Apa dan bagaimana itu jiwa kita ?
Herakletos, mengajak kita menatap ke langit dan melihat pijaran (kobaran)
api abadi sambil berkata: “The soul as fiery in nature: To souls it is death to
become water, to water death to become earth, but from earth water is born, and
from water soul. Herakletos, jiwa-jiwa makluk dan jiwa kita dihasilkan dari
bahan lain seperti api (abadi itu) yang memiliki dimensi tak terbatas. Sokrates
dalam Plato, menegaskan bahwa “tubuh akan mati (hancur), sementara jiwa terus-
menerus dilahirkan kembali (berinkarnasi) dalam tubuh berikutnya”. Aquinas
memberi kita pupuk dan air, katanya siram dan rawilah dia, karena saat tiba
saatnya dia akan muncul. Kata Thomas Aquinas; Allah menentukan hukum
universal kehidupan yang berlangsung terus dalam proses evolusi kita , saat
materi (janin) memenuhi syarat-syarat hukum evolusi universal, maka jiwa akan
timbul (Immitere). jiwa diletakan dalam materi (tubuh); Matahari pun terbit-
bersinar di pagi itu dan ia (jiwa) pun muncul. Pertanda kehidupan baru telah di
mulai.
Dari tiga gagasan in kata pastikan bahwa Jiwa telah bertanda dalam tubuh
kita . lalu Aristoteles member kita spidol dan tali. Ia meminta kita meberi
tanda dan menyatukan tiang pagar dengan simpulan tali sehingga menghasilkan
areal khusus yang sibatasi pagar. lalu kata Arsitoteles bahwa: “hanya tubuh
fisik dikelilingi oleh tubuh lain yang (secara nyata) dalam ruang, karena ruang
tubuh yaitu defined sebagai batas dalam tubuh yang mengelilinginya” (Teori
Ruang). Selanjutnya Thales meminta kita membuat eksperiment agar membuktikan
bahwa Apakah benar jiwa kita tetap berada dalam ruang tubuh. Ia memberi kepada
kita sebatang besi magnet dan bebrapa jarum. Jarum ditaburkan diseputar besi
xmagnet. Perhatikan apa yang terjadi…!, lalu Thales mengatakan itulah
kekuatan energi jiwamu (teori magnet).
Kini, kita harus memenuhi undangan Sigmund Freud untuk menyaksikan
kompentisi perebutan piala drive, yaitu pertandingan gulat antara Id, Superego dan
Ego di dalam ring jiwa (Personality Theory). Babak penyisihan pun berakhir, dan
entah kenapa salah satu pegulat dijebloskan ke penjara. Maka Platonis memberi kita
kunci dan Plato meminta kita ke ruang sel, membuka gemboknya dan melepaskan
rantai besi yang membelenggu sang pegulat dan membawa dia keluar dari penjara.
Maka jiwa itu telah bebas dan dapat beraktivitas kembali. Seperti kata Platonis
(Neoplatonisme): “Jiwa yang dirantai, rindu untuk melarikan diri dari belenggu
tubuh dan kembali ke sumber asalnya”.
Selanjutnya Homer memberi kita kamera dan mengajak menemaninya
meliput perang, dengan istruksi: dengarkan dengan cermat apa yang dikatakan oleh
perang: "Kematian pahlawan, jiwanya pergi ke Hades...(kata penulis), sedangkan
mereka sendiri yang tertinggal di medan perang sesudah kematian” (Puisi pengantar
ke Illiad). Selanjutnya terdengar suara Plato: jiwa mereka bukan ke Hedes namun ke
Dunia Kayangan. Para Theolog, membantah; Bukan ke Kayangan namun ke Surga
kembali ke sang Pencipta. Sementara debat, terdengar pekikan keras dari dunia
bawah kematian: Semuanya salah, jiwa mereka kini sementara menuju ke Neraka
(Iblis), disanalah tempat keabadian jiwa mereka.
Itulah kata Filsuf dan Ilmuan tentang Jiwa kita dan tentang jiwa mereka.
memakai gagasan dan teori Aristoteles dan
Sigmund Freud sebagai data sentral fakta fenomena jiwa, dan sekaligus sebagai obyek
masalah dalam kajian ini. Pertama: Aristoteles dalam teori soul; menolak keabadian
jiwa kendati ia menyatakan bahwa jiwa yaitu pemicu dan pembawa kehidupan
bagi tubuh kita . Kedua: Sigmund Freud dalam Personality Theory menegaskan
bahwa jiwa kita senantiasa dilanda konflik dan kecemasan. Pandangan Arstoteles
dan Sigmund Freud ini bertolak belakang dan bertentangan dengan pandangan filsuf
dan ilmuan tentang jiwa kita .
Aristoteles (384-322 SM), tokoh ketiga dari zaman Keemasan Filsafat Klasik
Yunani memiliki pandangan khas tentang jiwa kita . Menurutnya, “jiwa” yaitu
makluk hidup dengan kegiatannya yaitu "hidupnya". Jiwa yaitu kehidupan itu
sendiri dan tugasnya menjadikan tubuh organik menjadi hidup kerena itu jiwa
merupakan inti atau esensi dari makluk hidup. Jiwa jiwa merupakan sesuatu seperti
bentuk atau struktural pengaturan bagian organik tubuh (bukan bagian material). Jiwa
kita berbeda dengan jiwa hewan dan tumbuhan karena jiwa kita ditambahkan
unsur esensi yaitu akal budi (pikiran atau nous), sedangkan jiwa hewan dan tumbuhan
hanya memiliki energi jiwa. Karena itu jiwa kita berpotensi untuk mencerna,
mengamati dan berpikir.
Selanjutnya dalam terminologinya, Aristoteles menyatakan bahwa jiwa
kita hanya memiliki ruang eksistensi dalam tubuh, yang bersifat incorporeal.
Artinya jiwa menyebar (atau lebih tepatnya meresapi) hingga memenuhi seluruh
tubuh seperti sinar matahari yang menyebar ke seluruh alam. lalu Aristoteles
membagi jiwa kita menjadi dua bagian (bukan jenis) yaitu bagian irasional dan
rasional. Bagian irasional terbagi lagi menjadi tiga tingkat yaitu tingkat vegitatif
(tingkat primitif), tingkat selera (tingkat yang bertanggung jawab terhadap emosi dan
keinginan), dan tingkat keinginan; bersifat moral (tingkat yang mengatur kebajikan)
sebagai patokan dalam kehidupan moral dan politik, terutama dalam negara-kota; polis
Yunani kuno.
Sigmund Freud (Swiss 1856-1939), pencipta Psikoanalisis membentangkan
dalam Teori Kepribadian (Personality Theory) tentang dinamika psyche (de Anima
dalam konteks Aristoteles), yang diwarmai konflik tiada batas antara ketiga kekuatan
jiwa yaitu id, ego dan superego. Jiwa kita (dari Freud) selalu bermasalah dan
mengalami ketegangan serta kecemasan sehubungan dengan upaya pemenuhan
kepentingan Pleasure Principle dari Id, yang berhadapan dengan tuntutan Reality
Principle dari Ego dan keduanya di bawah tekanan Morality Principle Superego.
Menurut Freud konflik antara ketiganya bukan saja terjadi di alam kesadaran
(conscious-awareness), namun juga di dalam unconscious (bawah sadar dan
ketidaksadaran) yang berpengaruh pada pikiran.
Pertentangan dan konflik yang saling menundukkan tanpa kompromi antara
id, ego dan superego, menurut Freud sangat berpengaruh pada pembentukan
kepribadian individu dan pelestarian kehidupan seseorang (kita ). Hasil akhir dari
konflik ini (kegagalan atau pun keberuntungan di pihak mana pun) akan direpresikan
ke alam bawah sadar dan tersimpan di sana. Akumulasi kenangan baik bermakna
positif (kegembiraan dll) maupun negetif (trauma dll) membentuk suatu devisi
kekuatan alam bawah sadar (kekuatan id) yang selalu (setiap saat) menuntut
pemenuhan kepuasan segera terhadap ego (yang dibatasi atau dihalangi superego).
Kesemuanya ini merupakan trauma dan menurut Freud dapat mengakibatkan
gangguan jiwa atau mental (seperti neurosis dll).
