Kamis, 15 Juni 2023
rabies
Juni 15, 2023
rabies
Rabies merupakan salah satu penyakit
zoonosa yang masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia. Rabies telah menyebar
ke wilayah-wilayah yang semula merupakan
wilayah bebas rabies seperti Pulau Bali (2008),
Pulau Nias-Sumatera Utara (2010), Pulau Larat-
Maluku (2010) dan Kalimantan Barat (2014).
Mengingat dampak rabies terhadap
kesehatan dan kondisi psikologis masyarakat
cukup besar serta memiliki dampak terhadap
perekonomian khususnya bagi daerah-daerah
pariwisata di negara kita yang tertular rabies, maka
upaya pengendalian penyakit perlu dilaksanakan
seintensif mungkin untuk mewujudkan negara kita
Bebas Rabies.
Program bebas rabies merupakan
kesepakatan global, regional dan nasional.
Upaya negara kita bebas rabies dilaksanakan oleh
Kementerian Pertanian (Ditjen Peternakan dan
Kesehatan Hewan), Kementerian Kesehatan
(Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit)
dan Kementerian Dalam Negeri (Ditjen Otonomi
Daerah).
Berdasarkan data 5 tahun (2011 – 2015)
terlihat bahwa rata-rata pertahun kasus gigitan
hewan penular rabies (GHPR) sebanyak 78.413,
dengan 131 kematian. Kasus kematian terjadi
karena keterlambatan ke sarana pelayanan
kesehatan untuk mendapatkan pelayanan
penatalaksanaan kasus GHPR.
Hal tersebut menunjukkan bahwa
upaya penanganan kasus gigitan hewan
sangat penting untuk pencegahan rabies
pada manusia. Penyusunan buku Petunjuk
Teknis Penatalaksanaan Kasus Gigitan Hewan
Penular Rabies merupakan salah satu upaya
dari Kementerian Kesehatan untuk membantu
petugas kesehatan dalam penanganan kasus
gigitan hewan penular rabies serta upaya
pengendaliannya di lapangan.
Rabies disebut juga penyakit anjing gila
adalah suatu penyakit infeksi akut pada susunan
saraf pusat yang disebabkan oleh virus rabies.
Penyakit ini bersifat zoonotik yaitu penyakit
dapat ditularkan dari hewan ke manusia melalui
gigitan hewan penular rabies.
Penyakit ini telah dikenal sejak berabad-
abad yang lalu dan merupakan penyakit yang
menakutkan bagi manusia karena penyakit
ini selalu diakhiri dengan kematian. Penyakit
ini menyebabkan penderita tersiksa oleh rasa
haus namun sekaligus merasa takut terhadap
air (hydrophobia). Rabies bersifat fatal baik
pada hewan maupun manusia, hampir seluruh
pasien yang menunjukkan gejala–gejala klinis
rabies (encephalomyelitis) akan diakhiri dengan
kematian.
Sampai saat ini belum ada pengobatan
yang efektif untuk menyembuhkan rabies namun
penyakit ini dapat dicegah melalui penanganan
kasus gigitan hewan penular rabies (GHPR) sedini
mungkin.
Rabies tersebar hampir di semua benua
kecuali benua Antartika, lebih dari 150 negara
telah terjangkit penyakit ini. Setiap tahun lebih dari
55.000 orang meninggal akibat rabies dan lebih
dari 15 juta orang di seluruh dunia mendapatkan
pengobatan profilaksis vaksin anti rabies untuk
mencegah berkembangnya penyakit ini. Sejumlah
40% dari seluruh orang-orang yang digigit hewan
tersangka rabies merupakan anak dibawah usia
15 tahun.
Kasus rabies di negara kita pertama kali
dilaporkan oleh Esser tahun 1884 pada seekor
kerbau, kemudian oleh Pening tahun 1889 pada
seekor anjing dan oleh Eileris de Zhaan tahun 1894
pada manusia. Semua kasus terjadi di Provinsi
Jawa Barat dan setelah itu rabies terus menyebar
ke daerah negara kita lainnya.
