Jumat, 06 Desember 2024

jiwa 1



Apa dan bagaimana itu jiwa kita  ?

Herakletos, mengajak kita menatap ke langit dan melihat pijaran (kobaran)

api abadi sambil berkata: “The soul as fiery in nature: To souls it is death to

become water, to water death to become earth, but from earth water is born, and

from water soul. Herakletos, jiwa-jiwa makluk dan jiwa kita  dihasilkan dari

bahan lain seperti api (abadi itu) yang memiliki dimensi tak terbatas. Sokrates

dalam Plato, menegaskan bahwa “tubuh akan mati (hancur), sementara jiwa terus-

menerus dilahirkan kembali (berinkarnasi) dalam tubuh berikutnya”. Aquinas

memberi kita pupuk dan air, katanya siram dan rawilah dia, karena saat  tiba

saatnya dia akan muncul. Kata Thomas Aquinas; Allah menentukan hukum

universal kehidupan yang berlangsung terus dalam proses evolusi kita , saat 

materi (janin) memenuhi syarat-syarat hukum evolusi universal, maka jiwa akan

timbul (Immitere). jiwa diletakan dalam materi (tubuh); Matahari pun terbit-

bersinar di pagi itu dan ia (jiwa) pun muncul. Pertanda kehidupan baru telah di

mulai.

Dari tiga gagasan in kata pastikan bahwa Jiwa telah bertanda dalam tubuh

kita . lalu  Aristoteles member kita spidol dan tali. Ia meminta kita meberi

tanda dan menyatukan tiang pagar dengan simpulan tali sehingga menghasilkan

areal khusus yang sibatasi pagar. lalu  kata Arsitoteles bahwa: “hanya tubuh

fisik dikelilingi oleh tubuh lain yang (secara nyata) dalam ruang, karena ruang

tubuh yaitu  defined sebagai batas dalam tubuh yang mengelilinginya” (Teori

Ruang). Selanjutnya Thales meminta kita membuat eksperiment agar membuktikan

bahwa Apakah benar jiwa kita tetap berada dalam ruang tubuh. Ia memberi kepada

kita sebatang besi magnet dan bebrapa jarum. Jarum ditaburkan diseputar besi

xmagnet. Perhatikan apa yang terjadi…!, lalu  Thales mengatakan itulah

kekuatan energi jiwamu (teori magnet).

Kini, kita harus memenuhi undangan Sigmund Freud untuk menyaksikan

kompentisi perebutan piala drive, yaitu pertandingan gulat antara Id, Superego dan

Ego di dalam ring jiwa (Personality Theory). Babak penyisihan pun berakhir, dan

entah kenapa salah satu pegulat dijebloskan ke penjara. Maka Platonis memberi kita

kunci dan Plato meminta kita ke ruang sel, membuka gemboknya dan melepaskan

rantai besi yang membelenggu sang pegulat dan membawa dia keluar dari penjara.

Maka jiwa itu telah bebas dan dapat beraktivitas kembali. Seperti kata Platonis

(Neoplatonisme): “Jiwa yang dirantai, rindu untuk melarikan diri dari belenggu

tubuh dan kembali ke sumber asalnya”.

Selanjutnya Homer memberi kita kamera dan mengajak menemaninya

meliput perang, dengan istruksi: dengarkan dengan cermat apa yang dikatakan oleh

perang: "Kematian pahlawan, jiwanya pergi ke Hades...(kata penulis), sedangkan

mereka sendiri yang tertinggal di medan perang sesudah  kematian” (Puisi pengantar

ke Illiad). Selanjutnya terdengar suara Plato: jiwa mereka bukan ke Hedes namun  ke

Dunia Kayangan. Para Theolog, membantah; Bukan ke Kayangan namun  ke Surga

kembali ke sang Pencipta. Sementara debat, terdengar pekikan keras dari dunia

bawah kematian: Semuanya salah, jiwa mereka kini sementara menuju ke Neraka

(Iblis), disanalah tempat keabadian jiwa mereka.

Itulah kata Filsuf dan Ilmuan tentang Jiwa kita  dan tentang jiwa mereka.

memakai  gagasan dan teori Aristoteles dan 

Sigmund Freud sebagai data sentral fakta fenomena jiwa, dan sekaligus sebagai obyek 

masalah dalam kajian ini. Pertama: Aristoteles dalam teori soul; menolak keabadian 

jiwa kendati ia menyatakan bahwa jiwa yaitu  pemicu  dan pembawa kehidupan 

bagi tubuh kita . Kedua: Sigmund Freud dalam Personality Theory menegaskan 

bahwa jiwa kita  senantiasa dilanda konflik dan kecemasan. Pandangan Arstoteles 

dan Sigmund Freud ini bertolak belakang dan bertentangan dengan pandangan filsuf 

dan ilmuan tentang jiwa kita . 

Aristoteles (384-322 SM), tokoh ketiga dari zaman Keemasan Filsafat Klasik 

Yunani memiliki pandangan khas tentang jiwa kita . Menurutnya, “jiwa” yaitu  

makluk hidup  dengan kegiatannya yaitu "hidupnya". Jiwa yaitu  kehidupan itu 

sendiri dan tugasnya menjadikan tubuh organik menjadi hidup kerena itu jiwa 

merupakan inti atau esensi dari makluk hidup. Jiwa jiwa merupakan sesuatu seperti 

bentuk atau struktural pengaturan bagian organik tubuh (bukan bagian material). Jiwa 

kita  berbeda dengan jiwa hewan dan tumbuhan karena jiwa kita  ditambahkan 

unsur esensi yaitu akal budi (pikiran atau nous), sedangkan jiwa hewan dan tumbuhan 

hanya memiliki energi jiwa. Karena itu jiwa kita  berpotensi untuk mencerna, 

mengamati dan berpikir. 

Selanjutnya dalam terminologinya, Aristoteles menyatakan bahwa jiwa 

kita  hanya memiliki ruang eksistensi dalam tubuh, yang bersifat incorporeal. 

Artinya jiwa menyebar (atau lebih tepatnya meresapi) hingga   memenuhi seluruh 

tubuh seperti sinar matahari yang menyebar ke seluruh alam. lalu  Aristoteles 

membagi jiwa kita  menjadi dua bagian (bukan jenis) yaitu bagian irasional dan 

rasional. Bagian irasional terbagi lagi menjadi tiga tingkat yaitu tingkat vegitatif 

(tingkat primitif),  tingkat selera (tingkat yang bertanggung jawab terhadap  emosi dan 

keinginan), dan tingkat keinginan; bersifat moral (tingkat yang mengatur kebajikan) 

sebagai patokan dalam kehidupan moral dan politik, terutama dalam negara-kota; polis 

Yunani kuno. 

Sigmund Freud (Swiss 1856-1939), pencipta Psikoanalisis membentangkan 

dalam Teori Kepribadian (Personality Theory) tentang dinamika psyche (de Anima 

dalam konteks Aristoteles), yang diwarmai konflik tiada batas antara ketiga kekuatan 

jiwa yaitu id, ego dan superego. Jiwa kita  (dari Freud) selalu bermasalah dan 

mengalami ketegangan serta kecemasan sehubungan dengan upaya pemenuhan 

kepentingan Pleasure Principle dari Id, yang berhadapan dengan tuntutan Reality 

Principle dari Ego dan keduanya di bawah tekanan Morality Principle Superego. 

Menurut Freud konflik antara ketiganya bukan saja terjadi di alam kesadaran 

(conscious-awareness), namun  juga di dalam unconscious (bawah sadar dan 

ketidaksadaran) yang berpengaruh pada pikiran. 

Pertentangan dan konflik yang saling menundukkan tanpa kompromi  antara 

id, ego dan superego, menurut Freud sangat berpengaruh pada pembentukan 

kepribadian individu dan pelestarian kehidupan seseorang (kita ). Hasil akhir dari 

konflik ini (kegagalan atau pun keberuntungan di pihak mana pun) akan direpresikan 

ke alam bawah sadar dan tersimpan di sana. Akumulasi kenangan baik bermakna 

positif (kegembiraan dll) maupun negetif (trauma dll) membentuk suatu devisi 

kekuatan alam bawah sadar (kekuatan id) yang selalu (setiap saat) menuntut 

pemenuhan kepuasan segera terhadap ego (yang dibatasi atau dihalangi superego). 

Kesemuanya ini merupakan trauma dan menurut Freud dapat mengakibatkan 

gangguan jiwa  atau mental (seperti neurosis dll). 

Beranjak dari uraian singkat realitas ke-jiwa-an Aristoteles dan Freud di atas 

maka muncul pertanyaan sebagai berikut :  (1) Fakta fenomena ke-jiwa-an kita  

seperti apa yang menjadi obyek kajian Aristoteles dan Sigmund Freud. (2). Bagaimana 

konstruksi fenomena kesadaran Aristoteles dan Sigmund Freud tentang ke-jiwa-an 

kita  dalam kerangka gagasan jiwa, terutama rujukan gagasan tentang jiwa 

kita  dari pendahulunya yaitu Sokrates dan Plato. (3) Dari sisi mana (latar 

belakang pemikiran, disiplin ilmu dan metode pendekatan) yang digunakan Aristoteles 

dan Sigmund Freud dalam menggagas teori jiwa kita ? (4). Aristoteles maupun 

Sigmund Freud menganut paham dualime jiwa (membagi jiwa kita  atas beberapa 

bagian); apakah gambaran ke-jiwa-an  Aristoteles juga berkonflik seperti ke-jiwa-an 

Freud? (5) Apakah penggambaran ke-jiwa-an Freud dan Aristoteles bisa menjadi 

rujukan bagi kita  dalam upaya memahami dan mengenal jiwanya yang ada di 

dalam tubuhnya? 

