Rabu, 10 Januari 2024

banci


Manusia diciptakan dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. 
Pada realita yang berkembang dalam warga  modern saat ini, banyak 
ditemui di kalangan warga  problematika pergantian kelamin, sudah 
bukan rahasia umum banyak warga  merubah kelaminnya dengan 
berbagai alasan. Contohnya seorang laki-laki namun dalam jiwanya yaitu  
seorang wanita begitupula sebaliknya maupun laki-laki yang 
berpenampilan layaknya wanita begitupula sebaliknya. Dan ada pula 
orang yang berkelamin ganda yaitu wanita dan pria yang tidak jelas 
apakah status kelaminnya yang sebenarnya. Fenomena ini dikenal dengan 
istilah Transgender. 
Terkait hal ini ada  beberapa penelitian yang membahas tentang 
transgender. Di antaranya membahas kehidupan religious transgender 
dalam memahami identitas diri mereka, pencermatan literatur fiqh atas 
fenomena transgender berdasar pada tinjauan fisik luarnya saja, 
pelaksanaan ibadahnya dan transgender dari perspektif humanism. Dari 
penelitian-penelitian ini  ada penelitian yang membahas transgender 
dalam perspektif hukum Islam, namun belum ditemukan pembahasan 
tentang hukuman bagi pelaku transgender. Di sini penulis akan membahas 
lebih spesifik apa hukuman bagi para pelaku transgender.  
Penelitian ini merupakan model penelitian hukum Islam dengan 
pendekatan kualitatif. Sumber primer yang terkait dengan kajian dalam 
tesis ini diperoleh dari kitab-kitab dan buku-buku yang berkaitan dengan 
pembahasan mengenai hukum Islam dan transgender. Dalam penelitian 
ini, teknik pengumpulan informasi dan data dilakukan melalui studi 
kepustakaan (library research). Setelah data terkumpul, kemudian diolah 
dengan menggunakan metode deskriptif analisis. 
Berdasarkan penelitian penulis dihasilkan beberapa kesimpulan 
sebagai berikut: Transgender dalam konteks hukum Islam dibedakan 
menjadi dua. Pertama, khuntsâ yang benar-benar diciptakan dengan 
kelamin ganda atau sama sekali tidak memiliki  alat kelamin. Kedua, 
Laki-laki yang diciptakan dengan kelamin laki-laki, tetapi bergaya seperti 
dan atau menjadi perempuan maupun sebaliknya. Golongan ini disebut 
mukhannats. terkait dengan masalah khuntsâ ini tidak ada pembahasan 
tentang keharaman statusnya, atau laknat dan azab terhadap dirinya. Sebab 
ini betul-betul merupakan masalah fitrah, takdir dan kodrat yang 
ditetapkan oleh Allah swt kepada seseorang. Ini merupakan sesuatu yang 
tidak bisa dipilih oleh seseorang. Sedangkan bagi golongan mukhannats  
tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama fiqih tentang status 
keharamannya. 