Hingga saat ini 25 provinsi tertular rabies
dan hanya 9 (Sembilan) provinsi di negara kita yang
masih tetap bebas rabies yaitu Nusa Tenggara
Barat, Papua, Papua Barat, Bangka Belitung,
Kepulauan Riau, DKI Jakarta, DIY, Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Provinsi Kalimantan Barat sebenarnya
telah berhasil mencapai bebas Rabies berdasarkan
Keputusan Menteri Pertanian No. 885/Kpts/
PD.620/8/2014 tentang Pembebasan Rabies
Provinsi Kalimantan Barat tanggal 14 Agustus
2014, namun pada tanggal 19 Oktober 2014
dilaporkan terjadi kasus kematian akibat rabies
pada manusia di Kecamatan Jelai Hulu Kabupaten
Ketapang. Berdasarkan data Kemenkes, dalam
5 (lima) tahun terakhir (2011 – 2015) jumlah
rata-rata kasus gigitan hewan penular rabies per
tahun adalah 78.413 kasus dan rata-rata sebanyak
63.534 kasus mendapatkan Vaksin Anti Rabies
(VAR).
Agen penyebab rabies adalah virus dari
genus lyssa virus dan termasuk ke dalam family
Rhabdoviridae. Virus ini bersifat neurotropic,
berbentuk menyerupai peluru dengan panjang
130 – 300 nm dan diameter 70 nm. Virus ini terdiri
dari inti RNA (Ribo Nucleic Acid) rantai tunggal
diselubungi lipoprotein. Pada selubung luar
terdapat tonjolan yang terdiri dari glikoprotein G
yang berperan penting dalam timbulnya imunitas
oleh induksi vaksin dan penting dalam identifikasi
serologi dari virus rabies.
Virus rabies dapat bertahan pada pemanasan
dalam beberapa waktu lama. Pada pemanasan
suhu 560C, virus dapat bertahan selama 30 menit
dan pada pemanasan kering mencapai suhu
1000C masih dapat bertahan selama 2-3 menit.
Di dalam air liur dengan suhu udara panas dapat
bertahan selama 24 jam. Dalam keadaan kering
beku dengan penyimpanan pada suhu 40C virus
dapat bertahan selama bertahun-tahun, hal inilah
yang menjadi dasar kenapa vaksin anti rabies
harus disimpan pada suhu 20 – 80C. Pada dasarnya
semakin rendah suhunya semakin lama virus
dapat bertahan.
Virus rabies mudah mati oleh sinar matahari
dan sinar ultraviolet, pengaruh keadaan asam
dan basa, zat pelarut lemak, misalnya ether
dan kloroform, Na deoksikolat, dan air sabun
Oleh karena itu sangat penting
melakukan pencucian luka dengan menggunakan
sabun sesegera mungkin setelah gigitan untuk
membunuh virus rabies yang berada di sekitar
luka gigitan.
CARA PENULARAN DAN MASA INKUBASI
Cara penularan rabies melalui gigitan dan
non gigitan (goresan cakaran atau jilatan pada
kulit terbuka/mukosa) oleh hewan yang terinfeksi
virus rabies. Virus rabies akan masuk ke dalam
tubuh melalui kulit yang terbuka atau mukosa
namun tidak dapat masuk melalui kulit yang utuh.
Di dunia sebanyak 99% kematian akibat
rabies disebabkan oleh gigitan anjing. Di sebagian
besar negara berkembang, anjing merupakan
reservoir utama bagi rabies sedangkan hewan liar
yang menjadi reservoir utama rabies adalah rubah,
musang, dan anjing liar. Di Indonesia, hewan yang
dapat menjadi sumber penularan rabies pada
manusia adalah anjing, kucing dan kera namun
yang menjadi sumber penularan utama adalah
anjing, sekitar 98% dari seluruh penderita rabies
tertular melalui gigitan anjing.
Masa inkubasi penyakit rabies sangat
bervariasi yaitu antara 2 minggu sampai 2 tahun,
tetapi pada umumnya 3 – 8 minggu. Menurut
WHO (2007) disebutkan bahwa masa inkubasinya
rata-rata 30 – 90 hari.
