Minggu, 12 Oktober 2025

Kusta

  



Penyakit kusta (Morbus Hansen) 

adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang 

disebabkan oleh bakteri Mycobacterium 

leprae jika tidak ditangani dapat 

menyebabkan kerusakan kulit, saraf, 

anggota gerak dan mata.1 Jalur penularan

kusta sampai saat ini belum seluruhnya 

terungkap. Faktor risiko yang 

mempengaruhi kejadian kusta di antaranya 

yaitu kontak serumah dengan penderita 

kusta, kontak tetangga, kondisi kebersihan 

perseorangan yang buruk, pengetahuan, 

jenis kelamin, status vaksinasi BCG, dan 

kondisi sosio-ekonomi.2

Lebih dari 200.000 kasus kusta baru 

ditemukan setiap tahun di dunia.3 Wilayah

dengan kasus tertinggi yaitu Asia Tenggara 

(72,1%) dan Amerika (15,3%).4 Indonesia

telah mencapai target eliminasi kusta pada 

tahun 2000, namun 13 provinsi masih 

memiliki angka prevalensi lebih dari 

1/10.000 penduduk.5 Penderita kusta di

ASEAN 2,2% dari Provinsi Jawa Timur. 

Prevalence Rate (PR) pada tahun 2016 

sebesar 1,06 per 10.000 penduduk. Sebelas 

kabupaten/kota masih memiliki PR di atas 

1/10.000 penduduk (high endemis), 

tertinggi ada di Sumenep (PR:4,38) diikuti 

Kabupaten Sampang (PR:3,69) dan paling 

rendah ada di Tulungagung (PR:0,06).6

Kemoprofilaksis adalah pemberian 

obat untuk mencegah infeksi, pada kusta 

mencegah infeksi M. leprae pada orang 

yang berisiko tinggi terpapar bakteri 

tersebut (kontak penderita).4 Kegiatan

kemoprofilaksis telah dilakukan terhadap 

kontak penderita kusta sebanyak 15.848 

orang (94,55%) dari sasaran kontak 

sebesar dengan Case Detection Rate 

sebesar 35,55 per 100.000 penduduk. 

Proporsi wanita 41% proporsi anak 17% 

dari seluruh kasus baru, yang masih tinggi 

jika dibandingkan dari target sebesar 

kurang dari 5%.6 16.762 orang di

Kabupaten Sampang sejak April 2012–

Desember 2014.7 Tahun 2016 kasus di

Kabupaten Sampang sebanyak 333 orang. 

Penelitian ini bertujuan mencari faktor-

faktor yang mempengaruhi kejadian kusta 

pasca kemoprofilaksis. 

Metode 

Jenis penelitian yang dilakukan 

adalah penelitian observasional dengan 

menggunakan case control study untuk 

mengetahui beberapa faktor risiko kejadian 

kusta pasca kemoprofilaksis. Variabel 

bebas yang diteliti meliputi tingkat 

pendidikan, status vaksinasi BCG, status 

gizi, riwayat luka terbuka, kepatuhan 

minum obat kemoprofilaksis, kondisi 

ekonomi keluarga, kebersihan perorangan 

dan kondisi rumah. 


Tingkat pendidikan terhadap kejadian 

kusta pasca kemoprofilaksis 

Proporsi responden alami kejadian 

kusta pada kelompok pendidikan rendah 

sebesar 59,7% > dibanding responden pada 

kelompok pendidikan tinggi sebesar 

40,3%. Faktor tingkat pendidikan  

berpengaruh terhadap kejadian kusta 

Elhamangto., et al.,  JEKK. 2 (2) 2017 91

©2017, JEKK, All Right Reserved 

(p=0,001; OR:2,27; 95% CI: 1,363-3,766). 

Responden dengan tingkat pendidikan 

rendah berisiko 2,27 kali tertular penyakit 

kusta dibandingkan responden dengan 

tingkat pendidikan tinggi (Tabel 1). 

Kepatuhan minum obat terhadap 

kejadian kusta pasca kemoprofilaksis 

Proporsi responden alami kejadian 

kusta pada kelompok tidak patuh minum 

obat sebesar 51,6% > dibanding responden 

pada kelompok patuh minum obat sebesar 

48,4%. Faktor kepatuhan minum obat 

berpengaruh terhadap kejadian kusta 

(p=0,05; OR: 1,63; 95%CI: 0,987-2,702). 

Responden yang tidak patuh meminum 

obat kemoprofilaksis berisiko 1,63  kali 

tertular penyakit kusta dibandingkan 

responden yang patuh meminum obat 

kemoprofilaksis (Tabel 2). 

Lama kontak terhadap kejadian kusta 

pasca kemoprofilaksis 

Proporsi responden alami kejadian 

kusta pada kelompok kontak 1 tahun 

sebesar 74,2% > dibanding responden pada 

kelompok kontak <1 tahun sebesar 48,4%. 

Faktor lama kontak berpengaruh terhadap 

kejadian kusta (p=0,035; OR: 1,814; 

95%CI: 1,075 – 3,062). Responden yang 

lama kontak dengan penderita ≥1 tahun 

berisiko 2,29 kali tertular penyakit kusta 

dibandingkan responden yang lama kontak 

<1 tahun (Tabel 3). 

Status vaksinasi BCG terhadap kejadian 

kusta pasca kemoprofilaksis 

Proporsi responden pada kelompok 

tidak ada parut BCG dan kelompok ada 

parut BCG masing-masing 50%. Faktor 

status vaksinasi BCG merupakan faktor 

protektif terhadap kejadian kusta pasca 

kemoprofilaksis (p=0,029; OR: 0,57; 

95%CI: 0,343 – 0,947) (Tabel 4). 

Status gizi terhadap kejadian kusta 

pasca kemoprofilaksis  

Proporsi responden alami kejadian 

kusta pada kelompok gizi buruk sebesar 

74,2% > dibanding responden pada 

kelompok gizi baik sebesar 25,8%. Faktor 

status gizi berpengaruh terhadap kejadian 

kusta (p=0,001; OR: 4,68; 95%CI: 2,725- 

8,022). Orang yang tergolong status gizi 

buruk berisiko 4,68 kali tertular penyakit 

kusta dibandingkan orang yang status 

gizinya baik (normal) (Tabel 5). 

Riwayat luka terbuka terhadap 

kejadian kusta pasca kemoprofilaksis 

Proporsi responden alami kejadian 

kusta pada kelompok pernah mengalami 

luka terbuka sebesar 43,5% < dibanding 

responden pada kelompok tidak pernah 

mengalami luka terbuka sebesar 56,5%. 

Faktor riwayat pernah mengalami luka 

terbuka tidak berpengaruh terhadap 

kejadian kusta (p=0,003;OR: 0,47;95%CI: 

0,283–0,782) (Tabel 6). 

Kondisi ekonomi terhadap kejadian 

kusta pasca kemoprofilaksis 

Proporsi responden alami kejadian 

kusta pada kelompok pendapatan kurang 

sebesar 75,0% > dibanding responden pada 

kelompok pendapatan tinggi sebesar 

25,0%. Faktor kondisi ekonomi keluarga 

berpengaruh terhadap kejadian kusta 

(p=0,001;OR:3,31; 95%CI: 1,930-5,660). 

Orang yang tergolong kondisi ekonomi 

keluarga berpendapatan kurang  berisiko 

3.31 kali tertular penyakit kusta 

dibandingkan orang yang kondisi ekonomi 

keluarga berpendapatan tinggi (Tabel 7). 

Elhamangto., et al.,  JEKK. 2 (2) 2017 92

©2017, JEKK, All Right Reserved 

Kebersihan perorangan terhadap 

kejadian kusta pasca kemoprofilaksis 

Proporsi responden mengalami 

kejadian kusta pada kelompok kebersihan 

perorangan buruk sebesar 73,4%> 

dibanding dengan kelompok kebersihan 

perorangan baik sebesar 26,6%. Faktor 

kebersihan perorangan berpengaruh 

terhadap kejadian kusta pasca 

kemoprofilaksis(p=0,002;OR:2.35; 95% 

CI:1,378-3,995). Orang yang tergolong 

kebersihan perorangan buruk  berisiko 2,35 

kali tertular penyakit kusta dibandingkan 

yang memiliki kebersihan perorangan baik 


Tingkat pendidikan terhadap kejadian 

kusta pasca kemoprofilaksis  

Faktor tingkat pendidikan rendah 

berpengaruh terhadap kejadian kusta 

(p=0,026,OR:1,94, 95%CI: 1,083–3,490). 

Responden dengan tingkat pendidikan 

rendah berisiko 1,94 kali tertular kejadian 

kusta pasca kemoprofilaksis dibanding 

dengan tingkat pendidikan tinggi. 

Penelitian yang dilakukan Pontes et 

al9 menemukan bahwa subjek yang

berpendidikan rendah, pernah mengalami 

kekurangan makanan, kebiasaan mandi di 

badan air terbuka (sungai, danau, kolam) 

sehingga meningkatkan risiko penularan 

kusta di Brazil. Pada subjek yang 

berpendidikan rendah lebih berisiko 

mengalami kejadian kusta dibanding 

dengan subjek yang berpendidikan tinggi 

OR=2,05 (95% CI; 1,29-3,27). Keadaan ini 

dapat disebabkan oleh pengetahuan tentang 

penyakit kusta pada subjek yang 

berpendidikan tinggi dapat memahami 

mekanisme penularan kusta sehingga risiko 

kejadian kusta dapat dihindarkan.9 

Lama kontak terhadap kejadian kusta 

pasca kemoprofilaksis  

Faktor lama kontak dengan penderita 

kusta ≥1 tahun berpengaruh terhadap  

kejadian kusta pasca kemoprofilaksis 

(p=0,023; OR=2,05; 95%CI=1,105-3,813). 

Job et al10 enemukan bahwa pada penderita

kusta multibasiler yang belum diobati 80% 

ditemukan M. leprae di kulit dan 60% di 

mukosa hidung. Pada penelitian yang sama 

didapatkan hasil bahwa pada orang yang 

kontak serumah dengan penderita kusta 

17% ditemukan M. leprae pada kulit dan 

4% pada mukosa hidung. Dalam penelitian 

ini juga ditemukan bahwa 6(60%) 

penderita kusta multibasiler yang sudah 

mendapatkan pengobatan dengan MDT 

masih ditemukan M. leprae pada kulit dan 

Elhamangto., et al.,  JEKK. 2 (2) 2017 95

©2017, JEKK, All Right Reserved 

4 (40%) masih ditemukan M. leprae pada 

mukosa hidung.10

Mekanisme penularan kusta yang 

pasti belum diketahui, namun kedekatan 

kontak dengan penderita kusta diyakini 

bisa meningkatkan risiko kejadian kusta. 

Penelitian yang dilakukan oleh Noordeen 

pada tahun 1978 di India Selatan 

menemukan bahwa tinggal serumah 

dengan penderita kusta non-lepromatus 

meningkatkan risiko terkena kusta sebesar 

9,5 kali.11 Semakin dekat hubungan

keluarga dengan penderita kusta semakin 

tinggi risiko terkena kusta. Demikian juga 

dengan jarak tempat tinggal, semakin dekat 

bertetangga dengan penderita kusta 

semakin tinggi risiko menderita kusta.12 

Status gizi terhadap kejadian kusta 

pasca kemoprofilaksis  

Faktor status gizi buruk pada 

responden berpengaruh terhadap  kejadian 

kusta (p=0,000; OR=5,04; 95%CI=2,761 – 

9,182). Penyakit kusta banyak menyerang 

masyarakat dengan sosial ekonomi rendah. 

Hal ini dikaitkan dengan rendahnya daya 

tahan tubuh, gizi yang kurang baik dan 

lingkungan serta hygiene yang tidak baik.13

Faktor nutrisi dikatakan berperan 

dalam penularan M. leprae. Kejadian kusta 

tampak berkaitan dengan rendahnya 

produksi susu dan gandum. Menurut Berg, 

kondisi nutrisi sangat membaik pada 

pertengahan kedua abad 19, dan juga 

perbaikan pendapatan per kapita membuat 

populasi Norwegia lebih resisten terhadap 

infeksi M. leprae.14 

Kondisi ekonomi keluarga terhadap 

kejadian kusta pasca kemoprofilaksis  

Kondisi ekonomi keluarga yang 

berpendapatan kurang berpengaruh 

terhadap kejadian kusta (p=0,000; 

OR=3,25;95%CI=1,775-5,96). Penelitian 

ini sejalan dengan hasil penelitian yang 

dilakukan Muharry di Kecamatan Tirto 

Kabupaten Pekalongan yang telah 

didiagnosis penderita kusta berdasarkan 

pemeriksaan klinis dan laboratorium. 

Sampel diambil berdasarkan fixed disease 

sampling. Hasil analisis multivariat 

menunjukkan bahwa faktor ekonomi 

keluarga yang rendah berpengaruh 

terhadap kejadian kusta (p=0,001 dan 

OR=6,356; 95%CI: 2,212 - 18,267).

Noorden13 menyebutkan faktor etnik,

iklim, migrasi dan kondisi sosial ekonomi 

juga mempengaruhi penularan penyakit. 

Dikatakan bahwa sosial ekonomi rendah, 

kondisi rumah yang buruk dan terlalu padat 

berpengaruh terhadap penularan penyakit 

kusta. Rendahnya angka pasien baru di 

Eropa dihubungkan dengan perbaikan 

keadaan sosial ekonomi.

Pendapatan merupakan salah satu 

faktor yang mempunyai peran dalam 

mewujudkan kondisi kesehatan seseorang. 

Pendapatan yang diterima seseorang akan 

mempengaruhi daya beli terhadap barang-

barang kebutuhan lainnya seperti sandang 

dan papan. Seseorang dengan kondisi 

ekonomi keluarga rendah mempunyai 

risiko 6,356 kali lebih besar menderita 

kusta dibandingkan dengan seseorang yang 

kondisi ekonomi keluarganya baik.2 

Kebersihan perorangan terhadap 

kejadian kusta pasca kemoprofilaksis 

Faktor kebersihan perorangan yang 

buruk berpengaruh terhadap kejadian 

kusta (p=0,001; OR=2,77; 95%CI=1,498-

5,105). Hasil penelitian ini didukung oleh 

penelitian yang dilakukan Muharry2 di

Kecamatan Tirto Kabupaten Pekalongan 

yang telah didiagnosis penderita kusta 

berdasarkan pemeriksaan klinis dan 

laboratorium. Sampel diambil berdasarkan 

fixed disease sampling. Hasil analisis 

multivariat menunjukkan faktor kebersihan 

perorangan buruk berpengaruh terhadap 

Elhamangto., et al.,  JEKK. 2 (2) 2017 96

©2017, JEKK, All Right Reserved 

kejadian kusta (p=0,000 dan OR=15,746; 

95%CI=4,159-59,612).

Kebersihan perorangan adalah 

perawatan diri dari individu untuk 

mempertahankan kesehatannya yang 

dipengaruhi oleh nilai serta keterampilan. 

Di dalam dunia keperawatan, kebersihan 

perorangan merupakan kebutuhan dasar 

manusia yang harus senantiasa terpenuhi. 

Kebersihan perorangan termasuk dalam 

tindakan pencegahan primer yang spesifik. 

Kebersihan perorangan menjadi penting 

karena kebersihan perorangan yang baik 

akan meminimalkan pintu masuk (port of 

entry) mikroorganisme dan pada akhirnya 

mencegah seseorang terkena penyakit.15 

Status vaksinasi BCG terhadap kejadian 

kusta pasca kemoprofilaksis  

Hasil penelitian yang dilakukan oleh 

Haryadi dan Hardyanto16 di Kabupaten

Brebes, Jawa Tengah pada analisis 

multivariat menunjukkan bahwa terdapat 

hubungan yang signifikan antara parut 

BCG dengan kejadian kusta (OR: 0,37; 

95% CI; 0,215-0,638). Faktor parut BCG  

melindungi (protektif) terhadap kejadian 

kusta sebesar 5,5% dan Parut BCG 

memberi perlindungan terhadap kejadian 

kusta sebesar 63%.16

Bacille Calmette Guerin (BCG) 

dibuat dari satu strain dari Mycobacterium 

bovis yang dilemahkan. Vaksin ini 

digunakan utamanya untuk pencegahan 

terhadap penyakit yang disebakan oleh 

Mycobacterium tuberculosis (TBC).17 Pada

akhir tahun 1930 muncul dugaan bahwa 

BCG juga mempunyai daya lindung 

terhadap penyakit kusta. Ditemukan bahwa 

vaksin BCG memberikan perlindungan 

terhadap kejadian kusta sebesar 80% pada 

kelompok umur 0-15 tahun di Uganda. 