Beranjak dari uraian singkat realitas ke-jiwa-an Aristoteles dan Freud di atas
maka muncul pertanyaan sebagai berikut : (1) Fakta fenomena ke-jiwa-an kita
seperti apa yang menjadi obyek kajian Aristoteles dan Sigmund Freud. (2). Bagaimana
konstruksi fenomena kesadaran Aristoteles dan Sigmund Freud tentang ke-jiwa-an
kita dalam kerangka gagasan jiwa, terutama rujukan gagasan tentang jiwa
kita dari pendahulunya yaitu Sokrates dan Plato. (3) Dari sisi mana (latar
belakang pemikiran, disiplin ilmu dan metode pendekatan) yang digunakan Aristoteles
dan Sigmund Freud dalam menggagas teori jiwa kita ? (4). Aristoteles maupun
Sigmund Freud menganut paham dualime jiwa (membagi jiwa kita atas beberapa
bagian); apakah gambaran ke-jiwa-an Aristoteles juga berkonflik seperti ke-jiwa-an
Freud? (5) Apakah penggambaran ke-jiwa-an Freud dan Aristoteles bisa menjadi
rujukan bagi kita dalam upaya memahami dan mengenal jiwanya yang ada di
dalam tubuhnya?
Sokrates (Athenian, 470-299 SM) ribuan tahun silam mempersembahkan
kepada kita motto terindahnya yang berbunyi: ”Kenalilah dirimu sendiri". Saya
meminjam dari ungkapan Sokrates dan membuat menjadi : Kenalilah jiwamu sendiri.
Pertanyaannya: (1) Apakah setiap kita kita telah mengenal jiwa kita sendiri?
Seperti apakah jiwaku? (2) Apakah “dia” yaitu person atau energi kekuatan?
Selanjutnya terinspirasi oleh motto gurunya, Plato (Greek, 437-347 SM) menegaskan
bahwa kita yaitu makhluk yang terus-menerus mencari dirinya sendiri dan yang
setiap saat harus menguji dan mengkaji secara cermat kondisi-kondisi eksistensinya.
Plato memperjelas motto Sokrates dengan dua himbauan yaitu kita senantiasa
mencari dirinya sendiri (mungkin sampai mengenal dirinya sendiri; Sokrates) dan
setiap saat dengan cermat menguji dan mengkaji eksistensinya (keberadaannya
sebagaimana ia kita ).
Muncul pertanyaan: (1) Apakah dengan senantiasa kita menguji dan
mengkaji eksistensinya, ia dapat mengenali dirinya sendiri? (2) Apakah dengan
mengenal dirinya sendiri melalui proses itu, kita sampai pada mengenal jiwanya
seperti bagaimana? Sungguh aneh makluk kita itu. Ia mengklaim memiliki jiwa
(kehidupan), dan kehidupan (jiwa/soul) itu menghidupi tubuhnya dan dirinya
(Aristoteles). Jiwa itu berada dalam dirinya bahkan meresapi dirinya serta senantiasa
berkonflik dan meninggalkan trauma dan kegelisahan dalam hidupnya (teori Freud)
namun nyaris ia, kita tidak mengenal seperti apa jiwanya itu.
Jiwa, ia dapat dipahami namun serentak tak dikenali. Ia dapat dipikirkan oleh
pikiran (mind/nous) namun tak dapat dirasakan dan ditunjukan. Ia hadir dan hidup
dalam inti kedirian kita dan meresapi seluruh tubuh kita itu namun tatkala
kita berpikir tentang; apa atau siapa dia, ia kembali memikirkan pikiran kita dan
memikirkan dirinya sendiri. Jika kita memaksa mengenalinya, ia bertindak
meninggalkan kita itu. Keterpisahan darinya akan menghadirkan trauma bahkan
kematian. Ia diklain sebagai “narapidana” yang terpenjara dalam tubuh. Kematianlah
membebaskan dia (jiwa) dari penjara tubuh (dualisme Plato). berdasar latar
belakang pemikiran di atas maka judul dari tesis peta pemikiran jiwa ini yaitu
“Konsep jiwa kita menurut Aristoteles dan Sigmund Freud, suatu telaah filosofi”
B. Permasalahan Dan Ruang Lingkup Pembahasan
berdasar uraian latar belakang maka permasalahan yang diangkat dan akan
dikaji dalam tesis ini yaitu :
Masalah : Adanya konsep yang berbeda tentang jiwa kita .
Permasalahan: Aristoteles dan Sigmund Freud mengemukakan pendapat yang
kontraversi dan sekaligus paradoks tentang jiwa kita sebagai berikut; Pertama,
Sigmund Freud menganalisis pasien nourosis yang tak bisa mengurus ubuh dan
hidupnya. Freud mengambil sampel analisis yaitu pasien neurosis, sama dengan
sampel analisis yang digunakan oleh ilmuan, dokter dan psikolog dalam upaya
menganalisis kondisi kejiwaan mereka. Pertanyaannya; jika mereka memakai
obyek kajian yang sama (sejenis) mengapa Sigmund Freud merekomendasikan hal
yang sangat berbeda tentang ke-jiwa-an kita .
Kedua : Aristoteles menyatakan bahwa hewan dan tumbuhan hanya memiliki energi
jiwa karena itu jiwanya akan mati, sedangkan jiwa kita ditambah esensi (akal
budi). Jiwa kita yaitu pemicu utama dan terakhir kehidupan, serta pemberi
energi hidup sekaligus penggerak tubuh. Jiwa kita yang memberi hidup dan yang
memiliki potensi berpikir. Jika jiwa kita yang mendatangkan dan menyebabkan
kehidupan dan jiwa itulah yang perpikir; mengapa keterpisahan jiwa dari tubuh dalam
peristiwa kematian kita , di sana jiwa ikut mati? Mengapa Aristoteles menganut
paham keabadian nous (nus / roh) dan menolak keabadian jiwa?
Ketiga, pernyataan Aristoteles dan Sigmund Freud di atas bertentangan dengan
pandangan Filsuf dan Ilmuan termasuk Theolog yang meyakini bahwa dalam jiwa
kita selalu damai dan tentram (tak ada konflik) dan pada saat kematian justru jiwa
kita yang akan hidup terus. berdasar padangan Aristoteles dan Sigmund
Freud yang kontra versi ini, penulis mencoba untuk menjawab melalui kajian tentang
jiwa kita dalam tesis ini.
SEJARAH PERKEMBANGAN KONSEP-KONSEP JIWA .
sesudah dalam bab satu diketengahkan latar belakang, permasalahan dan
tujuan serta sasaran penelitian dalam tesis, maka dalam bab dua ini penulis
mengetengahkan sejarah perkembangan dan perluasan ide dan pemaknaan istilah
“jiwa-jiwa”. Penelusuran bab ini dimulai poin a. Pengantar, lalu dilanjutkan
dengan point b. Tinjauan etimologi istilah jiwa, dan c. Pemahaman konsep-konsep
jiwa menurut masyarakat Yunani kuno.
Mengingat bahwa bab dua ini lebih bersifat bentangan ide, gagasan dan
konsep-konsep tentang jiwa dan ke-jiwa-an dalam bentuk kompilasi maka metode
pendekatan dan kajian yang digunakan, baik tahap “konstitusi”, korelasi” maupun
interprestasi terhadap obyek. Dengan demikian setiap poin-poin dalam bab ini masih
dalam penggambaran fenomena-fenomena kesadaran kita ; pemberi makna atas
fenomena-fenomena obyek realitas jiwa (ke-jiwa-an) dalam tata urutan sesuai dengan
perkembangan sejarah (historitas) pemaknaan istilah jiwa. lalu ditampilkan
fenomena-fenomena gagasan jiwa dari masyarakat Yunani kuno dan secara khusus
penggambaran fenomena ke-jiwa-an kita sesudah kematian oleh tokoh yaitu
Homer (Greek, abad ke-5 SM).
Kata Yunani “ψυχή” / psuchê (kata kerja) diartikan sebagai “jiwa” yang
mengandung pengertian "untuk mendinginkan atau untuk meniup" dan secara khusus
mengacu pada istilah “nafas” sebagai prinsip yang menghidupan pada kita dan
hewan lainnya. Istilah Jiwa (nafas) dilawankan dengan istilah “σῶµα” (soma) yang
berarti "tubuh". Dalam bahasa Latin kata “jiwa” diistilahkan dengan kata “anima”,
sebagai hasil terjemahan Zaman Terente dengan kata “ψυχή” (kata anima
disandingkan untuk σῶµα misalnya dalam Mateus 10: 28). Dalam kitab Septuaginta
(LXX) “jiwa” (ψυχή) dalam bahasa Ibrani ( שפנ) “nephesh”, diartikan sebagai "hidup,
nafas yang vital".