Sokrates (Athenian, 470-299 SM) ribuan tahun silam mempersembahkan 

kepada kita  motto terindahnya yang berbunyi: ”Kenalilah dirimu sendiri". Saya 

meminjam dari ungkapan Sokrates dan membuat  menjadi : Kenalilah jiwamu sendiri. 

Pertanyaannya: (1) Apakah setiap kita kita  telah mengenal jiwa kita sendiri? 

Seperti apakah jiwaku? (2) Apakah  “dia” yaitu  person atau energi kekuatan? 

Selanjutnya terinspirasi oleh motto gurunya, Plato (Greek, 437-347 SM) menegaskan 

bahwa kita  yaitu  makhluk yang terus-menerus mencari dirinya sendiri dan yang 

setiap saat harus menguji dan mengkaji secara cermat kondisi-kondisi eksistensinya. 

Plato memperjelas motto Sokrates dengan dua himbauan yaitu kita  senantiasa 

mencari dirinya sendiri (mungkin sampai mengenal dirinya sendiri; Sokrates) dan 

setiap saat dengan cermat menguji dan mengkaji eksistensinya (keberadaannya 

sebagaimana ia kita ). 

Muncul pertanyaan: (1) Apakah dengan senantiasa kita  menguji dan 

mengkaji eksistensinya, ia dapat mengenali dirinya sendiri? (2) Apakah dengan 

mengenal dirinya sendiri melalui proses itu, kita  sampai pada mengenal jiwanya 

seperti bagaimana? Sungguh aneh makluk kita  itu. Ia mengklaim memiliki jiwa 

(kehidupan), dan kehidupan  (jiwa/soul) itu menghidupi tubuhnya dan dirinya 

(Aristoteles). Jiwa itu berada dalam dirinya bahkan meresapi dirinya serta senantiasa 

berkonflik dan meninggalkan trauma dan kegelisahan dalam hidupnya (teori Freud) 

namun  nyaris ia, kita  tidak mengenal seperti apa jiwanya itu.  

Jiwa, ia dapat dipahami namun  serentak tak dikenali. Ia dapat dipikirkan oleh 

pikiran (mind/nous) namun  tak dapat dirasakan dan ditunjukan. Ia hadir dan hidup 

dalam inti kedirian kita  dan meresapi seluruh tubuh kita  itu namun  tatkala 

kita  berpikir tentang; apa atau siapa dia, ia kembali memikirkan pikiran kita dan 

memikirkan dirinya sendiri.  Jika kita  memaksa mengenalinya, ia bertindak 

meninggalkan kita  itu. Keterpisahan darinya akan menghadirkan trauma bahkan  

kematian. Ia diklain sebagai “narapidana” yang terpenjara dalam tubuh. Kematianlah 

membebaskan dia (jiwa) dari penjara tubuh (dualisme Plato). berdasar  latar 

belakang pemikiran di atas maka judul dari tesis peta pemikiran jiwa ini yaitu   

“Konsep jiwa kita  menurut Aristoteles dan Sigmund Freud, suatu telaah filosofi” 

B. Permasalahan Dan Ruang Lingkup Pembahasan 

  berdasar  uraian latar belakang maka permasalahan yang  diangkat dan akan 

dikaji dalam tesis ini yaitu : 

Masalah : Adanya konsep yang berbeda tentang jiwa kita . 

Permasalahan: Aristoteles dan Sigmund Freud mengemukakan pendapat yang 

kontraversi dan sekaligus paradoks tentang jiwa kita  sebagai berikut; Pertama, 

Sigmund Freud menganalisis pasien nourosis yang tak bisa mengurus ubuh dan 

hidupnya. Freud mengambil sampel analisis yaitu  pasien neurosis, sama dengan 

sampel analisis yang digunakan oleh ilmuan, dokter dan psikolog dalam upaya 

menganalisis kondisi kejiwaan mereka. Pertanyaannya; jika mereka memakai  

obyek kajian yang sama (sejenis) mengapa Sigmund Freud merekomendasikan hal 

yang sangat berbeda  tentang ke-jiwa-an kita . 

Kedua : Aristoteles menyatakan bahwa hewan dan tumbuhan hanya memiliki energi 

jiwa karena itu jiwanya akan mati, sedangkan jiwa kita  ditambah esensi (akal 

budi). Jiwa kita  yaitu  pemicu  utama dan terakhir kehidupan, serta pemberi 

energi hidup sekaligus penggerak tubuh.  Jiwa kita  yang memberi hidup dan yang 

memiliki potensi berpikir. Jika jiwa kita  yang mendatangkan dan menyebabkan 

kehidupan dan jiwa itulah yang perpikir; mengapa keterpisahan jiwa dari tubuh dalam 

peristiwa kematian kita , di sana jiwa ikut mati? Mengapa Aristoteles menganut 

paham keabadian nous (nus / roh)  dan menolak keabadian jiwa?  

Ketiga, pernyataan Aristoteles dan Sigmund Freud di atas bertentangan dengan 

pandangan Filsuf dan Ilmuan termasuk Theolog yang meyakini bahwa dalam jiwa 

kita  selalu damai dan tentram (tak ada konflik) dan pada saat kematian justru jiwa 

kita  yang akan hidup terus.  berdasar  padangan Aristoteles dan Sigmund 


Freud yang kontra versi ini, penulis mencoba untuk menjawab melalui kajian tentang 

jiwa kita  dalam tesis ini. 

 


SEJARAH PERKEMBANGAN KONSEP-KONSEP JIWA . 

sesudah  dalam bab satu diketengahkan  latar belakang, permasalahan dan 

tujuan serta sasaran penelitian dalam tesis, maka dalam bab dua ini penulis 

mengetengahkan sejarah perkembangan dan perluasan ide dan pemaknaan istilah 

“jiwa-jiwa”. Penelusuran bab ini dimulai poin a. Pengantar, lalu  dilanjutkan 

dengan point b. Tinjauan etimologi istilah jiwa, dan c. Pemahaman konsep-konsep 

jiwa menurut  masyarakat  Yunani kuno. 

Mengingat bahwa bab dua ini lebih bersifat bentangan ide, gagasan dan 

konsep-konsep tentang jiwa dan ke-jiwa-an dalam bentuk kompilasi maka metode 

pendekatan dan kajian yang digunakan, baik tahap “konstitusi”, korelasi” maupun  

interprestasi terhadap obyek. Dengan demikian setiap poin-poin dalam bab ini masih 

dalam penggambaran fenomena-fenomena kesadaran kita ; pemberi makna atas 

fenomena-fenomena obyek realitas jiwa (ke-jiwa-an) dalam tata urutan sesuai dengan 

perkembangan sejarah (historitas) pemaknaan istilah jiwa. lalu  ditampilkan 

fenomena-fenomena gagasan jiwa dari masyarakat Yunani kuno dan secara khusus 

penggambaran fenomena ke-jiwa-an kita  sesudah  kematian oleh tokoh yaitu 

Homer (Greek, abad ke-5 SM). 

 


Kata Yunani “ψυχή” / psuchê (kata kerja) diartikan sebagai “jiwa” yang 

mengandung pengertian  "untuk mendinginkan atau untuk meniup" dan secara khusus 

mengacu pada istilah “nafas” sebagai  prinsip yang menghidupan pada kita  dan 

hewan lainnya. Istilah Jiwa (nafas) dilawankan dengan istilah “σῶµα” (soma) yang 

berarti "tubuh". Dalam bahasa Latin kata “jiwa”  diistilahkan dengan kata “anima”, 

sebagai hasil terjemahan Zaman Terente dengan kata “ψυχή”  (kata anima 

disandingkan untuk σῶµα misalnya dalam Mateus 10: 28). Dalam kitab Septuaginta 

(LXX) “jiwa” (ψυχή) dalam bahasa Ibrani  ( שפנ) “nephesh”, diartikan sebagai  "hidup, 

nafas yang vital". 