Vaksinasi BCG juga dapat memberikan 

perlindungan sebesar 40% pada kelompok 

umur 0-4 tahun di Burma. Vaksinasi BCG 

memberikan perlindungan sebesar 46% di 

populasi dengan perlindungan tertinggi 

pada kelompok umur 5-14 tahun di 

Karimui. Vaksinasi BCG juga diketahui 

dapat melindungi seseorang dari terkena 

gejala klinis kusta antara 20-80% di 

berbagai tempat.18 

Riwayat luka terbuka terhadap kejadian 

kusta pasca kemoprofilaksis  

Faktor riwayat luka terbuka 

merupakan faktor protektif terhadap 

kejadian kusta pasca kemoprofilaksis 

(p=0,002; OR=0,37; 95%CI=0,200-0,699). 

M. leprae sering kali masuk melalui luka

pada kulit yang terkontaminasi atau

inokulasi dan melalui mukosa nasal.

Responden merawat luka-luka pada kulit

dengan teratur dan baik sehingga kecil

kemungkinan untuk tertular kusta melalui

luka terbuka.

Kondisi rumah terhadap kejadian kusta 

pasca kemoprofilaksis 

Faktor kondisi rumah pada uji 

bivariat tidak terbukti sebagai faktor risiko. 

(p=0,501;OR:1,20,95%CI:0,707-2,033). 

Kondisi rumah responden di Sampang 

sebagian besar masih semi permanen yang 

kebersihannya terjaga. Mereka memiliki 

budaya yang khas yaitu kamar mandinya 

terpisah dari rumah induk dengan alasan 

agar tidak mengundang rayap yang akan 

merusak konstruksi rumah, dan juga ada 

tersedia mushola-mushola sebagai tempat 

ibadah di setiap lingkungan mereka. 


Pengobatan tradisional 6




 Pengobatan transfer energi


Beragamnya jenis pelayanan kesehatan yang tersedia di warga   membuat seseorang dapat 

menentukan jenis pengobatan yang akan dilakukannya untuk mencari kesembuhan. berdasar  hasil 

penelitian yang dilakukan kepada beberapa informan saat   berkunjung ke pengobatan transfer energi 

“A”, diketahui bahwa faktor pengetahuan akan jenis dan metode pengobatan yang akan dipakai   

sebelumnya, membuat mereka merasa aman untuk memilih pengobatan ini  . Keberhasilan 

pengobatan terhadap jenis penyakit yang diderita serta keyakinan terhadap pengobatan transfer energi 

membuat informan kembali melakukan pengobatan ini   hingga sembuh, atau bahkan tak segan 

untuk kembali berobat saat   menderita penyakit lain atau serupa. Selain itu, yang menjadi bahan 

pertimbangan adalah tingkat keparahan akan penyakit yang diderita, sebab  pada umumnya mereka telah mendatangi berbagai pengobatan, namun tak kunjung membaik, maka saat   mendapatkan 

informasi mengenai keberhasilan pengobatan ini  , mereka beralih dan lalu   berobat 

kepadanya.

Faktor yang kedua adalah faktor ekonomi, di mana informan memilih memakai   pengobatan 

transfer energi didasarkan pada terjangkaunya biaya pengobatan, di mana pada pengobatan ini   

tidak diberlakukan tarif pengobatan, sehingga informan bebas menentukan biaya pengobatan sesuai 

dengan kemampuan dan keikhlasannya.

Faktor ketiga pemilihan pemakaian  jenis pengobatan transfer energi dipengaruhi oleh faktor sosial 

yang terdiri dari dorongan kerabat serta informasi yang didapatkan oleh informan secara getok tular.

Dorongan kerabat terhadap informan didasarkan atas keberhasilan pengobatan, baik melalui 

pengalaman secara pribadi saat   ia melakukan pengobatan ini   atau hanya berdasar  informasi 

dari mulut ke mulut oleh orang yang pernah berobat di sana atau bahkan dari orang lain yang belum 

pernah melakukan pengobatan ini  . Selain ketiga faktor di atas, jarak antara rumah informan 

dengan tempat pengobatan yang terbilang dekat, sebab  sama-sama berada di dalam kota, sehingga 

dapat ditempuh rata-rata sekitar 10-15 menit, juga menjadi latar belakang pengambilan keputusan 

saat   akan berobat di sana, sebab  dengan jarak yang dekat, informan dapat memilih jenis kendaraan

yang akan dipakai  nya.

Proses pengobatan transfer energi yang memakai   energi dari bumi, terbagi menjadi 3 cara, yaitu 

pengobatan jarak dekat, jarak jauh, dan pemindahan penyakit kepada hewan. Proses pengobatan jarak 

dekat, dapat diuraikan sebagai berikut: pertama, penyembuh harus mengenal dan mengetahui keluhan 

pasien, lalu   dilakukan terapi dengan memindahkan energi positif yang berasal dari energi 

matahari, udara, atau air dari tubuh penyembuh ke tubuh pasien sebatas yang dibutuhkan oleh pasien,

lalu   mengeluarkan energi negatif yang tidak dibutuhkan pasien. Setelah dilakukan terapi, 

penyembuh memberikan tambahan energi melalui air mineral yang akan dikonsumsi pasien selama 

masa penyembuhan, di mana energi ini   juga diberikan doa dengan harapan pasien segera 

mendapat kesembuhan. Untuk jenis penyakit berat, proses terapi harus diulangi kembali pada 3 

sampai 5 hari lalu  .

Proses pengobatan jarak jauh dilakukan dengan tidak bertatap muka antara penyembuh dengan pasien, 

atau saat   berada pada lokasi yang berbeda. Pengobatan jarak jauh dapat melalui kontak telepon atau 

foto pasien. Pengobatan jarak jauh juga dilakukan pada saat proses penyembuhan saat   masa 

menunggu pasien untuk terapi selanjutnya. Proses ini   hampir sama seperti pengobatan jarak 

dekat, namun yang membedakannya adalah penyembuh dan pasien tidak bertemu secara langsung. 

Untuk proses pengobatan dengan memindah penyakit ke hewan tidak dapat dijelaskan, sebab  peneliti 

tidak menemukan secara langsung pengobatan ini   selama masa observasi dan wawancara 

dilakukan di lokasi penelitian.


Di negara kita  , pengobatan alternatif bukan merupakan barang langka lagi pada masa sekarang. 

Berbagai macam pengobatan baik memakai   teknik tradisional warisan masa lalu ataupun yang 

memakai   tenaga gaib gencar mempromosikan layanan mereka kepada warga   luas, baik 

melalui media massa maupun getok tular. Bahkan pemberitaan secara intensif mengenai pengobatan 

alternatif yang dilakukan oleh media massa juga dapat menarik perhatian warga   untuk mencoba 

melakukan pengobatan ini  . Hal ini   dapat kita ketahui pada kasus dukun cilik Ponari di 

Jombang, berkat pemberitaan oleh media massa yang intensif membuat warga  , baik berasal dari 

Jawa Timur maupun di luar daerah Jawa Timur berbondong-bondong ingin berobat ke Ponari sebab  

ingin mendapatkan sentuhan magic berupa air dan batu ajaibnya.

Hal ini   di atas sesuai dengan pernyataan  bahwa warga   

masih tetap mengunjungi pengobatan tradisional, baik sebagai pengganti/altenatif atau bahkan 

pelengkap (komplementer) dari pemakaian  pengobatan modern. Beberapa jenis pengobatan alternatif 

yang bermunculan dalam warga  , seperti: sinshe, pengobatan oleh paranormal, terapi magnetik, 

terapi air seni, terapi lintah, terapi tenaga dalam, prana maupun pemanfaatan ramuan obat-obatan dan 

sebagainya. Dalam penelitian Eisenberg et al. umumnya, jenis pengobatan alternative yang paling sering dipakai   adalah relaksasi, chiropractic, pijat, imagery, pengobatan spiritual, program 

penurunan berat badan komersial, gaya hidup diet, jamu, pengobatan energi, hipnotis, homeopati, 

akupunktur dan folk medicine 

Terapi tenaga dalam dapat dikatakan serupa dengan pengobatan alternatif prana atau dapat dikenal 

dengan pengobatan transfer energi. Terapi tenaga dalam pada berbagai bangsa ini dikenal dengan 

berbagai nama. Bahasa Sansekerta menyebutnya prana, bahasa Ibrani menyebut prana sebagai ruah, 

Yunani menyebutnya peuma. Di Cina prana dikenal dengan chi, di Jepang disebut ki, dan masih 

banyak lagi sebutan untuk prana bila ditinjau dari masing-masing bahasa.

Menurut Deddy Tjipto, prana adalah energi hidup yang mengalir dalam tubuh makhluk dan alam 

semesta. Dengan metode tertentu, prana dapat dipakai   untuk membantu proses penyembuhan dan 

berbagai macam penyakit telah berhasil disembuhkan dengan memberikan energi ini pada tubuh yang 

berpenyakit 

 berkata kata   bahwa kepercayaan warga   terhadap suatu sistem 

pengobatan (baik pengobatan tradisional maupun modern) ditentukan oleh pengalaman yang dapat 

membuat warga   yakin akan keberhasilan pengobatan ini  , biasanya lebih sulit. Penerimaan 

akan kenyataan sistem pengobatan medis lebih sukar, sebab  masing-masing sistem pengobatan 

(tradisional/modern) harus dapat memberikan pengalaman kerja atau menunjukkan cara-cara 

pengobatan yang lebih baik dan memberikan hasil yang memuaskan terhadap pasien. Tindakan￾tindakan yang mendatangkan keberhasilan dalam usaha seseorang ini   mempunyai 

kecenderungan akan diulangi kembali pada saat orang mangalami situasi yang kurang lebih serupa. 

Sebaliknya tindakan yang mendatangkan kegagalan memiliki kecenderungan akan dihindari.

Dihadapkan pada pilihan untuk mendapatkan kesembuhan terhadap suatu penyakit, maka seseorang 

harus mengambil keputusan. Pengambilan keputusan selalu bersifat memilih, yakni memilih di antara 

berbagai alternatif yang ditawarkan untuk memecahkan masalah.

Studi tentang pengambilan keputusan terhadap pemakaian  jenis pengobatan telah dilakukan oleh 

beberapa ahli.  melakukan studi tentang pengambilan keputusan 

pada warga   Indian Tarascan di Mexico dengan mengajukan alternatif sumber perawatan 

meliputi: (1) perawatan rumah tangga; (2) perawatan yang dilakukan oleh penyembuh lokal; (3) 

perawatan yang dilakukan oleh practicamte (paramedic); dan (4) perawatan yang dilakukan oleh 

dokter dan rumah sakit. , kriteria yang dipakai untuk 

menyeleksi alternatif itu antara lain: (1) tingkat keparahan penyakit (gruvity); (2) pengetahuan dan 

pengalaman tentang cara-cara penyembuhan popular (home remedy); (3) keyakinan terhadap 

keefektifan pengobatan (faith); (4) kemudahan (accessibility), meliputi kemudahan biaya dan 

tersedianya fasilitas pelayanan kesehatan.

Naniek melakukan studi tentang pengambilan keputusan sumber perawatan 

anak balita di pedesaan jawa dengan mengajukan alternatif pengobatan berupa perawatan rumah 

tangga, penyembuh tradisional, paramedik, dan dokter. Faktor-faktor yang dipakai   untuk memilih 

alternatif ini   antara lain: (1) persepsi sosial budaya yang menyangkut tingkat keparahan 

penyakit, pengalaman terhadap pengobatan yang pernah dipakai   sebelumnya, kepercayaan, 

stereotype, dan etiologi penyakit; (2) faktor ekonomi, dan (3) kemudahan akses (transportasi dan 

hubungan). Dyson dkk (1988:21) dalam penelitiannya tentang pola tingkah laku warga   dalam 

mencari kesembuhan di kelurahan Airlangga, Surabaya menyebutkan bahwa usaha dalam mencari 

kesembuhan dipengaruhi oleh tingkat keparahan penyakit, biaya pengobatan (tenaga, uang), jarak 

tempat tinggal dengan pelayanan kesehatan, tingkat pendidikan, dan peranan sosial dari si sakit atau 

keluarganya.

Walaupun ada  berbagai jenis pengobatan alternatif yang berkembang di warga  , seseorang 

dapat menentukan jenis pengobatan yang akan dipakai  nya, termasuk pemakaian  pengobatan 

transfer energi untuk menyembuhkan penyakitnya. Masalah yang dikemukakan di sini meliputi: 

Faktor-faktor apa yang mempengaruhi seseorang untuk berobat ke pengobatan yang memakai   metode transfer energi? Bagaimana deskripsi dari proses pengobatan yang memakai   metode 

transfer energi dilihat dari sudut pandang pasien dan penyembuh?

Metode Penelitian

Tulisan ini merupakan studi pengobatan transfer energi sebagai salah satu metode pengobatan 

tradisional. Studi dilaksanakan di salah satu pengobatan transfer energi yang berada di Kota Sidoarjo

dengan informan berjumlah 2 (dua) orang sebagai pelaku pengobatan transfer energi dan 6 (enam) 

pasien dari pengobatan transfer energi, selain itu juga ada  kerabat dari pasien. Studi kualitatif 

yang memakai   pengamatan dan wawancara mendalam dalam pengumpulan data dipakai   untuk 

mendeskripsikan fenomena sosial mengenai pengobatan alternative transfer energi, mulai dari proses 

pengobatan dilihat dari sudut pandang pasien dan penyembuh sampai faktor-faktor yang 

mempengaruhi pasien untuk melakukan pengobatan ini  . 

Hasil dan Pembahasan

Faktor-faktor yang mempengaruhi pemakaian  pengobatan transfer energi “A” 

sebagai upaya penyembuhan

Beralihnya pilihan seseorang dari pengobatan medis-modern ke pelayanan pengobatan tradisional 

yang tersedia di warga   dengan berbagai metode sebagai alternatif atau pelengkap dari 

pengobatan modern, bukanlah sebuah keputusan yang dilakukan tanpa dasar tertentu. berdasar  

hasil penelitian yang dilakukan, ada beberapa faktor yang mempengaruhi mereka untuk memilih 

pengobatan transfer energi. Faktor-faktor ini   meliputi: (1) faktor pengetahuan dan pengalaman; 

(2) faktor ekonomi; (3) faktor sosial; dan (4) faktor jarak. Di bawah ini, diuraikan mengenai 

bagaimana keempat faktor ini   di atas memberikan pengaruh dalam pengambilan keputusan.

Faktor pengetahuan dan pengalaman

Pengambilan keputusan terhadap pemakaian  sarana kesehatan bukanlah sesuatu yang diambil tanpa 

adanya pertimbangan tertentu. Menurut Suchman (Foster 1986:184-191), dua hal yang dianggap 

cukup berpengaruh dalam pengambilan keputusan terhadap pemilihan jenis pengobatan ialah 

pengetahuan dan pengalaman. saat   pengetahuan seseorang terhadap penyakit sangatlah minim bisa 

jadi ia akan membuat keputusan memilih pengobatan yang kurang tepat untuk mengatasi penyakitnya. 

Sebaliknya saat   seseorang mengerti dengan baik tentang penyakit yang diderita, maka keputusan￾keputusan berobat yang diambil akan memberikan manfaat bagi dirinya. Hal ini   seperti 

diutarakan oleh informan “E” dan “H”.