Hukum Islam merupakan suatu sistem hukum yang sangat sesuai 
dengan manusia, sebab  pembentukannya senantiasa memperhatikan 
kemaslahatan manusia dalam menghadapi berbagai masalah dan tantangan 
kehidupannya. Hal ini disebabkan Allah swt mengetahui hakikat jiwa 
manusia dan kemampuannya dalam membentuk akhlak.  
Akhlak Islam menganjurkan kebaikan dan memberantas kejahatan. 
Ini berdasarkan pandangan Islam bahwa fitrah manusia cenderung berbuat 
baik, sebab manusia diciptakan dari proses alami yang suci, yang substansi 
jiwanya berasal dari substansi Yang Maha Suci, Allah swt. Akan tetapi di 
balik itu ada kehendak hawa nafsu manusia yang ingin melampiaskan seks 
di luar ketentuan hukum Islam, yang merupakan penyimpangan biologis 
yang melanggar fitrah manusia. 
Islam mengakui bahwa manusia memiliki hasrat yang sangat besar 
untuk melangsungkan hubungan seks. Oleh sebab  itu, hukum Islam 
mengatur penyaluran kebutuhan biologis ini  melalui perkawinan 
yang telah ditetapkan berdasarkan Al-Qur’an maupun hadis Nabi, yang 
bertujuan untuk menciptakan kebahagiaan dan memadukan cinta kasih 
sayang antara dua insan yang berlainan jenis (pria dan wanita). 
Perkawinan merupakan lembaga yang mempertautkan hati, 
memelihara kemaslahatan dan memadukan cinta kasih antara dua belah 
pihak yang berteman hidup. Dengan adanya lembaga perkawinan yang di 
syariatkan, Islam melarang seluruh bentuk hubungan seks di luar 
perkawinan. Sebab ia akan menimbulkan kekacauan hubungan biologis, 
yang dapat merusak garis keturunan dan menerbitkan berbagai bentuk                                                         
kejahatan yang membawa permusuhan dan pembunuhan. Hal ini dapat 
terjadi, misalnya, lantaran kecemburuan, yang disebabkan pertukaran 
pasangan, atau sebab lain. 
Perkawinan dalam Islam bukan hanya sekadar untuk pemenuhan 
kebutuhan biologis, melainkan juga sarana bagi pembinaan pribadi untuk 
mempertahankan kesucian fitrahnya. Dalam perkawinan diatur hubungan 
suami-istri, hak dan kewajiban suami/istri, kewajiban orang tua terhadap 
anak dan sebaliknya. Dengan demikian, terbentuk suatu keluarga yang 
merupakan dasar kehidupan warga . Oleh sebab  itu, syariat Islam 
memandang perkawinan memiliki  kedudukan yang tinggi dalam 
kehidupan individu, keluarga, dan warga . 
Walaupun Islam telah mengatur hubungan biologis yang halal, 
namun penyimpangan tetap saja terjadi, baik berupa perzinaan, 
homoseksual maupun lesbian. Semua ini terjadi sebab  dorongan biologis 
yang tidak terkontrol dengan baik. 
Dalam kehidupan dewasa ini banyak masalah-masalah Islam 
kontemporer yang disebabkan beberapa faktor, salah satunya yaitu  faktor 
sosial yang mana faktor ini biasanya diperbincangkan dan menjadi berita 
terhangat dalam kehidupan berwarga . 
Belakangan ini semakin banyak fenomena waria yang berkeliaran di 
jalanan untuk mengamen khususnya di dunia perkotaan, bahkan ada di 
antara mereka yang menodai atribut muslimah dengan memakai kerudung. 
Selain itu ironisnya, di media pertelevisian kita sepertinya justru ikut 
menyemarakkan dan mensosialisasikan perilaku kebancian ini  di 
berbagai program acara talkshow, parodi maupun humor. Hal itu tentunya 
akan turut andil memberikan legitimasi dan figur yang dapat ditiru 
warga  untuk mempermainkan jenis kelamin atau bahkan perubahan 
orientasi dan kelainan seksual. 
Seksualitas yaitu  sebuah proses sosial yang mengarahkan hasrat 
atau birahi manusia. Seksualitas dipengaruhi oleh interaksi faktor-faktor 
biologis, psikologi, sosial, ekonomi, politik, agama, dan spiritual. 
Seksualitas merupakan hal positif, berhubungan dengan jati diri seseorang 
dan juga kejujuran seseorang terhadap dirinya. 
Seksualitas mencakup aspek yang sangat luas, yaitu pembicaraan 
tentang jenis kelamin biologis, identitas gender (jenis kelamin sosial), orientasi seksual, dan perilaku seksual. Jenis kelamin biologi manusia 
terpola pada dua jenis: laki-laki dan perempuan. Sedang berkaitan dengan 
identitas gender dikenal tiga varian: perempuan dengan feminisnya, laki-
laki dengan maskulinitasnya dan transgender yang memiliki keduanya. 
Lalu transgender memiliki  dua varian, yaitu laki-laki keperempuanan 
(waria atau banci), dan perempuan kelaki-lakian. 
Pada hakikatnya, masalah kebingungan jenis kelamin atau yang 
lazim disebut juga sebagai gejala transgenderisme ataupun transgender 
merupakan suatu gejala ketidakpuasan seseorang sebab  merasa tidak 
adanya kecocokan antara bentuk fisik dan kelamin dengan kejiwaan 
ataupun adanya ketidakpuasan dengan alat kelamin yang dimilikinya. 
Ekspresinya bisa dalam bentuk dandanan, make up, gaya dan tingkah laku, 
bahkan sampai kepada operasi penggantian kelamin (Sex Reassignment 
Surgery). 
Transgender dapat diakibatkan faktor bawaan (hormon dan gen) dan 
faktor lingkungan. Faktor lingkungan di antaranya pendidikan yang salah 
pada masa kecil dengan membiarkan anak laki-laki berkembang dalam 
tingkah laku perempuan, pada masa pubertas dengan homoseksual yang 
kecewa dan trauma, trauma pergaulan seks dengan pacar, suami atau istri. 
Perlu dibedakan penyebab transgender kejiwaan dan bawaan. Pada kasus 
transgender sebab  keseimbangan hormon yang menyimpang (bawaan), 
menyeimbangkan kondisi hormonal guna mendekatkan kecenderungan 
biologis jenis kelamin bisa dilakukan. Mereka yang sebenarnya normal 
sebab  tidak memiliki kelainan genetikal maupun hormonal dan memiliki 
kecenderungan berpenampilan lawan jenis hanya untuk memperturutkan 
dorongan kejiwaan dan nafsu yaitu  sesuatu yang menyimpang dan tidak 
dibenarkan menurut syariat Islam. 
Pada tahun 1920, komunitas Lesbian, Gay, Biseksual, dan 
Transgender (LGBT) mulai mengggeliat dan berkembang cukup pesat di 
negara ini. Hal ini terkait dengan meluasnya pergerakan komunitas LGBT 
di daratan Eropa. 
Tanggal 1 Maret 1982 yaitu  salah satu hari bersejarah bagi kaum 
LGBT Indonesia sebab  pada tanggal ini  organisasi terbuka yang 
menaungi komunitas LGBT berdiri untuk pertama kalinya di Indonesia. Pada tahun 1985 komunitas gay di Yogyakarta mendirikan 
organisasi dengan nama Persaudaraan Gay Yogyakarta (PGY) dan 
menerbitkan buletin Jaka. Tahun 1988 PGY berubah nama menjadi  Indonesian Gay Society (IGS). 
Tanggal 1 Agustus 1987 merupakan salah satu titik waktu terpenting 
bagi komunitas gay di Indonesia, yaitu dengan berdirinya Kelompok Kerja 
Lesbian dan GAYa Nusantara (GN). GN didirikan di Pasuruan, Surabaya.  
GN menjadi barometer perkembangan komunitas LGBT di 
Indonesia. Hal ini  sebab  peran penting salah satu tokohnya. Bapak 
Dede Oetomo, yang berprofesi sebagai dosen. Dede Oetomo banyak 
melakukan pengenalan, sosialisasi, dan kampanya tentang LGBT sehingga 
sering diliput media massa. Dede Oetomo juga menjadi rujukan utama 
setiap orang yang ingin mengetahui dunia LGBT di Indonesia. 
Pada akhir tahun 1993 diadakan pertemuan pertama antarkomunitas 
LGBT di Indonesia. Pertemuan itu diselenggarakan di daerah Kaliurang, 
Yogyakarta. Acara ini  merupakan kerjasama antara GN dan 
Persatuan Waria Kota Surabaya (PERWAKOS). 
Pada tahun 2004 digelar pemilihan Miss Waria Indonesia untuk 
pertama kali. Pemenang kontes Miss Waria pada periode-periode 
selanjutnya dikirim untuk mewakili acara yang hampir sama di tingkat 
internasional. Walaupun mendapat tentangan dari beberapa pihak, sampai 
saat ini acara ini  masih berjalan. 
Tanggal 15 Januari 2006 didirikan Lembaga Swadaya warga  
(LSM) untuk membela hak asasi kaum LGBT di Indonesia dengan nama 
Arus Pelangi. Organisasi warga  ini termasuk salah satu yang sangat 
aktif membela hak-hak komunitas LGBT. 
Sekarang banyak ditemukan situs serta forum komunitas LGBT dari 
Indonesia di internet yang membawa misi dan visi masing-masing 
pemiliknya (entah itu organisasi atau perorangan). Intinya, mereka 
mewakili keberadaan komunitas LGBT di Indonesia. 
Komunitas LGBT menganggap bahwa apa yang terjadi dan apa yang 
mereka lakukan yaitu  merupakan bagian dari hak asasi manusia. Di mana 
setiap manusia memiliki kebebasan untuk hidup, menyatakan pendapat, 
memeluk agama, dan lain-lain.  
Hak asasi (fundamental rights) artinya hak yang mendasar 
(grounded). Hak asasi manusia (HAM) yaitu  hak-hak yang bersifat 
mendasar dan inheren dengan jati diri manusia secara universal.
yaitu  menelaah totalitas kehidupan; sejauh mana kehidupan kita memberi 
tempat yang wajar kepada kemanusiaan.  
Siapapun manusianya berhak memiliki hak ini . Artinya, di 
samping keabsahannya terjaga dalam eksistensi kemanusiaan manusia, 
juga ada  kewajiban yang sungguh-sungguh untuk dimengerti, 
dipahami, dan bertanggung jawab untuk memeliharanya. Adanya hak pada 
VHVHoranJ EHrarti EahZa ia mHmpunyai Vuatu ³kHiVtimHZaan´ yanJ 
dimilikinya. Juga, adanya suatu kewajiban pada seseorang berarti bahwa 
diminta daripadanya Vuatu Vikap yanJ VHVuai dHnJan ³kHiVtimHZaan´ yanJ 
ada pada orang lain.  
Saat ini HAM sering digunakan sebagai dalih untuk membenarkan 
segala perkara termasuk LGBT. Pada tahun 2011, Perserikatan Bangsa 
Bangsa mengesahkan resolusi yang mendukung hak-hak kaum gay, 
lesbian, dan transgender. Keputusan historis ini mendapat sambutan 
hangat dari Amerika Serikat dan Eropa serta sejumlah negara Amerika 
Latin. Sebaliknya, Rusia beserta sejumlah negara Afrika dan negara 
Muslim mengecam lolosnya keputusan PBB itu. 
Menurut kantor berita Associated Press, keputusan PBB atas 
dukungan hak-hak kaum homoseks dan transgender itu berlangsung dalam 
sidang Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) di Jenewa, Swiss. Resolusi itu 
disahkan melalui pemungutan suara para anggota dewan, yaitu 23 
mendukung, 19 menolak, tiga abstain, dan dua lainnya tidak menggunakan 
hak suara. 
Mereka yang mendukung yaitu  Amerika Serikat, Uni Eropa, 
Brazil, dan sejumlah negara Amerika Latin lainnya. Para penentang di 
antaranya Rusia, Arab Saudi, Nigeria, dan Pakistan. China, Burkina Faso 
dan Zambia pilih abstain. Kyrgyzstan tidak ikut voting dan Libya sudah 
diskors dari keanggotaan Dewan HAM sebab  krisis domestik. 
Dalam deklarasi itu, Dewan HAM PBB menyatakan bahwa hak-hak 
kaum homoseksual dan transgender merupakan bagian dari Hak Asasi 
Manusia. Deklarasi itu juga menyampaikan "keprihatinan yang 
mendalam" atas kesewenang -wenangan yang berlandaskan orientasi 
seksual. 
Dewan HAM juga memandatkan penyusunan laporan global 
mengenai diskriminasi atas kaum homoseksual, ini termasuk meneliti 
                                                          