Menurut etimologi bahasa Inggris  istilah “jiwa” diturunkan dari kata “sáwol 

atau “sáwel”. Istilah serupa ada  dalam bahasa Jerman tua  seperti “sêula atau sela” 

dan bahasa Prancis yaitu “sela atau sila”. Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, santo 

Paulus dari Tarsus memakai  istilah jiwa (ψυχή atau πνεῦµα) dalam arti khusus 

untuk membedakan antara gagasan “nephesh” (שפנ) Yahudi dan “ruah / roh” (חור) 

dalam Septuaginta (LXX), misalnya dalam kitab Kejadian 1:2:  “Spiritus Dei” (רוְ֣ ַחוּ 

 ִהֹלאֱ֔םי) atau "Roh Allah" (πνεῦµα θεοῦ). Dalam Authorized versi King James (KJV), 

kata “jiwa” digunakan sehubungan dengan memelihara tubuh dan jiwa, bandingkan 

teks berikut: .. "Dan tidak takut mereka yang membunuh tubuh, namun  tidak mampu 

membunuh jiwa: agak takut akan Dia yang dapat menghancurkan jiwa dan tubuh di 

neraka”.  1 

Pada akhirnya istilah “ensouled / empsuchos” (yunani kuno); “ainima” (latin); 

“nephesh” (ibrani); “sáwol / “sáwel” (inggris kuno); “sêula / sela” (jerman kuno) dan 

“sela / sila” (prancis kuno) lalu  dalam bahasa Inggris modern diterjemahkan dan 

ditujukan pada aneka arti misalnya sebagai jiwa, diri, hidup, makhluk, orang, pikiran 

nafsu makan, hidup, keinginan, emosi, gairah dll. Sementara istilah-istilah itu 

diterjamahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan makna ganda, seperti sebagai “jiwa, 

nafas, sukma, bathin, roh, nurani, suara hati dll.  

Selain itu penggunaan istilah “jiwa” (psyche / soul /anima) dalam berbagai 

ilmu mendapat batasan pengartian dan pemaknaan yang khas sesuai disiplin ilmunya. 

Misalnya Filsafat dan Ilmu Filsafat lebih menekankan pada esensi atau hakekat dari 

jiwa, sementara Psikologi (dan ilmu empiris lainnya) memandang “jiwa” dari sisi 

praksis atau akitivitasnya yang mempengaruhi tingkah laku kita  dan Theolog 

(tokoh agama) melihat “jiwa” baik dari sisi moral-etika namun  terutama sehubungan 

dengan asal dan tujuan kita . 

 


Mulai abad ke-6,  umumnya masyarakat Yunani kuno memakai  istilah  

'ensouled' (empsuchos) berarti hidup atau kehidupan  yang diaplikasikan tidak hanya 

untuk “jiwa”  kita , namun  juga untuk “jiwa-jiwa” makhluk hidup lainnya. Thales 

(Miletus, 585 SM), dengan teori alam semesta, menyatakan bahwa “jiwa” dari magnet 

yang mampu menggerakan besi. Thales menggambarkan fenomena jiwa kosmos pada 

benda-benda yang tidak bergerak (benda mati) merupakan suatu pengujian terbalik 

dari fenomena jiwa yang ada dalam kesadaran masyarakat Yunani kuno pada masa itu. 

Thales pun berhasil memprediksi bahwa gerhana matahari terjadi di tahun 585 M, 

karena pengaruh jiwa alam. 

Menurut mereka masyarakat Yunani kuno bahwa jiwa hanya berada pada 

makluk hidup, sementara Thales dari teorinya tentang fenomena jiwa alam, ia 

menegaskan bahwa “jiwa”  bukan saja ada dan berada pada makluk hidup namun  juga 

ada pada benda-benda mati seperti besi magnet. Teori Thales ini lalu  merintis 

gagasan tentang fenomena-fenomena jiwa-jiwa alam semesta (jiwa-jiwa hypercosmis) 

dan sekaligus gagasan dan teori tentang jiwa hewan, tumbuhan dll (jiwa-jiwa 

makrocosmis) dan jiwa kita  (jiwa mikrokosmis). 

Perluasan konsep semantik dari istilah 'jiwa' terjadi pada akhir abad ke-6 dan 

abad ke-5 terbukti dari  tulisan-tulisan periode filosofis Yunani kuno yang 

memakai  istilah “jiwa” untuk membedakan makluk yang bernyawa (hidup) dari 

benda-benda mati. Artinya jika pada tahap awal teori Thales menyebutkan bahwa 

magnet (benda mati memiliki jiwa)  maka para filsuf Yunani kuno sesudah  Thales 

memakai  istilah jiwa hanya terbatas pada makluk yang hidup, bukan benda mati 

(seperti magnet). Jadi konsep jiwa ditunjukan pada makluk hidup seperti kita , 

hewan dan tumbuhan. Gagasan filsuf Yunani kuno membuktikan perkembangan 

perluasan fenomena-fenomena jiwa baik dalam kesadaran kita  maupun yang 

diketemukan dalam realitas obyek. 

Homer  (bahasa Yunani: Όµηρος), ada tokoh legendaris Yunani kuno (dari 

Ionia Yunani, abad ke-6 sampai ke-5 SM), yang terkenal sebagai pengarang epic 

berupa puisi-puisi dan komadi mengungkapkan fenomena jiwa yang berbeda dengan 


masyarakat Yunani kuno dan para Filsuf masa itu maupun Thales. Homer tidak 

berbicara fenomena kejiwaan pada tanaman, hewan atau kita  yang hidup, namun  

bagaimana jiwa-jiwa para pasukan perang yang meninggal. Homer menunjukan bahwa 

sesudah  kematian, jiwa kita  tetap hidup (menunjukan fenomena-fenomena 

kehidupan). Homer mengisahkan dalam epic-epicnya bagaimana jiwa dari orang yang 

sudah meninggal, “mereka” (jiwa-jiwa) itu beraktivitas (menunjukan fenomena-

fenomena kehidupan baru) di dunia kematian.  

Beberapa penulis masa silam menyatakan  karya  Homer  berhubungan dengan 

jiwa-jiwa ada  dalam tulisan seperti epic cycle yang berkaitan dengan perang 

Trojan dan puisi Theban yang berkenaan Oedipus dalam mitologi Yunani. Karya-

karya Homer  yang berhubungan dengan gagasannya jiwa kepahlawanan dalam perang 

dan jiwa di alam kematian yaitu  karya berjudul Iliad dan Odyssey  yaitu  epik komedi 

mini Batrachommyomachia ("The Frog-Mouse War") fenomena. Kendatipun karya-

karya Homer terkenal namun kehidupan pribadinya tidak diketahui jelas sehingga 

sering Homer dihubungkan dengan kisah-kisah mithologi  Yunani kuno. Melalui karya 

Homer menunjukan bahwa pemaknaan terhadap istilah jiwa mendapat pengertian baru 

yaitu jiwa “Kepahlawanan” dalam perang dan jiwa “di dunia bawah” atau dunia 

kematian.2 

Dalam hubungan dengan konsep fenomena jiwa orang mati Homer di abad ke 

5 sebelum masehi, bentuk pemahaman fenomena jiwa kematian di ketemukan dalam 

masyarakat-masyarakat pada masa-masa masehi. Misalkan fenomena jiwa orang mati 

dan fenomena kesadaran masyarakat tentang fenomena jiwa orang mati dalam ritual 

agama kosmologis Inggris dan Jerman di masa silam. Masyarakat Inggris tempo dulu 

memaknai istilah “jiwa” Inggris dihubungan dengan kata “root” yang artinya 

“mengikat”. Kata “root” Inggris ini sejajar kata ” sailian”  (selian oe, ohg seilen) dari 

bahasa Jerman yang  berarti  "terikat".  Istilah “root atau “sailian” (mengikat atau 

terikat) dihubungkan dengan peristiwa kematian kita .  Dalam masyarakat 

                                                           

tradional Inggris dan Jerman saat  berhadapan dengan peristiwa kematian, disana 

diadakan ritual adat “root atau “sailian” dengan tujuan untuk “mengikat atau 

menahan” mayat (jiwa mereka) yang meninggal dalam kubur agar mencegah dirinya 

atau jiwanya (mayat) tidak kembali ke dunia ini. Praktek ritual “root atau “sailian” 

terhadap mayat atau orang yang meninggal, diperkirakan merupakan adaptasi oleh 

Misionaris zaman dulu kepada masyarakat Jerman (khususnya  Ulfilas; rasul Goth 

pada abad ke-4) yang berasal dari konsep Yunani kuno; ψυχή atau jiwa yang artinya 

"kehidupan atau semangat atau dan kesadaran". 

Sehubungan dengan sejarah perkembangan pemaknaan istilah jiwa, menurut 

psikolog James Hillman: “soul has an affinity for negative thoughts and images, 

whereas spirit seeks to rise above the entanglements of life and death.3 …jiwa juga 

memiliki fenomena untuk menunjuk pada buah-buah pikiran dan gambaran yang 

bersifat negative. Juga berhubungan tekad dan semangat berusaha yang lebih tinggi 

serta menunjuk pada keterlibatan kita  baik saat masih hidup maupun dalam dunia 

kematian. Dalam konteks James Hillman, jiwa (kata-kata jiwa) juga disinonimkan 

dengan ungkapan diobati, meskipun dalam konsep ini pemaknaan jiwa lebih ke arah 

konotasi fisik (matrialitik jiwa), sedangkan pemaknaan sebelumnya lebih  

dihubungkan dengan spiritualitas dan agama. 

