Jumat, 06 Desember 2024

jiwa 2


 an oleh tubuh sebagai keutuhan jiwa-badani. Tubuh yaitu  subjek bagi 

jiwanya (dalam identifikasi jiwa) dan sebaliknya dalam kondisi tertentu jiwa yaitu  

subyek atas tubuh, misalnya dalam praksis berpikir, penggerak organism dan pemberi 

kehidupan bagi tubuh.  Oleh karena itu, "jiwa harus menjadi substansi dalam arti 

bentuk tubuh alamiah berpotensi memiliki kehidupan di dalamnya”. Maka Aristoteles 

menyatakan bahwa: “The soul is the cause or source of the living body – it is now 

manifest that the soul is also the final cause of its body.19 Jiwa yaitu  sumber 

kehidupan yang memberi atau sebagai pemicu  terjadinya kehidupan bagi tubuh 

(pemicu  utama). Dari pernyataan ini Aristoteles meletakan jiwa dan tubuh dalam 

kerangka kausalitas, dimana jiwa sebagai “pemicu ” dan tubuh “hidup” sebagai 

akibat.  

Konsepsi Aristoteles tentang relasi tubuh dan jiwa ada  pada gagasan jiwa 

hylomorphic”,20 artinya bahwa jiwa yaitu  bentuk terpenting bagi tubuh. Dalam arti 

bahwa jiwa datang ke dalam tubuh dengan potensi kehidupannya,  mengakualisasi 

materi organisme tubuh dan membentuknya menjadi organisme hidup atau suatu 

kehidupan baru. Hal ini mengisyaratkan bahwa “tanpa jiwa”, tubuh tidak bisa menjadi 

tubuh yang hidup. Dari konsep jiwa hylomorphic, menunjukan tubuh dan setiap 

ograniknya hanya berfungsi andaikan diresapi dan digerakan oleh jiwa. Tanpa jiwa, 

tubuh akan mati. Selanjutnya gagasan “jiwa datang”  dan menghidupi tubuh; 

menunjuk penekanan Aristoteles pada dualime kita  dan pemisahan kodrati 

jasmani tubuh dan kodrati rohani jiwa (khususnya “nus”).   

Selanjutnya dari sudut pandang teleologis  (konteks psikologi) Aristoteles 

menyatakan: “the soul is the final cause or source of the living body. 21 Dari penyataan 

ini Aristoteles menegaskan kembali bahwa "jiwa yaitu  pemicu  akhir atau sumber 

dari tubuh yang hidup" Dalam pengartian bahwa jiwa yaitu  "aktualitas pertama dan 

terakhir (satu-satunya) dari tubuh alamiah berpotensi memiliki kehidupan di 

                                                            


dalamnya," Di sini Aristoteles menunjukan dengan jelas bahwa jiwa satu-satunya (atau 

hanya jiwa) yang dapat bertindak menghadirkan kehidupan formal melalui tubuh 

sebagai tanda kehadiran dan kebersatuan jiwa dengan dan melalui tubuh. Hal ini 

secara jelas membuktikan bahwa "jiwa yaitu  bagian integral dari setiap 'action' 

tubuh. Jiwa telah menyebabkan dan menghadirkan kehidupan, pikiran dan tindakan 

tubuh.  

Sehubungan dengan jiwa sebagai pemicu  pertama yang menghidupkan dan 

menggerakan tubuh organik, Aristoteles menggungkapan dua hal. (1), istilah “datang” 

atau masuknya jiwa dalam tubuh menghasilkan tubuh jasmani menjadi hidup. Artinya; 

ada jiwa maka ada kehidupan. (2) (inilah juga point penting), Ketiadaan jiwa atau 

keterpisahan jiwa dari tubuh, di sana jiwa lalu  sebagai pemicu  sesuatu (tubuh) 

kehilangan kehidupan. Artinya jiwa “pergi” maka tubuh “mati”. Dalam pernyataan 

kedua ini berupa suatu penyataan negasi, artinya jiwa memiliki dua fungsi sekaligus; 

(1). Jiwa sebagai pemicu  pertama sesuatu (tubuh) menjadi hidup (afirmasi), dan (2), 

jiwa juga sebagai pemicu  terakhir sesuatu (tubuh) mengalami kematian dan 

kehancuran (negasi). 