Perbedaan masa inkubasi ini dipengaruhi
oleh beberapa faktor yaitu:
a) Jenis/strain virus rabies.
b) Jumlah virus yang masuk.
c) Kedalaman luka gigitan, semakin dalam luka
gigitan kemungkinan virus rabies mencapai
sistem saraf semakin besar.
d) Lokasi luka gigitan, semakin dekat jarak luka
gigitan ke otak, maka gejala klinis akan lebih
cepat muncul. Oleh karena itu luka gigitan di
daerah bahu ke atas merupakan luka risiko
tinggi.
e) Banyaknya persarafan di wilayah luka.
f) Imunitas dari penderita.
Gejala klinis rabies akan timbul setelah virus
mencapai susunan saraf pusat dan menginfeksi
seluruh neuron terutama di sel-sel limbik,
hipotalamus dan batang otak.
Virus rabies bersifat neurotrofik, yang berarti
predileksinya pada sistem saraf. Virus ini berjalan
melalui sistem saraf, sehingga tidak terdeteksi
melalui pemeriksaan darah. Sampai saat ini
belum ada teknologi yang bisa mendiagnosis dini
sebelum muncul gejala klinis rabies.
Setelah virus rabies masuk melalui luka
gigitan/cakaran, virus akan menetap selama 2
minggu di sekitar luka gigitan dan melakukan
replikasi di jaringan otot sekitar luka gigitan.
Kemudian virus akan berjalan menuju susunan
saraf pusat melalui saraf perifer tanpa ada
gejala klinis. Setelah mencapai otak, virus akan
melakukan replikasi secara cepat dan menyebar
luas ke seluruh sel-sel saraf otak/neuron terutama
sel-sel sistem limbik, hipotalamus dan batang
otak.
Setelah memperbanyak diri dalam neuron-
neuron otak, virus berjalan ke arah perifer melalui
serabut saraf eferen baik sistem saraf volunter
maupun otonom. Dengan demikian virus ini
menyerang hampir tiap organ dan jaringan di
dalam tubuh, dan virus akan berkembang biak
dalam jaringan-jaringan seperti kelenjar ludah,
ginjal dan sebagainya.
A. Tahap Prodromal
Pada tahap awal gejala yang timbul adalah
demam, lemas, lesu, tidak nafsu makan/
anorexia, insomnia, sakit kepala hebat,
sakit tenggorokan dan sering ditemukan
nyeri.
B. Tahap Sensoris
Pada tahap ini sering ditemukan rasa
kesemutan atau rasa panas (parestesi) di
lokasi gigitan, cemas dan reaksi berlebih
terhadap rangsang sensorik
C. Eksitasi
Pada tahap ini penderita mengalami
berbagai macam gangguan neurologik,
penderita tampak bingung, gelisah,
mengalami halusinasi, tampak ketakutan
disertai perubahan perilaku menjadi
agresif, serta adanya bermacam-macam
fobia yaitu hidrofobia, aerofobia,
fotofobia. Hidrofobia merupakan gejala
khas penyakit rabies karena tidak
ditemukan pada penderita penyakit
enchepalitis lainnya. Gejala lainnya yaitu
spasme otot, hiperlakrimasi, hipersalivasi,
hiperhidrosis dan dilatasi pupil. Setelah
beberapa hari pasien meninggal karena
henti jantung dan pernafasan. Dari
seluruh penderita rabies sebanyak 80%
akan mengalami tahap eksitasi dan
lamanya sakit untuk tahap ini adalah 7
hari dengan rata-rata 5 hari.
D. Tahap Paralisis
Bentuk lainnya adalah rabies paralitik,
bentuk ini mencapai 30 % dari seluruh
kasus rabies dan masa sakit lebih lama
dibandingkan dengan bentuk furious.
Bentuk ini ditandai dengan paralisis otot
secara bertahap dimulai dari bagian
bekas luka gigitan/cakaran. Penurunan
kesadaran berkembang perlahan dan
akhirnya mati karena paralitik otot
pernafasan dan jantung. Pada pasien
dengan gejala paralitik ini sering terjadi
salah diagnosa dan tidak terlaporkan.
Lamanya sakit untuk rabies tipe
paralitik adalah 13 hari, lebih lama bila
dibandingkan dengan tipe furious.
6.2. Pada Hewan (Anjing)
Gejala klinis pada anjing sesuai dengan
manifestasinya dibagi dalam 3 tahap yaitu
tahap prodromal, tahap eksitasi, dan tahap
paralitik.