Francis M. Cornford  mengutip Pindar dengan mengatakan bahwa: “..in saying 

that the soul sleeps while the limbs are active, but when one is sleeping, the soul is 

active and reveals in many a dream "an award of joy or sorrow drawing near" 4 jiwa 

sementara tertidur, sedangkan anggota tubuh yang aktif, tapi juga terjadi bahwa saat  

seseorang tidur, jiwa akan aktif dan mengungkapkan dalam banyak mimpi 

"penghargaan sukacita atau kesedihan semakin dekat)’. Selanjutnya Erwin Rohde 

menulis pada masa pra-awal Pythagoras (Greek, 570 SM) tentang keyakinan 

masyarakat zaman itu bahwa..” jiwa itu ada kehidupan saat  berangkat dari tubuh, 

dan pensiun di Hades tanpa harapan untuk kembali ke tubuh”. Hades yaitu  dewa 

dunia bawah atau dunia kematian.  Plato, mengutip dari Illiad, XXIII : ..Ya Tuhan, 

                                                            

sesunguhnya di rumah Hades ada roh berbadan yang mirip hantu namun  sama sekali tak 

terjadi apa-apa. 

Secara singkat pemaparan sejarah perluasan pemaknaan terhadap istilah “jiwa” 

terurai sebagai berikut: sejak Thales dihubungkan dengan fenomena jiwa magnet 

(benda mati); Masyarakat Yunani kuno menghubungkan fenomena jiwa hanya untuk 

makluk hidup; Homer melangkah lebih maju mengidentifikasikan fenomena jiwa 

hanya kita  yaitu jiwa-jiwa orang yang telah meninggal dunia. Masyarakat Inggris 

dan Jerman tempo dulu menggambarkan fenomena jiwa orang mati dalam ritual 

keagamaan kosmologis; psikolog James Hillman mengisahkan fenomena jiwa dalam 

hubungan dengan perasaan ketertarikan, selera dan kesenangan; Francis M. Cornford 

menghubungkan fenomena jiwa dengan saat tertidur lelap (mimpi) dan akhirnya Erwin 

Rohde menggambarkan fenomena jiwa dalam kaitan dengan gagasan Homer dan ritual 

masyarakat kuno Inggris dan Jerman (menahan jiwa dalam kubur). 

berdasar  bentangan perluasan pemaknaan istilah jiwa di atas menunjukkan 

bahwa fenomena kesadaran kita  terhadap fenomena jiwa terus berkembang. (1) 

Pemaknaan fenomena jiwa tidak saja terbatas pada kita  namun  juga ada pada 

hewan, tumbuhan (kesadaran fenomena jiwa Masyarakat dan filsuf Yunani kuno) 

bahkan fenomena jiwa pada benda mati (Thales, kesadaran fenomena jiwa pada 

magnet). (2) Fenomena kesadaran kita  tentang jiwa kita , tidak saja terbatas 

selama kita  dalam keadaan sadar (James Hillman) namun  juga pada saat tertidur 

lelap (Francis M. Cornford). (3). Fenomena kesadaran kita  tentang jiwa kita  

juga diarahkan pada dunia kematian, misalkan Homer tentang fenomena arwah orang 

mati,  Erwin Rohde tentang fenomena jiwa pada saat kematian dan akhirnya fenomena 

jiwa dalam kubur melalui ritual (“root atau “sailian”) dari masyarakat Inggris dan 

Jerman kuno. 

D. Hakekat Jiwa-Jiwa  

Apa sesungguhnya jiwa itu ? atau dengan kata lain; seperti apa jiwa itu ? Kata 

Aristoteles, jiwa yaitu  esensi dan energi termasuk kekuatan aktivitasnya yang akan 

                                                           

mati, sedangkan menurut Sigmund Freud, jiwa yaitu  energi yang senantiasa 

berkonflik dan dilanda kecemasan tanpa akhir. 

Pandangan Filosofis di  zaman Yunani kuno antara abad ke-6 sampai abad ke-5 

sebelum Masehi, bahwa jiwa bukan saja sebagai “sesuatu” yang bertanggung jawab 

untuk fungsi-fungsi mental atau psikologi seperti: berpikir, persepsi dan keinginan 

namun  juga merupakan pembawa kualitas moral dan merupakan  “sesuatu” yang 

menggerakan dan menghidupkan tubuh organik. Seperti pandangan teori-teori periode 

Helenistik: ..“the soul as something that is responsible specifically for mental or 

psychological functions”6, jiwa diutarakan seperti “sesuatu” kekuatan atau daya hidup 

dalam tubuh yang bertanggung jawab khusus untuk fungsi mental atau psikologi serta 

berhubungan dengan semua fungsi dan aspek kehidupan. Pada zaman itu, “jiwa” 

diidentifikasi sebagai “sesuatu”  daya atau energi kehidupan. 

Selanjutnya menjelang akhir abad ke-5 sebelum Masehi saat kematian 

Socrates, istilah jiwa mengandung pengertian “berpikir dan berbicara” tentang sesuatu, 

misalnya sebagai tanda untuk membedakan jenis makluk hidup, dimana jiwa sebagai 

sesuatu yang bersifat subjek (dengan keadaan emosionalnya) bertanggung jawab untuk 

perencanaan dan untuk berpikir praktis. Jiwa diyakini sebagai pembawa kebajikan 

seperti keberanian dan keadilan. Selain itu jiwa diidentikan sebagai subyek hubungan 

dengan konteks kritis dan emosi intens seperti perasaan cinta dan benci, rasa sukacita 

serta kesedihan, kemarahan dan rasa malu. 

Ada beberapa kata kunci dari pernyataan di atas yaitu: jiwa sebgai yang 

“bertanggung jawab”, yang “berpikir” dan “berkeinginan”, yang “menggerakan” dan 

                                                           

yang “menghidupkan” tubuh oraganik. Dalam priode ini pemaknaan arti jiwa mulai 

diarahkan pada “sesuatu” seperti subyek penghidup dan penggerak.   

Masih dalam periode yang sama, Abad ke-5 sebelum Masehi, Homer, dalam 

ayat-ayat puisi pengantar ke Illiad dikemukakan bahwa “kematian pahlawan di medan 

perang,  jiwanya pergi ke Hades. ..sedangkan mereka sendiri (kata penulis), yang 

tertinggal di medan perang sesudah  kematian”. Pernyataan ini menunjukan bahwa  

bukan mati jiwa (jiwanya yang mati) namun  mayat-mayat yang diklaim sebagai diri 

orang yang telah meninggal.7 

Jika diteliti pernyataan Homer dalam pengantar puisi di atas, Homer 

menunjukan istilah jiwa sebagai person-person atau pribadi-pribadi. Artinya pahlawan 

yang mati di medan perang, jiwanya seperti pribadi “seseorang” yang terus hidup dan 

berjalan (pergi) ke Hades sang dewa kematin. Homer memakai  kata “pergi” 

(sebagai subyek pelaku), bukan kata “terbawa atau terangkat” (sebagai obyek). Kata 

“pergi” dan “tinggal” menunjukan pada tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh 

person atau subyek pelaku. Dengan demikian makna istilah “jiwa” diakhir abad ke 5 

sebelum Masehi, istilah jiwa dipakai untuk menunjuk subyek (“sesuatu” person) 

dalam tubuh, maupun subyek  atau person yang terus berakifitas sesudah  kematian 

tubuh (Homer).  

Oedipus mengatakan bahwa “His soul laments the misery of his city and its 

inhabitants” (Oedipus tyrannus 64). Sang tokoh Oedipus saat  menyaksikan 

kehancuran kota dan penderitaan masyarakat sesudah  tragedi, ia mengatakan bahwa 

bukan dia (tubuh jasmani) yang meratap, namun  “jiwa”nya meratapinya. Homer 

menggambarkan “jiwa” orang mati pergi (berjalan) ke Hades, sementara Oedipus 

mengatakan tentang jiwanya sendiri; jiwanya yang menangis. Maka baik Homer 

maupun Oedipus menegaskan bahwa jiwa kita  bukan suatu energi atau hanya 

suatu kekuatan namun  lebih merupakan sutu person atau pribadi (subyek) yang 

bertindak dan beraktivitas. Sokrates, memakai  kata “hati nurani” untuk menunjuk 

kata “jiwa”: jiwa atau hati nurani merupakan " hal yang tidak dapat memperburuk diri 

                                                            

kita , tidak dapat juga melukainya baik dari luar maupun dari dalam". Sedangkan 

menurut Plato, “jiwa sebagai unsur esensi seseorang kita  yang berfungsi 

memutuskan bagaimana  harus bersikap”. 