Pengetahuan akan dampak dari obat-obatan medis-modern yang apabila di konsumsi terlalu sering, 

sekaligus dengan dosis yang berlebihan dapat mengakibatkan turunnya daya imun seseorang, 

sehingga nantinya dapat membuat tubuh kebal terhadap obat ini  . Hal ini   membuat informan 

“H” untuk memilih pengobatan lain sebagai alternatif dari pengobatan medis-modern. Begitu juga 

dengan informan “E”, walaupun masih mengunjungi sarana kesehatan medis-modern untuk 

melakukan cek kesehatan, ia lebih memilih untuk mencari pengobatan lain di luar pengobatan medis￾modern dan tidak terlalu banyak mengkonsumsi obat-obatan yang didapatnya dari rumah sakit, hal 

ini   dilakukannya sebab  anggapan bahwa terlalu banyak mengkonsumsi obat dapat merusak 

organ tubuh yang lain. Oleh dasar pengetahuan ini  , membuat kedua informan mencari 

pengobatan lain yang dianggapnya aman serta tidak memakai   ramuan-ramuan tertentu. Pilihan 

ini   lalu   jatuh kepada pengobatan transfer energi, yang dalam cara pengobatannya selain 

tidak memakai   alat, media yang dipakai   hanyalah air mineral. Air mineral sebagai bagian yang dibutuhkan oleh tubuh tentu tidak akan berdampak apapun bagi tubuh, selain itu, air mineral 

juga tidak harus dibeli dari penyembuh, melainkan dapat dibawa sendiri dari rumah.

Beberapa keputusan tentang masalah kesehatan juga diambil berdasar  pengalaman, dimana saat   

seseorang merasa memiliki pengalaman buruk terhadap suatu jenis pengobatan tertentu, maka ada 

kecenderungan ia tidak akan memakai   pengobatan ini   untuk kedua kalinya 

Faktor pengetahuan dan pengalaman dijadikan dasar oleh seseorang saat   memutuskan untuk 

memilih jenis pengobatan yang dianggap sesuai. Sebelum memilih, pada umumnya ia dan keluarga 

akan melihat seberapa parah penyakit yang dideritanya, berdasar  gejala. Dari gejala-gejala yang 

timbul, ia lalu   akan mencari pertolongan ke tempat pengobatan yang dianggap dapat 

memulihkan kondisinya. Jika mereka lalu   tidak yakin dengan suatu jenis pengobatan tertentu, 

maka mereka akan mencoba untuk memakai   jenis pengobatan lainnya.

Tingkat keparahan penyakit

, tingkat 

keparahan penyakit merupakan bahan pertimbangan utama dalam pemilihan jenis perawatan 

kesehatan. Begitu juga dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kasniyah dalam penanggulangan 

penyakit anak-anak pada warga   pedesaan Jawa pada tahun 1983 dan penelitian yang dilakukan 

Dyson mengenai pola tingkah laku warga   dalam mencari kesembuhan pada tahun 1988.

Pada kasus pemilihan pemakaian  pengobatan transfer energi “A” sebagai alternatif atau 

komplementer dari pengobatan medis-modern juga dipengaruhi oleh tingkat keparahan penyakit yang 

dapat dilihat dari gejala penyakitnya dan lama menderita penyakit ini  . Hal ini   seperti 

dialami oleh informan “C” yang telah mengalami keluhan sakit di pinggang selama 13 tahun dan telah 

berobat dari pengobatan modern sampai berbagai metode pengobatan tradisional pernah dicoba 

namun belum kunjung membaik.

Tidak jauh berbeda dengan informan “E” yang telah menderita penyakit stroke selama 3 tahun 

mengakibatkannya mencari berbagai alternatif dan akhirnya menjatuhkan pilihannya kepada 

pengobatan transfer energi.

Kedua informan di atas menunjukkan bahwa penyakit yang dideritanya dianggapnya parah, sebab  

penyakit yang diderita telah cukup lama, sehingga membuat mereka rela mengunjungi berbagai jenis 

pengobatan, baik medis-modern maupun tradisional, sampai menemukan jenis pengobatan yang 

cocok dan dapat menghasilkan kesembuhan.

Kepercayaan atau keyakinan akan keefektifan pengobatan

Salah satu kriteria yang dipakai   seseorang untuk memilih jenis pengobatan ialah berdasar  pada 

keyakinan akan keefektifan dari sistem perawatan kesehatan ini  . Umumnya seseorang akan 

membandingkan keefektifan antara pengobatan yang satu dengan yang lain termasuk pengobatan 

tradisional dengan pengobatan medis-modern. Keyakinan tentang keefektifan suatu jenis pengobatan 

biasanya muncul dari pengalaman khusus, ataupun pengetahuan yang berkaitan dengan metode 

pengobatan ini  , sebab  keyakinan atau kepercayaan dapat tumbuh jika berulangkali mendapatkan 

informasi yang sama . Keputusan untuk melakukan pengobatan juga dibuat 

berdasar  pada pengalaman dan kebiasaan seseorang di masa lalu. Oleh sebab  itu, keyakinan 

terhadap keefektifan pengobatan sifatnya sangat subjektif, bergantung pada pengalaman dan 

pengetahuan masing-masing individu.

Demikian halnya dengan pasien-pasien yang mendatangi pengobatan transfer energi, memiliki 

keyakinan sendiri-sendiri tentang jenis pengobatan yang dianggap dapat menyembuhkan penyakit yang dideritanya. Ada kalanya pengobatan medis-modern dianggap gagal sehingga lebih memilih 

pengobatan alternatif, walaupun tidak semua pengobatan alternatif yang tersebar di warga   

mendatangkan kesembuhan. Keyakinan ini   tumbuh berdasar  pengalaman dan pengetahuan 

dari masing-masing informan. Misalnya saja, informan “E” yang memiliki kerabat atau teman yang 

mengalami penyakit yang sama seperti dirinya, tidak kunjung membaik walaupun melakukan 

pengobatan medis-modern. berdasar  pengalaman ini   menumbuhkan keyakinan bahwa 

pengobatan medis-modern bukan merupakan jalan keluar utama saat   seseorang menderita sakit 

stroke. Terlebih lagi dalam masa penyembuhan diharuskan untuk mengkonsumsi obat-obatan, di 

mana nantinya dipercaya dapat merusak organ tubuh yang lain. Oleh sebab  itu, informan “E” lebih 

memilih untuk memakai   pengobatan alternatif untuk menyembuhkan penyakitnya, walaupun ia 

juga selalu mencari berbagai jenis pengobatan alternatif sampai menemukan yang cocok dan 

lalu   dapat membawa perubahan ke arah yang lebih baik. 

Beberapa informan mendatangi satu demi satu jenis pengobatan alternatif dengan harapan akan pulih 

seperti sedia kala. Dalam pemakaian  pengobatan alternatif ini   tentunya telah disertai adanya 

informasi mengenai metode pengobatan yang dipakai   serta keberhasilan pengobatan ini  . 

Salah satu informan yang merasa bahwa dengan pengobatan alternatif transfer energi kondisinya jauh 

lebih baik ialah informan “E”. Ia merasa bahwa ruang geraknya sudah jauh lebih leluasa dibandingkan 

sebelumnya, setelah mengikuti dengan rutin terapi energi yang diberikan penyembuh dan anjuran 

untuk selalu menyeka bagian tubuh yang lumpuh sebab  stroke dengan air teh dan selalu minum air 

yang telah diberi energi pada saat terapi. 

Berbeda halnya dengan informan “H”, ia tidak perlu untuk mencoba pengobatan ke beberapa 

alternatif terlebih dahulu. Ia memutuskan untuk melakukan pengobatan transfer energi disebab kan 

telah mendengar metode yang dipakai   dan dianggap tidak akan mempunyai dampak yang buruk 

bagi tubuh serta keberhasilan pengobatan ini   terhadap penyakit yang tergolong berat, sehingga 

saat   anaknya menderita influenza yang dianggap sebagai penyakit ringan, ia memutuskan untuk 

melakukan pengobatan di sana. 

Pengalaman secara langsung terhadap proses pengobatan yang mendatangkan keberhasilan membuat 

seseorang untuk mempunyai keyakinan terhadap keefektifan pengobatan ini  . Hal ini   yang 

mempengaruhi keluarga pasien untuk turut melakukan pengobatan serupa. Salah satu informan yang 

turut melakukan pengobatan disebab kan keberhasilan anggota keluarganya adalah informan “D” dan 

keluarga informan “E”.

Faktor ekonomi

Faktor ekonomi mempunyai peranan besar dalam pengambilan keputusan akan pemilihan jenis 

perawatan kesehatan. Beralihnya pemakaian  medis-modern ke pengobatan alternatif disebab kan 

besarnya biaya yang harus dikeluarkan pasien saat   berobat ke rumah sakit, di samping itu walaupun 

banyak tersedia sarana-sarana kesehatan milik Pemerintah yang memberikan pelayanan gratis, tidak 

semua warga   memakai   pelayanan ini  , disebab kan pelayanan gratis diidentikkan 

dengan pelayanan yang lambat, serta kurang memuaskan. Hal ini   seperti disampaikan oleh 

informan “C” dan “F”. 

Pemilihan sumber perawatan kesehatan tradisional yang dipakai   sebagai alternatif atau pelengkap 

medis-modern juga lebih selektif, sebab  ada sebagian yang memanfaatkannya untuk mencari 

keuntungan yang sebesar-besarnya, seperti yang dialami oleh informan “C” yang mengunjungi 

pengobatan tradisional untuk menghilangkan batu ginjal dengan metode bedah tanpa luka, ia dipungut 

biaya yang sangat besar untuk sekali pengobatan, bahkan terkesan menipu, sebab  setelah dilakukan 

bedah ini  , batu yang dikeluarkan berupa batu pasir. Oleh sebab  itu, pada saat ia mendengar 

mengenai pengobatan alternatif “A” dengan biaya sukarela, ia segera mendatanginya. Begitu juga 

halnya dengan informan “E”, ia pernah merasa geram atas salah satu pengobatan tradisional yang 

memakai   tenaga dalam, tetapi untuk penyakit tertentu, termasuk penyakit stroke yang dialaminya dikenakan tarif tinggi, setelah dilakukan pengobatan justru membuat informan masuk rumah sakit, 

sebab  saran yang tidak benar dari penyembuh.

Berdasar pada keterangan di atas, informan lalu   lebih selektif dalam memilih pengobatan, 

terlebih ia telah melakukan berbagai pengobatan dan mengeluarkan banyak biaya, sehingga ia lebih 

memilih pengobatan tradisional yang tidak dikenakan tarif dan bersifat sukarela, tidak seperti 

sebelumnya. 

Pengobatan transfer energi “A” yang tidak memungut biaya, baik terhadap penyakit berat atau ringan, 

anak kecil atau dewasa, membuat seseorang memilih untuk melakukan pengobatan di sana sebab  

orang yang berobat bebas menentukan biaya pengobatan sesuai dengan kemampuannya. Hal ini   

seperti dikatakan oleh informan “D”.

Faktor sosial

Dalam rangka menentukan jenis pengobatan yang akan dipilih, seseorang akan mencari informasi 

mengenai keberhasilan terhadap orang-orang yang mengalami gejala yang sama saat   melakukan 

pengobatan ini   sebelumnya. Informasi tentang pengobatan ini   diperoleh para informan 

melalui dua cara, yaitu: dorongan dari kerabat untuk memakai   pengobatan ini  , sehingga 

tidak sanggup menolak saran ini  , dan/atau informasi didapatkan dengan cara getok tular. 

Dorongan Kerabat

Foster dan Anderson (2006:49) berkata kata   bahwa pada warga   non-Barat, pengambilan 

keputusan akan jenis perawatan kesehatan dipengaruhi oleh kerabat maupun orang-orang terdekat dari 

penderita sakit. saat   salah satu anggota keluarga ada yang sakit, maka anggota keluarga yang lain 

serta orang-orang terdekat turut memberikan pilihan terhadap jenis pengobatan yang dipakai  . Hal 

ini   seperti dituturkan oleh informan “F”, “G”, “C”, dan “H”. 

berdasar  keempat pernyataan di atas, terlihat bahwa pengambilan keputusan terhadap jenis 

pengobatan yang akan dipakai   dipengaruhi oleh orang-orang di sekitar, bahkan tidak hanya sekedar 

saran, ia juga turut mengantarkan atau bahkan memperkenalkannya dengan penyembuh yang 

memakai   metode transfer energi ini  .

Getok Tular

Merupakan fakta bahwa warga   masih tetap mengunjungi pengobatan tradisional, baik sebagai 

pengganti atau alternatif maupun sebagai pelengkap pengobatan medis-modern (Soemowerdojo dalam 

Agoes 1996:108). pemakaian  pengobatan ini   semakin luas disebab kan proses sosialisasinya 

yang baik, dari mulai penyebaran informasi yang dilakukan media massa, tayangan televisi mengenai 

program bincang-bincang antara pasien dengan pelaku pengobatan tradisional, bahkan sampai 

informasi dari mulut ke mulut (Jawa:getok tular) yang dilakukan oleh pengguna pengobatan ini   

kepada keluarga, kerabat dan sebagainya.

Begitu pula dengan pengobatan transfer energi ini, diakui oleh penyembuh bahwa pasien yang datang 

untuk melakukan pengobatan kepadanya mendapat informasi dari orang yang pernah melakukan 

pengobatan ini  . Pengakuan beberapa informan di bawah ini menunjukkan bahwa informasi 

mengenai pengobatan transfer energi didapatkan melalui mulut ke mulut. Pada informan pengguna 

pengobatan transfer energi, yaitu “C” mendapatkan informasi pengobatan ini   dari pelanggan 

sayurnya. Menurut pelanggannya, pengobatan ini   telah berhasil menyembuhkan anggota 

keluarganya. Hanya berdasar  informasi ini  , “C” segera mengunjungi tempat pengobatan 

ini  . Pada pengalaman informan lainnya, yaitu “D” yang mengetahui pengobatan ini   secara 

tidak sengaja, sebab  ingin mendapatkan alamat pengobatan altenatif lain, tetapi justru mendapatkan informasi pengobatan transfer energi “A”, lalu   ia mengajak ibunya untuk berobat ke sana, dan 

pada pengobatan berikutnya juga diikuti oleh anggota keluarga yang lain.

Informan “E” mendapatkan informasi mengenai pengobatan dengan memakai   tenaga dalam di 

Tanggulangin dari anaknya, di mana anaknya juga mendapatkan informasi dari seorang temannya 

yang pernah melakukan pengobatan ini  . Ia lalu   mengunjungi pengobatan ini  , yang 

diketahui bahwa metode pengobatan yang dipakai   adalah energi yang diambil dari bumi. Berbeda 

dengan ketiga informan di atas, informan “F1” mendapatkan informasi dari rekan kerjanya, yang 

berprofesi sebagai guru di sebuah Sekolah Dasar, bahwa ada  pengobatan yang memakai   

metode transfer penyakit ke hewan, berdasar  informasi ini   “F1” mengajak “F” yang terserang 

penyakit kanker serviks dengan harapan penyakit ibunya dapat dipindahkan ke hewan, akan tetapi 

setelah beberapa kali berobat, pengobatan yang diberikan hanya transfer energi dari penyembuh ke 

tubuh pasien saja. 

berdasar  keterangan ini  , diketahui bahwa rekan kerja “F1” yaitu “H” juga mendapat 

informasi mengenai pengobatan ini   dari rekan kantor suaminya yang menderita stroke, dan dapat 

pulih setelah beberapa kali terapi secara rutin. Atas dasar keberhasilan pengobatan ini  , maka 

saat   anaknya sakit batuk yang tidak kunjung sembuh segera dibawa ke pengobatan transfer energi 

untuk mendapatkan terapi. Dari beberapa uraian cerita, semua informan dalam penelitian ini 

mendapatkan informasi pengobatan alternatif transfer energi dengan cara getok tular. 