peraturan dan tindakan yang diskriminatif serta kekerasan kepada kaum 
homoseksual dan transgender di mancanegara. 
Amerika Serikat menyambut baik keputusan Dewan HAM PBB itu. 
"Ini mewakili  momen historis untuk menyorot pelanggaran HAM dan 
kekerasan yang dialami kaum lesbian, gay, dan transgender di seluruh 
dunia berdasarkan karakter dan orientasi cinta mereka," ka ta Menlu 
Amerika Serikat, Hillary Clinton. 
Sebaliknya, Pakistan dan para penentang menilai keputusan Dewan 
HAM ini sudah berlebihan, apalagi sampai menyelidiki peraturan 
domestik untuk menemukan apakah ada tindakan diskriminatif atas kaum 
homoseksual dan transgender. 
Legalisasi lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) atas nama 
HAM harus diwaspadai. Gerakan ini tidak sesuai dengan jati diri bangsa 
Indonesia yang religius. Ibarat penyakit, perilaku menyimpang seksual 
LGBT ini merasuk ke semua celah yang ada di warga . Kampus 
menjadi celah sebab  banyaknya mahasiswa yang tinggal di kos-kosan 
atau di asrama, tempat perempuan berkumpul dengan sesama mereka, juga 
tempat laki-laki berkumpul dengan sesame mereka. Di tempat-tempat 
semacam ini, satu orang pelaku LGBT bisa menularkan penyakitnya pada 
orang di sekitarnya. 
Dalam Islam, perilaku homoseksual dan lesbian sudah jelas 
hukumnya haram dan hukuman bagi pelakunya pun telah disepakati oleh 
para ulama. Larangan homoseksual dan lesbian bukan hanya sebab  
merusak kemuliaan dan martabat kemanusiaan, tetapi resikonya lebih 
besar lagi, yaitu dapat menimbulkan penyakit kanker kelamin HIV/AIDS, 
spilis, dan lain-lain. 
Lalu bagaimana dengan perilaku transgender, seperti apakah hukum 
Islam memandang para pelaku transgender dan bagaimana hukuman yang 
diterapkan bagi pelaku transgender.  
Berdasarkan uraian di atas, penulis ingin membahas bagaimanakah 
Transgender Dalam Perspektif Hukum Islam. 
 