Jiwa sebagai hakekat incorporeal yaitu jiwa sebagai penghuni kekal dari 

keberadaan kita. Pada saat kematian jiwa kembali (sebuah tindakan)  ke dunia 

kayangan. Selanjutnya menurut Aristoteles, dalam karya filsafatnya, Aristoteles 

mengemukakan bahwa “yang ada” dan “yang berdiam” di dalam “diri” semua makluk 

hidup (tumbuhan, binatang dan kita ), apapun bentuknya, “dia” diberi nama 

“jiwa”. Dan jiwa itu sesuatu seperti bentuk atau struktural pengaturan bagian organik 

fisik. Jiwa yaitu  makhluk hidup, yang kegiatannya yaitu, "hidupnya”, jiwa yaitu  

sumber kehidupan yang memberi atau sebagai pemicu  terjadinya kehidupan bagi 

tubuh serta merupakan “inti” atau "esensi" dari makhluk hidup”  

Menurut Thomas Aquinas, ada bagian jiwa dengan fungsi kejasmanian untuk 

berpikir dan berkehendak. (1), melalui in acto sekundo, kejasmanian jiwa mengenali 

dirinya dan melakukan perbuatan. (2), Melalui intellectus (akal budi: jiwa pikiran 

dan kesadaran) sebagai daya pendorong rohani yang mengarahkan kita  pada 

tujuan abadi. (3) Jiwa rohani; intellectus atau akal budi yang membimbing pikiran, 

kesadaran dan kehendak bebas (taat dan bertanggung jawab sesuai hukum 

kodratinya) serta suara hatinya,8 mengarahkan kita  kepada Allah dan 

memungkinkan  bersatu dengan-Nya; ‘Desiderium naturale ad deum’;  kita   

memandang Allah.9 

Aquinas menekankan ketiga inti gagasan berikut: (1). jiwa dengan fungsi 

kejasmanian, (2). Intellectus (akal budi: jiwa pikiran dan kesadaran) dan  (3) Jiwa 

rohani  mengenali dirinya, melakukan perbuatan, dan mengarahkan kita  kepada 

Allah dan bersatu dengan-Nya. Thomas Aquinas memakai  empat kata kunci 

yaitu “mengenali”, “melakukan”, “mengarahkan” dan “bersatu” dengan-Nya. Dari 

keempat kata ini menunjukan bahwa Aquinas memaknai “jiwa” kita  bukan 

                      

sebagai energi kekuatan namun  lebih pada “sosok pribadi” atau subyek pelaku yang 

bertindak dan beraktivitas dengan sadar. 

Rene Descartes (France, 1596  - 1650) melanjutkan gagasan (dualism) Plato, 

Aristoteles dan Thomas Aquinas tentang kita  yang terdiri dari tubuh dan jiwa. 

(1), “Tubuh” disebutnya Res Extensa yaitu seperti mesin yang bisa bergerak sendiri 

(L’homme machine), mengukuti hukum alam sedangkan (2), “jiwa” yaitu  Res 

Cogitans (mind dan soul) yang berfungsi pertama-tama untuk berpikir (dan 

menyadari). Dari gagasan Descartes di atas, ada  dua kata kunci yaitu jiwa 

berfungsi untuk “berpikir” dan untuk “menyadari”. Dua istilah ini menunjukan 

fungsi dan peran atau lebih tepat “tugas” dari jiwa untuk menjalani pekerjaan atau 

tindakan berpikir dan menyadari. Maka jiwa dalam konteks Descartes mengandung 

pengertian; sebagai energi kekuatan dan sebagai “sesuatu” (belum tentu subyek 

pribadi) yang melakukan atau menggerakan tindakan. Bila dibandingkan dengan 

konsep nous Descartes dalam ungkapan “cogito ergo sum”, maka aktivitas berpikir 

dan menyadari bukan dilakukan oleh jiwa, namun  oleh aku subyek yang nyata. Maka 

dapat disimpulkan bahwa konsep jiwa menurut Descartes lebih mengarah kepada 

“pengerak” yang bisa dikategorikan sebagai energi kekuatan atau sesuatu yang 

menyerupai pribadi. 

Sigmund Freud dalam teori kepribadian membagi jiwa kita  menjadi tiga 

“energi’ kekuatan bersaing dalam tubuh kita . Ketiga bagian jiwa itu yaitu  id, 

ego dan superego. saat  terjadi konflik kepentingan di antara ketiganya, khususnya 

ego menjalani dua peran yaitu: (1), ego sebagai energi kekuatan berhadapan dengan 

id dan superego sebagai lawan setara. (2), pada puncak konflik, ego beralih tampil 

sebagai tokoh yang membuat (mengambil) keputusan dan pilihan tegas. Pada point 

kedua Freud memaknai ego (bagian jiwa) bukan saja sebagai energi yang berkonfik 

namun  pribadi atau person pengambil  keputusan sebagai wasit dan hakim. 

Selanjutnya Freud membagi dengan tegas wilayah kekuasaan ketiganya, yaitu 

bahwa “id” berkuasa di wilayah alam bawah dasar, “ego” menguasai alam 

kesadaran, sementara “superego” datang dari luar memasuki alam kesadaran 

(wilayah ego) atau bebas masuk ke alam bawah sadar (wilayah id). berdasar  


uraian di atas maka gambaran jiwa menurut Freud di satu sisi sebagai energi 

kekuatan dan di sisi yang lain (ego) seperti sosok pribadi bahkan subyek “wasit” 

sekaligus “hakim”. 

Dari pemaparan gagasan dan teori tentang jiwa dari filsuf dan ilmuan  dalam 

sub-pokok bahasan ini maka dapat disimpulkan hakaket jiwa sebagai berikut: (1) Jiwa 

yaitu  energi kehidupan yang menggerakan organ tubuh jasmani (pada kita , 

hewan dan tumbuhan). (2) Jiwa yaitu  hidup yang menghidupkan tubuh kita  serta 

mengaktivkan pikiran dan kesadaran untuk menjalankan fungsinya (jiwa kita ). (3) 

Jiwa yaitu  esensi dan inti dari kedirian kita  yang berada di dalam tubuh serentak 

meresapi dan hadir secara penuh (utuh) di tubuh jasmani. (4) Jiwa yaitu  seperti atau 

mirip satu pribadi (subyek) atau “seseorang” dari keutuhan dirinya untuk menjalani 

kehidupan baik di dunia ini atau sesudah  kematian. (5). Sehubungan dengan proses 

penciptaan dan pembentukkan janin dalam rahim (immiteri Aquinas), dan lebih 

khusus pada peristiwa kematian (Homer, Plato, Aquinas), dimana tubuh jasmani 

kakuh dan akan membusuk, sementara jiwanya pergi (versi Plato atau theolog) maka 

jiwa kita  yaitu  satu pribadi yang utuh berbeda dengan tubuh jasmani. 

E. Asal-Usul  Jiwa kita  

Empedokles (prinsip inkarnasi) dan Pythagoras (Transmigrasi jiwa) 

berpendapat ada semacam proses inkarnasi jiwa di masa pra-kehidupan semua makluk 

hidup. Pendapat ini didukung oleh pernyataan Empedokles bahwa sebenarnya telah 

menjadi semak dalam inkarnasi sebelumnya di antara makluk hidup seperti misalnya 

pada  burung dan ikan. Berbeda dengan Empedokles  dan Pythagoras, Heraclitus 

memiliki pandangan yang khas tentang asal jiwa dalam pernyataan berikut; “The soul 

as fiery in nature: To souls it is death to become water, to water death to become 

earth, but from earth water is born, and from water soul. 10 Jiwa-jiwa berkobar-kobar 

(berapi-api) di dalam alam; dimana jiwa (kehidupan) yang telah mati berubah menjadi 

air, air mati berubah menjadi bumi dan lalu  jiwa air menghasilkan atau 

melahirkan tanah, sementara jiwa-jiwa makluk dihasilkan dari bahan lain seperti api 

                                                            

yang memiliki dimensi tak terbatas. Oleh karena itu jika kita ingin  menemukan batas-

batas dari jiwa kita tak pernah menemukan batasnya (seperti kobaran api).11 

berdasar  gagasan Herakletos tentang asal jiwa memiliki kemiripan dengan 

gagasan Empedokles dan Pythagoras dalam konteks terjadi sesuatu mata rantai dalam 

proses kehidupan yang lama dengan kehidupan yang baru. Gagasan yang khas dari 

Herakletos tentang asal jiwa-jiwa makluk, ia menunjuk sesuatu seperti api alam 

semesta yang tanpa batas dimensinya. Jiwa-jiwa termasuk jiwa kita  berasal dari 

api abadi yang terus berkobar. 

Sokrates filsuf pertama zaman keemasan filsafat Yunani klasik memperkuat 

pendapat tiga filsuf alam Yunani kuno dengan konsep proses inkarnasi berulang, kata 

Sokrates: “kematian makhluk melibatkan kelangsungan jiwa yang bersangkutan, yang 

berlangsung melalui periode pemisahan dari tubuh, dan lalu  kembali untuk 

menghidupkan tubuh lain dalam perubahan yang merupakan mitra dari perubahan 

sebelumnya yang hampir sekarat”. Selanjutnya ”untuk itu jiwa mungkin sudah pernah 

mengalami sejumlah proses inkarnasi, dan di suatu saat akan  menjalani proses 

inkarnasi untuk terakhir kali”, dari pernyataan Sokrates ini menunjukan dua hal 

yaitu (1) asal jiwa-jiwa makluk hidup “datang” dari jiwa makluk hidup yang 

sebelumnya tubuhnya mati atau hancur, dan jiwanya berkesempatan untuk menjalani 

proses inkarnasi pada tubuh-tubuh yang baru. (2) menurut Sokrates bahwa makluk 

hidup yang dulu tubuhnya telah mati, jiwanya hidup terus dan jiwanya dapat menjalani 

proses inkarnasi berulang kali dalam tubuh yang baru. Jadi dapat disimpulkan bahwa 

menurut Sokrates bahwa kehidupan baru (asal jiwa-jiwa) pada satu jenis makluk hidup 

bisa (jiwanya atau hidupnya) berasal dari jiwa leluhurnya (semitra-sespesies) yang 

pernah hidup sebelumnya. 