Gagasan dalam point kedua ini mengingatkan kita pada konsep jiwa Plato: 

“tubuh yaitu  penjara jiwa” atau jiwa terpenjara dalam tubuh, maka senantiasa jiwa 

mencari pembebasan diri. Menurut Plato “kematian” yaitu  gerbang pembebasan bagi 

jiwa terlepas dari kurungan tubuh. Namun sebagai catatan gagasan Plato: “tubuh 

penjara jiwa” terutama  dalam konteks etika dan filsafat politiknya dalam negara-kota, 

polis Yunani klasik, yang mengandung dua pengertian: (1). Pembebasan jiwa 

sehubungan dengan sikap hati: keputusan dan pilihan yang benar atas hidup dan (2), 

sehubungan dengan kematian itu sendiri. Namun gagasan Arsitoteles sehubungan 

dengan point kedua (kematian) bertentangan dengan gagasan Plato dan semua filsuf 

dan ilmuan. Aristoteles mengakui keabadian nous (nus) sedangkan menolak keabadian 

jiwa. Pendapat Aristoteles ini bersifat paradox sekaligus kontraversi yang menjadi 

problem bagi filsuf dan ilmuan terutama theolog (agama-agama). 

 

 

4. Kematian soul (jiwa) dan keabadian nous (akal-budi).  

Aristoteles dalam psikologinya berbicara tentang jiwa universal, yaitu jiwa-

jiwa yang dimiliki oleh makluk hidup seperti jiwa hewan atau jiwa tumbuhan. Suatu 

pernyataan pradoks yang menggiring pikiran kita  untuk mencari dan membentuk 

persepsi, seperti apa rupa dan bentuk dari jiwa-jiwa itu. Dengan memastikan bentuk 

jiwa kita  maka dengan demikian dapat membedakan esensi jiwa kita  dengan 

jiwa makluk hidup lainnya. Tentang hal ini   Aristoteles berpendapat bahwa …“it is 

not necessary to ask whether soul and body are one, just as it is not necessary to ask 

whether the wax and its shape are one, nor generally whether the matter of each thing 

and that of which it is the matter are one“; Kita tak bertanya apakah jiwa dan tubuh 

yaitu  satu. Sama hal seperti tidak perlu kita bertanya:  apakah lilin dan bentuk yaitu  

satu, atau umumnya apakah setiap masalah atau hal yaitu  satu. Apabila sesuatu hal 

atau obyek dibicarakan dengan cara yang berbeda dan dari sudut pandang yang 

berbeda pula, maka yang dipermasalahkan yaitu  aktualitasnya.  Maka penjelasan 

Aritoteles bahwa setiap makluk hidup memiliki jiwa namun  jiwa makluk lain berbeda 

dengan jiwa kita . Perbedaan ini tak perlu dipermasalahkan, karena menurutnya 

berhubungan dengan aktualitas jiwa, bukan tentang esensi jiwa. 

Hubungan jiwa dengan akal budi. Manurut Aristoteles bahwa kita   

ditambahkan (memiliki) unsur esensi yaitu nous atau  akal budi (nus). Jiwa bukan 

merupakan bagian material: itu sesuatu seperti bentuk atau struktural pengaturan 

bagian organik fisik. Jiwa sebagai inti dari makluk hidup termasuk kita . Jiwa 

yaitu  'hancur' jika bentuk yang tepat hilang seperti bahwa ia tidak dapat melakukan 

fungsi normal. Sedangkan tubuh atau badan fisik merupakan struktur organik yang 

berfungsi (ditujukan) untuk memproduksi sesuatu: mereka yaitu  berorientasi pada 

tujuan. Artinya bentuk yang dihasilkan dan ditampilkan tubuh yaitu  akhir dari proses 

atau tujuan akhir kehendak jiwa.  Dengan kata lain tubuh bertindak atas nama jiwa dan 

akal budi untuk mewujudkan keinginan ketiganya. Jadi kalau pisau hancur maka 

pemotongan terhenti. Jika tubuh mati maka jiwa terhenti (jiwa ikut mati), Aristoteles. 