1. Identifikasi Masalah 
Manusia diciptakan dengan jenis kelamin laki-laki dan 
perempuan. Pada realita yang berkembang dalam warga  modern 
saat ini, banyak ditemui di kalangan warga  problematika 
pergantian kelamin, sudah bukan rahasia umum banyak warga  
merubah kelaminnya dengan berbagai alasan. Contohnya seorang 
laki-laki namun dalam jiwanya yaitu  seorang wanita begitupula 
sebaliknya maupun laki-laki yang berpenampilan layaknya wanita 
begitupula sebaliknya. Dan ada pula orang yang berkelamin ganda 
yaitu wanita dan pria yang tidak jelas apakah status kelaminnya yang 
sebenarnya. Fenomena ini dikenal dengan istilah Transgender. 
Transgender yaitu  istilah yang digunakan untuk 
mendeskripsikan orang yang melakukan, merasa, berpikir atau terlihat 
berbeda dari jenis kelamin yang sejak lahir mereka dapatkan. Dalam 
lingkungan warga  kelompok transgender sering dikucilkan dan 
menjadi bahan olokan bahkan bahan pembicaraan sehingga 
transgender belum dapat di terima oleh lingkungan warga . 
Keberadaan transgender sebagai salah satu jenis kelamin ketiga 
memang masih menjadi perdebatan saat ini. Hal ini memicu adanya 
berbagai pandangan dan perspektif tentang transgender. Yang 
kesemuanya itu mencerminkan betapa kompleksnya permasalahan 
ini. 
Dalam Islam dikenal istilah khuntsa atau hemafrodit, yakni 
orang yang memiliki  kelamin ganda. Mereka memang diakui dalam 
fiqh Islam. Namun ini sama sekali berbeda dengan transgender, 
sebab  kaum transgender memiliki  kelamin yang sempurna, bukan 
kelamin ganda, hanya saja mereka berperilaku menyerupai lawan 
jenisnya. 
                                                           