Plato, murid Sokrates memiliki pandangan serupa tentang asal jiwa, yaitu 

melalui proses inkarnasi. Menurutnya badan atau tubuh akan mati (hancur),  sementara 

                                                           

jiwa terus-menerus dilahirkan kembali (inkarnasi) dalam tubuh berikutnya.12 Gagasan 

jiwa Sokrates dan Plato lebih difokuskan pada jiwa kita . Perbedaan antara 

gagasan Sokrates dan Plato terletak pada point, Sokrates menekankan bahwa jiwa 

dapat berinkarnasi beberapa kali, sementara Plato lebih menekankan pada jiwa yang 

terus-menerus hidup sesudah  kematian.  

Menjelang akhir periode filsafat Yunani kuno dan Yunani klasik, Platinos dari 

Lycopolis (205-270 masehi) pendiri mazab Neoplatonisme menyatakan asal jiwa atau 

asal kehidupan baru dalam pernyataan berikut: At the summit of existences stands the 

one or the good, as the source of all things. It emanates from itself, as if from the 

reflection of its own being, reason, wherein is contained the infinite store of ideas”13 

Pada puncak atau di atas segala keberadaan hidup disana berdiri atau tampil sumber 

dari segala sesuatu yang bersifat tunggal (sesuatu yang SATU dan yang BAIK). 

Manurut  Platinos segala sesuatu berasal dari dirinya sendiri. Dan “Dia” yaitu  tokoh 

yang memiliki ide-ide tak terbatas. Kehidupan baru (asal jiwa atau jiwa baru) 

sebelumnya ada dalam “kandungannya” dan berasal padanya. Selanjutnya dari 

padanya (dirinya) segala sesuatu dipancarkannya  dan atau terpancar darinya. “Dia” 

menurut Platonis memiliki jiwa tanpa keberadaan matrial. Jiwanya yaitu  sumber dari 

segala kehidupan dengan demikian melalui pancaran jiwanya, memungkinkan alam 

mendapat kehidupan baru. Singkatnya jiwa-jiwa (termasuk jiwa kita ) berasal dari 

“dia” sumber kehidupan yang SATU, yang BAIK, yang memiliki ide-ide tak terbatas. 

Dialah asal dari segala jiwa-jiwa. 

Seribu tahun lalu  tampilah sang filsuf dan theolog, Thomas Aquinas 

(Italia, 1225-1274), menggungkapkan gagasannya tentang asal jiwa kita  yang 

diwariskan dari Plato dan Aristoteles. Thomas, mengarah perhatian jauh ke belakang 

ke sejarah asal-usul kita . Thomas mengarahkan pandangan kepada sang Ilahi 

                                                            

Allah sebagai Causa Prima (Thyrathen, Aristoteles, atau yang Satu tak terbatas 

Platonis). Menurutnya Allah menentukan hukum universal kehidupan yang 

berlangsung secara terus dalam proses evolusi  kita , melalui gagasan Immitere; 

jiwa diletakan dalam materi (tubuh); saat  materi (janin) memenuhi syarat-syarat 

hukum evolusi universal, maka jiwa akan timbul. 14 

Adanya jiwa dalam tubuh janin, andaikan janin memenuhi hukum-hukum 

penciptaan universal yang telah ditetapkan sang pencipta. Gagasan asal jiwa Aquinas 

langsung diarahkan kepada pribadi Allah sebagai pencipta bukan sebatas konteks 

penciptaan kita  dalam kitab genesis. Thomas Aquinas menolak penciptaan 

kita  oleh Allah secara langsung real, namun  melalui proses evolusi. Sebagai catatan 

bahwa gagasan Aquinas tidak melanjutkan gagasan proses inkarnasi yang 

dikembangkan baik oleh filsuf alam Yunani kuno maupun oleh filsuf zaman keemasan 

filsafat Yunani. Konsep immiteri lebih dekat dengan gagasan Platonis (Neo-platonis) 

tentang asal jiwa yang berasal dari “Dia” yang Satu, yang Baik dan menjadi sumber 

dan asal dari segala sesuatu. 

Jika Thomas Aquinas mengagas asal jiwa dari latar belakang theologi katolik 

Roma, maka santo Yohanes dari Damaskus (Kristen Ortodoks) mengemukakan asal 

jiwa kita  sebagai berikut;  “Tuhan memberikan kepada kita  jiwa cerdas dan 

niskala untuk bernafas yang tepat". Menurutnya jiwa merupakan anergi parallel 

dengan nous (intelijen atau akal budi) yang dianugerahkan Allah kepada kita . 

Selanjutnya gagasan senada dikemukakan oleh santo Yohanes dari Tangga yang 

berpedoman pada kitab genesis bahwa  “kita  diciptakan menurut gambar Allah”. 

Menurutnya istilah “gambar” Allah tidak mengacu pada tubuh jasmani namun  

menunjuk pada jiwa kita lah yang secitra dan segambar dengan Allah pencipta-

Nya. Jiwa itulah yang memberi kehidupan kapada tubuh atau badan jasmani kita .  

Lebih lanjut, santo Yohanes dari Tangga menyatakan bahwa “Tuhan memiliki tiga 

                                                            

   

kekuatan sumber kehidupan yaitu Roh, Firman dan Nous maka kita  ciptaan-Nya 

diberkati pula dengan ketiga kekuatan hidup yaitu: Roh, Jiwa dan Nous”. 

Akhirnya dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) menurut filsuf alam Yunani 

kuno Empedokles, Pythagoras dan Herakletos mengemukakan bahwa asal jiwa atau 

asal kehidupan merupakan warisan alam (jiwa leluhur) melalui proses ikarnasi. (2) 

Filsuf zaman keemasan filsafat Yunani (Sokrates dan Plato) dan filsuf Platonis (Neo-

Platonisme) menyatakan bahwa asal jiwa-jiwa atau jiwa kita  berasal dari kekuatan 

super natural yang Satu, yang Baik, yang menjadi sumber asal dari segala sesuatu. (3). 

Santo Thomas Aquinas (Filsuf Teolog Katolik), santo Yohanes dari Damaskus  dan 

Santo Yohanes dari Tangga dengan latar belakang Theologi Kristen Ortodoks 

menyatakan bahwa khususnya jiwa kita  diciptakan oleh Allah. Artinya bahwa 

jiwa kita  berasal dari Allah sebagai sang pencipta. (4) Sebagai kesimpulan umum, 

bahwa  asal dari jiwa-jiwa termasuk jiwa kita  berasal dari sang sumber jiwa atau 

sumber kehidupan dengan cara yang khas dan unik berlaku untuk setiap makluk hidup. 


KONSEP JIWA MENURUT ARSITOTELES DAN SIGMUND FREUD 

A. Teori Jiwa Menurut Aristoteles  

sesudah  kita menjelajahi fenomena kesadaran kita  tentang fenomena-

fenomena jiwa baik pada kita  maupun pada hewan, tumbuhan dan benda mati, 

sekarang kita mencoba menyimak bagaimana fenomena kesadaran Aristoteles 

terhadap fenomena-fenomena jiwa dan ke-jiwa-an baik pada kita  maupun pada 

makluk lain di luar kita . Manurut Aristoteles bahwa ciri khas kita  antara lain: 

“kita  yaitu  makluk rasional” (dalam teori antropologi dan etika-nya); “kita  

sebagai subjek pengetahuan” (gagasan filsfat-nya); “kita  yaitu  makluk yang 

mencakup “materialized form” dan “formed matter“, (seperti teori psikologi)  dan 

“kita  sebagai makluk hidup masyarakat”  (teori polis) atau “fenomena dalam teori 

politik-nya serta  “jiwa hanya ada pada badan (teori ruang metafisika).15 

sesudah  dikemukakan beberapa contoh hasil reduksi fenomenologi dari 

fenomena kesadaran Aristoteles terhadap realitas khususnya tentang fenomena jiwa, 

maka pada bagian ini akan diutarakan proses dan hasil dari reduksi eidos (fenomena 

kesadaran) Aristoteles terhadap obyek kajian. Gagasan dan teori fenomena kesadaran 

Aristoteles sebagai hasil dari suatu proses fenomena eidos, fenomenologi Husserl 

untuk menyingkapkan nilai esensial atau esensi dari obyek realitas jiwa-jiwa. 

Eidos (1) yaitu: Aristoteles dalam filsafat jiwa (teori soul) menurutnya:  …(jiwa) dari 

tubuh yaitu  apa yang membuat hidup, dan yaitu  bentuk yang 

diaktualisasikannya, dengan demikian, segala sesuatu yang hidup, termasuk 

tanaman dan hewan juga memiliki jiwa” karena mereka juga hidup dan 

memiliki kehidupan. Dalam eidos pertama ini Aristoteles mengemukakan 

                                                           

esensi dari : jiwa-jiwa”, yaitu bahwa jiwa yaitu  “hidup” yang berfungsi 

untuk menghidupkan tubuh. Dengan demikian dalam fenomena kesadaran 

Aristoteles bahwa semua realitas yang tidak hidup, yaitu  mereka yang tidak 

memiliki jiwa. Itu eidos dari kesadaran fenomenologi Aristoteles tentang 

hakekat atau esensi jiwa yaitu  hidup dan kehidupan. 