A. Tahap Prodromal
Tahap ini merupakan tahap awal dari
gejala klinis yang berlangsung selama
2 – 3 hari. Terdapat perubahan perilaku
hewan yaitu hewan tidak mengenal
tuannya, sering menghindar dan tidak
mengacuhkan perintah tuannya. Mudah
terkejut dan cepat berontak bila ada
provokasi. Terjadi kenaikan suhu tubuh,
dilatasi pupil dan refleks kornea menurun
terhadap rangsangan.
B. Tahap Eksitasi
Tahap eksitasi berlangsung selama 3 – 7
hari, mulai mengalami fotofobi sehingga
hewan akan bersembunyi di kolong
tempat tidur, dibawah meja atau kursi.
Anjing terlihat gelisah, adanya gerakan
halusinasi dimana anjing bersikap seolah–
olah akan mencaplok serangga yang
terbang di udara. Sering mengunyah
benda di sekitarnya seperti lidi, kawat,
kerikil, jeruji kandang, dan benda lainnya
yang tidak sewajarnya atau yang dikenal
dengan istilah pika. Bila dikandangkan
anjing akan berjalan mondar-mandir
sambil menggeram. Perilaku anjing akan
berkembang semakin sensitif, beringas
dan akan menyerang semua obyek yang
bergerak. Seringkali mulutnya berdarah
akibat giginya tanggal atau akibat
mengunyah benda keras dan tajam.
Pada tahap ini mulai terjadi paralisis otot
laring dan faring yang menyebabkan
perubahan suara menyalak anjing,
suaranya akan berubah menjadi parau.
Juga terjadi kekejangan otot menelan
sehingga akan terjadi hipersalivasi,
frekuensi nafas berubah cepat, air liur
berbuih kadang disertai darah dari luka di
gusi atau mulutnya.
C. Tahap Paralisis
Tahap ini berlangsung sangat singkat
sehingga gejalanya tidak diketahui, terjadi
kelumpuhan otot pengunyah sehingga
rahang tampak menggantung. Suaranya
sering seperti tersedak akibat kelumpuhan
otot tenggorokan. Terjadi paralisis kaki
belakang sehingga saat jalan kaki belakang
diseret.
Dikenal terdapat 2 tipe rabies pada hewan
yaitu:
A. Tipe Ganas
Tipe ganas apabila didominasi tahap
eksitasi dimana anjing akan terlihat
beringas serta akan menyerang semua
benda yang bergerak.
B. Tipe Dumb (Tenang)
Tipe tenang apabila hewan yang terinfeksi
rabies setelah gejala prodormal langsung
masuk ke tahap paralisis.
Pencegahan penularan rabies pada manusia
adalah dengan memberikan tatalaksana luka
gigitan hewan penular rabies, sebagai berikut:
. Pencucian luka
Pencucian luka dengan menggunakan sabun
merupakan hal yang sangat penting dan harus
segera dilakukan setelah terjadi pajanan
(jilatan, cakaran atau gigitan) terhadap HPR
untuk membunuh virus rabies yang berada di
sekitar luka gigitan. Seperti telah dipaparkan
dalam sifat virus rabies dimana virus dapat
diinaktivasi dengan sabun karena selubung
luar yang terdiri dari lipid akan larut oleh
sabun.
Pencucian luka dilakukan sesegera mungkin
dengan sabun dibawah air mengalir selama
kurang lebih 15 menit. Pencucian luka
tidak menggunakan peralatan karena
dikhawatirkan dapat menimbulkan luka baru
dimana virus akan semakin masuk ke dalam.
Pencucian luka dapat dilakukan oleh
penderita atau keluarga penderita kemudian
diberikan antiseptic. Setelah itu penderita
luka gigitan HPR segera dibawa ke puskesmas
atau rumah sakit yang menjadi Rabies Center
untuk mendapatkan tatalaksana selanjutnya.
. Pemberian Antiseptik
Setelah dilakukan pencucian luka sebaiknya
diberikan antiseptik untuk membunuh virus
rabies yang masih tersisa di sekitar luka
gigitan.
Antiseptik yang dapat diberikan diantaranya
povidon iodine, alkohol 70%, dan zat
antiseptik lainnya.