Atas dasar peran nous dan akal budi inilah, menjadi pedoman Aristoteles memilih 

keabadian akal budi (nous-nus), bukan keabadian jiwa. 

berdasar  uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa (1), Antara jiwa dan 

tubuh yaitu  dua substansi yang berbeda secara hakiki (tidak se-zat) namun  mereka 

saling menyatu dan saling meresapi tanpa batas ruang dan waktu. (2), tubuh dan jiwa 

berbeda namun  dari perbedaan itu mereka menyatu dalam ke-serupa-an yang satu 

menjadi tubuh yang hidup. (3), menurut Aritoteles, tubuh tak bisa hidup tanpa jiwa 

dan sebaliknya jiwa tak dapat tampak sebagai yang hidup di luar tubuh. Inilah 

kebenaran pandangan Aristoteles bahwa  " the soul cannot be without a body.”22.  Jiwa 

tidak dapat ada tanpa tubuh. Maka tubuh mati, jiwa pun ikut mati (penolakan atas 

keabdian jiwa).23  Jiwa tidak dapat ada tanpa tubuh. Maka tubuh mati, jiwa pun ikut 

mati (penolakan atas keabdian jiwa). 

5. Hubungan jiwa dengan kebahagiaan (eudaimonia).  

Tujuan tertinggi yang hendak dicapai kita  yaitu  kebahagiaan atau 

“eudaimonia” yang merupakan tujuan akhir kehidupan. Kata Aristoteles 

”Kebahagiaan ini bukan kebahagiaan yang subjektif, abstrak atau ideal namun  suatu 

keadaan yang sedemikian rupa, sehingga segala sesuatu yang termasuk keadaan 

bahagia (jiwa) itu ada  pada kita . Artinya bahwa tujuan yang dikejar yaitu  

demi kepentingan diri sendiri, bukan demi kepentingan orang lain. “Kebahagiaan itu 

nyata dialami (jiwa), tidak ideal, dan harus menjadi sesuatu yang praktis dialami dan 

dirasakan oleh (jiwa)  kita ”. “Kebahagiaan ini  harus ditemukan dalam pekerjaan 

dan kehidupan yang khas kita wi”. 

Oleh karena itu kebahagiaan sejati terletak pada kehidupan yang aktif dari 

rasional atau dalam realisasi sempurna dan out working jiwa sejati dan dalam diri, 

secara terus-menerus berlanjut sepanjang hidup seseorang. Kebahagiaan harus 

didasarkan pada sifat kita , dan  dimulai dari fakta-fakta dari pengalaman pribadi. 

Isi dari setiap kebahagiaan ialah perbuatan sendiri yang bersifat khusus 

disempurnakan. Jadi kebahagiaan kita  terletak pada aktifitas yang khas kita wi 

                                                           

(dimiliknya) sebagai kita  yang terus-menerus  disempurnakan. Namun tujuan 

kehidupan; kebahagiaan tertinggi, yang dikejar oleh tiap kita  yang berpikir secara 

murni (melalui jiwanya), menurutnya kita  tak mungkin mencapainya sebab 

kebahagiaan yang tertinggi atau puncak kebahagiaan  itu hanya dapat dicapai oleh para 

dewa. Sebaliknya kita  hanya dapat mencoba mendekatinya dengan mengatur 

keinginan hatinya atau jiwanya (hasrat nous dan soulnya). kita  hanya mengejar 

kebahagian di dunia ini (yang nyata), dan tak perlu mengejar kebahagiaan kekal, 

karena jiwa akan mati dan kebahagiaan kekal telah diambil oleh para dewa. Secara 

sinis mau dikatakan; untuk apa kita  mengejar kebahagiaan kekal versi Plato, jika 

kebahagiaan itu tidak tersedia (telah dicaplok para dewa). 