Eidos (2), kata Aristoteles: “Pikiran atau akal (nous) dapat digambarkan dengan 

berbagai sebagai kekuatan, fakultas atau aspek dari jiwa kita ”. Dari 

Fenomena kesadaran, Aristoteles menekankan tentang eidos “pikiran” 

(nous) dalam hubungan dengan “jiwa” (soul) kita . Pikiran, intelejen, 

akal budi dan kesadaran merupakan bagian atau sapek-aspek dari jiwa 

kita . Dalam ungkapan lain, bahwa soul memiliki bagian nous namun  

juga soul atau jiwa kita  yang melakukan tindakan berpikir dan 

menyadari. Artinya jiwa dimiliki kita  yaitu  jiwa rasional atau jiwa 

yang bisa berpikir (esensi), berbeda dengan jiwa pada hewan atau tumbuhan 

yang hanya memiliki aspek energi dan kekuatan jiwa, yang akan mati dan 

hancur. 

Eidos (3): kita  sebagai makluk rasional yang hidup bermasyarakat, maka 

menurutnya: “kehidupan yang baik justru harus dicari dan bertolak dari 

realitas kita  sendiri. Realitas inderawi kongkret inilah akal budi 

kita  mengabstraksikan apa yang disebut kebaikkan. Inilah gagasan 

Aritoteles yang berpedoman pada pendekatan serba empiris tentang moral. 

Dari pernyataan Aristoteles di atas ada  dua eidos yaitu eidos kita  

sebagai makluk sosial (teori etika politik) dan eidos dari hakekat kebenaran 

menurut Aristoteles bahwa realitas inderawi yaitu  real dan menjadi dasar 

pencarian kebenaran (metode kajian filsafat Aristoteles). Dalam eidos yang 

terakhir ini fenomena kesadaran dan cara berpikir Aristoteles berbeda 

dengan gurunya Plato yang menekankan “ide” atau logos sebagai dasar 

pencarian kebenaran. Bagi Aristoteles, pencarian eidos dari realitas harus 

berangkat dan berpedoman pada fenomena inderawi yang nyata baik dalam 

fenomena kesadaran kita  maupun yang ada  pada fenomena obyek 

realitas yang ditujukan. 


 

1. Hakekat jiwa kita  menurut Aristoteles  

Berpedoman pada gagasan “jiwa’ dari Plato, maka lalu  Aristoteles 

mendefenisikan istilah  jiwa sebagai “inti” atau "esensi" dari makhluk hidup. 

Aristoteles berkeberatan dengan argument bahwa jiwa memiliki keberadaan yang 

terpisah secara keseluruhan tubuh. Artinya ada hubungan antara jiwa-jiwa dipandang 

dari sisi esensi. Dalam karya filsafatnya, Aristoteles mengemukakan bahwa “yang 

ada” dan “yang berdiam” di dalam “diri” semua makluk hidup (tumbuhan, binatang 

dan kita ), apapun bentuknya, “dia” diberi nama “jiwa” (“psyche”, Latin: anima). 

Artinya menurut Aristoteles bahwa jiwa tidak saja dimiliki kita  namun  juga 

dimiliki (berada) dalam dan pada tumbuhan dan hewan. Namun dari sisi esensi 

ada  perbedaan. Jiwa tanaman dan hewan memiliki berbagai jenis jiwa dan 

ditunjukan dengan dan pada hal-hal yang berbeda dengan jiwa kita .  

Dalam karya psikologi, “jiwa” ditinjau Aristoteles melalui “teori ruang”. Ia 

berpendapat bahwa “hanya tubuh fisik dikelilingi oleh tubuh lain yang secara nyata 

dan bukan disengaja akal, dalam ruang, karena ruang tubuh yaitu  defined sebagai 

batas dalam tubuh yang mengelilinginya”. Maka Terminologi Aristoteles, “Jiwa” 

hanya memiliki ruang eksistensi kebetulan dalam tubuh.16 

Eidos (4) Aristoteles tentang jiwa kita  ditinjau dari teori ruang. Aristoteles 

menekankan bahwa keberadaan jiwa hanya mungkin ada dalam badan. Artinya 

jiwa tidak bisa independent hidup terpisah dari badan (ajaran hylemorfisme). 

Gagasan esensi jiwa Aristoteles ini bertolak belakang dengan eidos jiwa dari 

Homer (fenomena jiwa sesudah  kematian) atau eidos jiwa dari Plato gurunya yaitu 

“jiwa” yang berusaha melepaskan dirinya dari penjara tubuh dan berangkat ke 

asalnya; kayangan atau dunia ide-ide. 

Selanjutnya gagasan Aristoteles tentang jiwa hanya memiliki ruang eksistensi 

kebetulan dalam tubuh. Istilah “kebetulan”, menurut saya menunjukan beberapa eidos 

                                                            

  

sebagai berikut: (1) Istilah “kebetulan” menunjuk pada warisan dualisme Sokrates dan 

Plato tentang kita  yang terdiri dari jiwa dan tubuh. Sekalipun jiwa menghidupi 

dan menyatu dengan tubuh namun  eidos fenomenologinya (ontologism-metafisisnya) 

tetap berbeda dan terpisah; karena tubuh bersifat matrial sedangkan jiwa bersifat 

rohani. (2) Istilah “kebetulan” juga berhubungan dengan praksis atau tindakan jiwa; 

bahwa jiwa menghidupkan dan menggerakan bagian-bagian organisme tubuh, kata 

Aristoteles. Artinya tatkala jiwa aktiv bertindak, maka eksistensi jiwa terjadi dalam 

tubuh. Sebaliknya saat  kita  tidur (jiwa tidak aktif) maka di sana eksistensi jiwa 

tidak terjadi. (3) Istilah “kebetulan” berhubungan pula dengan konsep kematian tubuh; 

kata Aristoteles jiwa hanya memiliki ruang eksistensi kebetulan dalam tubuh. Artinya 

selama tubuh ternyata masih hidup dan beraktivitas maka di sana jiwa dapat 

bereksistensi. Sebaliknya jika tubuh mati, artinya jiwa telah pergi meninggalkan tubuh 

(atau “ jiwa ikut mati”, Aristoteles menolak keabadian jiwa) maka disana (di dalam 

tubuh) tidak ada jiwa karena itu tidak terjadi eksistensi jiwa di sana. Ketiga 

pemahaman ini menjadi dasar mengapa Aristoteles memakai  istilah “fenomena 

kesadaran kebetulan” dari fenomena eksistensi jiwa dalam tubuh kita . 

2. Struktur  dan bagian-bagian jiwa menurut Aristoteles  

Aristoteles memperluas gagasan tentang kebahagiaan melalui analisis struktur 

jiwa kita  yang menjiwai organisme hidup kita . Dalam pandangan Aristoteles, 

jiwa yaitu  makhluk hidup, yang kegiatannya yaitu, "hidupnya". Aristoteles tidak 

menganggap jiwa secara keseluruhan sebagai penghuni tubuh yang terpisah dari tubuh 

(sama seperti kita tidak dapat memisahkan aktivitas pemotongan dari pisau). Jiwa 

berada dalam diri kita  sedangkan nus (roh) datang dari luar yang disebutnya  

thyrathen; (mungkin Tuhan ?). Fungsi jiwa, Aristoteles; melalui logika formal  atau 

logika bentuk (form) Aristoteles menegaskan bahwa kita  yaitu  makluk yang 

memiliki jiwa, pikiran dan kesadaran (rasionalitas), yang berfungsi untuk berpikir 

logis dalam membuat keputusan yang benar dan tepat. lalu  Aristoteles juga 

memakai  istilah ‘symposion’ atau suatu daya kehidupan dalam diri kita  

meliputi; cinta (eros) sebagai sumber dan daya penggerak jiwa yang memungkinkan 

kita  melalui pikiran dan kesadarannya menghasilkan dan menciptakan hal-hal 

yang baik dan berguna (hubungan dengan moral-politik, negara-kota; polis Yunani 

klasik) . 17 

Dalam uraian di atas, menunjukan fenomena-fenomena kesadaran Aristoteles 

tentang jiwa berhubungan dengan hasil reduksi transcendental metode fenomenologi 

Husserl. Dalam konteks ini hubungan jiwa dengan substansi-substansi yang lain baik 

di dalam atau di luar tubuh kita . Menurut saya, reduksi transendental (1), nampak 

pada analogi Aristoteles menggambarkan kakekat jiwa. Aristoteles menganalogikan 

esensi, energi dan aktivitas jiwa kita  dibandingkan pisau; yang memiliki fungsi 

utama sebagai pemotong dan kapak dengan fungsi utamanya memotong dan 

membelah. Istilah “memotong atau mengiris” pada pisau atau “membelah atau 

memotong” pada kapak, bukan saja menunjuk pada aktivitas atau tindakan pisau dan 

kapak, namun  menunjuk pada hakekat atau esensi dari pisau dan kapak.18 

Tindakan “membelah dan  memotong” pada pisau dan kapak yaitu  “energi 

jiwa” dari pisau (bandingkan Thales, magnet). Artinya tak ada fungsi lain dari pisau 

dan kapak selain “memotong dan membelah”. Dengan kata lain  satu-satunya energi 

dan aktivitas memotong dan membelah merupakan esensinya pisau dan kapak. 