Menurut etimologi bahasa Inggris istilah “jiwa” diturunkan dari kata “sáwol
atau “sáwel”. Istilah serupa ada dalam bahasa Jerman tua seperti “sêula atau sela”
dan bahasa Prancis yaitu “sela atau sila”. Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, santo
Paulus dari Tarsus memakai istilah jiwa (ψυχή atau πνεῦµα) dalam arti khusus
untuk membedakan antara gagasan “nephesh” (שפנ) Yahudi dan “ruah / roh” (חור)
dalam Septuaginta (LXX), misalnya dalam kitab Kejadian 1:2: “Spiritus Dei” (רוְ֣ ַחוּ
ִהֹלאֱ֔םי) atau "Roh Allah" (πνεῦµα θεοῦ). Dalam Authorized versi King James (KJV),
kata “jiwa” digunakan sehubungan dengan memelihara tubuh dan jiwa, bandingkan
teks berikut: .. "Dan tidak takut mereka yang membunuh tubuh, namun tidak mampu
membunuh jiwa: agak takut akan Dia yang dapat menghancurkan jiwa dan tubuh di
neraka”. 1
Pada akhirnya istilah “ensouled / empsuchos” (yunani kuno); “ainima” (latin);
“nephesh” (ibrani); “sáwol / “sáwel” (inggris kuno); “sêula / sela” (jerman kuno) dan
“sela / sila” (prancis kuno) lalu dalam bahasa Inggris modern diterjemahkan dan
ditujukan pada aneka arti misalnya sebagai jiwa, diri, hidup, makhluk, orang, pikiran
nafsu makan, hidup, keinginan, emosi, gairah dll. Sementara istilah-istilah itu
diterjamahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan makna ganda, seperti sebagai “jiwa,
nafas, sukma, bathin, roh, nurani, suara hati dll.
Selain itu penggunaan istilah “jiwa” (psyche / soul /anima) dalam berbagai
ilmu mendapat batasan pengartian dan pemaknaan yang khas sesuai disiplin ilmunya.
Misalnya Filsafat dan Ilmu Filsafat lebih menekankan pada esensi atau hakekat dari
jiwa, sementara Psikologi (dan ilmu empiris lainnya) memandang “jiwa” dari sisi
praksis atau akitivitasnya yang mempengaruhi tingkah laku kita dan Theolog
(tokoh agama) melihat “jiwa” baik dari sisi moral-etika namun terutama sehubungan
dengan asal dan tujuan kita .
Mulai abad ke-6, umumnya masyarakat Yunani kuno memakai istilah
'ensouled' (empsuchos) berarti hidup atau kehidupan yang diaplikasikan tidak hanya
untuk “jiwa” kita , namun juga untuk “jiwa-jiwa” makhluk hidup lainnya. Thales
(Miletus, 585 SM), dengan teori alam semesta, menyatakan bahwa “jiwa” dari magnet
yang mampu menggerakan besi. Thales menggambarkan fenomena jiwa kosmos pada
benda-benda yang tidak bergerak (benda mati) merupakan suatu pengujian terbalik
dari fenomena jiwa yang ada dalam kesadaran masyarakat Yunani kuno pada masa itu.
Thales pun berhasil memprediksi bahwa gerhana matahari terjadi di tahun 585 M,
karena pengaruh jiwa alam.
Menurut mereka masyarakat Yunani kuno bahwa jiwa hanya berada pada
makluk hidup, sementara Thales dari teorinya tentang fenomena jiwa alam, ia
menegaskan bahwa “jiwa” bukan saja ada dan berada pada makluk hidup namun juga
ada pada benda-benda mati seperti besi magnet. Teori Thales ini lalu merintis
gagasan tentang fenomena-fenomena jiwa-jiwa alam semesta (jiwa-jiwa hypercosmis)
dan sekaligus gagasan dan teori tentang jiwa hewan, tumbuhan dll (jiwa-jiwa
makrocosmis) dan jiwa kita (jiwa mikrokosmis).
Perluasan konsep semantik dari istilah 'jiwa' terjadi pada akhir abad ke-6 dan
abad ke-5 terbukti dari tulisan-tulisan periode filosofis Yunani kuno yang
memakai istilah “jiwa” untuk membedakan makluk yang bernyawa (hidup) dari
benda-benda mati. Artinya jika pada tahap awal teori Thales menyebutkan bahwa
magnet (benda mati memiliki jiwa) maka para filsuf Yunani kuno sesudah Thales
memakai istilah jiwa hanya terbatas pada makluk yang hidup, bukan benda mati
(seperti magnet). Jadi konsep jiwa ditunjukan pada makluk hidup seperti kita ,
hewan dan tumbuhan. Gagasan filsuf Yunani kuno membuktikan perkembangan
perluasan fenomena-fenomena jiwa baik dalam kesadaran kita maupun yang
diketemukan dalam realitas obyek.
Homer (bahasa Yunani: Όµηρος), ada tokoh legendaris Yunani kuno (dari
Ionia Yunani, abad ke-6 sampai ke-5 SM), yang terkenal sebagai pengarang epic
berupa puisi-puisi dan komadi mengungkapkan fenomena jiwa yang berbeda dengan
masyarakat Yunani kuno dan para Filsuf masa itu maupun Thales. Homer tidak
berbicara fenomena kejiwaan pada tanaman, hewan atau kita yang hidup, namun
bagaimana jiwa-jiwa para pasukan perang yang meninggal. Homer menunjukan bahwa
sesudah kematian, jiwa kita tetap hidup (menunjukan fenomena-fenomena
kehidupan). Homer mengisahkan dalam epic-epicnya bagaimana jiwa dari orang yang
sudah meninggal, “mereka” (jiwa-jiwa) itu beraktivitas (menunjukan fenomena-
fenomena kehidupan baru) di dunia kematian.
Beberapa penulis masa silam menyatakan karya Homer berhubungan dengan
jiwa-jiwa ada dalam tulisan seperti epic cycle yang berkaitan dengan perang
Trojan dan puisi Theban yang berkenaan Oedipus dalam mitologi Yunani. Karya-
karya Homer yang berhubungan dengan gagasannya jiwa kepahlawanan dalam perang
dan jiwa di alam kematian yaitu karya berjudul Iliad dan Odyssey yaitu epik komedi
mini Batrachommyomachia ("The Frog-Mouse War") fenomena. Kendatipun karya-
karya Homer terkenal namun kehidupan pribadinya tidak diketahui jelas sehingga
sering Homer dihubungkan dengan kisah-kisah mithologi Yunani kuno. Melalui karya
Homer menunjukan bahwa pemaknaan terhadap istilah jiwa mendapat pengertian baru
yaitu jiwa “Kepahlawanan” dalam perang dan jiwa “di dunia bawah” atau dunia
kematian.2
Dalam hubungan dengan konsep fenomena jiwa orang mati Homer di abad ke
5 sebelum masehi, bentuk pemahaman fenomena jiwa kematian di ketemukan dalam
masyarakat-masyarakat pada masa-masa masehi. Misalkan fenomena jiwa orang mati
dan fenomena kesadaran masyarakat tentang fenomena jiwa orang mati dalam ritual
agama kosmologis Inggris dan Jerman di masa silam. Masyarakat Inggris tempo dulu
memaknai istilah “jiwa” Inggris dihubungan dengan kata “root” yang artinya
“mengikat”. Kata “root” Inggris ini sejajar kata ” sailian” (selian oe, ohg seilen) dari
bahasa Jerman yang berarti "terikat". Istilah “root atau “sailian” (mengikat atau
terikat) dihubungkan dengan peristiwa kematian kita . Dalam masyarakat
tradional Inggris dan Jerman saat berhadapan dengan peristiwa kematian, disana
diadakan ritual adat “root atau “sailian” dengan tujuan untuk “mengikat atau
menahan” mayat (jiwa mereka) yang meninggal dalam kubur agar mencegah dirinya
atau jiwanya (mayat) tidak kembali ke dunia ini. Praktek ritual “root atau “sailian”
terhadap mayat atau orang yang meninggal, diperkirakan merupakan adaptasi oleh
Misionaris zaman dulu kepada masyarakat Jerman (khususnya Ulfilas; rasul Goth
pada abad ke-4) yang berasal dari konsep Yunani kuno; ψυχή atau jiwa yang artinya
"kehidupan atau semangat atau dan kesadaran".
Sehubungan dengan sejarah perkembangan pemaknaan istilah jiwa, menurut
psikolog James Hillman: “soul has an affinity for negative thoughts and images,
whereas spirit seeks to rise above the entanglements of life and death.3 …jiwa juga
memiliki fenomena untuk menunjuk pada buah-buah pikiran dan gambaran yang
bersifat negative. Juga berhubungan tekad dan semangat berusaha yang lebih tinggi
serta menunjuk pada keterlibatan kita baik saat masih hidup maupun dalam dunia
kematian. Dalam konteks James Hillman, jiwa (kata-kata jiwa) juga disinonimkan
dengan ungkapan diobati, meskipun dalam konsep ini pemaknaan jiwa lebih ke arah
konotasi fisik (matrialitik jiwa), sedangkan pemaknaan sebelumnya lebih
dihubungkan dengan spiritualitas dan agama.
