PA dan/atau 

‐ CT scan toraks (HRCT toraks)  

‐ Lung perfusion scan  atas indikasi 

  Pemeriksaan faal paru (di bawah) 

‐ Spirometri rutin 

‐ Pemeriksaan kapasitas difusi 

  Pemeriksaan pulseoksimetri 

  Pemeriksaan laboratorium:  

‐ Darah lengkap 

‐ Faal hati SGOT, SGPT, Bilirubin, GGT 

‐ Faal ginjal: ureum, kreatinin 

‐ Gula darah, HbA1c 

‐ Analisis gas darah dan elektrolit bila diperlukan 

‐ Pemeriksaan D-dimer, PT, APTT, Fibrinogen 

‐ Pemeriksaan ANA penyaring, profil ANA,  

‐ ds-DNA, faktor rheumatoid 

‐ Pemeriksaan ANCA, C3,C4, CRP 

  Pemeriksaan faal paru:  

  Uji jalan 6 menit 

  Spirometri 

  Kapasitas difusi (DLCO) bila tersedia 

  Cardiopulmonary Exercise Test  (CPET) bila diperllukan dan tersedia 

  Ergospirometri bila diperlukan dan sarana tersedia 

  Pemeriksaan polisomnografi bila diperlukan dan sarana tersedia 

  Pemeriksaan Bronkoskopi: kurasan bronkus (bronchoalveolar lavage ) 

  Biopsi paru melalui bronkoskopi (transbronchial lung biopsy, cryobiopsy)  

  Biopsi paru terbuka (open lung biopsy), VATS 

  Pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) atau ekokardiografi  

  Penilaian kualitas hidup (kuesioner) 

 

8.  PENGOBATAN 

  Diagnostik 

Kriteria diagnosa  FPC meliputi:  

‐ Riwayat pneumonia COVID-19 

‐ Eksklusi penyakit paru interstisial lain 

‐ Gambaran HRCT: pneumonia interstisial dan atau 

‐ Gangguan faal paru berupa difusi atau restriksi 

 

  Nonfarmakologis  

‐ Terapi oksigen  

‐ Rehabilitasi paru  

‐ Terapi paliatif  

‐ Nutrisi sesuai angka kecukupan gizi dan komorbid 

‐ Rawat inap, bila ada indikasi 

 

  Farmakologis  

‐ Steroid: pemberian steroid dapat diberikan pada kondisi eksaserbasi 

akut. 

‐ Makrolid: pemberian makrolid sebagai antiinflamasi dapat diberikan 

        

             

pada kondisi tertentu, seperti: azitromisin 250-500mg, klaritromisin 

500mg, eritromisin 2x250mg. 

‐ Terapi simtomatik: antitusif (non-narkotik, atau narkotik (kodein dan 

lainnya)) 

‐ Pemberian antifibrotik berupa pirfenidone atau nintedanib dapat 

dipertimbangkan.  

‐ Mukolitik bila diperlukan 

‐ Antioksidan (seperti, n-asetilsistein) bila diperlukan. 

‐ Antibiotik bila ada infeksi bakterial 

‐ Mikronutrien 

‐ Vaksinasi 

      

9.  Komplikasi 

  Pneumonia     

  Gagal napas        

  Acute Respiratory Distress Syndrome 

  Pneumotoraks  

  Batuk darah 

  Tromboemboli paru 

  Gangguan koagulopati 

  Hipertensi pulmonal  

  Cor pulmonale kronik 

  Gangguan tidur 

  Gangguan psikologis  

 

10. Penyakit  

      Penyerta  

      (komorbid) 

  Kanker paru 

  Diabetes mellitus (tipe 1 dan 2) 

  Hepatitis  

  Penyakit terkait geriatri 

  Penyakit terkait autoimun 

  Penyakit ginjal 

  Penyakit hati  

  Penyakit Jantung  

  Hipertensi 

  Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) 

  Asma 

  Tuberkulosis (TB)