. Pemberian Vaksin Anti Rabies (VAR) Dan
Serum Anti Rabies (SAR)
Tujuan pemberian vaksin anti rabies adalah
untuk membangkitkan sistem imunitas
dalam tubuh terhadap virus rabies dan
diharapkan antibodi yang terbentuk akan
menetralisasi virus rabies. Namun bila virus
rabies telah mencapai susunan saraf pusat
pemberian vaksin anti rabies ini tidak akan
memberikan manfaat lagi.
Pemberian vaksin anti rabies dan serum anti
rabies perlu dipertimbangkan kondisi hewan
pada saat pajanan terjadi, hasil observasi
hewan, hasil pemeriksaan laboratorium
spesimen otak hewan, serta kondisi luka
yang ditimbulkan, seperti terlihat dalam
flowchart berikut:
Keterangan Flowchart :
1. Luka risiko tinggi
yang dimaksud dengan luka risiko tinggi
adalah jilatan/luka pada mukosa, luka di atas
daerah bahu (leher, muka dan kepala), luka
pada jari tangan dan jari kaki, luka di area
genitalia, luka yang lebar/dalam, atau luka
multiple (multiple wound).
2. Luka risiko rendah
Yang dimaksud luka risiko rendah adalah
jilatan pada kulit terbuka atau cakaran/
gigitan yang menimbulkan luka lecet
(ekskoriasi) di area badan, tangan dan kaki.
3. Observasi hewan
Kandangkan atau ikat hewan yang melakukan
gigitan dan lakukan pengamatan selama 14
hari.
4. Hentikan pemberian Vaksin Anti Rabies bila :
• hasil observasi hewan menunjukkan
hewan sehat,
• hasil pemeriksaan laboratorium terhadap
spesimen otak hewan menunjukkan hasil
negatif.
8.1. Post Exposure Prophylaxis (PEP)
Untuk vaksin :
A. Purified Vero Rabies Vaccine/PVRV
(Verorab®)
Kemasan :
Vaksin terdiri dari vaksin kering dalam
vial dan pelarut sebanyak 0,5 ml dalam
syringe.
Cara Pemberian (Metode Zagreb) :
Disuntikkan secara intramuscular (IM)
di daerah lengan atas (deltoid) atau di
wilayah paha anterolateral (anak-anak
umur di bawah 1 tahun).
Tabel Dosis, Cara dan Waktu Pemberian
Dosis Cara
Pemberian
Waktu Pemberian
Anak Dewasa
0,5 ml 0,5 ml IM. • Hari ke 0, 2 dosis
(lengan atas kanan
dan kiri atau paha
kanan dan kiri untuk
anak < 1 tahun)
• Hari ke – 7 ( 1 dosis)
• Hari ke - 21 (1 dosis)
B. Purified Chick Embriyo Cell-culture
Vaccine/PCECV (Rabipur®)
Dosis Cara
Pemberian
Waktu Pemberian
1 ml IM. • Hari ke 0 (2 dosis)
(lengan atas kanan dan
kiri atau paha kanan dan
kiri untuk anak < 1 tahun)
• Hari ke 7 (1 dosis)
• Hari ke 21 (1 dosis)
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
pemberian VAR, diantaranya :
1. Jenis Vaksin Anti Rabies
Dalam pemberian VAR lengkap tidak
direkomendasikan memberikan VAR
dengan jenis yang berbeda atau
mengkombinasikan kedua jenis VAR yang
beredar. Harus diberikan VAR lengkap
dengan satu jenis VAR saja Purivied Vero
Rabies Vaccine (PVRV) saja atau Purified
Chick Embriyo Cell-culture Vaccine (PCECV)
saja.
2. Kontraindikasi
Mengingat pentingnya pencegahan rabies,
semua kontraindikasi adalah sekunder
bila terdapat kasus tersangka/kontaminasi
dengan virus rabies.
3. Reaksi Alergi
Hati-hati terhadap penderita yang alergi
terhadap streptomisin dan/atau neomisin
(terdapat dalam vaksin)
4. Interaksi Obat
Kortikosteroid dan obat-obatan
imunosupresif dapat menyebabkan
kegagalan vaksinasi/ imunisasi. Pada
kasus ini perlu dilakukan pemeriksaan
antibodi serologis.