 Veni Dwi Puspita Dewi dan Rizky Aedeta Putra, Transgender Dalam 
Pandangan Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: Pusat Konsultasi dan Bantuan Hukum 
Universitas Islam Indonesia, 2014).  
 Zunly  Nadia, ³:aria 'alam Pandangan Islam“ dalam Musawa Jurnal Studi 
Gender dan Islam, Vol. 2, No. 1, Maret 2003, h. 87. 
 Ibnu Manzhur dalam kamus Lisan al Arab mengatakan: ”.Kuntsa yaitu  orang 
yang memiliki sekaligus apa yang dimiliki oleh laki-laki dan pHrHmpuan´. IEnu Man]hur 
MuJa mHnJatakan ³Khuntsa yaitu  orang yang tidak murni (sempurna) sebagai laki-laki 
atau perempuan. Lihat dalam Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah Kajian Hukum 
Islam Kontemporer. 
Membahas tentang transgender tentu tidak terlepas dari LGBT, 
sebab  transgender merupakan bagian dari komunitas ini . sebab  
perilaku transgender pun merupakan salah satu penyimpangan 
seksual. Gejala transgender, sebagai gejala abnormalitas seksual tidak 
dapat dipisahkan dari komponen-komponen kehidupan seseorang 
yang tampak semakin rumit dan sulit dicari garis tegasnya. Beberapa 
ahli berpandangan bahwa keadaan abnormalitas seseorang, apapun 
bentuknya tidak dapat dipisahkan dari proses perkembangan manusia, 
sejak berada dalam kandungan hingga ia berada di alam kehidupan 
nyata. 
Jika hukum Islam dengan tegas menghukumi para pelaku 
homoseksual dan lesbian dengan hukuman yang telah ditentukan, lalu 
bagaimana hukum Islam memandang para pelaku transgender yang 
merupakan salah satu bentuk perilaku penyimpangan seksual pula. 
Lalu apakah mereka harus mendapatkan hukuman serupa dengan para 
pelaku homoseksual dan lesbian atau ada hukuman tersendiri bagi 
mereka. 
Tesis ini berupaya untuk mengetahui serta menganalisis 
bagaimana hukum Islam memandang transgender dan jenis hukuman 
apa yang dikenakan bagi para pelaku transgender. 
 
2. Pembatasan Masalah  
Dalam kenyataannya, permasalahan transgender memiliki 
cakupan yang begitu luas. Agar kajian dalam penelitian ini tidak 
terlalu melebar sehingga sulit membuat fokus dan analisis lebih 
mendalam, maka penulis akan membatasi penulisan tesis ini pada 
perspektif hukum Islam terhadap pelaku transgender dan sanksi 
hukum bagi pelaku transgender menurut hukum Islam. 
 
3. Perumusan Masalah 
Dari latar belakang masalah yang disertai dengan upaya 
identifikasi masalah di atas, dalam penulisan tesis ini, penulis ingin 
membatasi diri pada masalah bagaimana transgender dalam perspektif 
Hukum Islam. 
Dalam kajian ini, yang dimaksud Hukum Islam yaitu  hukum-
hukum yang ditetapkan untuk menyusun dan mengatur hubungan 
perorangan dan hubungan warga  untuk mewujudkan 
kemaslahatan dunia. Hukum ini dapat dipahami maknanya dan selalu 
diperhatikan µurf-µurf dan kemaslahatan dan dapat berubah menurut 
                                                                                                                                           
perubahan masa, tempat, dan situasi. Oleh sebab  itu, hukum yang 
mHnJHnai adat (mu’amalah) ini, kebanyakan hukumnya bersifat 
keseluruhan, berupa kaidah-kaidah umum yang disertai dengan illat-
illat-nya. 
Dari pembatasan masalah ini dapat dirumuskan masalah inti 
penelitian ini yaitu  ³7ranVJHndHr dalam pHrVpHktiI Hukum Islam´. 
Masalah ini diturunkan dalam rumusan sebagai berikut: 
1. Bagaimana Transgender menurut Hukum Islam?  
2. Bagaimana Sanksi Hukum Bagi Pelaku Transgender Menurut 
Hukum Islam?  
 
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 
Tujuan yang mendasari penulis untuk menulis penelitian ini yaitu : 
1. Mengetahui pandangan Hukum Islam terhadap pelaku Transgender 
2. Mengetahui hukuman pelaku transgender menurut Hukum Islam 
Dari hasil penelitian ini, penulis mengharapkan beberapa manfaat 
yang dapat diperoleh, diantaranya yaitu : 
1. Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberi pemahaman kepada 
warga  bagaimana pandangan Hukum Islam tentang golongan 
transgender. 
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan ilmiah 
untuk menambahkan ilmu pengetahuan di bidang hukum dalam 
konteks Hukum Islam. 
3. Hasil penulisan ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai referensi 
untuk peneliti-peneliti yang akan datang. 
 