Akhirnya Aristoteles menegaskan bahwa kebahagiaan kita  ada  pada 

aktivitas yang khusus dan mengarah pada kesempurnaanya. Potensi khas kita  

yang membedakan dari binatang atau makluk lain yaitu  berkat akal budi dan 

spiritualitasnya (jiwanya). Karena itu, aktivitas dan aktualitas kita  yang bisa 

mengarahkan pada kebahagiaan yaitu  semua bentuk aktivitas yang melibatkan 

bagian-bagian jiwa yang berakal budi. Namun, karena kita  hidup dalam alam 

dunia dan masyarakat, maka aktualisasi dari akal budi dan jiwanya ini bukan 

semata-mata diarahkan pada yang maha budi dan idea, namun  juga diarahkan pada 

kehidupan kongkrit melalui partisipasi dalam kehidupan masyarakat. Tegasnya, 

kebahagiaan (jiwanya) tercapai dengan cara memaksimalkan potensi diri untuk 

memandang realitas rohani (spiritualitas-jiwa) di satu sisi, dan aktif dalam 

berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat di sisi yang lain. Di sinilah Aristoteles 

membatasi ruang gerak jiwa dan tujuan kebahagiaan yang sempurna dalam realitas 

polis. Jadi, Aristoteles mengemukakan pandangan kontra versi sekaligus paradoks 

sehubungan dengan hakekat jiwa dan kebahagiaan jiwa yang bersifat rohani, yang 

digagaskan sebelumnya.  

Akhirnya dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Tujuan akhir kehidupan 

yaitu  kebahagiaan sama dengan Plato dan Aristoteles, berhubungan dengan polis 

Yunani kuno (unsur kesamaan). (2) Letak perbedaan yaitu  Plato menekankan pada 

kebahagian abadi sesudah  kematian seseorang, sementara Aristoteles menekankan pada 

kebahagian kini dan sekarang di dunia ini (bukan di dunia kayangan; ideal Plato atau 

dunia nanti theolog). (3) Plato dan filsuf serta ilmuan pada umumnya termasuk theolog 

(agama-agama) mengakui bahwa jiwa yaitu  pemicu  tubuh jasmani hidup dan jiwa 

itulah yang akan hidup terus (keabdian jiwa) sesudah  kematian tubuh. Gagasan ini 

berbeda dengan Aristoteles sehubungan dengan gagasan fungsi jiwa dengan tubuh. 

Menurutnya jiwa akan mati dan hancur bersama tubuh, sedangkan akal budi dan roh 

(nous dan nus) tetap hidup. Inilah paham keabadian nous Aristoteles yang kontraversi 

(point ini akan dibahas khusus pada hubungan jiwa dengan pikiran dalam bab IV). 

E. Sigmund Freud dan teori jiwa psikoanalisa  

Sigmund Freud dengan nama aslinya Sigismund Scholomo, lahir pada 6 Mei 

1856 di Freiberg, Moravia wilayah kekaisaran Austria-Hongaria (sekarang 

Cekoslowakia). Dalam pengembangan Psikoanalisisnya fokus perhatian Freud terdiri 

dari dua hal (1) Pengaruh pikiran bawah sadar terhadap sadar dan (2) Ekspresi dari 

pikiran bawah sadar melalui simbol-simbol (seksualitas) sebagai kekuatan yang 

memotivasi perilaku kita . Karena perhatian Freud khusus tentang kondisi 

kejiwaan dan bathin kita  (pasien histeris) maka psikoanalisa Freud; Psikoanalisis 

disebut juga Psikodinamika (Psikologi Dalam) karena memandang individu sebagai 

sistem dinamik yang tunduk pada hukum-hukum dinamika, dapat berubah dan dapat 

saling bertukar energi. Oleh karena itu  Freud dan Teori-teori Psikoanalisa dianggap 

sebagai salah satu gerakan revolusioner di bidang psikologi yang dimulai dari satu 

metode penyembuhan penderita sakit mental, hingga menjelma menjadi sebuah 

konsepsi baru tentang kita . …The basic objective of psychoanalysis is to remove 

neuroses and thereby cure patients by returning the damaged ego to its normal 

state”24 

Teori-teori Freud yang terus berkumandang dan cukup menggegerkan dunia 

ilmu pengetahuan hingga saat ini yaitu  teori kepribadian (personality theory) yang 