5. Efek Samping
Efek samping yang terjadi seperti
kemerahan dan indurasi ringan pada
tempat bekas suntikan. Jarang terjadi
demam.
6. Penyimpanan
Vaksin Anti Rabies disimpan di lemari
pendingin dengan suhu antara 2 – 8 C.
7. Waktu Kadaluarsa
Dalam pemberian vaksin anti rabies perlu
diperhatikan waktu kadaluarsa. Perlu
diperhatikan apakah ada perubahan
bentuk dan warna dari vaksin.
8.2. Tatalaksana Kasus Gigitan Yang Memiliki
Riwayat Pemberian VAR Lengkap
Pada saat pemberian VAR perlu ditelusuri
apakah penderita luka gigitan pernah
mendapatkan vaksin anti rabies secara
lengkap sebelumnya. Bila penderita pernah
mendapatkan vaksin anti rabies dengan
PVRV/PCECV lengkap 1 kuur dalam kurun
waktu 3 bulan maka tidak perlu divaksinasi
lagi, sedangkan bila jangka waktu 3 bulan
– 12 bulan cukup mendapatkan vaksin
sebanyak 1 dosis. Sedangkan bila lebih dari
12 bulan maka dianggap sebagai kasus baru.
No. Waktu digigit Tatalaksana
1 < 3 bulan Tidak perlu vaksinasi
2 3 bulan – 12 bulan Vaksinasi 1 dosis
3 >12 bulan Vaksinasi lengkap
8.3. Pre Exposure Prophylaxis (PrEP)
Pemberian kekebalan kepada orang-orang
yang memiliki risiko tinggi terinfeksi rabies,
diantaranya adalah :
• Petugas kesehatan (dokter/perawat) yang
menangani kasus luka gigitan hewan
penular rabies/penderita rabies.
• Dokter hewan
• Teknisi yang berhubungan dengan hewan
berisiko
Dosis dan waktu pemberian
A. Purified Vero Rabies Vaccine/PVRV
(Verorab®)
Dosis Cara Pemberian Waktu Pemberian
0,5 ml IM. pada lengan atas
(musculus deltoid)
• Hari ke – 0 (1 dosis)
• Hari ke – 7 (1 dosis)
• Hari ke – 21 (1 dosis)
atau 28
B. Purified Chick Embriyo Cell-culture Vaccine/
PCECV (Rabipur®)
Dosis Cara
Pemberian
Waktu Pemberian
1 ml IM. • Hari ke 0 (1 dosis)
• Hari ke 7 (1 dosis)
• Hari ke 21 (1 dosis)
atau 28
Pemberian serum anti rabies terutama
untuk luka risiko tinggi atau luka kategori III yang
disebabkan oleh hewan yang terindikasi tinggi
rabies.
Tujuan pemberian serum anti rabies adalah
untuk memberikan kekebalan pasif dalam 7 hari
pertama dimana pada masa itu belum terbentuk
imunitas terhadap virus rabies. Terdapat dua jenis
serum anti rabies, yaitu :
9.1. Serum Homolog (Human Rabies
Immunoglobulin/ HRIG)
Kemasan : Vial 2 ml (1 ml = 150 IU)
Tabel Dosis, Cara dan Waktu Pemberian :
Dosis Cara Pemberian Waktu
Pemberian
Anak Dewasa
20 IU/
kg BB
20 IU/kg
BB
infiltrasi di sekitar
luka sebanyak
mungkin, sisanya
disuntikkan secara
intramuscular.
Bersamaan
dengan
pemberian
VAR hari ke-0
Keterangan : Pemberian serum homolog tidak memerlukan
pemeriksaan skin test terhadap penderita
sebelumnya.
9.2. Serum Heterolog
Serum heterolog yang digunkan merupakan
serum yang berasal dari serum kuda yaitu
Equine Rabies Immunoglobulin (ERIG).
Tabel Dosis, Cara dan Waktu Pemberian :
Dosis Cara Pemberian Waktu
Pemberian
Anak Dewasa
40 IU/
kg BB
40 IU/kg
BB
infiltrasi di sekitar
luka sebanyak
mungkin, sisanya
disuntikkan secara
intramuscular di
regio gluteal
Bersamaan
dengan
pemberian
VAR hari ke-0
Keterangan :
1. Harus dilakukan pemeriksaan skin test
terhadap penderita sebelum pemakaian.