D. Tinjauan Penelitian Terdahulu 
Untuk membahas penelitian ini, penulis menelaah sejumlah 
penelitian yang berkaitan dengan peneltian penulis. Diantaranya sebagai 
berikut: 
Dwi Suparti, Transgender dalam Novel Taman Api Karya Yonathan 
Rahardjo, Kajian Strukturalisme Genetik, (Tesis: Jurusan Pendidikan 
Bahasa, Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Program 
Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya, 2012). Penelitian 
dengan metode deskriptif kualitatif ini memperoleh hasil sebagai berikut: 
struktur genetik novel berupa tokoh dan penokohan, setting, tema dan 
amanatnya menggambarkan genetik novel. Pengarang menciptakan tokoh, 
                                                          
setting, tema dan amanat berdasarkan pengamatan yang intens tentang 
transgender. Latar sosial pengarang mempengaruhi dan terlihat dalam 
novel ini . Operasi kelamin dan problematika transgender mejadi 
salah satu tensions novel ini. Peristiwa diskriminasi transgender 
mengilhami pengarang untuk menulis. Worldview pengarang menyebutkan 
bahwa fenomena transgender  bukan sekedar segi seksualitas belaka tetapi 
sudah berimbas dan menjadi virus di semua bidang kehidupan. Termasuk 
penguasa negara dengan kebijakan-kebijakan banci yang tidak pro rakyat. 
Dengan demikian transgender dalam novel Taman Api merupakan refleksi 
kegelisahan pengarang terhadap keadaan warga  yang serba abu-abu. 
Tidak putih. Tidak hitam. Kondisi warga  yang gamang dengan 
identitas dirinya. Penelitian ini  jelas berbeda dengan penelitian yang 
akan dibahas dalam tesis ini, sebab  penelitian dalam tesis ini melihat 
Penelitian yang menggunakan metode deskriptif interpretative serta 
pendekatan mimetik memeroleh hasil sebagai berikut: Isi atau konten 
sangat erat sekali dengan peristiwa-peristiwa yang disebut sebagai fakta 
sosial. Dengan menggunakan pendekatan mimetik maka terlihat sekali 
fakta-fakta sosial sebagai unsur integrasi sosial yang meliputi asimilasi, 
akulturasi, kerja sama dan akomodasi dalam novel Taman Api ini. 
Nur Kholis, Humanisme Hukum Islam tentang Waria Kajian 
Filsafat Hukum Islam tentang Praktik Keagamaan Waria di Pesantren 
Khusus Waria Senin-Kamis Yogyakarta. (Tesis: Jurusan Hukum Islam, 
Program Studi Syariah, IAIN Walisongo Semarang, 2013). Kesimpulan 
dari tesis ini yaitu : Pertama, pencermatan literatur fiqh atas fenomena 
waria berdasar pada tinjauan fisik luarnya saja dan berdasar pada 
pemaknaan literal-praktis (bayani); bahwa waria itu yaitu  khuntsa, 
sementara laki-laki yang menyerupai lawan jenisnya disebut mutasyabbih 
yang menyalahi kodrat dan sebab nya dilaknat/berdosa. Fiqh juga 
berpandangan tidak konsisten terhadap identitas waria; terkadang waria 
diidentifikasi sebagai perempuan, terkadang sebagai laki-laki, dan 
terkadang pula sebagai setengah laki-laki dan perempuan. Meskipun 
dHmikian tHrdapat pHnHmuan IiTh yanJ mHnyatakan EahZa Zaria ³aVli´ 
                                                           
(mukhannats min ashl al-khilqah), di mana kelainannya telah terjadi sejak 
dalam janin dan di luar kemampuannya untuk menghindar, dapat diterima 
serta tidak dilaknat oleh Islam. Kedua, santri Pesantren Waria Senin-
Kamis Yogyakarta melaksanakan ibadah berdasarkan kesadaran identitas 
JHndHrnya VHEaJai ³pHrHmpuan EHrtuEuh laki-laki´. SHEaJian di antara 
mHrHka ada yanJ kHtika EHriEadah haruV ³mHnMadi laki-laki untuk 
VHmHntara´ dan VHEaJian lainnya ada yanJ ³mHmEHranikan diri´ 
menggunakan atribut ibadah perempuan. Pemikiran keagamaan waria 
menegaskan bahwa menjadi waria merupakan takdir Allah swt yang harus 
dijalani, bukan didustai. Selagi manusia berada pada keimanan yang 
benar, menjalankan ibadah dan tidak merugikan orang lain, maka menurut 
mereka itulah kebenaran Islam yang harus dihargai. Ketiga, humanisme 
memandang hukum Islam sejatinya didasarkan pada standar dan tabiat 
kemanusiaan. Itu sebabnya, sisi kemanusiaan waria dalam beragama 
semestinya dapat diterapkan sebagai pertimbangan hukum Islam, yang di 
antaranya dapat diwujudkan melalui perumusan fiqh waria (fiqh al-
mukhannats), yakni seperangkat pemikiran hukum Islam (fiqh) khusus 
waria dalam menjalani agamanya atas dasar kekhususan kondisi 
kehidupannya. Secara garis besar hasil penelitian ini  hampir sama 
dengan penelitian yang akan dibahas dalam tesis ini. Namun penelitian 
ini  memandang waria dari perspektif humanisme sedangkan dalam 
tesis ini pembahasan akan lebih dispesifikasikan lagi dalam membahas 
hukuman bagi pelaku transgender. 
Muslim Hidayat, Waria Di Hadapan Tuhan: Eksplorasi Kehidupan 
Religius Waria Dalam Memahami Diri, (Tesis: Fakultas Psikologi, 
Universitas Gadjah Mada, 2012). Penelitian ini mendapatkan temuan 
bahwa individu dapat memahami waria sebagai takdir Tuhan ketika ada 
dukungan dari ustadz yang mengatakan bahwa waria ada disebutkan di 
dalam kitab suci Al-Qur’an. Selain itu, ada temuan waria dalam 
kesehariannya berperan sebagai perempuan. Waria, ketika menjalani 
kehidupan religiusnya waria berperan sebagai laki-laki, sehingga waria 
selalu menghadapi kebingungan peran ketika menghadapi kehidupannya 
baik urusan keduniawian maupun akhirat. Penelitian ini  hanya 
membahas kehidupan religious waria dalam memahami identitas diri 
mereka.  
Selain penelitian-penelitian di atas, penulis juga mengambil sumber 
dari jurnal yang berkaitan dengan judul penelitian ini . Diantaranya 
Jurnal Sosial dan Politik: Tindakan Sosial Pemuka Agama Islam Terhadap  
Keberadaan Transgender (Studi Deskriptif Mengenai Tindakan Sosial 
                                                          