Dengan demikian analogi Aristoteles ini menggambarkan  tentang hakekat jiwa 

sebagai sumber hidup yang fungsinya hanya untuk menghidupi tubuh. Singkatnya, jika 

“dia” tidak menghidupi, maka dia bukan jiwa. 

Dalam analogi ini Aristoteles menunjukan serentak tiga substansi transedental 

yaitu (a) esensi jiwa, (b) esensi pisau dan esensi kapak serta (c) menghubungkan 

ketiganya dalam suatu struktur esensi dan aktivitas melalui tahap reduksi 

transcendental metode fenomenologi Husserl, yaitu “jiwa” dengan esensi menghidupi 

serta pisau dan kapak dengan esensi “memotong dan membelah”. Sedangkan tindakan 

                                                           

“menghidupi, membelah dan memotong” di satu sisi menunjuk pada energi dan 

aktivitas, di sisi lain serentak menyatakan esensinya. Sementara materi “tubuh 

kita , benda pisau, dan benda kapak” merupakan “penampakan” perluasan asensi 

“jiwa, energi, kekuatan” yang dihadirkan secara utuh melalui dan bersama bentuk 

matrial (tubuh kita , bentuk pisau dan kapak) yang sementara aktif. Singkatnya, 

tubuh atau bentuk materi yaitu  perluasan dan penampakan esensi, energi dan aktifitas 

jiwa 

Reduksi transendental (2) tampak pada fakultas-fakultas jiwa dan hubungan 

jiwa dengan substansi yang lain. Aristoteles mengelompokan jiwa-jiwa makluk hidup 

dalam tiga kategori: (a). Jiwa tumbuhan yang hanya memiliki energi hidup vegitatif. 

(b). Jiwa hewan yang juga memiliki energi hidup vegitatis ditambah dengan energi 

hidup sensitive, dan (c). Jiwa kita  yang juga memiliki energi hidup vegitatif dan 

energi sensitif serta ditambah dengan esensi yaitu rasio atau akal budi (roh). Jika pada 

contoh reduksi transcendental fenomenologi pertama di atas, dalam bentuk analogi, 

maka reduksi transcendental kedua ini berhubungan dengan hakekat dan esensi dari 

jiwa itu sendiri. 

Menurut saya (1) Aristoteles menunjukkan bahwa jiwa yaitu  “makluk” hidup 

dengan esensinya yaitu  menghidupi. Semua yang hidup, pasti memiliki jiwa. Karena 

tanaman dan heman juga hidup seperti kita  maka, mereka juga memiliki jiwa, dan 

jiwa mereka merupakan esensi dari diri mereka. (2), Aristoteles menunjukan bahwa 

ada hubungan antara kita , hewan dan tanaman oleh jiwa (unsur kebenaran 

transcedental yang sama dan menyatukan ketiganya), namun di sisi lain Aristoteles 

menekankan esensi jiwa ketiganya memiliki nilai perbedaan. Jiwa kita  ditambah 

dengan akal budi, jiwa dan roh / nus. Substansi Nous, soul,  dan spirit, inilah menjadi 

ciri khas esensi jiwa kita , Aristoteles. 

Selanjutnya hasil reduksi transendental (3) tampak pada Aristoteles membagi jiwa 

kita  menjadi tiga bagian (unsur/elemen)  sebagai berikut: 

Pertama, bagian Rasional yaitu  unsur tertinggi. Unsur rasional hanya ada  pada 

jiwa kita  yang berhubungan dengan selera. Bagian rasional ini 

bertanggung jawab untuk mengatur emosi dan keinginan (seperti 

kegembiraan, kesedihan, harapan dan ketakutan). 

Kedua, bagian Irasional yaitu  unsur kedua yang merupakan bagian menengah.  

Menurutnya ciri irasional bukan saja khas dimiliki hewan namun  juga ada  

dalam diri kita . 

Ketiga, bagian Vegitatif (unsur yang primitif) yaitu  unsur ketiga atau bagian bawah 

yang bertugas mengatur tentang gizi dan pertumbuhan. 

 

Dalam bagian ini, reduksi transendental tampak bukan saja pada bagian-bagian 

jiwa namun  juga tanpak pada pembagian tingkat unsur-unsur jiwa; Aristoteles 

menyatakan bahwa unsur vegitatif, sensasi-naluri juga dimiliki kita . Aristoteles 

menekankan bahwa kendati bagian rasional merupakan subsatnsi yang lebih tinggi 

dengan fungsi utama mengarah dan mengontrol kedua bagian lain (irasional dan 

vegitatif) namun ketiganya merupakan penyatuan substansi- substansi yang 

melengkapi esensi jiwa kita . Aristoteles tetap konsekuen pada relasi jiwa dan 

tubuh yang konstant. Artinya kerena rasionalitas yaitu  esensi pembeda jiwa kita  

dengan jiwa hewan dan tanaman yang hanya memiliki energi kekuatan (bukan esensi), 

tidak berarti terjadi dominasi unsur rasional atas atau sampai membatalkan kedua 

unsur lain. Tiap bagian jiwa: rasional, irasional dan vegiatatif menjalankan tugasnya 

menggerakan, mengarahkan tubuh dll sesuai fungsi dan statusnya. Menurut saya, point 

terakhir inilah menunjukan dengan jelas  sisi transcendentalnya.  (bandingkan 

pembagian id, ego dan superego, Freud). 

Mengakhiri sub pokok ini dengan menampilkan “suatu” reduksi eidos dan 

reduksi transcendental metodologi Husserl khususnya mencari esensi jiwa dan pikiran 

serta bagaimana hubungan antara keduanya. Istilah “jiwa” (soul) dalam hubungan 

dengan  intelektual (nous), Aristoteles membaginya menjadi dua bagian utama, yaitu: 

(1). Musyawarah atau perhitungan dan (2). Ilmiah atau teoritis. Point pertama 

(musyawarah atau perhitungan) lalu  Aristoteles membaginya dalam sebuah 

divisi tripartit jiwa intelektual yang terdiri dari (1.a).Teknis, (1.b). Kehati-Hatian dan 

(1.c). Teoritis. Yang pertama (teknis) yaitu  seni. Istilah yang menunjuk pada hal-hal 

di luar tubuh kita  termasuk produk dari aktivitas kita  itu sendiri. Yang kedua 

(kehati-hatian), menunjuk pada jangka waktu dalam suatu kegiatan. namun  Aristoteles 

menghubungkan dengan seni; yaitu seni dalam melakukan sesuatu hal.  

Hasil reduksi eidos dan reduksi transcendental dari bagian ini yaitu  (1). 

Aristoteles menghubungkan esensi jiwa dengan esensi akal budi. Jiwa memiliki energi 

dan kekuatan yang dimanfaatkan akal budi untuk menjalani proses pemikiran dan 

menyadari. (2), Aristoteles, menghubungan jiwa kita  dengan kehidupan moral 

yang baik dan pantas sebagai kita  warga negara-kota; polis Yunani klasik. (3). 

Aristoteles menghubungan jiwa melalui pikiran yang tampak dan tercermin dalam 

tindakan kita  seperti teknis (panduan moral-etika dalam hidup), kehati-hatian 

(sikap batin dalam hubungan dengan kewaspaan dan pemahaman yang benar sebelum 

memilih dan memutuskan tindakan) dan teoritis (yang berhubungan langsung dengan 

sistem kerja nous atau akal budi melalui bantuan energi dan kekuatan jiwa). (4). 

Aristoteles, menghubungkan jiwa dengan seni, ia menunjukan bagaimana proses kerja 

jiwa dan pikiran dalam realitas yang ditampakan oleh tubuh, melalui arahan jiwa dan 

pikiran. Point ini menunjukan secara langsung tubuh sebagai perluasan jiwa dan 

pikiran. Dengan kata lain tubuh yaitu  penampilan jiwa dan pikiran seseorang. 

3. Hubungan Jiwa Dengan  Tubuh   

Jika pada sub pokok satu dan dua, penulis menyertakan bagaimana proses 

penggunaan jenis konstitusi, korelasi dan pendekatan intuitif; tiga tahap reduksi dalam 

berbagai contoh gagasan dan pemikiran Aristoteles, sebagai contoh penerapan metode 

fenomenologi Edmund Husserl, maka pada sub-sub berikut penulis menjelaskan obyek 

tanpa menyertakan tata proses metode fenomenologi. Dengan alasan bahwa  

bentangan tahap metode reduksi lebih bersifat sarana bukan tujuan dari pembahasan. 

Aristoteles dengan teori soul dalam de anima ia berbicara khusus tentang 

hubungan tubuh dengan jiwa.  Menurutnya jiwa berbeda dengan tubuh namun  serentak 

serupa dengannya. Jiwa berada dalam tubuh namun  sekaligus menampakan dirinya dan 

ditampak