Faktor jarak

Faktor jauh atau dekatnya jarak antara tempat tinggal dengan sumber perawatan kesehatan akan 

mempengaruhi pengambilan keputusan dalam menentukan jenis pengobatan yang akan dipakai   

berdasar  keterangan dari informan diketahui bahwa pada umumnya, mereka telah mencoba ke 

berbagai pengobatan alternatif, baik di dalam kota sampai luar kota dan pengobatan yang dirasa cocok 

ialah saat   melakukan pengobatan di luar kota. Pada saat mendapatkan informasi mengenai jenis 

pengobatan ini, mereka tidak segan untuk mencobanya dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu, 

termasuk jarak antara tempat tinggal dengan tempat pelayanan pengobatan yang lebih dekat dari 

sebelumnya. Hal ini   dituturkan oleh informan “D” dan “E”.

Berbeda dengan kedua informan di atas, oleh sebab  jarak antara rumah informan dengan tempat 

pelayanan pengobatan terbilang dekat, sebab  menurut pengamatan peneliti, lokasi dapat ditempuh 

kurang lebih 10 menit, informan “G” rela untuk 2 kali mengunjungi tempat pelayanan pengobatan 

dalam sehari dengan mengendarai sepeda motor, sekaligus membawa putri bungsunya “G2” yang saat 

itu sedang meningkat suhu tubuhnya untuk segera mendapatkan pengobatan. Hal ini   

menandakan bahwa jika jarak antara tempat tinggal dengan tempat pelayanan pengobatan jauh, 

tentunya informan tidak akan mengendarai sepeda motor dan rela dua kali pulang-pergi untuk 

berobat. Lokasi pengobatan yang dekat dengan tempat tinggal informan serta mudah dijangkau, 

membuat beberapa informan dengan mudah untuk mengunjunginya, baik dengan memakai   

kendaraan roda dua atau roda empat. Hal ini   juga dilakukan oleh informan “E” yang menderita 

stroke, di mana setiap kunjungan berobat selalu diantar anggota keluarganya dengan kendaraan roda 

empat, saat   akan berobat berikutnya, mobil ini   tidak bisa dipakai  , maka ia rela diantar 

dengan sepeda motor untuk tetap menjalankan pengobatan sesuai dengan jadwal, walaupun pada saat 

ini   sedang hujan deras.Proses pengobatan

berdasar  cara pengobatannya, pengobatan transfer energi apabila diklasifikasikan sesuai dengan 

Keputusan Menteri Kesehatan Republik negara kita   nomor 1076/MENKES/SK/VI tahun 2003 

termasuk dalam pengobatan tradisional berdasar  kekuatan supranatural, sebab  pengobatan 

dan/atau perawatannya memakai   tenaga dalam, meditasi, olah pernafasan, indera keenam, dan 

kebatinan.

Pada teknik pengobatan transfer energi, pengobatan dilakukan oleh penyembuh pada organ yang sakit 

dengan membersihkan atau menghilangkan energi yang berpenyakit atau tidak dibutuhkan oleh tubuh 

pasien, lalu   memberikan energi yang dibutuhkan oleh tubuh pasien, terutama pada organ atau 

bagian tubuh yang dirasa sakit. Pemberian energi kepada seluruh bagian tubuh ini dipakai   untuk 

memberikan keseimbangan pada tubuh. Pengobatan ini dapat diberikan kepada siapapun tanpa 

terkecuali, baik laki-laki atau perempuan, muda atau tua, kaya atau miskin, penyakit berat ataupun 

ringan.

Proses pengobatan transfer energi ini dilakukan oleh penyembuh dengan 3 cara, yaitu: (1) Proses 

pengobatan jarak dekat, yakni dengan bertatap muka antara penyembuh dengan pasien; (2) Proses 

pengobatan jarak jauh, yakni antara penyembuh dan pasien tidak bertemu secara langsung dan berada 

di lokasi yang berbeda; (3) Proses pengobatan dengan memindahkan penyakit ke hewan. Akan tetapi 

peneliti, hanya akan menggambarkan 2 (dua) proses pengobatan saja, yaitu proses pengobatan jarak 

dekat dan jarak jauh, hal ini   disebab kan selama melakukan penelitian, penulis tidak menjumpai 

proses pengobatan yang memakai   media hewan dalam penyembuhannya.

Proses pengobatan jarak dekat dapat dijelaskan secara berurutan sebagai berikut: 1) pasien 

diperkenankan untuk duduk santai di ruang pengobatan, 2) penyembuh bertanya kepada pasien 

mengenai identitas dan keluhan mengenai kondisi kesehatan, 3) pasien menceritakan keluh kesah 

mengenai kondisi kesehatan yang dialaminya saat ini, 4) pasien diminta untuk menulis identitas dan 

keluhan kesehatan pada sebuah buku sebagai dokumentasi penyembuh, 5) pasien diminta untuk duduk 

di bangku panjang atau kursi plastik tanpa sandaran yang telah tersedia di ruang pengobatan guna 

memudahkan proses terapi, 6) pasien lalu   diajak oleh penyembuh untuk bersama-sama berdoa 

dalam hati sesuai dengan keyakinan masing-masing, memohon kesembuhan, 7) persiapan untuk 

terapi, di mana kondisi tubuh pasien harus dalam kondisi rileks, dan santai, 8) penyembuh lalu 

melakukan proses terapi dengan menyalurkan energi yang dibutuhkan pasien dan membuang energi 

yang tidak dibutuhkan pasien melalui telapak tangan yang disentuhkan atau terkadang seperti gerakan 

memijit dengan sedikit menekan pada bagian tubuh pasien yang dirasa sakit. Selain pada organ tubuh 

yang sakit, pemberian energi juga dilakukan pada bagian tubuh yang berkaitan dengan organ yang 

sakit ini  . 

Pemberian energi dilakukan secara berulang-ulang dan waktu yang dibutuhkan juga tidak terlalu 

lama. Pada saat proses terapi, penyembuh juga memberikan sugesti kepada pasien agar selalu 

mempunyai keinginan dan keyakinan untuk sembuh. Telapak tangan yang dipakai   untuk 

memberikan energi tergantung pada penyembuh, sebab  kedua-duanya (kanan dan kiri) dapat

dipakai   untuk menyalurkan energi, akan tetapi bagi penyembuh lebih baik menyalurkan energi 

dengan memakai   tangan kanan. 

Pada saat terapi, penyembuh juga melakukan deteksi pada tubuh pasien mengenai keluhan yang 

dirasakan oleh pasien. Setelah dilakukan pendeteksian dengan dicocokkan dengan keluh kesah pasien, 

penyembuh menceritakan mengenai masalah kesehatan atau penyakit yang diderita pasien saat ini.

Setelah dilakukan transfer energi, penyembuh bertanya kepada pasien bagaimana keadaannya. 

Terkadang untuk beberapa keluhan kesehatan, pasien diminta untuk mencoba menggerakkan anggota 

badan untuk mengetahui perubahannya dengan diberikan sugesti positif. Apabila dirasa masih 

ada  gangguan, penyembuh akan memberikan energi pada bagian yang dirasa sakit dan lalu   

menanyakan kembali kepada pasien sekaligus pasien dimohon untuk mencoba menggerakkan anggota 

badan sekali lagi, apakah keluhan yang dirasakan sebelumnya berangsur membaik.

Setelah dirasa ada perubahan terhadap kondisi tubuh, pasien dipersilahkan untuk rileks sejenak.

Penyembuh mengambil air mineral gelas yang telah disediakan oleh penyembuh di sudut ruangan dan 

memberikan doa untuk diberikan kesembuhan kepada orang yang bersangkutan sekaligus 

memberikan energi kepada air mineral ini  . Pasien diminta untuk meminum air mineral ini  .

Selain air mineral gelas, pasien dianjurkan membawa pulang 2 botol air mineral berisi 1,5 liter yang 

sebelumnya air ini   telah diberikan doa dan energi dengan harapan air ini   dapat dipakai   

untuk membantu proses penyembuhan. Air mineral ini   boleh dibawa dari rumah atau dapat 

dibeli di toko sekitar tempat pengobatan, atau dari penyembuh jika masih tersedia. Botol berisi air 

mineral yang siap untuk diminum ini dimaksudkan agar selalu dikonsumsi pasien selama proses 

pengobatan dan sebelum melakukan terapi berikutnya. Pasien diminta untuk kembali berobat sekitar 

3-5 hari lalu  , sebab  setelah berobat sampai pada saat akan kembali berobat, penyembuh selalu 

memantau kondisi pasien, dan seringkali melakukan pengobatan jarak jauh (tanpa bertemu secara 

langsung) yang biasanya dilakukan pada malam hari.


Dalam proses pengobatan jarak jauh, hampir serupa dengan proses pengobatan jarak dekat, akan 

tetapi yang membedakannya adalah pasien dan penyembuh tidak bertemu secara langsung dan 

sekaligus berada di lokasi yang berbeda. Pengobatan jarak jauh ini dapat dilakukan saat   penyembuh 

saling berhubungan dengan pasien, dalam hal ini dapat melalui kontak telepon atau melalui foto 

pasien, di mana foto ini   didapat dari keluarga pasien saat   datang ke penyembuh atau melalui 

surat yang dikirim lewat pos, yang disertai identitas serta kondisi/keluhan kesehatan pasien. 

Penyembuh dan pasien terhubungkan dengan mengarahkan pikiran penyembuh kepada pasien, sebab  

energi prana pada umumnya dapat diarahkan dengan mengikuti ke mana pikiran atau perhatian 

penyembuh tertuju (jika penyembuh memusatkan perhatian kepada pasien, maka ia dapat membuang 

energi penyakit atau yang tidak dibutuhkan pasien dan menyalurkan energi yang dibutuhkan) 

Jika pasien dalam keadaan tidak mengetahui bahwa dirinya dalam proses pengobatan, maka 

penyembuh berusaha membuat pasien turut merasakan adanya energi yang masuk ke dalam tubuhnya 

terutama pada organ/bagian tubuh yang sakit dengan ditandainya rasa nyeri atau otot tertarik atau 

kondisi yang berangsur membaik. Proses pengobatan jarak jauh dapat dijelaskan secara berurutan sebagai berikut: Pertama, penyembuh bertanya mengenai identitas dan keluhan kesehatan pasien; 

Kedua, pasien atau keluarga pasien menceritakan mengenai kondisi kesehatan; Ketiga, jika melalui 

kontak telepon pasien diminta untuk berdoa bersama dalam hati dengan tujuan memohon untuk 

kesembuhan pasien; Keempat jika melalui kontak telepon proses persiapan terapi, dengan meminta 

pasien untuk rileks dan santai; Kelima proses terapi dilakukan dengan menyebutkan identitas pasien, 

melihat foto (atau bisa melalui kontak telepon) dan berkonsentrasi untuk menyalurkan energi yang 

dibutuhkan pasien dan membuang energi yang tidak dibutuhkan pasien, terutama pada bagian tubuh 

pasien yang dirasa sakit. Selain pada organ tubuh yang sakit, juga diberikan kepada bagian tubuh yang 

berkaitan dengan organ ini  . Terapi atau pemberian energi dilakukan secara berulang-ulang. Pada 

saat proses terapi, penyembuh juga memberikan sugesti kepada pasien agar selalu mempunyai 

keinginan dan keyakinan untuk sembuh; Keenam, setelah dilakukan terapi, penyembuh selalu 

bertanya kepada pasien bagaimana keadaannya. Apabila dirasa masih ada  gangguan, maka akan 

dilakukan terapi beberapa kali hingga pasien merasakan bahwa lebih baik dari sebelumnya; Ketujuh, 

pasien dipersilahkan untuk menyiapkan air minum satu gelas dan 2 botol berukuran 1,5 liter, yang 

akan diberikan energi dan doa untuk lalu   diminum; Kedelapan, pasien diminta untuk 

menghubungi penyembuh setelah 3 hari, untuk mengetahui perkembangan kesehatan dan terapi.

Proses pengobatan jarak jauh ini juga dipakai   sebagai lanjutan proses pengobatan, di mana 

penyembuh melakukan pengobatan ulang setelah pengobatan secara langsung, dalam masa sebelum 

pasien kembali untuk berobat pada 3-5 hari lalu  . Hal ini   dilakukan dengan cara 

penyembuh berkonsentrasi dengan membayangkan atau melihat foto pasien dan menyebut nama 

pasien, lalu   melakukan transfer energi yang dibutuhkan pasien terutama pada bagian 

tubuh/organ yang sakit. Pemberian energi bukan ditujukan untuk foto ini  , melainkan untuk tubuh 

pasien, oleh sebab  itu penting sekali dalam proses pengobatan jarak jauh untuk menyebutkan seluruh 

identitas pasien, yang meliputi nama lengkap, tanggal lahir, dan alamat pasien sebelum melakukan 

terapi. Hal ini   dilakukan agar energi yang penyembuh berikan dapat sampai ke tujuan dan tidak 

menyasar ketempat lain, sebab  terkadang ada kemungkinan bahwa beberapa orang mempunyai nama 

yang sama, sehingga agar perawatan yang dilakukannya sampai ketujuan perlu juga ditanyakan 

tanggal lahir pasien itu. Walau sangat kecil, masih ada kemungkinan ada orang dengan nama yang 

sama dan dilahirkan pada tanggal yang sama, jadi diperlukan informasi tambahan yang ketiga, yaitu 

alamat. Hampir tidak mungkin ada orang dengan nama yang sama, tanggal lahir yang sama dan 

tinggal di rumah yang sama pula. Akan tetapi, penyebutan identitas ini hanya dilakukan di awal 

terapi, dan saat   terapi berikutnya penyembuh hanya menyebutkan nama pasien saja.

Pengobatan jarak jauh ini banyak dilakukan pada malam atau dini hari saat   pasien sedang terlelap 

sebab  dianggap lebih efektif bagi pasien untuk menerima energi yang diberikan oleh penyembuh, di

mana pasien tidak sedang melakukan aktifitas yang lalu   dapat berdampak bagi pemberian 

energi yang dilakukan penyembuh. Penyembuh menghentikan pengobatan ini   pada saat 

menjelang fajar. Hal ini   dilakukan agar penyembuh dapat beristirahat untuk beraktifitas 

keesokan pagi dan di samping itu, menurut Choa Kok Sui dalam bukunya menyebutkan bahwa energi 

prana lebih lemah, sebab  sekitar pukul tiga atau empat dini hari merupakan tingkat terendah 

perolehan energi ini   

Proses penyembuhan akan lebih mudah jika pasien bersikap rileks dan mau menerima atau tidak 

memberikan penolakan terhadap jenis pengobatan ini  . Jika pasien rileks serta mau menerima, 

tubuhnya dapat menyerap lebih banyak energi, hal ini   seperti yang disampaikan oleh “A”, selaku 

penyembuh bahwa saat   pasien percaya terhadap pengobatan ini, maka energi yang disalurkan oleh 

penyembuh dapat diterima pasien dengan baik, akan tetapi jika pasien mempunyai keraguan, maka 

energi ini   akan kembali kepada penyembuh. Penolakan energi prana untuk masuk ke dalam 

tubuh pasien, disebab kan beberapa alasan, yaitu: pertama, jika pasien mempunyai prasangka buruk 

terhadap jenis penyembuhan seperti ini, jika pasien tidak menyukai pribadi penyembuh, dan ketiga, 

jika pasien tidak ingin sembuh . Oleh sebab  itu, hubungan baik antara penyembuh 

dengan pasien harus terjalin dengan baik untuk mengurangi adanya penolakan energi dari pasien.

Seorang penyembuh saat   melakukan proses pengobatan haruslah benar-benar konsentrasi dan rileks 

saat   menyalurkan energi ke tubuh pasien, walaupun seringkali diselingi guyonan kepada pasien. Hal 

ini   dilakukan penyembuh agar hubungan pasien dan penyembuh lebih akrab, dan pasien tidak 

terlalu stress.

saat   proses pengobatan, penyembuh turut merasakan kondisi yang diderita oleh pasien, walaupun 

penyembuh seringkali menanyakan kondisi pasien sebelumnya. Menurut “A”, hal ini   dilakukan 

untuk memastikan apakah benar diagnosa dari penyembuh sesuai dengan apa yang dialami pasien. 