2. Cara melakukan skin test :
• Pasien dalam posisi duduk
• Ukur tekanan darah, frekuensi nadi dan
frekuensi nafas.
• Lakukan pengenceran serum anti
rabies dengan NaCl 0,9% dengan
perbandingan 1:10.
• Suntikkan 0,1 ml, secara intrakutan
di wilayah lengan kiri bawah bagian
dalam.
3. Hasil skin test dibaca setelah 15 menit
penyuntikan. Hasil skin test dinyatakan
positif apabila terdapat salah satu tanda
berikut :
• menunjukkan adanya indurasi > 10
mm dengan atau tanpa erythema,
atau indurasi 5 – 10 mm dengan reaksi
kemerahan dengan diameter >20 mm.
• Adanya peningkatan atau penurunan
tekanan darah, sinkope, sesak, palpitasi,
dll.
4. Tidak boleh diberikan secara intravena
sehingga saat penyuntikkan harus
dilakukan secara hati-hati.
5. Lokasi pemberian serum anti rabies harus
kontralateral terhadap pemberian vaksin
anti rabies.
6. Penyuntikkan serum anti rabies harus
dibawah pengawasan tenaga medis/
dokter.
1. Penderita tersangka rabies segera dirujuk ke
rumah sakit
2. Sebelum dirujuk, penderita diinfus dengan
cairan Ringer Laktat atau NaCl 0,9%. Kalau
perlu berikan antikonvulsan dan sebaiknya
penderita difiksasi selama di perjalanan.
Waspadai tindak-tanduk penderita yang
tidak rasional dan kadang-kadang maniakal
disertai saat-saat responsif.
3. Di rumah sakit penderita dirawat di ruang
isolasi.
4. Tindakan medis dan pemberian obat-
obatan simptomatis dan suportif termasuk
antibiotika bila diperlukan.
5. Untuk menghindari adanya kemungkinan
penularan dari penderita, maka sewaktu
menangani penderita rabies handaknya
dokter dan paramedis memakai sarung
tangan, kacamata (goggle) dan masker
serta melakukan fiksasi penderita di tempat
tidurnya.
6. Jika petugas medis atau paramedis yang
merawat penderita rabies, belum pernah
mendapatkan vaksin anti rabies dan tidak
memakai alat pelindung diri kemudian
terkena muntahan atau saliva dari penderita
pada kulit terbuka atau mukosa mulut/
mata maka disarankan untuk mendapatkan
tatalaksana pencegahan rabies.
Penyakit ini dalam waktu 3 – 5 hari dapat
menyebabkan kematian sejak timbulnya gejala,
sehingga pemeriksaan serologis kadang-kadang
belum sempat dilakukan. Pada kasus dengan
perjalanan penyakit yang agak lama, misalnya
gejala paralisis yang dominan dan mengaburkan
diagnosis maka pemeriksaan laboratorium sangat
membantu dalam menegakkan diagnosis.
Virus rabies dapat diisolasi dari air liur,
konjungtiva, cairan serebrospinal dan urin
penderita. Walaupun demikian isolasi virus
kadang-kadang tidak berhasil didapatkan dari
jaringan otak dan bahan tersebut setelah 1 – 4
hari sakit. Hal ini berhubungan dengan adanya
neutralizing antibodies.
Pemeriksaan Fluorescent Antibodies Test
(FAT) dapat menunjukkan antigen virus di
jaringan otak, air liur, kerokan mukosa, cairan
serebrospinal, urin, kulit dan usap kornea. FAT ini
juga bisa negatif, bila antibodi telah terbentuk.
Dilakukan pemeriksaan isolasi virus.
Serum neutralizing antibodies pada kasus
yang tidak divaksinasi tidak akan terbentuk sampai hari kesepuluh pengobatan, tetapi setelah itu titer
akan meningkat dengan cepat.