                                                           

menekankan bahwa jiwa kita  senantiasa berkonflik, yaitu konflik tiada akhir 

antara ketiga kekuatan jiwa id, ego dan superego. Teori kedua yang banyak 

mengundang kritik dan kecaman yaitu teori tentang kesadaran (mind theory) dimana 

Freud menekankan bahwa sebenarnya kehidupan kita  setiap saat tidak dituntun 

dan diarahkan oleh kesadaran (pikiran) namun  seluruh tingkah  laku dan kehidupan 

kita  dituntun, diarahkan bahkan didominasi oleh ketidaksadaran dan tidak sadar 

(unconscious / id). Teori ketiga yang tak kalah menghebohkan (banyak menuai 

kritikan dari kaum Feminis) yaitu teori psikoseksual fase (Oedipus complex dan 

Electra kompleks), dimana Freud menterjamahkan hubungan segitiga antara anak 

dengan edua orang tua di masa bayi dan di masa anak-anak sebagai hubungan yang 

diwarnai kepuasan seksual (libido) anak terhadap orang tuanya, kendati hal itu tak 

disadari sang anak. 

1. Teori Struktur Jiwa  

Dalam teori kepribadian (personality theory) Freud membagi “jiwa” kita  

menjadi tiga bagian kekuatan yaitu “Id”, sang buta dan makluk primitiv dari dunia 

alam bawah sadar / ketidaksadaran kita  dengan prinsip kepuasan kenikmatan 

segera  (pleasure prinsiple),  yang mana setiap saat id muncul selalu menuntut 

penyaluran kepusaan segera tanpa kompromi (itulah tokoh pertama). Sebagai lawan 

duel yaitu  tokoh ketiga yang diberi nama Freud yaitu  “superego” dengan prinsip 

moral (morality principle), yang mengharuskan dan bahkan mewajibkan pihak id 

(yang buta-primitif) untuk taat mutlak tanpa kompromi.  

Di antara kedua tokoh ini, Freud menempatkan “tokoh kedua” yang namanya 

“ego” yang harus dan terpaksa bertindak bijaksana sebagai pemain atau lawan perang, 

sekaligus  hakim atas tokoh pertama dan tokoh ketiga. Ego yang terhimpit dalam 

tuntutan realitas (reality principle) menurut Freud dia, ego berperan ganda. Di satu sisi 

ia tampil sebagai “tokoh konflik” bagian yang setara dengan id dan superego, dan ego 

berhadapan dengan id dan superego sebagai lawan konflik. Di sisi lain, pada titik 

klimaks konflik dan pertempuran, ego harus bangkit menjadi “aku”, sang hakim yang 

mengambil keputusan memihak antara satu; id atau superego. 


Menurut Freud di antara “tokoh siapapun” yang menang atau kalah pada setiap 

saat pertempuran, akhirnya yang mengalami kegembiraan, kesedihan dan penderitaan 

yaitu  ego (aku), sementara pengalaman yang indah ataupun buruk- menyakitkan hati, 

semuanya “diserahkan” kepada id untuk menampung di gudang alam bawah sadar 

(“gudang alam semesta dalam batin kita ”). Kenangan-kenangan manis maupun 

pahit yang direpresikan ke alam bawah sadar senantiasa menyatu membentuk 

kekuatan id yang dasyat seperti gunung es di samudera. Pada prinsipnya id tidak perlu 

terpengaruh dan memperhitungkan waktu, situasi dan kondisi sekitarnya. Di saat id 

ingin memenuhi pleasurenya, tindakan “membabi-buta” pun disertakan bersama 

tuntutannya terhadap ego. Sang “tokoh” ego  seakan-akan tak perlu untuk menanggapi 

karena pada dasarnya tuntutan id itu juga  merupakan lapisan terbawah dari keinginan 

dan harapan ego itu sendiri, termasuk pemenuhan drive (bandingkan teori drive 

Freud).  saat  ego mencoba untuk berpihak pada id (kebutuhan “dekat” dengan ego), 

maka pada kesempatan itu pula superego menebarkan aturan-aturan dan hukum-

hukum (alias lampu merah-darurat) yang disertai resiko-resiko laksana kerikir duri di 

sekeliling ego. Ego dalam kecemasan dan ketakutannya;  mendorong ego bersikap 

hati-hati (bahkan menurut superego); ego  jangan mengikuti keinginan id. Dan 

mungkin juga superego yang tuli-buta tanpa menyadari bahwa sebenarnya tuntutan id 

itu yaitu  bagian dari keinginan dan harapan drive ego itu sendiri. 