Diagnosa oleh penyembuh ini didasarkan pada salah satu dari tiga metode utama, yaitu pengetahuan 

intuitif yang diperoleh melalui meditasi. Diagnosa oleh penyembuh dapat didasarkan pada salah satu 

atau kombinasi dari numerologi (Jawa:petungan), pengetahuan secara intuitif melalui meditasi, dan 

penganalisaan simtom-simtom 

Pada proses pengobatan transfer energi ini, pengetahuan ini   diketahui saat   penyembuh mulai 

menyalurkan energi prana secara menyeluruh kepada tubuh pasien. Penyembuh dapat merasakan dan 

mengalami keadaan pasien, bahkan mengetahui bahwa pasien pernah mengalami suatu hal yang 

menyebabkan kondisi tubuh tidak benar. Begitu juga pada saat proses pengobatan, pasien juga dapat 

merasakan efek dari pengobatan ini  , seperti rasa nyeri atau kesakitan pada daerah yang diberikan 

energi prana dengan cara disentuh dengan sedikit ditekan. Hal ini   tampak pada saat proses 

pengobatan yang dilakukan pada salah seorang pasien, di mana penyembuh mengetahui bahwa pada 

bagian tulang punggung pasien ada yang tidak beres, disebab kan pasien pernah jatuh atau terbentur 

secara keras. Pasien ini   merupakan salah satu keluarga informan, yang lalu   membenarkan 

bahwa beberapa hari lalu pada saat mengendarai sepeda motor melewati jalan yang berlubang, dan 

sebab  shock absorber kendaraan tidak berfungsi maka badan terasa terhantam oleh jok motor. saat   

energi prana disalurkan ke daerah ini   dengan tujuan untuk mengembalikannya ke keadaan 

semula, raut wajah pasien terlihat berubah, sebab  menahan rasa sakit. Selain rasa nyeri yang 

dirasakan, beberapa pasien juga merasakan kehangatan dibagian tubuh yang dialiri energi oleh 

penyembuh pada saat proses pengobatan berlangsung. 

Dalam proses pengobatan, selain pasien diberikan sugesti agar mempunyai keinginan untuk sembuh, 

pasien harus memiliki kepercayaan dan keyakinan, bahwa melalui pengobatan dan perantara 

penyembuh dan air yang diminum dapat mendatangkan kesembuhan bagi dirinya. Oleh sebab  itu, 

selain proses pengobatan dengan memberikan dan mengeluarkan energi, baik yang diperlukan atau 

tidak dibutuhkan oleh tubuh, pasien juga diberikan air mineral yang telah diberikan doa dan energi. 

Pemilihan air mineral (siap minum) sebagai media penyembuhan disebab kan air mineral tidak 

memberikan dampak negatif terhadap tubuh, sebab  sesungguhnya dengan minum air mineral sangat 

baik bagi tubuh. Pemberian doa pada air mineral ini   diucapkannya dalam hati sekaligus 

berkonsentrasi untuk memberikan energi dengan menyebutkan nama pasien yang akan minum air 

ini  . Oleh sebab , air mineral ini   telah diyakini oleh pasien dapat membantu proses 

penyembuhan, pasien dengan leluasa memanfaatkan air mineral ini   untuk diminum atau juga 

dioleskan atau dibasuhkan kepada bagian tubuh yang sakit.





Diketahui bahwa akhir-akhir ini ada  fenomena sosial dan budaya warga   mengenai pengobatan 

tradisional yang berkembang dan banyak dipakai   oleh warga   sebagai alternatif atau pelengkap dari 

pengobatan modern. Pengobatan transfer energi sebagai salah satu jenis pengobatan tradisional, di mana tidak 

memakai   alat bantu atau ramuan tertentu, semakin diminati warga  . Metode penelitian memakai   

observasi dan wawancara. Penelitian dilakukan di daerah Sidoarjo, Jawa Timur, di salah satu tempat pengobatan 

alternatif. Wawancara dilakukan pada berjumlah 2 (dua) orang sebagai pelaku pengobatan transfer energi dan 6 

(enam) pasien dari pengobatan transfer energi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemakaian  jenis 

pengobatan ini   dipengaruhi oleh tingkat keparahan penyakit, pengetahuan dan pengalaman, kepercayaan, 

ekonomi, sosial dan jarak.


Pengobatan tradisional 5

 



pengobatan 

tradisional di indonesia


Hasil uji regresi dengan metode probit menggu￾nakan tujuh variabel menghasilkan tiga varia￾bel independen yang mempunyai pengaruh 

signifikan terhadap variabel dependen masing￾masing yaitu  usia, wilayah tempat tinggal dan 

keberadaan pos obat. Sedangkan kepemilikan 

asuransi kesehatan, pendapatan, jarak menuju 

fasilitas kesehatan dan pendidikan tidak berpe￾ngaruh terhadap probabilitas untuk memilih 

pengobatan tradisional. 

Berdasarkan simpulan di atas, maka penulis 

memberikan beberapa saran, yaitu: Pemerintah 

diharapkan dapat mengkampanyekan penting￾nya hidup sehat dengan memakai  obat 

tradisional sebab  adanya dampak buruk yang 

ditimbulkan dari konsumsi obat kimia yang 

muncul dalam jangka waktu yang panjang. Di 

mana pencegahan sedini mungkin dengan 

pengalihan pada bahan-bahan tradisional akan 

dapat meminimalkan resiko yang akan ditim￾bulkan kelak. 

Individu dalam rumah tangga yang tinggal di wilayah yang terdapat pos obatnya memiliki 

probabilitas yang lebih tinggi untuk memilih 

pengobatan tradisional. Mengingat banyaknya 

individu dalam rumah tangga IFLS 2007 yang 

melakukan pengobatan ini maka Departemen 

Kesehatan (Depkes) diharapkan dapat melaku￾kan pembinaan dan penataan yang lebih baik 

dan luas terhadap obat tradisional guna men￾dukung program Indonesia sehat 2010 serta 

mendukung tren back to nature yang dapat 

mendukung pemerintah dalam mewujudkan 

visi Indonesia sehat 2010 tentang gambaran 

kehidupan rakyat indonesia yang hidup dalam 

lingkungan yang sehat dan dengan perilaku 

hidup sehat. 

Wilayah tempat tinggal mempengaruhi 

probabilitas individu untuk memilih pengobat￾an tradisional di mana individu yang tinggal di 

desa lebih tinggi probabilitasnya. Hal ini dapat 

disebabkan sebab  bahan dasar pengobatan 

tradisional masih banyak tersedia di alam, 

dengan ini diharapkan pemerintah setempat 

dapat melihat hal ini sebagai peluang untuk 

membuat industri rumahan yang memproduksi 

obat tradisional dengan kemasan yang lebih 

modern sehingga dapat mendukung berkem￾bangnya tren back to nature khususnya pada 

individu yang tinggal di kota. 

Hasil studi yang telah dilakukan maka 

studi ini mempunyai beberapa keterbatasan, 

yaitu: Studi ini hanya memakai  data IFLS-

4 (Indonesia Family Live Survey) pada tahun 2007. 

Studi selanjutnya diharapkan dapat mengguna￾kan data IFLS pada semua periode yaitu IFLS-1 

pada tahun 1993, IFLS-2 pada tahun 1997, dan 

IFLS-3 pada tahun 2000 dengan tujuan mem￾peroleh hasil yang lebih baik dan menyeluruh. 

Studi ini memakai  metode regresi probit 

di mana model ini memiliki kelemahan dalam 

masalah probabilitas bersyarat yang ditaksir 

mungkin tidak terletak antara nilai 0 dan 1. Hal 

ini disebabkan sebab  hubungan antara varia￾bel terikat dengan variabel bebasnya linear, 

maka nilai variabel terikatnya akan sangat 

tergantung dari nilai variabel bebas. Dengan 

demikian, hasil perhitungan yang diperoleh 

akan mungkin berada di luar jangkauan nilai 0 

sampai dengan 1 atau bersifat diskrit (discrete) 

di mana nilainya tidak dapat berada di luar 

pilihan beberapa opsi jawaban. Hal ini menja￾dikan metode ini sebagai model yang tidak 

terlalu baik. Jadi, diharapkan untuk studi 

selanjutnya dapat memakai  metode yang 

berbeda sehingga hasil studi yang diperoleh 

dapat dibandingkan dengan studi sebelumnya. 


Kesehatan merupakan aspek yang penting 

dalam kehidupan yang dapat merefleksikan 

tinggi rendahnya standar hidup yang dimiliki 

seorang individu. Kesehatan dianggap penting 

sebab  dengan sehat maka memudahkan indi￾vidu untuk melakukan aktivitas kesehariannya. 

Cara yang dapat dipakai  untuk memperoleh 

status sehat individu dapat dilakukan dengan mengkonsumsi barang dan jasa kesehatan atau￾pun dengan melakukan kegiatan yang diang￾gap dapat menyehatkan. Jika status kesehatan 

tidak terpenuhi maka dapat menyebabkan indi￾vidu mengalami keluhan kesehatan yang dapat 

menimbulkan sakit sehingga akan berdampak 

pada terganggunya aktifitas. Sakit berhubungan 

dengan perilaku pencarian obat untuk memper￾oleh kembali status sehat yang dapat dilakukan 

dengan berbagai cara misalnya dengan mencari 

pengobatan medis ke dokter, bidan, dan tenaga 

medis lainnya. Selain dengan pengobatan medis 

perilaku pencarian pengobatan terhadap keja￾dian penyakit dapat juga dilakukan dengan 

cara pengobatan sendiri yaitu dengan membeli 

obat di warung dengan tetap memperhatikan 

petunjuk pemakaian atau dengan cara peng￾obatan tradisional yang masih eksis pada 

individu dalam rumah tangga. Perilaku penca￾rian pengobatan melalui pengobatan tradisional 

yang masih banyak dilakukan oleh individu 

dalam rumah tangga dapat dilihat dalam tabel 

1.

Fakta yang menarik yaitu  sekitar 80 per￾sen dari tanaman obat yang ada di dunia tum￾buh di Indonesia, sehingga bahan yang dibu￾tuhkan untuk pengobatan yang berasal dari 

alam ini dapat dengan mudah di temui di 

sekitar kita. berkata kata  

bahwa Indonesia memiliki keanekaragaman 

hayati yang luar biasa dengan jumlah sekitar 

40.000 spesies, dari seluruh jumlah spesies ter￾sebut sekitar 1300 di antaranya dipakai  seba￾gai obat tradisional. Berdasarkan data yang 

diperoleh dari BPOM (Badan Pengawasan Obat 

dan Makanan) hanya sebanyak 283 spesies 

tanaman obat yang baru diregistrasi untuk 

pemakaian  obat tradisional/jamu dan hanya 

13 spesies yang baru dibudidayakan yang 

dapat dilihat pada tabel 2 (Lampiran). 

Jumlah spesies tanaman obat yang melim￾pah di Indonesia membuat pemakaian  peng￾obatan tradisional oleh individu dalam rumah 

tangga telah dilakukan secara turun-temurun 

dari nenek moyang hingga sekarang, kebiasaan 

ini telah menjadi warisan budaya bangsa Indo￾nesia. Pengobatan tradisional masih dipakai  

oleh individu dalam rumah tangga disebab kan 

beberapa faktor yang menunjang yaitu penga￾laman yang sebelumnya didapat oleh orang tua 

yang telah turun temurun dipakai , tidak 

merepotkan atau lebih praktis sebab  bahan 

yang dipakai  dapat langsung diperoleh dari 

alam yang ada di sekitar rumah, pengobatan 

tradisional tidak mengeluarkan biaya, serta 

manfaat yang dirasakan yaitu ramuan tradi￾sional yang dikonsumsi beserta bantuan pengo￾batan dari dukun dapat mrngurangi rasa sakit 

Pengobatan tradisional diterapkan sebab  

alasan mudah, murah dan manjur serta sesuai 

dengan kerangka berpikir individu dalam 

rumah tangga terkait dengan konsep keseim￾bangan dan pelestariannya perlu tetap diupaya￾kan sebab  telah berakar lama pada individu 

dalam rumah tangga. Penyakit yang paling 

sering dialami oleh individu dalam rumah 

tangga yaitu  masuk angin yang dapat diana￾logikan sebagai gangguan tubuh akibat unsur 

angin yang tidak lancar. Prinsip yang terdapat 

di dalam pengobatan kerokan seperti oposisi 

biner: panas x dingin; longgar x kencang; angin 

masuk x angin keluar; ringan x berat; serta 

tercapainya keseimbangan merupakan dasar 

pengobatan tradisional. Angin yang terdapat 

dalam tubuh dapat dikeluarkan lewat kentut 

atau sendawa 

berkata kata  bahwa jenis 

kelamin, usia, pendidikan, status pekerjaan serta 

pendapatan individu berhubungan dengan perilaku pengobatan sendiri sedangkan lokasi 

(desa atau kota) serta jarak tempat tinggal 

dengan fasilitas kesehatan tidak memiliki 

hubungan yang signifikan terhadap perilaku 

pengobatan sendiri. Metode yang dipakai dalam 

studi sebelumnya memiliki beberapa kelemahan 

di antaranya kurang dapat dihandalkan untuk 

mengidentifikasi dan mengukur efek yang 

ditimbulkan dalam model cross-section maupun 

time-series dan tidak memberikan hasil yang 

kompleks terutama dalam studi yang mempe￾lajari dan menguji model perilaku (behavior 

models).

Studi mengenai status kesehatan dalam 

pengukurannya lebih sesuai diolah dengan 

memakai  data Indonesia Family Life Survey

(IFLS) sebab  data ini akan memberikan ukuran￾ukuran yang luas mengenai status kesehatan 

individu termasuk langkah-langkah yang dila￾porkan langsung mengenai status kesehatan 

secara umum, pengalaman morbiditas, dan 

penilaian secara fisik misalnya tinggi, berat 

badan, lingkar kepala, hemoglobin dan lainnya, 

selain itu data IFLS juga dapat memberikan 

gambaran yang jauh lebih banyak dibandingkan  sta￾tus kesehatan yang biasa tersedia dalam survei 

rumah tangga, misalnya IFLS dapat memberikan 

data yang dapat dipakai  untuk mengeksplo￾rasi hubungan antara status sosial ekonomi 

dengan berbagai susunan kesehatan. 

Setyawati dan Meridian (2010) dalam studi 

yang memakai  data Indonesia Family Life 

Survey (IFLS) yang menyimpulkan bahwa 

keberadaan modal sosial pada individu dalam 

rumah tangga IFLS mempunyai hubungan yang 

signifikan dengan pemanfaatan dukun beranak 

di mana pendidikan merupakan satu-satunya 

faktor yang signifikan terhadap pemilihan per￾salinan dengan memakai  dukun. 

Hidayat (2008) dengan analisis data Indo￾nesia Family Life Survei (IFLS) menunjukkan 

bahwa peserta asuransi kesehatan terbukti 

memiliki probabilitas kunjungan yang lebih 

tinggi dalam memakai  pelayanan rawat 

jalan dibandingkan  non-peserta. Selain itu, dalam 

berkata kata  bahwa peri￾laku pasien geriatric dalam melakukan swa￾medikasi (pengobatan sendiri) yaitu  kepe￾milikan asuransi kesehatan di mana studi ini 

menunjukkan bahwa jumlah pasien yang tidak 

memiliki asuransi kesehatan lebih banyak mela￾kukan swamedikasi dibandingkan dengan pasien 

yang memiliki asuransi kesehatan artinya hasil 

analisis menunjukkan kepemilikan asuransi 

kesehatan memiliki hubungan yang signifikan 

dengan perilaku pengobatan. 

 telah melakukan 

studi tentang perilaku masyarakat untuk men￾dapatkan pelayanan kesehatan berkata kata  

bahwa sikap memiliki hubungan yang signifi￾kan antara sikap dengan perilaku mengobati. 

Pengetahuan tidak memiliki hubungan yang 

signifikan antara pengetahuan individu dengan 

perilaku mengobati. Pendidikan tidak mempu￾nyai hubungan yang signifikan dengan perilaku 

mengobati. Pendapatan tidak memiliki hubungan 

yang signifikan dengan perilaku mengobati. 