Francis M. Cornford mengutip Pindar dengan mengatakan bahwa: “..in saying
that the soul sleeps while the limbs are active, but when one is sleeping, the soul is
active and reveals in many a dream "an award of joy or sorrow drawing near" 4 jiwa
sementara tertidur, sedangkan anggota tubuh yang aktif, tapi juga terjadi bahwa saat
seseorang tidur, jiwa akan aktif dan mengungkapkan dalam banyak mimpi
"penghargaan sukacita atau kesedihan semakin dekat)’. Selanjutnya Erwin Rohde
menulis pada masa pra-awal Pythagoras (Greek, 570 SM) tentang keyakinan
masyarakat zaman itu bahwa..” jiwa itu ada kehidupan saat berangkat dari tubuh,
dan pensiun di Hades tanpa harapan untuk kembali ke tubuh”. Hades yaitu dewa
dunia bawah atau dunia kematian. Plato, mengutip dari Illiad, XXIII : ..Ya Tuhan,
sesunguhnya di rumah Hades ada roh berbadan yang mirip hantu namun sama sekali tak
terjadi apa-apa.
Secara singkat pemaparan sejarah perluasan pemaknaan terhadap istilah “jiwa”
terurai sebagai berikut: sejak Thales dihubungkan dengan fenomena jiwa magnet
(benda mati); Masyarakat Yunani kuno menghubungkan fenomena jiwa hanya untuk
makluk hidup; Homer melangkah lebih maju mengidentifikasikan fenomena jiwa
hanya kita yaitu jiwa-jiwa orang yang telah meninggal dunia. Masyarakat Inggris
dan Jerman tempo dulu menggambarkan fenomena jiwa orang mati dalam ritual
keagamaan kosmologis; psikolog James Hillman mengisahkan fenomena jiwa dalam
hubungan dengan perasaan ketertarikan, selera dan kesenangan; Francis M. Cornford
menghubungkan fenomena jiwa dengan saat tertidur lelap (mimpi) dan akhirnya Erwin
Rohde menggambarkan fenomena jiwa dalam kaitan dengan gagasan Homer dan ritual
masyarakat kuno Inggris dan Jerman (menahan jiwa dalam kubur).
berdasar bentangan perluasan pemaknaan istilah jiwa di atas menunjukkan
bahwa fenomena kesadaran kita terhadap fenomena jiwa terus berkembang. (1)
Pemaknaan fenomena jiwa tidak saja terbatas pada kita namun juga ada pada
hewan, tumbuhan (kesadaran fenomena jiwa Masyarakat dan filsuf Yunani kuno)
bahkan fenomena jiwa pada benda mati (Thales, kesadaran fenomena jiwa pada
magnet). (2) Fenomena kesadaran kita tentang jiwa kita , tidak saja terbatas
selama kita dalam keadaan sadar (James Hillman) namun juga pada saat tertidur
lelap (Francis M. Cornford). (3). Fenomena kesadaran kita tentang jiwa kita
juga diarahkan pada dunia kematian, misalkan Homer tentang fenomena arwah orang
mati, Erwin Rohde tentang fenomena jiwa pada saat kematian dan akhirnya fenomena
jiwa dalam kubur melalui ritual (“root atau “sailian”) dari masyarakat Inggris dan
Jerman kuno.
D. Hakekat Jiwa-Jiwa
Apa sesungguhnya jiwa itu ? atau dengan kata lain; seperti apa jiwa itu ? Kata
Aristoteles, jiwa yaitu esensi dan energi termasuk kekuatan aktivitasnya yang akan
mati, sedangkan menurut Sigmund Freud, jiwa yaitu energi yang senantiasa
berkonflik dan dilanda kecemasan tanpa akhir.
Pandangan Filosofis di zaman Yunani kuno antara abad ke-6 sampai abad ke-5
sebelum Masehi, bahwa jiwa bukan saja sebagai “sesuatu” yang bertanggung jawab
untuk fungsi-fungsi mental atau psikologi seperti: berpikir, persepsi dan keinginan
namun juga merupakan pembawa kualitas moral dan merupakan “sesuatu” yang
menggerakan dan menghidupkan tubuh organik. Seperti pandangan teori-teori periode
Helenistik: ..“the soul as something that is responsible specifically for mental or
psychological functions”6, jiwa diutarakan seperti “sesuatu” kekuatan atau daya hidup
dalam tubuh yang bertanggung jawab khusus untuk fungsi mental atau psikologi serta
berhubungan dengan semua fungsi dan aspek kehidupan. Pada zaman itu, “jiwa”
diidentifikasi sebagai “sesuatu” daya atau energi kehidupan.
Selanjutnya menjelang akhir abad ke-5 sebelum Masehi saat kematian
Socrates, istilah jiwa mengandung pengertian “berpikir dan berbicara” tentang sesuatu,
misalnya sebagai tanda untuk membedakan jenis makluk hidup, dimana jiwa sebagai
sesuatu yang bersifat subjek (dengan keadaan emosionalnya) bertanggung jawab untuk
perencanaan dan untuk berpikir praktis. Jiwa diyakini sebagai pembawa kebajikan
seperti keberanian dan keadilan. Selain itu jiwa diidentikan sebagai subyek hubungan
dengan konteks kritis dan emosi intens seperti perasaan cinta dan benci, rasa sukacita
serta kesedihan, kemarahan dan rasa malu.
Ada beberapa kata kunci dari pernyataan di atas yaitu: jiwa sebgai yang
“bertanggung jawab”, yang “berpikir” dan “berkeinginan”, yang “menggerakan” dan
yang “menghidupkan” tubuh oraganik. Dalam priode ini pemaknaan arti jiwa mulai
diarahkan pada “sesuatu” seperti subyek penghidup dan penggerak.
Masih dalam periode yang sama, Abad ke-5 sebelum Masehi, Homer, dalam
ayat-ayat puisi pengantar ke Illiad dikemukakan bahwa “kematian pahlawan di medan
perang, jiwanya pergi ke Hades. ..sedangkan mereka sendiri (kata penulis), yang
tertinggal di medan perang sesudah kematian”. Pernyataan ini menunjukan bahwa
bukan mati jiwa (jiwanya yang mati) namun mayat-mayat yang diklaim sebagai diri
orang yang telah meninggal.7
Jika diteliti pernyataan Homer dalam pengantar puisi di atas, Homer
menunjukan istilah jiwa sebagai person-person atau pribadi-pribadi. Artinya pahlawan
yang mati di medan perang, jiwanya seperti pribadi “seseorang” yang terus hidup dan
berjalan (pergi) ke Hades sang dewa kematin. Homer memakai kata “pergi”
(sebagai subyek pelaku), bukan kata “terbawa atau terangkat” (sebagai obyek). Kata
“pergi” dan “tinggal” menunjukan pada tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh
person atau subyek pelaku. Dengan demikian makna istilah “jiwa” diakhir abad ke 5
sebelum Masehi, istilah jiwa dipakai untuk menunjuk subyek (“sesuatu” person)
dalam tubuh, maupun subyek atau person yang terus berakifitas sesudah kematian
tubuh (Homer).
Oedipus mengatakan bahwa “His soul laments the misery of his city and its
inhabitants” (Oedipus tyrannus 64). Sang tokoh Oedipus saat menyaksikan
kehancuran kota dan penderitaan masyarakat sesudah tragedi, ia mengatakan bahwa
bukan dia (tubuh jasmani) yang meratap, namun “jiwa”nya meratapinya. Homer
menggambarkan “jiwa” orang mati pergi (berjalan) ke Hades, sementara Oedipus
mengatakan tentang jiwanya sendiri; jiwanya yang menangis. Maka baik Homer
maupun Oedipus menegaskan bahwa jiwa kita bukan suatu energi atau hanya
suatu kekuatan namun lebih merupakan sutu person atau pribadi (subyek) yang
bertindak dan beraktivitas. Sokrates, memakai kata “hati nurani” untuk menunjuk
kata “jiwa”: jiwa atau hati nurani merupakan " hal yang tidak dapat memperburuk diri
kita , tidak dapat juga melukainya baik dari luar maupun dari dalam". Sedangkan
menurut Plato, “jiwa sebagai unsur esensi seseorang kita yang berfungsi
memutuskan bagaimana harus bersikap”.