Dalam teori kepribadian (personality theory), Freud tidak saja membagi jiwa 

kita  menjadi tiga bagian kekuatan yang independent, namun  Freud melukiskan 

bagaimana konflik yang terus terjadi di antara ketiga kukuatan jiwa itu. Tidak hanya 

itu Freud menekankan bahwa ego sebagai penengah ataupun hakim, pada akhirnya ego 

sendiri menderita atas keputusannya. Semua pengalaman baik buruk dalam konflik itu, 

semuanya direpresikan ke alam bawah sadar yaitu wilayah kekuasaan id, dan setiap 

saat; di waktu-waktu mendatang  semua kenangan yang direpresikan itu kembali 

menuntut kepuasan segera kepada ego ( dan ego aku).  

Hal terpenting dan menarik sekaligus menantang dan menuai kritik yaitu 

bagaimana Freud menggambarkan  id laksana sosok “pahlawan” perang dan konflik 

yang tidak memperdulikan apapun. Hal yang aneh namun  masuk akal yaitu bagaimana 

Freud menggambarkan Id yang buta-tuli dan primitive di alam bawah sadar yang 

gelap-gulita itu, muncul dan hadir hanya dengan sutu (1) tuntutan dominan  kepuasaan 

segera. Dan lebih menarik lagi bahwa bagaimana id membuka pintu gerbang “gudang 

semesta” alam bawah sadar untuk semua kata, nama, kalimat, ide dan lain-lain bagi 

pemikiran dan perasaan bahkan khayalan, naluri dan mimpi kita , saat  mereka 

aktiv menjalankan fungsinya. Bahkan kekayaan superego seperti hukum, aturan, 

peringatan dan resiko-resiko (senjata superego) tersimpan dan disimpan oleh id. 

Olenya itu Freud menyatakan bahwa pusat dan arena konflik antara id, ego dan 

superego tidak saja terjadi dalam wilayah kekuasaan ego (kesadaran) namun  juga 

terjadi di wilayah id (bawah sadar dan ketidaksadaran), karena semua yang dibutuhkan 

untuk konflik dan perang saudara ini (katakan saja bahkan “amunisi perang” 

ketiganya) tersimpan oleh dan di wilayah kekuasaan Id yaitu gudang alam bawah 

sadar. 

2. Teori Struktur Mind / Pikiran  

Hubungan jiwa dengan pikiran kita  (Freud cenderung memakai  istilah 

sadar dan kesadaran), ia membagi pikiran kita  menjadi tiga bagian yaitu (1) 

Kesadaran atau alam sadar (conscious) dimana pikiran kita  sementara aktif, dan 

(2) Alam bawah sadar dan ketidaksadaran (unconscious) dimana pikiran kita  tidak 

aktif atau sangat melemah, dan di antara keduanya ada  bagian (3) yaitu pra-

kesadaran (pre-conscious), dimana terjadi proses peralihan dari tidak menjadi sadar. 

Artinya antara tidak sadar dengan sadar di sana ada proses menuju sadar atau 

kesadaran. 

Kendati teori mind / pikiran atau kesadaran ini dihasilkan dari realitas 

penderita histeris, namun proses ini juga terjadi pada orang yang sehat. Misalkan saat 

kita  tidur setiap hari. Saat tertidur nyenyak kita  berada di alam tidak sadar 

atau bawah sadar (unconscious). Pada saat kita  terbangun dan sebelum sadar 

penuh (conscious) dimana ia bisa berpikir jernih, dan sebelum kita  sampai pada 

titik sadar berpikir itu, ia melewati apa yang disebut Freud dengan pre-conscious yaitu 

proses dari tahap-tahap tidak sadar menuju sadar atau kesadaran penuh. 

Dari pemahaman inilah, menjadi alasan kuat mengapa Freud menekankan 

bahwa kita  dibimbing dan didominasi bukan oleh kesadaran atau pikiran namun  

oleh ketidaksadaran dan tidak sadar (id). Mimpi yaitu  jalan tol id (kenangan) dari 

alam bawah sadar merealisasikan diri. Menurut Freud pada saat tidur nyenyak, 

keradasaran “menghilang” dan pikiran melemah bahkan tidak berfungsi, sehingga 

alam bawah sadar (id) merealisasikan keinginannya melalui pikiran bawah sadar. 