Terdapat hubungan antara asuransi kesehatan 

dengan perilaku mengobati. 

 dalam studinya dengan 

memakai  cross section berkata kata  bahwa 

hasil studinya menunjukkan bahwa persentase 

individu yang memilih pengobatan tradisional 

di wilayah kerja Puskesmas Muara Siberut seba￾nyak 63,54 persen dengan beberapa variabel 

yaitu pengetahuan, ada hubungan antara 

pengetahuan dengan pemilihan pengobatan. 

Sikap memiliki hubungan yang signifikan 

dengan pemilihan pengobatan. Pekerjaan tidak 

mempunyai hubungan dengan pemilihan peng￾obatan akan tetapi mereka tetap memilih 

pengobatan tradisional sesuai teori masyarakat 

yang memiliki pekerjaan dan penghasilan yang 

pas-pasan akan memilih pengobatan tradisional. 

Pendidikan memiliki hubungan yang signifikan 

dengan pemilihan pengobatan oleh individu. 

Jarak tempat tinggal tidak memiliki hubungan 

yang signifikan dengan pemilihan obat. 

 berkata kata  bahwa 

warga  yang berusia lanjut yaitu lebih dari 

56 tahun untuk menggunkan obat tradisional 

lebih banyak 1,56 kali dibandingkan  warga  yang 

bukan lanjut usia. Supardi dan Susyanty (2010) 

berkata kata  bahwa: kelompok usia lanjut usia 

memiliki hubungan yang signifikan dengan 

pemakaian  obat tradisional. Terdapat hubungan 

yang signifikan antara jenis kelamin dan peng￾gunaan obat tradisional. Ada hubungan yang 

signifikan antara individu yang menikah dan 

pemakaian  obat tradisional. Terdapat hubungan 

signifikan antara individu yang berpendidikan 

rendah dan pemakaian  obat tradisional. Ada hubungan yang signifikan antara jenis peker￾jaan individu dan pemakaian  obat tradisional. 

Ada hubungan yang signifikan antara tempat 

tinggal dan pemakaian  obat tradisional. Jenis 

Keluhan memiliki hubungan antara individu 

yang mengeluh demam, batuk, pilek, diare dan 

pemakaian  obat tradisional, tetapi tidak ada 

hubungan yang signifikan antara individu yang 

mengeluh sakit kepala dan pemakaian  obat 

tradisional. 

 berkata kata  bahwa proba￾bilitas pasien geriarti melakukan swamedikasi 

di Kabupaten Sleman memberikan hasil bahwa 

faktor yang berhubungan dengan perilaku 

pasien geriatric melakukan swamedikasi yaitu  

kepemilikan asuransi kesehatan di mana studi 

ini menunjukkan bahwa jumlah pasien yang 

tidak memiliki asuransi kesehatan lebih banyak 

melakukan swamedikasi dibandingkan dengan 

pasien yang memiliki asuransi kesehatan arti￾nya hasil analisis menunjukkan kepemilikan 

asuransi kesehatan memiliki hubungan yang 

signifikan dengan perilaku pengobatan. 

 berkata kata  bahwa perilaku 

pencarian pengobatan oleh individu dalam 

rumah tangga dipengaruhi oleh jumlah dan 

jenis sarana pelayanan kesehatan yang tersedia 

di sekitarnya. Oleh sebab  itu pada wilayah 

yang banyak tersedia sarana pelayanan kese￾hatan seperti puskesmas, rumah sakit pemerin￾tah dan swasta, balai pengobatan serta praktek 

dokter, maka pilihan individu dalam rumah 

tangga semakin beragam untuk melakukan 

pencarian pengobatan. 

semakin banyak sarana dan jumlah tenaga 

kesehatan maka tingkat pemanfaatan pelayan￾an kesehatan suatu masyarakat akan semakin 

bertambah. 

Tujuan dari studi ini yaitu  faktor yang 

signifikan terhadap preferensi untuk memilih 

berobat secara tradisional terutama pijat kerokan, 

okup/koop/bekam dan sejenisnya dan juga minum 

jamu atau obat tradisional sebagai pengobatan 

dibandingkan pengobatan medis. 


Data 

Jenis data yang dipakai  dalam studi ini 

yaitu  data sekunder yang diperoleh dari lem￾baga survei yaitu Indonesia Family Life Survey

(IFLS) berupa data longitudinal yang mencakup 

wilayah dari 13 provinsi di Indonesia yaitu 

seluruh provinsi di Jawa, Bali, NTB, Sulawesi 

Selatan, Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, 

Lampung, Sumatera Barat dan Sumatera Utara. 

Survei data IFLS pertama kali dilakukan pada 

tahun 1993 yang disebut dengan IFLS-1, survei 

pada tahun 1997 disebut dengan IFLS-2, dan 

survei tahun 2000 dan 2007 yang selanjutnya 

disebut sebagai IFLS-3 dan IFLS-4. 

Subjek dalam studi ini yaitu  individu 

dalam rumah tangga berusia 15 tahun atau 

lebih yang merupakan individu dari studi Indo￾nesia Family Live Survey (IFLS) pada 13 provinsi 

anggota survei. Data IFLS yang akan dipakai  

dalam studi ini yaitu  IFLS-4 tahun 2007 yang 

dikumpulkan pada akhir November 2007 dan 

berakhir pada bulan Mei tahun 2008 untuk 

mengikuti 7.500 rumah tangga dan sekitar 312 

komunitas dengan jumlah individu dalam 

rumah tangga sebanyak 39.000 individu yang 

merupakan kolaborasi dari RAND (Research 

ANd Development), pusat untuk Studi Kependu￾dukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gajah 

Mada dan Survey METER. IFLS-4 berisi data 

rumah tangga anggota IFLS dan data fasilitas 

masyarakat. 

Data Indonesia Family Live Survey (IFLS) 

merupakan data longitudinal, namun sebab  

data IFLS yang dipakai  dalam studi ini 

hanya IFLS pada gelombang ke 4 maka data 

dalam studi ini dapat disebut dengan cross sec￾tion data. Alasan pemakaian  data pada survei 

IFLS-4 tahun 2007 sebab : 1) pemakaian  titik 

waktu pada tahun 2007 mencukupi kebutuhan 

data untuk analisis pengujian perubahan pada 

variabel yang diteliti pada sebuah rentang antar 

waktu. 2) Kelompok data tersebut yaitu  

gelombang survei (wave) yang terakhir dilaku￾kan, sehingga diharapkan didapatkan informasi 

terkini pada variabel-variabel yang akan diuji 

dalam studi tersebut. 

Adapun topik kuesioner yang dipakai  

dalam studi ini tampak dalam tabel 3. 

Berdasarkan tabel 3 mengenai topik kue￾sioner dalam IFLS, variabel independen yang 

dipakai  dalam studi yaitu kepemilikan asu￾ransi kesehatan yang merupakan kuesioner 

yang bersumber dari topik asuransi kesehatan 

yang bersumber dari buku 3B final. Usia dan wilayah tempat tinggal masing-masing meru￾pakan kuesioner dengan topik rumah tangga 

dan asset individu yang terletak dalam buku K 

final. Jarak menuju failitas kesehatan merupa￾kan kuesioner dengan topik rumah tangga dan 

asset individu yang terletak dalam gabungan 

buku 3B dan buku K final. Variabel keberadaan 

pos obat merupakan satu-satunya variabel yang 

bersumber dari data cf dengan topik kuesioner 

pengetahuan tentang penyediaan layanan kese￾hatan yang terletak dalam buku 1 final. Sedang￾kan pendidikan serta pendapatan terdapat dalam 

buku 3A final yang bersumber dari kuesioner 

dengan topik penghasilan tenaga kerja dan 

sejarah kerja. 

Pembentukan dan Seleksi Variabel 

Pembentukan dan seleksi variabel dilakukan 

setelah pengumpulan variabel yang dibutuh￾kan di dalam buku IFLS. Setelah buku IFLS 

ditentukan maka seleksi variabel dilakukan 

dengan memilih seksi-seksi yang didalamnya 

terdapat pertanyaan yang dapat mewakili 

variabel dependen maupun independen. Ada￾pun seksi kuesioner yang dipakai  dalam 

studi ini disajikan dalam tabel 4. 

Tabel 4 setelah seksi kuesioner dipilih 

selanjutnya pertanyaan yang dapat mewakili 

variabel yang diteliti juga dipilih untuk kemu￾dian dipakai  untuk pembentukan data set 

atau “do” untuk selanjutnya dilakukan peng￾olahan data. Variabel kepemilikan terdapat dalam 

seksi AK (Asuransi Kesehatan); usia terdapat 

dalam seksi AR (daftar anggota rumah tangga); 

pendapatan terdapat dalam seksi TK (ketenaga￾kerjaan); usia dan wilayah tempat tinggal sama￾sama terletak dalam seksi AR; jarak menuju 

fasilitas kesehatan terletak dalam seksi SC 

(Keterangan sampling dan wilayah pencacahan) 

dan seksi RJ (rawat jalan). Variabel keberadaan 

pos obat terdapat dalam seksi J (Sejarah keber￾adaan fasilitas kesehatan); sedangkan pendidikan 

terdapat dalam kuesioner seksi DL (pendidikan). 

Dependen variabel yang dipakai  dalam 

studi ini yaitu  pengobatan tradisional yang 

bersumber dari topik kuesioner yaitu self treat￾ment yang masuk dalam seksi PS (pengobatan 

sendiri) yang di dalam buku IFLS dibagi lagi 

menjadi beberapa jenis pengobatan, dapat 

dilihat pada tabel 5. 

Berdasarkan tabel 5 mengenai seksi peng￾obatan sendiri terdapat beberapa dummy variabel 

yang menerangkan topik jenis pengobatan sendiri. Namun hanya dua jenis dummy yang 

dipakai untuk mewakili variabel dependen yang 

dipakai  dalam studi ini yaitu dummy “minum 

Jamu atau obat tradisional sebagai pengobatan; 

dan pijat, kerokan, oukup/koop/ bekam, dan 

sejenisnya. Sedangkan untuk dummy pengobatan 

sendiri yang tidak dipakai  dalam studi ini 

yaitu “minum obat modern yang dijual bebas 

(seperti Bodrex, Inza, Paramex), memakai obat 

luar (seperti tetes mata, salep, koyo, parem, dan 

sejenisnya), dan minum vitamin/suplemen”. 

Hal ini dilakukan dengan pertimbangan varia￾bel yang dianalisis sangat tergantung kepada 

keberadaan dan kelengkapan data yang ada 

sehingga tidak semua variabel pengobatan sen￾diri dipakai  dalam studi ini artinya hanya 

variabel dummy yang mewakili pengobatan 

tradisional saja yang dipilih dalam studi ini. 

Definisi Operasional 

Variabel dependen dalam studi ini yaitu  peng￾obatan tradisional dengan asumsi pengobatan 

tradisional bertujuan untuk mengobati jenis 

keluahan penyakit ringan yang sering dialami 

masyarakat, seperti demam, nyeri, pusing, batuk, 

sakit maag, cacingan, flu, keluhan penyakit 

kulit dan lain-lain yang dibentuk dari dummy

pengobatan sendiri yaitu “minum jamu atau 

obat tradisional sebagai pengobatan” dan “pijat, 

kerokan, okup/koop/bekam, dan sejenisnya”. 

Variabel ini dibentuk atas dasar kebiasaan indi￾vidu dalam rumah tangga yang pada masa 

sekarang masih banyak memakai  peng￾obatan tradisional meskipun pengobatan medis 

semakin berkembang di era modern. Adapun 

dummy variabel ditentukan dengan 1 = jika 

memilih pengobatan tradisional; 0 = jika memi￾lih pengobatan modern. 

Adapun variabel independen meliputi: 

Kepemilikan Asuransi Kesehatan (health_in￾surance) merupakan variabel dummy ada atau 

tidaknya asuransi kesehatan yang dimiliki oleh 

individu dalam rumah tangga IFLS 2007 

dengan asumsi bahwa pada data IFLS pada 

gelombang ini belum terdapat Badan Penye￾lenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang baru resmi 

beroperasi per 1 Januari 2014. Kepemilikan 

asuransi kesehatan dibuat dengan kategori 

memiliki dan tidak memiliki asuransi kesehat￾an. Adapun dummy variabel ditentukan dengan 

1 = jika memiliki asuransi kesehatan; 0 = jika 

tidak memiliki asuransi kesehatan. 

1) Usia (age) yaitu  usia individu dalam rumah 

tangga IFLS 2007 yang berusia 15 tahun atau 

lebih. 2) Pendapatan (income) berupa jumlah 

pendapatan yang diterima oleh individu dalam 

rumah tangga IFLS 2007dalam setiap bulannya. 

3) Faktor wilayah tempat tinggal (urban) meru￾pakan variabel dummy tempat tinggal individu 

dalam rumah tangga IFLS 2007 yang dibuat 

dengan kategori berdasarkan wilayah tempat 

tinggal yaitu perkotaan dan pedesaan. Adapun 

dummy variabel ditentukan dengan 1 = jika 

tinggal di kota; dan 0 = jika tinggal di desa. 4)

Jarak rumah tinggal dengan fasilitas kesehatan (dis￾facility) merupakan jarak menuju fasilitas kese￾hatan khususnya fasilitas kesehatan modern 

yang ada dengan satuan kilo meter (km). 5)

Keberadaan pos obat (posobat) yaitu  ada tidak￾nya pos obat di daerah individu dalam rumah 

tangga IFLS 2007. Adapun dummy variabel 

ditentukan dengan 1= jika ada posobat; 0 = jika 

tidak ada pos obat. 6) Pendidikan (years_educ)

menunjukkan lama pendidikan yang telah 

ditempuh oleh individu dalam rumah tangga 

IFLS 2007yang dibuat dengan kategori pendi￾dikan tertinggi yang telah ditempuh oleh res￾ponden. Metode analisis yang dipakai  dalam studi ini 

yaitu  regresi probit. Model probit menganali￾sis hubungan antara satu variabel dependen 

berupa data kualitatif dikotomi yang bernilai 1 

apabila terdapat karakteristik dan bernilai 0 

yang berkata kata  ketiadaan karakteristik. Model 

regresi probit memakai  model variabel 

terikat yang juga bersifat dikotomi dan meng￾gunakan nilai 1 atau 0, dipakai  dalam situasi 

di mana variabel dependen memiliki kemung￾kinan tanggapan “ya” atau “tidak” di mana 

dalam studi ini kemungkinan tanggapan yaitu  

1 = jika memilih pengobatan tradisional dan 0 = 

jika memilih pengobatan modern. 

Regresi probit dalam studi ini dipakai  

untuk mengetahui preferensi individu untuk 

memilih pengobatan tradisional. Model persa￾maan regresi probit yang dipakai  dalam 

studi ini dapat dituliskan dalam bentuk persa￾maan berikut: 

Traditional = β Health + β Age medicine 1 2 insurance 

+β Income + β Urban 3 4

+β Disfacility + β Posobat 5 6

+β Years_educ + e 7 1)

 

Studi ini memakai  variabel dependen beru￾pa pengobatan tradisional yaitu apakah individu 

dalam rumah tangga IFLS 2007 memakai  

atau tidak memakai  pengobatan tradisio￾nal untuk mengobati keluhan sakitnya. Hosmer 

dan Lemeshow (1989) berkata kata  bahwa 

variabel yang memakai  skala nominal 

harus diubah menjadi desain variabel (variabel 

dummy/boneka). Sedangkan variabel indepen￾den berupa kepemilikan asuransi kesehatan, 

usia, pendapatan, wilayah tempat tinggal, jarak 

menuju fasilitas kesehatan, keberadaan pos obat 

dan pendidikan. 

HASIL DAN PEMBAHASAN 

Pengobatan tradisional memiliki rata-rata (mean) 

sebesar 0,1709 dengan nilai maksimal yaitu  1 

(memakai  obat tradisional) dan minimal 

yaitu  0 (memakai  pengobatan modern), 

sedangkan nilai standar deviasi yaitu  sebesar 

0,3764. Variabel kepemilikan asuransi kesehatan 

memiliki rata-rata sebesar 0,2731 dengan nilai 

maksimal yaitu  1 (memiliki asuransi kesehat￾an) dan 0 (tidak memiliki asuransi kesehatan). 

Sedangkan nilai standar deviasi yaitu  sebesar 

0,0,4456. 