Jiwa sebagai hakekat incorporeal yaitu jiwa sebagai penghuni kekal dari
keberadaan kita. Pada saat kematian jiwa kembali (sebuah tindakan) ke dunia
kayangan. Selanjutnya menurut Aristoteles, dalam karya filsafatnya, Aristoteles
mengemukakan bahwa “yang ada” dan “yang berdiam” di dalam “diri” semua makluk
hidup (tumbuhan, binatang dan kita ), apapun bentuknya, “dia” diberi nama
“jiwa”. Dan jiwa itu sesuatu seperti bentuk atau struktural pengaturan bagian organik
fisik. Jiwa yaitu makhluk hidup, yang kegiatannya yaitu, "hidupnya”, jiwa yaitu
sumber kehidupan yang memberi atau sebagai pemicu terjadinya kehidupan bagi
tubuh serta merupakan “inti” atau "esensi" dari makhluk hidup”
Menurut Thomas Aquinas, ada bagian jiwa dengan fungsi kejasmanian untuk
berpikir dan berkehendak. (1), melalui in acto sekundo, kejasmanian jiwa mengenali
dirinya dan melakukan perbuatan. (2), Melalui intellectus (akal budi: jiwa pikiran
dan kesadaran) sebagai daya pendorong rohani yang mengarahkan kita pada
tujuan abadi. (3) Jiwa rohani; intellectus atau akal budi yang membimbing pikiran,
kesadaran dan kehendak bebas (taat dan bertanggung jawab sesuai hukum
kodratinya) serta suara hatinya,8 mengarahkan kita kepada Allah dan
memungkinkan bersatu dengan-Nya; ‘Desiderium naturale ad deum’; kita
memandang Allah.9
Aquinas menekankan ketiga inti gagasan berikut: (1). jiwa dengan fungsi
kejasmanian, (2). Intellectus (akal budi: jiwa pikiran dan kesadaran) dan (3) Jiwa
rohani mengenali dirinya, melakukan perbuatan, dan mengarahkan kita kepada
Allah dan bersatu dengan-Nya. Thomas Aquinas memakai empat kata kunci
yaitu “mengenali”, “melakukan”, “mengarahkan” dan “bersatu” dengan-Nya. Dari
keempat kata ini menunjukan bahwa Aquinas memaknai “jiwa” kita bukan
sebagai energi kekuatan namun lebih pada “sosok pribadi” atau subyek pelaku yang
bertindak dan beraktivitas dengan sadar.
Rene Descartes (France, 1596 - 1650) melanjutkan gagasan (dualism) Plato,
Aristoteles dan Thomas Aquinas tentang kita yang terdiri dari tubuh dan jiwa.
(1), “Tubuh” disebutnya Res Extensa yaitu seperti mesin yang bisa bergerak sendiri
(L’homme machine), mengukuti hukum alam sedangkan (2), “jiwa” yaitu Res
Cogitans (mind dan soul) yang berfungsi pertama-tama untuk berpikir (dan
menyadari). Dari gagasan Descartes di atas, ada dua kata kunci yaitu jiwa
berfungsi untuk “berpikir” dan untuk “menyadari”. Dua istilah ini menunjukan
fungsi dan peran atau lebih tepat “tugas” dari jiwa untuk menjalani pekerjaan atau
tindakan berpikir dan menyadari. Maka jiwa dalam konteks Descartes mengandung
pengertian; sebagai energi kekuatan dan sebagai “sesuatu” (belum tentu subyek
pribadi) yang melakukan atau menggerakan tindakan. Bila dibandingkan dengan
konsep nous Descartes dalam ungkapan “cogito ergo sum”, maka aktivitas berpikir
dan menyadari bukan dilakukan oleh jiwa, namun oleh aku subyek yang nyata. Maka
dapat disimpulkan bahwa konsep jiwa menurut Descartes lebih mengarah kepada
“pengerak” yang bisa dikategorikan sebagai energi kekuatan atau sesuatu yang
menyerupai pribadi.
Sigmund Freud dalam teori kepribadian membagi jiwa kita menjadi tiga
“energi’ kekuatan bersaing dalam tubuh kita . Ketiga bagian jiwa itu yaitu id,
ego dan superego. saat terjadi konflik kepentingan di antara ketiganya, khususnya
ego menjalani dua peran yaitu: (1), ego sebagai energi kekuatan berhadapan dengan
id dan superego sebagai lawan setara. (2), pada puncak konflik, ego beralih tampil
sebagai tokoh yang membuat (mengambil) keputusan dan pilihan tegas. Pada point
kedua Freud memaknai ego (bagian jiwa) bukan saja sebagai energi yang berkonfik
namun pribadi atau person pengambil keputusan sebagai wasit dan hakim.
Selanjutnya Freud membagi dengan tegas wilayah kekuasaan ketiganya, yaitu
bahwa “id” berkuasa di wilayah alam bawah dasar, “ego” menguasai alam
kesadaran, sementara “superego” datang dari luar memasuki alam kesadaran
(wilayah ego) atau bebas masuk ke alam bawah sadar (wilayah id). berdasar
uraian di atas maka gambaran jiwa menurut Freud di satu sisi sebagai energi
kekuatan dan di sisi yang lain (ego) seperti sosok pribadi bahkan subyek “wasit”
sekaligus “hakim”.
Dari pemaparan gagasan dan teori tentang jiwa dari filsuf dan ilmuan dalam
sub-pokok bahasan ini maka dapat disimpulkan hakaket jiwa sebagai berikut: (1) Jiwa
yaitu energi kehidupan yang menggerakan organ tubuh jasmani (pada kita ,
hewan dan tumbuhan). (2) Jiwa yaitu hidup yang menghidupkan tubuh kita serta
mengaktivkan pikiran dan kesadaran untuk menjalankan fungsinya (jiwa kita ). (3)
Jiwa yaitu esensi dan inti dari kedirian kita yang berada di dalam tubuh serentak
meresapi dan hadir secara penuh (utuh) di tubuh jasmani. (4) Jiwa yaitu seperti atau
mirip satu pribadi (subyek) atau “seseorang” dari keutuhan dirinya untuk menjalani
kehidupan baik di dunia ini atau sesudah kematian. (5). Sehubungan dengan proses
penciptaan dan pembentukkan janin dalam rahim (immiteri Aquinas), dan lebih
khusus pada peristiwa kematian (Homer, Plato, Aquinas), dimana tubuh jasmani
kakuh dan akan membusuk, sementara jiwanya pergi (versi Plato atau theolog) maka
jiwa kita yaitu satu pribadi yang utuh berbeda dengan tubuh jasmani.
E. Asal-Usul Jiwa kita
Empedokles (prinsip inkarnasi) dan Pythagoras (Transmigrasi jiwa)
berpendapat ada semacam proses inkarnasi jiwa di masa pra-kehidupan semua makluk
hidup. Pendapat ini didukung oleh pernyataan Empedokles bahwa sebenarnya telah
menjadi semak dalam inkarnasi sebelumnya di antara makluk hidup seperti misalnya
pada burung dan ikan. Berbeda dengan Empedokles dan Pythagoras, Heraclitus
memiliki pandangan yang khas tentang asal jiwa dalam pernyataan berikut; “The soul
as fiery in nature: To souls it is death to become water, to water death to become
earth, but from earth water is born, and from water soul. 10 Jiwa-jiwa berkobar-kobar
(berapi-api) di dalam alam; dimana jiwa (kehidupan) yang telah mati berubah menjadi
air, air mati berubah menjadi bumi dan lalu jiwa air menghasilkan atau
melahirkan tanah, sementara jiwa-jiwa makluk dihasilkan dari bahan lain seperti api
yang memiliki dimensi tak terbatas. Oleh karena itu jika kita ingin menemukan batas-
batas dari jiwa kita tak pernah menemukan batasnya (seperti kobaran api).11
berdasar gagasan Herakletos tentang asal jiwa memiliki kemiripan dengan
gagasan Empedokles dan Pythagoras dalam konteks terjadi sesuatu mata rantai dalam
proses kehidupan yang lama dengan kehidupan yang baru. Gagasan yang khas dari
Herakletos tentang asal jiwa-jiwa makluk, ia menunjuk sesuatu seperti api alam
semesta yang tanpa batas dimensinya. Jiwa-jiwa termasuk jiwa kita berasal dari
api abadi yang terus berkobar.
Sokrates filsuf pertama zaman keemasan filsafat Yunani klasik memperkuat
pendapat tiga filsuf alam Yunani kuno dengan konsep proses inkarnasi berulang, kata
Sokrates: “kematian makhluk melibatkan kelangsungan jiwa yang bersangkutan, yang
berlangsung melalui periode pemisahan dari tubuh, dan lalu kembali untuk
menghidupkan tubuh lain dalam perubahan yang merupakan mitra dari perubahan
sebelumnya yang hampir sekarat”. Selanjutnya ”untuk itu jiwa mungkin sudah pernah
mengalami sejumlah proses inkarnasi, dan di suatu saat akan menjalani proses
inkarnasi untuk terakhir kali”, dari pernyataan Sokrates ini menunjukan dua hal
yaitu (1) asal jiwa-jiwa makluk hidup “datang” dari jiwa makluk hidup yang
sebelumnya tubuhnya mati atau hancur, dan jiwanya berkesempatan untuk menjalani
proses inkarnasi pada tubuh-tubuh yang baru. (2) menurut Sokrates bahwa makluk
hidup yang dulu tubuhnya telah mati, jiwanya hidup terus dan jiwanya dapat menjalani
proses inkarnasi berulang kali dalam tubuh yang baru. Jadi dapat disimpulkan bahwa
menurut Sokrates bahwa kehidupan baru (asal jiwa-jiwa) pada satu jenis makluk hidup
bisa (jiwanya atau hidupnya) berasal dari jiwa leluhurnya (semitra-sespesies) yang
pernah hidup sebelumnya.