Pemuka Agama Islam Terhadap Keberadaan Transgender di Kawasan 
Kota Surabaya, Jawa Timur) yang ditulis oleh Winda Novtatika Anggraeni 
Mahasiswi Departemen Sosiologi, Fisip, Universitas Airlangga. 
Berdasarkan hasil penelitiannya, dipaparkan bahwa pemuka Agama Islam 
sekarang ini cenderung tidak memiliki pandangan negatif terhadap 
keberadaan para transgender. Walaupun berdasarkan alasan tertentu ada 
beberapa pendapat yang tidak sepemikiran. Seperti menganggap kurang 
pantas jika berperilaku transgender apalagi jika kaitannya dengan perilaku 
dari pemuka agama itu sendiri seperti yang banyak dilihat di acara 
program televisi. Dapat disinggung mengenai kelayakan dan menjadi 
pembahasan oleh para alim ulama. Pada dasarnya dalam ajaran Agama 
Islam melarang seorang laki-laki berperilaku seperti perempuan begitupun 
VHEaliknya. 'an ada pula yanJ mHraVa aJak µMiMik’ Mika mHlihat pHrilaku 
dari transgender itu sendiri serta menganggap tidak pantas walau hanya 
untuk pekerjaan semata. 
Dari beberapa kajian terdahulu di atas, yang membedakan antara 
tulisan penulis dengan tulisan-tulisan ini  yaitu  penulis membahas 
mengenai tinjauan hukum Islam terhadap pelaku transgender dan 
hukuman apa yang seharusnya dijatuhkan bagi pelaku transgender 
menurut hukum Islam. 
 