Tegasnya; jadi pada saat sadar di sana id beraksi, dan pada saat ngelamun id beraksi. 

Pada saat tidur nyenyak, histeris, mabuk, mati suri bahkan mati, disana id berkuasa, 

Menurut saya bahwa pada id dan di dalam bawah sadar merupakan gudang, 

bank dan lubung alam semesta dalam bathin (ke-jiwa-an) kita  dimana segala 

“sesuatu” ide, gagasan dll tersimpan disana. Sebagai contohnya: saat  kita  

berpikir tentang sapi, ikan atau mawar, maka nama, identitas, ciri dan lain-lain yang 

berhubungan dengan sapi, ikan, mawar dengan sendirinya muncul dalam pikiran. 

Pertanyaan; dari mana mereka? Sudah pasti mereka berasal dari gudang kenangan 

alam semesta bawah sadar (kerajaan id). Jadi id dan ketidaksadaran (alam bawah 

sadar) sungguh-sungguh mendominasi kehidupan kita  dari saat ke saat. Itulah 

yang ditekankan Freud dalam teori kepribadian khususnya tentang kondisi ke-jiwa-an 

kita . Singkatnya,  tak ada gudang di alam semesta ini yang dapat menyamai 

gudang id; alam bawah sadar dalam ke-jiwa-an kita . 

3. Hubungan pikiran dan jiwa dengan badan.  

Alam bawah sadar sebagai gudang semesta dan id sebagai penguasa 

tunggalnya, kenikmatan segera tubuh dan jiwa (termasuk pikiran) yaitu  sasarannya, 

superego yaitu  lawannya, ego yaitu  musuh komprominya id  dan tubuh (badan) 

dengan segala potensinya sebagai alasan, amunisi, sarana bahkan tujuan dari keinginan 

id itu sendiri. Dan tubuh menjadi sasaran kebahagiaan serentak menjadi korbannya. 

Seperti apa yang dikatakan Freud:  

“ Look into the depths of your own soul and learn first to know yourself, then 

you will understand why this illness was bound to come upon you and perhaps 

you will thenceforth avoid falling ill.”26 Artinya jika berbicara tentang batin, 

                                                           

jiwa dan pikiran kita, Freud mengajak lihatlah ke kedalaman jiwa,  dan belajar 

dulu untuk mengenal diri sendiri, maka Anda akan memahami mengapa 

penyakit ini (bahkan kematian) pasti akan datang kepada Anda dan mungkin 

Anda akan menghindarinya. 

Jika kita berbicara tentang hubungan pikiran dan jiwa dengan badan, maka kita 

sampai pada konsep dualisme (atau mungkin trialisme) Freud tentang kita . Dari 

teori kepribadian (1). Freud menempatkan tubuh di satu sisi berhadapan dengan jiwa 

di sisi yang lain. Bagaimana pengaruh jiwa terhadap badan dan sebaliknya. (2). Freud 

menempatkan id berhadapan dengan tubuh, begitu juga ego dan superego. Bagaimana 

hubungan dan pengaruh id terhadap tubuh dan sebaliknya. Hal yang sama berlaku pula 

untuk ego dan superego. (3) (trialisme jiwa), dimana id berhadapan dengan ego, ego 

berhadapan dengan superego dan superego berhadapan dengan id. Katiganya 

berperang di dalam dan dihadapan ego-aku dengan memakai  tubuh sebagai sarana 

sekaligus tujuan dari peperangan itu. 