Plato, murid Sokrates memiliki pandangan serupa tentang asal jiwa, yaitu
melalui proses inkarnasi. Menurutnya badan atau tubuh akan mati (hancur), sementara
jiwa terus-menerus dilahirkan kembali (inkarnasi) dalam tubuh berikutnya.12 Gagasan
jiwa Sokrates dan Plato lebih difokuskan pada jiwa kita . Perbedaan antara
gagasan Sokrates dan Plato terletak pada point, Sokrates menekankan bahwa jiwa
dapat berinkarnasi beberapa kali, sementara Plato lebih menekankan pada jiwa yang
terus-menerus hidup sesudah kematian.
Menjelang akhir periode filsafat Yunani kuno dan Yunani klasik, Platinos dari
Lycopolis (205-270 masehi) pendiri mazab Neoplatonisme menyatakan asal jiwa atau
asal kehidupan baru dalam pernyataan berikut: At the summit of existences stands the
one or the good, as the source of all things. It emanates from itself, as if from the
reflection of its own being, reason, wherein is contained the infinite store of ideas”13
Pada puncak atau di atas segala keberadaan hidup disana berdiri atau tampil sumber
dari segala sesuatu yang bersifat tunggal (sesuatu yang SATU dan yang BAIK).
Manurut Platinos segala sesuatu berasal dari dirinya sendiri. Dan “Dia” yaitu tokoh
yang memiliki ide-ide tak terbatas. Kehidupan baru (asal jiwa atau jiwa baru)
sebelumnya ada dalam “kandungannya” dan berasal padanya. Selanjutnya dari
padanya (dirinya) segala sesuatu dipancarkannya dan atau terpancar darinya. “Dia”
menurut Platonis memiliki jiwa tanpa keberadaan matrial. Jiwanya yaitu sumber dari
segala kehidupan dengan demikian melalui pancaran jiwanya, memungkinkan alam
mendapat kehidupan baru. Singkatnya jiwa-jiwa (termasuk jiwa kita ) berasal dari
“dia” sumber kehidupan yang SATU, yang BAIK, yang memiliki ide-ide tak terbatas.
Dialah asal dari segala jiwa-jiwa.
Seribu tahun lalu tampilah sang filsuf dan theolog, Thomas Aquinas
(Italia, 1225-1274), menggungkapkan gagasannya tentang asal jiwa kita yang
diwariskan dari Plato dan Aristoteles. Thomas, mengarah perhatian jauh ke belakang
ke sejarah asal-usul kita . Thomas mengarahkan pandangan kepada sang Ilahi
Allah sebagai Causa Prima (Thyrathen, Aristoteles, atau yang Satu tak terbatas
Platonis). Menurutnya Allah menentukan hukum universal kehidupan yang
berlangsung secara terus dalam proses evolusi kita , melalui gagasan Immitere;
jiwa diletakan dalam materi (tubuh); saat materi (janin) memenuhi syarat-syarat
hukum evolusi universal, maka jiwa akan timbul. 14
Adanya jiwa dalam tubuh janin, andaikan janin memenuhi hukum-hukum
penciptaan universal yang telah ditetapkan sang pencipta. Gagasan asal jiwa Aquinas
langsung diarahkan kepada pribadi Allah sebagai pencipta bukan sebatas konteks
penciptaan kita dalam kitab genesis. Thomas Aquinas menolak penciptaan
kita oleh Allah secara langsung real, namun melalui proses evolusi. Sebagai catatan
bahwa gagasan Aquinas tidak melanjutkan gagasan proses inkarnasi yang
dikembangkan baik oleh filsuf alam Yunani kuno maupun oleh filsuf zaman keemasan
filsafat Yunani. Konsep immiteri lebih dekat dengan gagasan Platonis (Neo-platonis)
tentang asal jiwa yang berasal dari “Dia” yang Satu, yang Baik dan menjadi sumber
dan asal dari segala sesuatu.
Jika Thomas Aquinas mengagas asal jiwa dari latar belakang theologi katolik
Roma, maka santo Yohanes dari Damaskus (Kristen Ortodoks) mengemukakan asal
jiwa kita sebagai berikut; “Tuhan memberikan kepada kita jiwa cerdas dan
niskala untuk bernafas yang tepat". Menurutnya jiwa merupakan anergi parallel
dengan nous (intelijen atau akal budi) yang dianugerahkan Allah kepada kita .
Selanjutnya gagasan senada dikemukakan oleh santo Yohanes dari Tangga yang
berpedoman pada kitab genesis bahwa “kita diciptakan menurut gambar Allah”.
Menurutnya istilah “gambar” Allah tidak mengacu pada tubuh jasmani namun
menunjuk pada jiwa kita lah yang secitra dan segambar dengan Allah pencipta-
Nya. Jiwa itulah yang memberi kehidupan kapada tubuh atau badan jasmani kita .
Lebih lanjut, santo Yohanes dari Tangga menyatakan bahwa “Tuhan memiliki tiga
kekuatan sumber kehidupan yaitu Roh, Firman dan Nous maka kita ciptaan-Nya
diberkati pula dengan ketiga kekuatan hidup yaitu: Roh, Jiwa dan Nous”.
Akhirnya dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) menurut filsuf alam Yunani
kuno Empedokles, Pythagoras dan Herakletos mengemukakan bahwa asal jiwa atau
asal kehidupan merupakan warisan alam (jiwa leluhur) melalui proses ikarnasi. (2)
Filsuf zaman keemasan filsafat Yunani (Sokrates dan Plato) dan filsuf Platonis (Neo-
Platonisme) menyatakan bahwa asal jiwa-jiwa atau jiwa kita berasal dari kekuatan
super natural yang Satu, yang Baik, yang menjadi sumber asal dari segala sesuatu. (3).
Santo Thomas Aquinas (Filsuf Teolog Katolik), santo Yohanes dari Damaskus dan
Santo Yohanes dari Tangga dengan latar belakang Theologi Kristen Ortodoks
menyatakan bahwa khususnya jiwa kita diciptakan oleh Allah. Artinya bahwa
jiwa kita berasal dari Allah sebagai sang pencipta. (4) Sebagai kesimpulan umum,
bahwa asal dari jiwa-jiwa termasuk jiwa kita berasal dari sang sumber jiwa atau
sumber kehidupan dengan cara yang khas dan unik berlaku untuk setiap makluk hidup.
KONSEP JIWA MENURUT ARSITOTELES DAN SIGMUND FREUD
A. Teori Jiwa Menurut Aristoteles
sesudah kita menjelajahi fenomena kesadaran kita tentang fenomena-
fenomena jiwa baik pada kita maupun pada hewan, tumbuhan dan benda mati,
sekarang kita mencoba menyimak bagaimana fenomena kesadaran Aristoteles
terhadap fenomena-fenomena jiwa dan ke-jiwa-an baik pada kita maupun pada
makluk lain di luar kita . Manurut Aristoteles bahwa ciri khas kita antara lain:
“kita yaitu makluk rasional” (dalam teori antropologi dan etika-nya); “kita
sebagai subjek pengetahuan” (gagasan filsfat-nya); “kita yaitu makluk yang
mencakup “materialized form” dan “formed matter“, (seperti teori psikologi) dan
“kita sebagai makluk hidup masyarakat” (teori polis) atau “fenomena dalam teori
politik-nya serta “jiwa hanya ada pada badan (teori ruang metafisika).15
sesudah dikemukakan beberapa contoh hasil reduksi fenomenologi dari
fenomena kesadaran Aristoteles terhadap realitas khususnya tentang fenomena jiwa,
maka pada bagian ini akan diutarakan proses dan hasil dari reduksi eidos (fenomena
kesadaran) Aristoteles terhadap obyek kajian. Gagasan dan teori fenomena kesadaran
Aristoteles sebagai hasil dari suatu proses fenomena eidos, fenomenologi Husserl
untuk menyingkapkan nilai esensial atau esensi dari obyek realitas jiwa-jiwa.
Eidos (1) yaitu: Aristoteles dalam filsafat jiwa (teori soul) menurutnya: …(jiwa) dari
tubuh yaitu apa yang membuat hidup, dan yaitu bentuk yang
diaktualisasikannya, dengan demikian, segala sesuatu yang hidup, termasuk
tanaman dan hewan juga memiliki jiwa” karena mereka juga hidup dan
memiliki kehidupan. Dalam eidos pertama ini Aristoteles mengemukakan
esensi dari : jiwa-jiwa”, yaitu bahwa jiwa yaitu “hidup” yang berfungsi
untuk menghidupkan tubuh. Dengan demikian dalam fenomena kesadaran
Aristoteles bahwa semua realitas yang tidak hidup, yaitu mereka yang tidak
memiliki jiwa. Itu eidos dari kesadaran fenomenologi Aristoteles tentang
hakekat atau esensi jiwa yaitu hidup dan kehidupan.