Walaupun secara klinis gejalanya
patognomonik namun Negri Bodies dengan
pemeriksaan mikroskopis (Seller) dapat negatif
pada 10 – 20 kasus, terutama pada kasus-kasus
yang sempat divaksinasi dan penderita yang dapat
bertahan hidup setelah lebih dari 2 minggu.
Saat ini teknik pemeriksaan untuk rabies
yang cukup sensitif dan spesifik adalah teknik
pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction).
Definisi surveilans rabies menurut
Depkes (2008) adalah kegiatan analisis
secara sistematis penyakit rabies melalui
pengumpulan data, pengolahan dan
penyebaran informasi kepada pengambil
keputusan untuk melakukan tindakan
penanggulangan berdasarkan bukti (evidence
base).
Kegiatan surveilans rabies dilakukan secara
terpadu antara sektor kesehatan manusia
dan kesehatan hewan. Setiap kasus pajanan/
gigitan hewan yang berobat ke fasilitas
kesehatan akan dikoordinasikan dengan
petugas dinas untuk melakukan penilaian
terhadap hewannya apakah terindikasi
rabies atau tidak.
Hasilnya akan diinformasikan kembali ke
petugas kesehatan untuk menentukan
tatalaksana pasien selanjutnya. Selain itu bila
hewan terindikasi rabies maka harus segera
dilakukan pencarian kasus gigitan lainnya
untuk segera mendapatkan penanganan.
Tujuan dari penyelenggaraan kegiatan
surveilans rabies di suatu wilayah adalah:
1. mengetahui besaran masalah dan beban
penyakit rabies di suatu wilayah;
2. memonitor trend / kecenderungan
penyakit rabies di suatu wilayah, termasuk
mendeteksi secara cepat terjadinya KLB;
3. memonitor penggunaan vaksin anti rabies
mengingat tingginya biaya Post Exposure
Prophylaxis (PEP);
4. menentukan status wilayah dan identifikasi
wilayah risiko tinggi terhadap rabies;
5. sebagai dasar dalam perencanaan dan
evaluasi efektivitas program pengendalian
rabies di suatu wilayah;
6. menyediakan suatu dasar untuk penelitian
epidemiologi lebih lanjut.
Untuk tingkat Pusat (Kementerian
Kesehatan), informasi yang dihasilkan dari
kegiatan surveilans dapat menjadi dasar
evaluasi kebijakan pengendalian rabies di
tingkat nasional.
Kegiatan pelaporan untuk kegiatan surveilans
rabies dilakukan secara berjenjang dimulai
dari tingkat fasilitas kesehatan sampai ke
Pusat. Di setiap tingkat terdapat jejaring
antara instansi yang menangani kasus rabies
pada manusia dan kasus rabies pada hewan.
Format pencatatan dan pelaporan kasus
gigitan hewan penular rabies dapat dilihat
pada lampiran 1.
Masyarakat
Poskeswan Puskesmas Rumah Sakit
Disnak kab/kota Dinkes Kab/Kota
Disnak Prov Dinkes prov
Ditjen Peternakan Ditjen PP dan PL
W1
PWS KLB
Laporan bulanan,
W1, PWS KLB,
Lap PE
Laporan bulanan
Laporan
bulanan
koordinasi
Umpan balik
Rumah Sakit Provinsi/Kabupaten/Kota dan
Puskesmas (fasilitas kesehatan) yang ditetapkan
oleh Pemerintah Daerah sebagai “Rabies Center”
(Pusat Pelayanan Rabies) yang berfungsi sebagai:
1. Pusat Informasi tentang pengendalian/
pencegahan rabies.
2. Mempunyai tenaga kesehatan yang memiliki
kemampuan :
• Melakukan tatalaksana kasus GHPR sesuai
SOP.
• Memberikan KIE tentang Rabies kepada
pasien/keluarga/masyarakat.
3. Tersedia stok minimal 1 kuur VAR.
4. Memiliki fasilitas cold chain untuk
penyimpanan vaksin.
5. Lokasi strategis dan mudah dijangkau
(sebagai rujukan dari faskes2 sekitarnya);
banyak kasus gigitan yg datang ke faskes tsb;
• Letak lokasi strategis dan mudah dicapai.
• Segera melapor kepada Kepala Wilayah
(perangkat desa, kecamatan) dan
peternakan untuk penanganan pada hewan
penular rabies.