Rata-rata usia individu dalam rumah tangga 

IFLS 2007 pada studi ini yaitu  40,1783 atau 

dibulatkan menjadi 40 tahun. Usia paling muda 

dalam studi ini yaitu  anggota rumah tangga 

yang berusia 15 tahun dan yang tertua berusia 

97 tahun. Nilai standar deviasi usia yaitu  sebesar 

16 tahun. Pendapatan individu dalam rumah 

tangga rata-rata sebesar Rp2.769.037,00 di mana 

pendapatan terbesar a dalah: 

Rp1.000.000.000,00 dan pendapatan terendah 

yaitu  sebesar Rp0,00 atau tidak memiliki pen￾dapatan sama-se kali. Di mana nilai standar 

deviasi yaitu  sebesar Rp48.800.000,00. 

Wilayah tempat tinggal memiliki rata-rata 

sebesar 0,5348 dengan nilai terkecil yaitu  0 (jika tinggal di desa) dan terbesar yaitu  1 (jika 

tinggal di kota). Di mana nilai standar deviasi 

yaitu  sebesar 0,4987. Rata-rata jarak rumah 

tinggal menuju fasilitas kesehatan yaitu  5,4439 

km, di mana nilai minimum atau jarak terdekat 

yaitu  0 km dan nilai maksimal atau jarak 

terjauh yaitu  600 km. Nilai standar deviasi 

yaitu  sebesar 10,2202. Keberadaanpos obat 

memiliki nilai rata-rata yaitu  sebesar 0,0483 

dengan nilai maksimum yaitu  1 (jika ada pos 

obat) dan nilai minimum yaitu  0 (jika tidak 

ada pos obat). Sedangkan nilai standar deviasi 

yaitu  sebesar 0,2145. 

Rata-rata lama pendidikan yaitu  7,7116 

(dibulatkan menjadi 7 tahun) atau rata-rata lama 

pendidikan peserta IFLS yaitu  lulusan TK 

(Taman Kanak-Kanak) dan dilanjutkan dengan 

Sekolah Dasar (SD). Di mana nilai minimum 

yaitu  0 atau tidak mengenyam bangku sekolah 

sama sekali, sedangkan lama pendidikan mak￾simum yaitu  21 tahun atau lulusan strata 3 

(S3). Nilai standar deviasi pendidikan yaitu  

sebesar 4,4119. 

Hasil Analisis 

Analisis data dalam studi ini memakai  

regresi probit yang bertujuan untuk mengeta￾hui probabilitas individu dalam memakai  

pengobatan tradisional di Indonesia. Variabel 

independen yang dipakai  yaitu  kepemilikan 

asuransi kesehatan yang merupakan dummy 

dari ada dan tidak ada asuransi kesehatan yang 

dimiliki individu dalam rumah tangga IFLS 

2007. Variabel usia merupakan usia individu 

dalam rumah tangga IFLS 2007 dalam satuan 

tahun. Variabel pendapatan merupakan penda￾patan yang diterima oleh individu dalam rumah 

tangga IFLS tahun 2007 setiap bulannya. Varia￾bel wilayah tempat tinggal merupakan dummy 

tempat individu dalam rumah tangga IFLS 2007 

tinggal yaitu kota dan desa. Variabel jarak 

rumah tinggal dengan fasilitas kesehatan meru￾pakan jarak rumah tinggal individu dengan 

fasilitas kesehatan dengan satuan kilo meter. 

Variabel keberadaan pos obat merupakan 

dummy dari ada atau tidaknya pos obat pada 

wilayah individu dalam rumah tanggal IFLS 

2007 tinggal. Sedangkan variabel pendidikan 

merupakan lama pendidikan yang telah ditem￾puh oleh individu dalam rumah tangga IFLS 

2007. 

Untuk menginterpretasi hasil analisis probit 

sedikit berbeda dengan analisis dengan metode 

lain. Pada model probit untuk memperoleh 

hasil maka harus memakai  tabel statistik 

Z. Pada metode probit, jika kita ingin menge￾tahui probabilitas individu untuk memilih peng￾obatan tradisional maka variabel yang signifikan 

maupun yang tidak signifikan tetap dimasukkan 

ke dalam persamaan, dari hasil regresi dengan 

memakai  STATA 11 SE, persamaan regresi 

dapat dituliskan sebagai berikut: 

Traditional_medicine = 

–0,5273+ 0,0782(Health_insurance) -

0,0086(Age) - 0,000000179(Income) -

0,3049(urban) - 0,0007(Disfacility) -

0,6790(Posobat) - 0,0123(Years_educ) 2)

Keterangan: Traditional_medicine yaitu  Proba￾bilitas untuk memilih pengobatan tradisional; 

Health_insurance yaitu  Kepemilikan asuransi 

kesehatan; Age yaitu  Usia individu rumah 

tangga; Income yaitu  Pendapatan individu 

rumah tangga; Urban yaitu  Wilayah tempat 

tinggal individu rumah tangga; Disfacility ada￾lah Jarak menuju fasilitas kesehatan; Posobat

yaitu  Keberadaan pos obat; Years_educ yaitu  

Lama Pendidikan individu rumah tangga 

Nilai pseudo R2 yang ditunjukkan dalam 

tabel yaitu  sebesar 0,0299 hal ini menggam￾barkan bahwa persamaan model dalam studi 

ini hanya mampu menjelaskan sebesar 2,99 

persen faktor-faktor yang berpengaruh terha￾dap probabilitas individu untuk memilih peng￾obatan tradisional. Uji Likelihood Ratio (LR) atau 

dalam uji regresi linear sering disebut dengan 

uji F-statistic atau pengujian secara bersama￾sama ditunjukkan oleh nilai pro > chi2 yaitu 

sebesar 0,0329 dan signifikan pada α <0,05 arti￾nya secara bersama-sama variabel usia, wilayah 

tempat tinggal, dan keberadaan pos obat berpe￾ngaruh terhadap probabilitas individu untuk 

memilih pengobatan tradisional.

Hasil regresi probit diperoleh hasil bahwa 

probabilitas individu untuk memilih pengobat￾an tradisional dipengaruhi oleh variabel usia, 

wilayah tempat tinggal dan keberadaan pos 

obat yang ada. Variabel kepemilikan asuransi 

kesehatan, pendapatan, jarak menuju fasilitas 

kesehatan dan lama pendidikan tidak ber￾pengaruh terhadap probabilitas individu untuk 

memilih pengobatan tradisional. 

1) Usia Individu Rumah Tangga IFLS 2007 

(Age) 

Tabel deskripsi variabel statistik menunjukkan 

bahwa usia paling rendah anggota IFLS 2007 

yaitu  15 tahun sedangkan usia maksimal 

individu dalam rumah tangga IFLS 2007 yaitu  

97 tahun. Besarnya probabilitas individu yang 

berusia 15 tahun untuk memilih pengobatan 

tradisional yaitu  sebagai berikut (dengan 

asumsi variabel lain dianggap konstan): 

Traditional_medicine = 

-0,5273 + 0,0782(Health_insurance) - 0,0086(Age) - 

0,000000179(Income) - 0,3049(urban) – 

0,0007(Disfacility) - 0,6790(Posobat) – 

0,0123(Years_educ) 

= -0,5273 + 0,0782(0) - 0,0086(15) – 

 0,000000179(0) - 0,3049(0) - 

 0,0007(0) - 0,6790(0) - 0,0123(0) 

= -0,5273 - 0,1290 

= -0,6563 (hasil dibulatkan menjadi -0,66) 

Selanjutnya angka tersebut dicari nilainya 

pada tabel statistika Z, di mana pada kolom kiri 

-0,6 dan kolom di atas angka 0,06 sehingga 

ditemukan angka 0,2546. Selanjutnya angka 

tersebut dikurangkan dengan angka 1. Sehingga 

diperoleh 1-0,2564 = 0,7454 atau 74,54 persen. 

Jadi, probabilitas individu yang berusia muda 

untuk memilih pengobatan tradisional yaitu  

sebesar 74,54 persen. 

Sedangkan besarnya probabilitas individu 

yang berusia 97 tahun untuk memilih pengobat￾an tradisional yaitu  sebagai berikut (dengan 

asumsi variabel lain dianggap konstan): 

Traditional_medicine = 

- 0,5273 + 0,0782(Health_insurance) – 

0,0086(Age) - 0,000000179(Income) – 

0,3049(urban) - 0,0007(Disfacility) – 

0,6790(Posobat) - 0,0123(Years_educ) 

 = -0,5273 + 0,0782(0) - 0,0086(97) – 

0,000000179(0) - 0,3049(0) - 0,0007(0) – 

0,6790(0) - 0,0123(0) 

 = -0,5273 - 0,8342 

 = -1,3615 (hasil dibulatkan menjadi -1,36) 

Selanjutnya angka tersebut dicari nilainya 

pada tabel statistika Z, di mana pada kolom kiri 

-1,3 dan kolom di atas angka 0,06 sehingga 

ditemukan angka 0,0869. Selanjutnya angka 

tersebut dikurangkan dengan angka 1. Sehing￾ga diperoleh 1 - 0,0869 = 0,9131 atau 91,31 per￾sen. Jadi, probabilitas individu yang berusia 

lanjut untuk memilih pengobatan tradisional 

yaitu  sebesar 91,31 persen. 

Probabilitas untuk memilih pengobatan 

tradisional pada individu yang berusia muda 

yaitu  sebesar 74,54 persen, sedangkan pada 

individu yang berusia lanjut yaitu  91,31 per￾sen. Berdasarkan nilai kedua probabilitas maka 

individu yang berusia lanjut memiliki probabi￾litas yang lebih tinggi untuk memilih pengobat￾an tradisional dibandingkan dengan individu 

berusia muda. Artinya semakin bertambah usia 

individu maka probabilitas untuk memilih 

pengobatan tradisional semakin tinggi. 

2) Wilayah Tempat Tinggal Individu Rumah 

Tangga IFLS 2007 (Urban) 

Adapun dummy variabel ditentukan dengan 1 

jika tinggal di kota dan 0 jika tinggal di desa 

dengan asumsi usia pada nilai minimumnya 

yaitu 15 tahun. Besarnya probabilitas individu 

yang tinggal di desa (0) untuk memilih pengo￾batan tradisional yaitu  sebagai berikut (dengan 

asumsi variabel lain dianggap konstan): 

Traditional_medicine= 

-0,5273+0,0782(Health_insurance)-0,0086(Age)-

0,000000179(Income)-0,3049(urban)-

0,0007(Disfacility)-0,6790(Posobat)-

0,0123(Years_educ) 

= -0,5273 + 0,0782(0) - 0,0086(15) – 

 0,000000179(0) - 0,3049(0) - 0,0007(0) – 

 0,6790(0) -0,0123(0) 

= -0,5273-0,1290 

= -0,6563 (hasil dibulatkan menjadi -0,66) 

Selanjutnya angka tersebut dicari nilainya 

pada tabel statistika Z, di mana pada kolom kiri 

-0,6 dan kolom di atas angka 0,06 sehingga dite￾mukan angka 0,2546. Angka tersebut dikurang￾kan dengan angka 1. Sehingga diperoleh 1-

0,2564 = 0,7454 atau 74,54 persen. Jadi, proba￾bilitas individu yang tinggal di desa untuk 

memilih pengobatan tradisional yaitu  sebesar 

74,54 persen. 

Sedangkan besarnya probabilitas individu 

yang tinggal di kota (1) untuk memilih peng￾obatan tradisional yaitu  sebagai berikut 

(dengan asumsi variabel lain dianggap kon￾stan): 

Traditional_medicine = 

-0,5273 + 0,0782(Health_insurance) - 0,0086(Age) -

0,000000179(Income) -0,3049(urban) - 

0,0007(Disfacility) -0,6790(Posobat)-

0,0123(Years_educ) 

= -0,5273 + 0,0782(0) - 0,0086(15) -

0,000000179(0) - 0,3049(1) - 0,0007(0) - 

0,6790(0) - 0,0123(0) 

= -0,5273 - 0,1290 + 0,3049 

= -0,3514 (hasil dibulatkan menjadi -0,35) 

Selanjutnya angka tersebut dicari nilainya 

pada tabel statistika Z, di mana pada kolom kiri 

-0,3 dan kolom di atas angka 0,05 sehingga 

ditemukan angka 0,3632. Selanjutnya angka 

tersebut dikurangkan dengan angka 1. Sehing￾ga diperoleh 1-0,3632 = 0,6368 atau 63,68 persen. 

Jadi, probabilitas individu yang tinggal di kota 

untuk memilih pengobatan tradisional yaitu  

sebesar 63,68 persen. 

Probabilitas untuk memilih pengobatan 

tradisional pada individu yang tinggal di desa 

yaitu  sebesar 74,54 persen, sedangkan pada 

individu yang tinggal di kota yaitu  63,68 

persen. Berdasarkan nilai kedua probabilitas 

maka individu yang tinggal di desa memiliki 

probabilitas yang lebih tinggi untuk memilih 

pengobatan tradisional dibandingkan dengan 

individu dalam rumah tangga IFLS 2007yang 

tinggal di kota. 

3) Keberadaan Pos Obat (Posobat) 

Adapun dummy variabel ditentukan dengan 1 

jika ada pos obat dan 0 jika tidak ada pos obat 

dengan asumsi usia pada nilai minimumnya 

yaitu pada 15 tahun. Besarnya probabilitas 

individu yang tinggal di wilayah yang ada pos 

boatnya (0) untuk memilih pengobatan tradisio￾nal yaitu  sebagai berikut (dengan asumsi 

variabel lain dianggap konstan): 

Traditional_medicine 

=-0,5273 + 0,0782(Health_insurance) – 

0,0086(Age) - 0,000000179(Income) - 

0,3049(urban) - 0,0007(Disfacility) - 

0,6790(Posobat) - 0,0123(Years_educ) 

=-0,5273 + 0,0782(0) - 0,0086(15) - 

0,000000179(0) - 0,3049(0) – 0,0007(0) – 

0,6790(0) - 0,0123(0) 

= -0,5273-0,1290 

= -0,6563 (hasil dibulatkan menjadi -0,66) 

Selanjutnya angka tersebut dicari nilainya 

pada tabel statistika Z, di mana pada kolom kiri 

-0,6 dan kolom di atas angka 0,06 sehingga 

ditemukan angka 0,2546. Selanjutnya angka 

tersebut dikurangkan dengan angka 1. Sehing￾ga diperoleh 1-0,2564 = 0,7454 atau 74,54 

persen. Jadi, probabilitas individu yang tinggal 

di wilayah yang tidak ada pos obatnya untuk 

memilih pengobatan tradisional yaitu  sebesar 

74,54 persen. 

Sedangkan besarnya probabilitas individu 

yang tinggal di wilayah yang ada pos obatnya 

(1) untuk memilih pengobatan tradisional 

yaitu  sebagai berikut (dengan asumsi variabel 

lain dianggap konstan): 

Traditional_medicine 

= -0,5273 + 0,0782(Health_insurance) -0,0086(Age) 

- 0,000000179(Income) - 0,3049(urban)-

0,0007(Disfacility) - 0,6790(Posobat)-

0,0123(Years_educ) 

= -0,5273 + 0,0782(0) - 0,0086(15) – 

0,000000179(0) - 0,3049(0)-0,0007(0) – 

0,6790(1) - 0,0123(0) 

= -0,5273 - 0,1290 - 0,6790 

= -1,3353 (hasil dibulatkan menjadi -1,33) 

Selanjutnya angka tersebut dicari nilainya 

pada tabel statistika Z, di mana pada kolom kiri 

-1,3 dan kolom di atas angka 0,03 sehingga 

ditemukan angka 0,0918. Selanjutnya angka ter￾sebut dikurangkan dengan angka 1. Sehingga 

diperoleh 1-0,0918 = 0,9082 atau 90,82 persen. 

Jadi, probabilitas individu yang tinggal di wila￾yah yang ada pos obatnya untuk memilih 

pengobatan tradisional yaitu  sebesar 90,82 

persen. 