Eidos (2), kata Aristoteles: “Pikiran atau akal (nous) dapat digambarkan dengan
berbagai sebagai kekuatan, fakultas atau aspek dari jiwa kita ”. Dari
Fenomena kesadaran, Aristoteles menekankan tentang eidos “pikiran”
(nous) dalam hubungan dengan “jiwa” (soul) kita . Pikiran, intelejen,
akal budi dan kesadaran merupakan bagian atau sapek-aspek dari jiwa
kita . Dalam ungkapan lain, bahwa soul memiliki bagian nous namun
juga soul atau jiwa kita yang melakukan tindakan berpikir dan
menyadari. Artinya jiwa dimiliki kita yaitu jiwa rasional atau jiwa
yang bisa berpikir (esensi), berbeda dengan jiwa pada hewan atau tumbuhan
yang hanya memiliki aspek energi dan kekuatan jiwa, yang akan mati dan
hancur.
Eidos (3): kita sebagai makluk rasional yang hidup bermasyarakat, maka
menurutnya: “kehidupan yang baik justru harus dicari dan bertolak dari
realitas kita sendiri. Realitas inderawi kongkret inilah akal budi
kita mengabstraksikan apa yang disebut kebaikkan. Inilah gagasan
Aritoteles yang berpedoman pada pendekatan serba empiris tentang moral.
Dari pernyataan Aristoteles di atas ada dua eidos yaitu eidos kita
sebagai makluk sosial (teori etika politik) dan eidos dari hakekat kebenaran
menurut Aristoteles bahwa realitas inderawi yaitu real dan menjadi dasar
pencarian kebenaran (metode kajian filsafat Aristoteles). Dalam eidos yang
terakhir ini fenomena kesadaran dan cara berpikir Aristoteles berbeda
dengan gurunya Plato yang menekankan “ide” atau logos sebagai dasar
pencarian kebenaran. Bagi Aristoteles, pencarian eidos dari realitas harus
berangkat dan berpedoman pada fenomena inderawi yang nyata baik dalam
fenomena kesadaran kita maupun yang ada pada fenomena obyek
realitas yang ditujukan.
1. Hakekat jiwa kita menurut Aristoteles
Berpedoman pada gagasan “jiwa’ dari Plato, maka lalu Aristoteles
mendefenisikan istilah jiwa sebagai “inti” atau "esensi" dari makhluk hidup.
Aristoteles berkeberatan dengan argument bahwa jiwa memiliki keberadaan yang
terpisah secara keseluruhan tubuh. Artinya ada hubungan antara jiwa-jiwa dipandang
dari sisi esensi. Dalam karya filsafatnya, Aristoteles mengemukakan bahwa “yang
ada” dan “yang berdiam” di dalam “diri” semua makluk hidup (tumbuhan, binatang
dan kita ), apapun bentuknya, “dia” diberi nama “jiwa” (“psyche”, Latin: anima).
Artinya menurut Aristoteles bahwa jiwa tidak saja dimiliki kita namun juga
dimiliki (berada) dalam dan pada tumbuhan dan hewan. Namun dari sisi esensi
ada perbedaan. Jiwa tanaman dan hewan memiliki berbagai jenis jiwa dan
ditunjukan dengan dan pada hal-hal yang berbeda dengan jiwa kita .
Dalam karya psikologi, “jiwa” ditinjau Aristoteles melalui “teori ruang”. Ia
berpendapat bahwa “hanya tubuh fisik dikelilingi oleh tubuh lain yang secara nyata
dan bukan disengaja akal, dalam ruang, karena ruang tubuh yaitu defined sebagai
batas dalam tubuh yang mengelilinginya”. Maka Terminologi Aristoteles, “Jiwa”
hanya memiliki ruang eksistensi kebetulan dalam tubuh.16
Eidos (4) Aristoteles tentang jiwa kita ditinjau dari teori ruang. Aristoteles
menekankan bahwa keberadaan jiwa hanya mungkin ada dalam badan. Artinya
jiwa tidak bisa independent hidup terpisah dari badan (ajaran hylemorfisme).
Gagasan esensi jiwa Aristoteles ini bertolak belakang dengan eidos jiwa dari
Homer (fenomena jiwa sesudah kematian) atau eidos jiwa dari Plato gurunya yaitu
“jiwa” yang berusaha melepaskan dirinya dari penjara tubuh dan berangkat ke
asalnya; kayangan atau dunia ide-ide.
Selanjutnya gagasan Aristoteles tentang jiwa hanya memiliki ruang eksistensi
kebetulan dalam tubuh. Istilah “kebetulan”, menurut saya menunjukan beberapa eidos
sebagai berikut: (1) Istilah “kebetulan” menunjuk pada warisan dualisme Sokrates dan
Plato tentang kita yang terdiri dari jiwa dan tubuh. Sekalipun jiwa menghidupi
dan menyatu dengan tubuh namun eidos fenomenologinya (ontologism-metafisisnya)
tetap berbeda dan terpisah; karena tubuh bersifat matrial sedangkan jiwa bersifat
rohani. (2) Istilah “kebetulan” juga berhubungan dengan praksis atau tindakan jiwa;
bahwa jiwa menghidupkan dan menggerakan bagian-bagian organisme tubuh, kata
Aristoteles. Artinya tatkala jiwa aktiv bertindak, maka eksistensi jiwa terjadi dalam
tubuh. Sebaliknya saat kita tidur (jiwa tidak aktif) maka di sana eksistensi jiwa
tidak terjadi. (3) Istilah “kebetulan” berhubungan pula dengan konsep kematian tubuh;
kata Aristoteles jiwa hanya memiliki ruang eksistensi kebetulan dalam tubuh. Artinya
selama tubuh ternyata masih hidup dan beraktivitas maka di sana jiwa dapat
bereksistensi. Sebaliknya jika tubuh mati, artinya jiwa telah pergi meninggalkan tubuh
(atau “ jiwa ikut mati”, Aristoteles menolak keabadian jiwa) maka disana (di dalam
tubuh) tidak ada jiwa karena itu tidak terjadi eksistensi jiwa di sana. Ketiga
pemahaman ini menjadi dasar mengapa Aristoteles memakai istilah “fenomena
kesadaran kebetulan” dari fenomena eksistensi jiwa dalam tubuh kita .
2. Struktur dan bagian-bagian jiwa menurut Aristoteles
Aristoteles memperluas gagasan tentang kebahagiaan melalui analisis struktur
jiwa kita yang menjiwai organisme hidup kita . Dalam pandangan Aristoteles,
jiwa yaitu makhluk hidup, yang kegiatannya yaitu, "hidupnya". Aristoteles tidak
menganggap jiwa secara keseluruhan sebagai penghuni tubuh yang terpisah dari tubuh
(sama seperti kita tidak dapat memisahkan aktivitas pemotongan dari pisau). Jiwa
berada dalam diri kita sedangkan nus (roh) datang dari luar yang disebutnya
thyrathen; (mungkin Tuhan ?). Fungsi jiwa, Aristoteles; melalui logika formal atau
logika bentuk (form) Aristoteles menegaskan bahwa kita yaitu makluk yang
memiliki jiwa, pikiran dan kesadaran (rasionalitas), yang berfungsi untuk berpikir
logis dalam membuat keputusan yang benar dan tepat. lalu Aristoteles juga
memakai istilah ‘symposion’ atau suatu daya kehidupan dalam diri kita
meliputi; cinta (eros) sebagai sumber dan daya penggerak jiwa yang memungkinkan
kita melalui pikiran dan kesadarannya menghasilkan dan menciptakan hal-hal
yang baik dan berguna (hubungan dengan moral-politik, negara-kota; polis Yunani
klasik) . 17
Dalam uraian di atas, menunjukan fenomena-fenomena kesadaran Aristoteles
tentang jiwa berhubungan dengan hasil reduksi transcendental metode fenomenologi
Husserl. Dalam konteks ini hubungan jiwa dengan substansi-substansi yang lain baik
di dalam atau di luar tubuh kita . Menurut saya, reduksi transendental (1), nampak
pada analogi Aristoteles menggambarkan kakekat jiwa. Aristoteles menganalogikan
esensi, energi dan aktivitas jiwa kita dibandingkan pisau; yang memiliki fungsi
utama sebagai pemotong dan kapak dengan fungsi utamanya memotong dan
membelah. Istilah “memotong atau mengiris” pada pisau atau “membelah atau
memotong” pada kapak, bukan saja menunjuk pada aktivitas atau tindakan pisau dan
kapak, namun menunjuk pada hakekat atau esensi dari pisau dan kapak.18
Tindakan “membelah dan memotong” pada pisau dan kapak yaitu “energi
jiwa” dari pisau (bandingkan Thales, magnet). Artinya tak ada fungsi lain dari pisau
dan kapak selain “memotong dan membelah”. Dengan kata lain satu-satunya energi
dan aktivitas memotong dan membelah merupakan esensinya pisau dan kapak.