, terkait “Transgender dalam Perspektif Hukum Islam” ada 
beberapa hal yang dapat disimpulkan, yaitu: 
1. Dalam kitab-kitab fiqih, mereka yang berjenis kelamin ambigu atau 
kelamin ganda (transgender) dikenal dengan istilah khuntsâ. 
Transgender dalam konteks hukum Islam dibedakan menjadi dua. 
Pertama, khuntsâ yang benar-benar diciptakan dengan kelamin ganda 
atau sama sekali tidak memiliki  alat kelamin. Kedua, Laki-laki 
yang diciptakan dengan kelamin laki-laki, tetapi bergaya seperti dan 
atau menjadi perempuan maupun sebaliknya. Golongan ini disebut 
mukhannats. Ini berbeda dengan fakta khuntsâ. Mengenai fakta 
khuntsâ, para fuqaha telah membagi menjadi dua: 
a. Khuntsâ Musykil: orang yang mempuyai kelamin ganda, dan dua-
duanya berfungsi, atau sebaliknya tidak memiliki  kelamin 
sama sekali. 
b. Khuntsâ Ghair Musykil, yaitu orang yang memiliki  dua 
kelamin ganda, tetapi secara definitif jelas. Jika yang berfungsi 
kelamin laki-laki, maka dia dihukumi laki-laki. Jika yang 
berfungsi kelamin perempuan, maka dia pun dihukumi 
perempuan. 
Jumhur fuqaha berpendapat, jika sebelum balig khuntsâ musykil ini 
kencing dari kelamin laki-laki, maka dia dihukumi laki-laki. Jika dia 
kencing melalui kemaluan perempuan maka disebut perempuan. 
Namun, setelah balig kondisinya tampak dengan salah satu ciri yang 
menonjol. Jika dia keluar jenggot, mengeluarkan sperma melalui 
testis, atau bisa menghamili perempuan, maka dia dihukumi laki-laki. 
Begitu juga ketika tampak ciri-ciri keberaniannya, sikap kesatria dan 
sabar menghadapi musuh, maka ini menjadi indikasi kejantanannya. 
Namun, jika dia memiliki  embing susu, dan bisa mengeluarkan air 
susu, menstruasi, atau bisa disetubuhi, maka dia jelas perempuan. 
Hamil dan melahirkan yaitu  juga bukti yang nyata bahwa dia 
perempuan. Begitu juga tampak dari kecenderungan seksualnya. 
Misalnya, jika dia menyukai laki-laki maka dia dihukumi perempuan. 
Sebaliknya, jika dia menyukai perempuan maka dia dihukumi laki-
laki. sebab  itu Imam as-Suyuthi menjelaskan, “IstilaK kKuntsk 
dalam fiTiK digunakan dengan kRnRtasi kKuntsk mus\kil” 
2. Pembahasan tentang khuntsâ menurut para fuqaha tidak ada kaitannya 
dengan orang yang melakukan penyimpangan perilaku. sebab  fakta 
khuntsâ ini terkait dengan fitrah takdir dan kodrat yang ditetapkan 
oleh Allah swt kepada seseorang. sebab  itu, terkait dengan masalah 
khuntsâ ini tidak ada pembahasan tentang keharaman statusnya, atau 
laknat dan azab terhadap dirinya. Sebab ini betul-betul merupakan 
masalah fitrah, takdir dan kodrat yang ditetapkan oleh Allah swt 
kepada seseorang. Ini merupakan sesuatu yang tidak bisa dipilih oleh 
seseorang. Sedangkan bagi golongan mukhannats  tidak ada 
perbedaan pendapat di kalangan ulama fiqih tentang status 
keharamannya. Hal ini  didasarkan pada hadis-hadis Nabi saw 
yang dengan tegas melaknat perbuatan mukhannats. Dalam konteks 
ini tidak ada ruang berijtihad dan tidak ada ruang pembenaran 
terhadap penyimpangan perilaku ini , maka yang dilakukan oleh 
Islam terhadap mereka yaitu  mengharamkan penyimpangan 
perilaku, menghukum para pelakunya dengan ta¶]ir, membentuk dan 
menyembuhkan mereka dari penyimpangan ini , bukan 
membiarkan, apalagi menjustifikasi penyimpangan ini. Adapun bagi 
pelaku transgender yang telah menjalani operasi penggantian kelamin 
dengan laki-laki, dikategorikan sebagai praktek homoseksual, sebab  
tabiat kelaki-lakiannya tetap tidak bisa dirubah oleh dokter, meskipun 
ia sudah memiliki kelamin perempuan. Oleh sebab  itu, hukuman 
yang dijatuhkan sama dengan hukuman bagi pelaku homo dan lesbi. 
Pada hubungan kelamin homoseksual dan lesbian masing-masing 
masih tetap pada jenis kelaminnya semula, hanya di antara pasangan 
itu ada yang berfungsi sebagai suami dan yang lainnya sebagai istri. 
Sementara pada pasangan yang salah satunya telah dioperasi ganti 
kelamin maka secara lahiriah (kasat mata) tampak sebagai istri yaitu  
perempuan dan yang jadi suami yaitu  laki-laki, akan tetapi pada 
dasarnya mereka berasal dari jenis kelamin yang sama. Hal inilah 
yang membuat para ulama mengharamkannya, sebab  secara hakikat 
mereka berhubungan kelamin sesama jenis. Al-Qur’an mHnHntanJ hal 
ini  sebab  termasuk perbuatan keji (al-fâhisyah) yang harus 
dijauhi. 
untuk dilanjutkan. Baik dari perspektif hukum Islam maupun 
berkaitan dengan Hak Asasi Manusia. 
2. Melalui kajian ini  diharapkan timbulnya pemahaman di semua 
kalangan warga  untuk mengenal, memahami, mencegah, dan 
menjauhi perilaku LGBT. 
3. Salah satu upaya mengantisipasi masalah LGBT yang mengancam 
generasi penerus yaitu  memperkuat fungsi keluarga sebagai pondasi 
ketahanan warga  dan bangsa. Para orang tua diharapkan 
memberikan perhatian penuh pada perkembangan anak-anak. 
Perhatikan apa yang mereka tonton, apa yang dia baca, dan dengan 
siapa anak-anak berteman. Jalin kembali komunikasi dan hubungan 
baik dengan mereka. Jadikan orang tua sebagai pendengar yang baik 
bagi anak-anaknya. Dengan demikian, kita dapat mengetahui detail 
tentang anak-anak dan pada akhirnya orang tua bisa mengarahkan 
anak-anaknya untuk tidak mengikuti arus LGBT. Hal ini dilakukan 
untuk mencegah anak-anak sejak dini agar tidak terjerumus ke dalam 
perilaku LGBT. 
4. Pemerintah diharapkan untuk bersikap tegas atas sejumlah isu LGBT, 
seperti melindungi hak-hak LGBT sepanjang hak-hak ini  sesuai 
dengan hukum yang berbasis UUD 1945 dan Pancasila yang 
merupakan kristalisasi nilai-nilai agama dan budaya Indonesia, serta 
menolak dengan tegas permintaan hak-hak LGBT yang tidak sesuai 
dengan konstitusi dan dasar negara Pancasila. Misalnya, praktik 
LGBT, apalagi legalisasi pernikahan sejenis. 
5. Segenap komponen umat Islam diharapkan mendalami strategi untuk 
membendung fenomena LGBT yang menjadi ancaman bagi 
kehidupan bangsa Indonesia yang religius serta berupaya mencari 
solusi dan menemukan jalan untuk merehabilitasi orang-orang LGBT. 
Lebih dari itu, diperlukan penguatan kerjasama lembaga-lembaga 
keagamaan dan elemen warga , serta peran aktif pers dan media 
massa lainnya yang peduli pada masalah ini.