Probabilitas untuk memilih pengobatan 

tradisional pada individu yang tinggal pada 

wilayah yang tidak ada atau minim pos obatnya 

yaitu  sebesar 74,54 persen, sedangkan pada individu yang tinggal pada wilayah yang ada 

pos obatnya yaitu  90,82 persen. Berdasarkan 

nilai kedua probabilitas maka individu yang 

tinggal pada wilayah yang ada pos obatnya 

memiliki probabilitas yang lebih tinggi untuk 

memilih pengobatan tradisional dibandingkan 

dengan individu yang tinggal pada wilayah 

yang minim atau bahkan tidak ada pos 

obatnya. Artinya semakin banyak pos obat di 

wilayah individu rumah tangga IFLS 2007 

tinggal maka probabilitas individu untuk 

memilih pengobatan tradisional semakin tinggi. 

Studi ini memakai  data panel atau 

longitudinal data yang diolah memakai  

metode regresi probit dengan tujuan untuk 

mengetahui preferensi individu untuk memilih 

pengobatan tradisional. Hasil regresi menun￾jukkan bahwa variable usia, wilayah tempat 

tinggal dan keberadaan pos obat mempenga￾ruhi probabilitas individu untuk memilih peng￾obatan tradisional. Sedangkan variabel kepemi￾likan asuransi kesehatan, pendapatan, jarak 

menuju fasilitas kesehatan dan pendidikan tidak 

berpengaruh terhadap probabilitas individu 

untuk memilih pengobatan tradisional. 

Usia secara signifikan berpengaruh terha￾dap probabilitas individu untuk memilih peng￾obatan tradisional. Semakin bertambahnya usia 

individu dalam rumah tangga IFLS 2007 maka 

probabilitas untuk memilih pengobatan tradi￾sional semakin tinggi. Hal ini sejalan engan 

studi Kristina, dkk (2007) yang berkata kata  bah￾wa usia memiliki pengaruh yang signifikan 

terhadap perilaku pengobatan sendiri yang 

rasional pada masyarakat. Studi ini juga sejalan 

dengan pendapat Supardi, dkk (2003) menyata￾kan bahwa warga  yang berusia lanjut yaitu 

lebih dari 56 tahun untuk menggunkan obat 

tradisional lebih banyak 1,56 kali dibandingkan  

warga  yang bukan lanjut usia. Proporsi 

pemakaian  obat tradisional pada individu 

kelompok lanjut usia lebih tinggi dibandingkan  

individu yang belum lanjut usia artinya ada 

hubungan yang signifikan antara individu 

dengan kelompok usia lanjut usia dengan 

pemakaian  obat tradisional, hal ini mungkin 

berhubungan dengan keluhan sakit lebih banyak 

diderita pada kelompok usia tua dengan jenis 

keluhan yang kurang dikenal untuk ditanggu￾langi dengan pemakaian  obat modern 

(Supardi, 2007). Kondisi ini dapat disebabkan 

sebab  orang tua lebih menyukai pemakaian  

obat tradisional dengan alasan pengobatan 

tradisional tidak merepotkan atau praktis dan 

lebih mudah dilakukan sebab  tidak perlu 

datang kepada tenaga medis untuk meminta 

resep obat. Obat tradisional lebih diminati oleh 

orang yang berusia lanjut sebab  kesadaran 

akan bahan kimia yang didapatkan dari 

pengobatan medis dapat membawa dampak 

buruk bagi kesehatan mengingat antibody atau 

kemampuan tubuh untuk menahan serangan 

dari luar sudah mulai menurun pada individu 

yang berumur lanjut. Selain itu pengobatan 

tradisional telah menjadi tradisi warisan nenek 

moyang yang telah dilakukan sejak dulu dan 

menjadi kebiasaan yang melekat pada diri 

seseorang misalnya pada penyakit yang sering 

muncul pada individu dalam rumah tangga 

seperti masuk angin di mana pengobatan untuk 

masuk angin dapat desembuhkan dengan cara 

kerokan yang sudah menjadi kebiasaan dan 

tersugesti oleh individu di mana masuk angin 

belum akan sembuh jika belum dikerok. 

Wilayah tempat tinggal berpengaruh terha￾dap terhadap probabilitas individu untuk 

memilih pengobatan tradisional. Probabilitas 

individu untuk memilih pengobatan tradisional 

pada individu yang tinggal di desa lebih tinggi 

dibandingkan  individu yang tinggal di kota. Hal ini 

sejalan dengan studi Supardi, dkk (2003) 

berkata kata  bahwa warga  yang tinggal di 

lokasi pedesaan memakai  obat tradisional 

lebih banyak 1,36 kali dibandingkan  warga  yang 

tinggal di kota. Hidayat dan Hardiansyah (2012) 

berkata kata  bahwa tumbuhan obat tradisional 

di Indonesia mempunyai peran yang sangat 

penting terutama bagi masyarakat di daerah 

pedesaan yang fasilitas kesehatannya masih 

sangat terbatas di mana dalam studinya menya￾takan bahwa kurangnya fasilitas kesehatan di 

kabupaten Sintang membuat masyarakat 

memanfaatkan tumbuhan obat tradisional seba￾gai alternatif dan langkah awal pengobatan 

suatu penyakit. Darubekti (2001) berkata kata  

bahwa individu yang tinggal di desa lebih 

mendahulukan obat tradisional untuk meng￾obati keluhan sakit ringan, sebab  obat modern 

sulit dijangkau dan keterbatasan pendapatan 

individu dalam rumah tanggal. Kondisi ini 

dapat terjadi sebab  ketersediaan tanaman obat 

sebagai bahan baku pengobatan tradisional masih banyak di jumpai pada wilayah desa 

yang notabenenya masih memiliki lahan yang 

luas untuk tanaman obat tumbuh baik di tanam 

sebagai taman obat keluarga (TOGA) atau 

tumbuh secara liar. 

Keberadaan pos obat secara signifikan ber￾pengaruh terhadap probabilitas individu untuk 

memilih pengobatan tradisional. Berdasarkan 

nilai probit yang ditunjukkan dalam studi ini, 

probabilitas individu yang tinggal pada wila￾yah yang tidak terdapat pos obatnya lebih 

rendah dibandingkan  individu yang tinggal di wila￾yah yang terdapat pos obatnya. Kondisi ini 

dapat terjadi dalam kasus di mana obat tradi￾sional dipakai  hanya untuk mengobati 

keluhan sakit ringan misalnya batuk, pilek, 

pusing, masuk angin dan gejala sakit ringan 

lainnya. Pos obat sebagai fasilitas kesehatan 

yang ada dimaksudkan untuk memberikan 

kemudahan bagi masyarakat setempat untuk 

memperoleh pelayanan kesehatan tanpa men￾gurangi peranan pengobatan tradisional (Ra￾hayu, dkk., 2006). Selain itu, walaupun masyara￾kat tinggal di wilayah yang ada pos obatnya 

namun individu lebih memilih pengobatan 

tradisional sebab  individu dalam rumah 

tangga merasa khawatir akan efek samping dari 

pemakaian  obat kimia termasuk obat warung 

yang merupakan obat bebas dan obat bebas 

terbatas yang bukan berarti bebas efek samping 

dalam pemakaiannya. Minimnya pengetahuan 

individu akan aturan pakai obat, kesesuaian 

dosis, lama pemakaian, ada tidaknya efek 

samping dan interaksi antara obat dan makanan 

juga dapat menjadi penyebab tingginya proba￾bilitas individu yang tinggal di wilayah yang 

terdapat pos obat untuk memilih pengobatan 

tradisional. Efek samping dari pemakaian  

obat kimia menyebabkan adanya pergeseran 

pola hidup dalam masyarakat dunia termasuk 

Indonesia yang berkembang menuju paradigma 

back to nature dengan memakai  cara-cara 

tradisional untuk kesehatan. Putri (2008) 

berkata kata  bahwa semakin meningkatnya 

permintaan akan obat tradisional yang dipicu 

oleh maraknya tren back to nature yang melanda 

berbagai negara di seluruh dunia termasuk 

Indonesia, kesadaran akan efek samping yang 

ditimbulkan oleh obat sintetik, keterjangkauan 

dalam mengonsumsi, dan kecenderungan 

individu yang lebih menyukai hal-hal praktis di 

manahal ini didukung dengan paradigma 

pembangunan baru perekonomian Indonesia 

yang mendukung pengembangan industri yang 

mengolah hasil pertanian primer menjadi 

olahan (agroindustri), maka keberadaan industri 

yang bergerak di bidang pengolahan tanaman 

obat menjadi semakin berkembang. Selain itu 

bertambahnya pengetahuan individu yang 

didapat dari berbagai media di mana sekarang 

banyak perjanjian antara tenaga kesehatan 

dengan perusahaan farmasi yang menjadi spon￾sor penyelenggaraan kegiatan ilmiah yang 

berhubungan dengan kebijakan pelayanan 

kesehatan. Intervensi dengan perusahaan farmasi 

ini menyebabkan kebanyakan dokter enggan 

menuliskan obat generik sehingga masyarakat 

terkadang harus membayar lebih mahal untuk 

obat yang harusnya dapat dibeli dengan harga 

yang lebih murah. Adanya hal ini membuat 

masyarakat menjadi semakin cerdas untuk 

tidak menjadi korban dalam perjanjian yang 

banyak merugikan individu sebagai pasien. 

Pendapatan tidak memiliki hubungan yang 

signifikan terhadap terhadap probabilitas indi￾vidu untuk memilih pengobatan tradisional, hal 

ini sejalan dengan studi Purnamaningrum (2010) 

yang berkata kata  bahwa pendapatan tidak 

memiliki pengaruh yang signifikan terhadap 

perilaku mengobati baik dengan memakai  

obat modern ataupun pengobatan tradisional. 

Pernyataan ini juga didikung oleh studi 

Muwahid (2006) yang berkata kata  bahwa 

besarnya penghasilan pekerja seks komersial di 

lokalisasi Dolly tidak berpengaruh terhadap 

probabilitas dalam pemilihan dan pemakaian  

obat tradisional yaitu jamu kemasan sebab  

sebagian besar konsumen lebih memprioritas￾kan khasiat. Studi yang dilakukan oleh 

Yudhistira (2006) juga menyimpulkan bahwa 

besarnya penghasilan individu tidak berpenga￾ruh terhadap probabilitas dalam pemilihan dan 

pemakaian  jamu kemasan sebab  sebagian 

besar konsumen jamu kemasan lebih memprio￾ritaskan khasiat yang akan didapat. Pendapatan 

individu tidak mempengaruhi probabilitas 

untuk memilih pengobatan tradisional di mana 

kondisi ini dapat terjadi sebab  individu dalam 

masyarakat yang mempunyai kemampuan 

secara sosioekonomi yaitu mempunyai pengha￾silan dan pekerjaan di atas upah minimum akan 

berupaya untuk mencari pengobatan ke sarana pelayanan kesehatan (Gaol, 2013). Pengeluaran 

secara ekonomi merupakan fungsi dari penda￾patan, dalam studi ini pendapatan per kapita 

mempengaruhi kecenderungan untuk meman￾faatkan (berkunjung) ke fasilitas pelayanan 

kesehatan tradisional atau modern. Semakin 

tinggi pengeluaran per kapita maka semakin 

besar kemungkinan si individu untuk memilih 

dan mampu membayar pelayanan kesehatan 

modern dibandingkan pelayanan kesehatan 

tradisional 

Jarak menuju fasilitas kesehatan tidak 

memiliki pengaruh yang signifikan terhadap 

probabilitas individu untuk memilih pengobat￾an tradisional. Hal ini sejalan dengan studi 

Rahayu (2012) yang berkata kata  bahwa jarak 

tempat tinggal menuju fasilitas kesehatan tidak 

berpengaruh terhadap terhadap probabilitas 

individu untuk memilih pengobatan tradisio￾nal. Tidak ada hubungan antara jarak tempat 

tinggal dengan perilaku pencarian pengobatan 

sendiri (Kristina, 2008). Kondisi ini dapat dise￾babkan sebab  perilaku mengobati oleh indi￾vidu lebih kepada kepercayaan akan obat yang 

dipilih dan juga khasiat, meskipun jarak menu￾ju fasilitas kesehatan modern jauh atau dekat 

individu tetap akan memilih memakai  obat 

tradisional sebab  sugesti akan obat tersebut. 

Pendidikan tidak memiliki hubungan ter￾hadap probabilitas individu untuk memilih 

pengobatan tradisional, hal ini sejalan dengan 

studi Wardana (2008) menemukan bahwa ting￾kat pendidikan tidak berpengaruh secara signi￾fikan terhadap minat individu dalam menggu￾nakan obat tradisional, disebabkan adanya 

faktor lain yang lebih kuat memberikan penga￾ruh seperti tradisi nenek moyang, kebiasaan 

keluarga dan informasi nasehat dari tetangga 

atau teman kerabat atau penjual jamu/obat 

tradisional secara langsung. Purnamaningrum 

(2010) yang berkata kata  bahwa pendidikan 

tidak memiliki pengaruh terhadap perilaku 

mengobati. Kondisi ini dapat disebabkan kare￾na probabilitas masyarakat memilih obat tradi￾sional tergantung dengan tingkat pengetahuan 

dan pemahaman individu mengenai peng￾obatan tradisional yang biasanya telah didapat 

dari pengalaman yang diberikan oleh orang tua 

dan kebiasaan masyarakat sehingga penggu￾naan obat tradisional sudah menjadi sugesti 

akan sembuh jika individu mengkonsumsi obat 

tradisional untuk menyembukan penyakitnya. 

Kepemilikan asuransi kesehatan tidak 

memiliki hubungan yang signifikan terhadap 

probabilitas individu untuk memilih peng￾obatan tradisional. Hasil studi ini berbanding 

terbalik dengan studi yang dilakukan oleh 

Purnamaningrum (2010) yang berkata kata  bah￾wa terdapat hubungan yang signifikan antara 

asuransi kesehatan dengan perilaku mengobati 

oleh seseorang. Hal ini juga bertentangan dengan 

studi yang dilakukan oleh Supadmi (2013) yang 

berkata kata  bahwa jumlah pasien yang tidak 

memiliki asuransi kesehatan lebih banyak 

melakukan swamedikasi dibandingkan dengan 

pasien yang memiliki asuransi kesehatan 

artinya hasil analisis menunjukkan kepemilikan 

asuransi kesehatan memiliki hubungan yang 

signifikan dengan perilaku pengobatan. Kondisi 

ini dapat terjadi dalam kasus di mana obat 

tradisional dipakai  untuk mengobati keluhan 

penyakit ringan seperti batuk, pilek, sakit 

kepala masuk angin dan keluhan sakit ringan 

lainnya yang tidak memerlukan rujukan dan 

resep dokter atau tenaga kesehatan yang ahli 

dalam bidangnya.









Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui preferensi individu untuk memilih 

pengobatan tradisional di Indonesia. Data yang dipakai  dalam penelitian ini bersumber 

dari data Indonesia Family Live Survey (IFLS) dan merupakan survei longitudinal dengan 

studi data panel. pemakaian  data IFLS diharapkan dapat memberikan informasi terikini dan 

lebih luas mengenai variabel-variabel yang akan diuji di dalam model. Subjek penelitian ini 

yaitu  individu dalam rumah tangga berumur 15 tahun atau lebih pada 13 provinsi anggota 

survei. Variabel penelitian yang dipakai  dalam penelitian ini yaitu kepemilikan asuransi 

kesehatan, usia, pendapatan, wilayah tempat tinggal, jarak menuju fasilitas kesehatan, jumlah 

pos obat dan pendidikan individu dalam rumah tangga IFLS. Pengolahan data dilakukan 

dengan memakai  metode regresi probit. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa usia, 

wilayah tempat tinggal dan keberadaan pos obat masing-masing berpengaruh terhadap proba￾bilitas individu untuk memilih pengobatan tradisional. Sedangkan nilai probabilitas pada 

setiap variabel menunjukkan bahwa individu dalam rumah tangga yang berusia lanjut, ting￾gal di desa dan tinggal di wilayah yang terdapat pos obat, memiliki probabilitas yang lebih 

tinggi untuk memilih pengobatan tradisional.