Dengan demikian analogi Aristoteles ini menggambarkan tentang hakekat jiwa
sebagai sumber hidup yang fungsinya hanya untuk menghidupi tubuh. Singkatnya, jika
“dia” tidak menghidupi, maka dia bukan jiwa.
Dalam analogi ini Aristoteles menunjukan serentak tiga substansi transedental
yaitu (a) esensi jiwa, (b) esensi pisau dan esensi kapak serta (c) menghubungkan
ketiganya dalam suatu struktur esensi dan aktivitas melalui tahap reduksi
transcendental metode fenomenologi Husserl, yaitu “jiwa” dengan esensi menghidupi
serta pisau dan kapak dengan esensi “memotong dan membelah”. Sedangkan tindakan
“menghidupi, membelah dan memotong” di satu sisi menunjuk pada energi dan
aktivitas, di sisi lain serentak menyatakan esensinya. Sementara materi “tubuh
kita , benda pisau, dan benda kapak” merupakan “penampakan” perluasan asensi
“jiwa, energi, kekuatan” yang dihadirkan secara utuh melalui dan bersama bentuk
matrial (tubuh kita , bentuk pisau dan kapak) yang sementara aktif. Singkatnya,
tubuh atau bentuk materi yaitu perluasan dan penampakan esensi, energi dan aktifitas
jiwa
Reduksi transendental (2) tampak pada fakultas-fakultas jiwa dan hubungan
jiwa dengan substansi yang lain. Aristoteles mengelompokan jiwa-jiwa makluk hidup
dalam tiga kategori: (a). Jiwa tumbuhan yang hanya memiliki energi hidup vegitatif.
(b). Jiwa hewan yang juga memiliki energi hidup vegitatis ditambah dengan energi
hidup sensitive, dan (c). Jiwa kita yang juga memiliki energi hidup vegitatif dan
energi sensitif serta ditambah dengan esensi yaitu rasio atau akal budi (roh). Jika pada
contoh reduksi transcendental fenomenologi pertama di atas, dalam bentuk analogi,
maka reduksi transcendental kedua ini berhubungan dengan hakekat dan esensi dari
jiwa itu sendiri.
Menurut saya (1) Aristoteles menunjukkan bahwa jiwa yaitu “makluk” hidup
dengan esensinya yaitu menghidupi. Semua yang hidup, pasti memiliki jiwa. Karena
tanaman dan heman juga hidup seperti kita maka, mereka juga memiliki jiwa, dan
jiwa mereka merupakan esensi dari diri mereka. (2), Aristoteles menunjukan bahwa
ada hubungan antara kita , hewan dan tanaman oleh jiwa (unsur kebenaran
transcedental yang sama dan menyatukan ketiganya), namun di sisi lain Aristoteles
menekankan esensi jiwa ketiganya memiliki nilai perbedaan. Jiwa kita ditambah
dengan akal budi, jiwa dan roh / nus. Substansi Nous, soul, dan spirit, inilah menjadi
ciri khas esensi jiwa kita , Aristoteles.
Selanjutnya hasil reduksi transendental (3) tampak pada Aristoteles membagi jiwa
kita menjadi tiga bagian (unsur/elemen) sebagai berikut:
Pertama, bagian Rasional yaitu unsur tertinggi. Unsur rasional hanya ada pada
jiwa kita yang berhubungan dengan selera. Bagian rasional ini
bertanggung jawab untuk mengatur emosi dan keinginan (seperti
kegembiraan, kesedihan, harapan dan ketakutan).
Kedua, bagian Irasional yaitu unsur kedua yang merupakan bagian menengah.
Menurutnya ciri irasional bukan saja khas dimiliki hewan namun juga ada
dalam diri kita .
Ketiga, bagian Vegitatif (unsur yang primitif) yaitu unsur ketiga atau bagian bawah
yang bertugas mengatur tentang gizi dan pertumbuhan.
Dalam bagian ini, reduksi transendental tampak bukan saja pada bagian-bagian
jiwa namun juga tanpak pada pembagian tingkat unsur-unsur jiwa; Aristoteles
menyatakan bahwa unsur vegitatif, sensasi-naluri juga dimiliki kita . Aristoteles
menekankan bahwa kendati bagian rasional merupakan subsatnsi yang lebih tinggi
dengan fungsi utama mengarah dan mengontrol kedua bagian lain (irasional dan
vegitatif) namun ketiganya merupakan penyatuan substansi- substansi yang
melengkapi esensi jiwa kita . Aristoteles tetap konsekuen pada relasi jiwa dan
tubuh yang konstant. Artinya kerena rasionalitas yaitu esensi pembeda jiwa kita
dengan jiwa hewan dan tanaman yang hanya memiliki energi kekuatan (bukan esensi),
tidak berarti terjadi dominasi unsur rasional atas atau sampai membatalkan kedua
unsur lain. Tiap bagian jiwa: rasional, irasional dan vegiatatif menjalankan tugasnya
menggerakan, mengarahkan tubuh dll sesuai fungsi dan statusnya. Menurut saya, point
terakhir inilah menunjukan dengan jelas sisi transcendentalnya. (bandingkan
pembagian id, ego dan superego, Freud).
Mengakhiri sub pokok ini dengan menampilkan “suatu” reduksi eidos dan
reduksi transcendental metodologi Husserl khususnya mencari esensi jiwa dan pikiran
serta bagaimana hubungan antara keduanya. Istilah “jiwa” (soul) dalam hubungan
dengan intelektual (nous), Aristoteles membaginya menjadi dua bagian utama, yaitu:
(1). Musyawarah atau perhitungan dan (2). Ilmiah atau teoritis. Point pertama
(musyawarah atau perhitungan) lalu Aristoteles membaginya dalam sebuah
divisi tripartit jiwa intelektual yang terdiri dari (1.a).Teknis, (1.b). Kehati-Hatian dan
(1.c). Teoritis. Yang pertama (teknis) yaitu seni. Istilah yang menunjuk pada hal-hal
di luar tubuh kita termasuk produk dari aktivitas kita itu sendiri. Yang kedua
(kehati-hatian), menunjuk pada jangka waktu dalam suatu kegiatan. namun Aristoteles
menghubungkan dengan seni; yaitu seni dalam melakukan sesuatu hal.
Hasil reduksi eidos dan reduksi transcendental dari bagian ini yaitu (1).
Aristoteles menghubungkan esensi jiwa dengan esensi akal budi. Jiwa memiliki energi
dan kekuatan yang dimanfaatkan akal budi untuk menjalani proses pemikiran dan
menyadari. (2), Aristoteles, menghubungan jiwa kita dengan kehidupan moral
yang baik dan pantas sebagai kita warga negara-kota; polis Yunani klasik. (3).
Aristoteles menghubungan jiwa melalui pikiran yang tampak dan tercermin dalam
tindakan kita seperti teknis (panduan moral-etika dalam hidup), kehati-hatian
(sikap batin dalam hubungan dengan kewaspaan dan pemahaman yang benar sebelum
memilih dan memutuskan tindakan) dan teoritis (yang berhubungan langsung dengan
sistem kerja nous atau akal budi melalui bantuan energi dan kekuatan jiwa). (4).
Aristoteles, menghubungkan jiwa dengan seni, ia menunjukan bagaimana proses kerja
jiwa dan pikiran dalam realitas yang ditampakan oleh tubuh, melalui arahan jiwa dan
pikiran. Point ini menunjukan secara langsung tubuh sebagai perluasan jiwa dan
pikiran. Dengan kata lain tubuh yaitu penampilan jiwa dan pikiran seseorang.
3. Hubungan Jiwa Dengan Tubuh
Jika pada sub pokok satu dan dua, penulis menyertakan bagaimana proses
penggunaan jenis konstitusi, korelasi dan pendekatan intuitif; tiga tahap reduksi dalam
berbagai contoh gagasan dan pemikiran Aristoteles, sebagai contoh penerapan metode
fenomenologi Edmund Husserl, maka pada sub-sub berikut penulis menjelaskan obyek
tanpa menyertakan tata proses metode fenomenologi. Dengan alasan bahwa
bentangan tahap metode reduksi lebih bersifat sarana bukan tujuan dari pembahasan.
Aristoteles dengan teori soul dalam de anima ia berbicara khusus tentang
hubungan tubuh dengan jiwa. Menurutnya jiwa berbeda dengan tubuh namun serentak
serupa dengannya. Jiwa berada dalam tubuh namun sekaligus menampakan dirinya dan
ditampak