Konflik ke-jiwa-an antara id, ego, superego (dan ego-aku) ini mirip gambaran 

state of natural Thomas Hobbes; “perang semua melawan semua” (Bellum omnes 

contra omnia). Artinya saat  id menuntut pleasurenya serentak ia mengangkat senjata 

bukan saja melawan superego, namun  juga melawan hukum, aturan, norma, 

kehormatan, harga diri, masa depan dan keselamatan (morality principle), serentak 

pula ia (id)  mengumumkan perang kepada ego, realitas, keselamatan tubuh, 

kenyamanan jiwa, ketenangan pikiran dan hak orang lain (reality principle). Pada 

kesempatan yang sama id melibatkan naluri, emosi, kenangan, trauma, kegembiraan, 

kekecewaan, drive, trauma, dll yang menyertai tuntutan segeranya, menyeret semua 

elemen dan kekuatan pikiran, jiwa dan tubuh dalam suatu pertarungan, konflik dan 

perang semesta. Jadi Bellum omnes contra omnia, tampak dalam konflik yang 

melibatkan semua energi dan elemet tubuh secara keseluruhan tanpa kecuali. 

Perbedaannya perang gaya state of natural Hobbes terjadi di luar tubuh yaitu antar 

person atau kelompok kita , sementara perang saudara dari Freud terjadi dalam 

tubuh kita  yaitu antara id, ego dan superego atau ‘konflik-konflik batin’.

Bagaimana hasil akhirnya? Menurut Freud, tubuh yang menjadi tujuan dan 

sasaran kenikmatan dan kebahagiaan dari perjuangan id, pada puncaknya tubuh 

kita  itu sendirilah yang menjadi korban atas perang semesta bathin (jiwa) kita  

itu. Sigmund Freud menjelaskan secara transparan hubungan jiwa dengan pikiran, 

hubungan jiwa dengan kesadaran, hubungan jiwa dengan tubuh  dalam konflik bathin 

atau ke-jiwa-an kita  ini, dalam kasus-kasus berikut sebagai contoh perbandingan:  

Contoh kasus Pertama: pasien ibu-ibu (perempuan) yang neurosis. Karena 

pemerkosaan atau kekerasan fisik-mental yang dialami para perempuan itu 

(tubuh mereka) di masa lampau mengakibatkan (jiwa atau mental) mereka sock, 

trauma, stress dan bahkan gila. Stres dan gila menunjukan jiwa mereka 

terganggu. Jiwa terganggu mengakibatkan pikiran tidak terarah. Pikiran tidak 

terarah maka kesadaran diri menurun; tak bisa mengontrol diri, tutur kata dan 

tindakan. Jiwa tertanggu, pikirannya tumpul, kesadarannya melemah, maka 

tubuh tidak terurus dan ditelantarkan sekaligus terobyekkan tanpa disadari. 

Maka tubuh tersiksa dan rusak serta kehormatan dan  martabatnya sebagai 

kita  ikut ternoda dan tercelah akibat jiwa yang terganggu. Trauma-trauma 

itu menimbulkan konflik dalam jiwa. digambarkan dalam diskusi sesudah  suatu 

konflik sebagai berikut: Katakan saja, id berkomentar: mau apalagi, apapun 

akibatnya sekarang, ego juga telah menikmati sedikit dari peristiwa itu. Kerena 

itulah bagian dari harapan drive dan kerinduan dari alam bawah sadar ego. 

Superego pasti tidak diam dan membentak id; semua permasalahan (bencana) 

ini, hanya karena keinginan dan paksaan id. Sementara ego, engkau lemah dan 

pasrah terhadap situasi. Ego pun membela diri, bahwa sudah menekan id, namun  

tak ada jalan keluar. Akhirnya ego-aku menuduh ketiganya, katanya: gara-gara 

“keegoisan” kamu bertiga dan berkonflik tiada hentinya,  sekarang tubuh aku 

menjadi hancur, martabatku ternoda dan aku menjadi gila. 

Contoh kasus Kedua: anak-anak yang menjadi korban oedipus complex / elektra 

oedipus, atau anak-anak dan remaja korban tabu masyarakat dan sistem 

                                                                                                                                                                          

pendidikan tradisional, atau mereka yang mengalami pemerkosaan atau 

kejahatan hubungan inset di masa kecil dan remaja, menurut Freud, akumulasi 

trauma masalah itu terus mengganggu ketenangan jiwa, pikiran dan tubuh 

mereka. Bandingkan seorang anak atau remaja diperkosa, ia sering kali mandi 

dan memberikan dirinya. Tindakan sering mandi ini, merupakan sikap bathin 

dalam menghapus trauma, kenadatipun itu bukan solusinya. Atau kasus lain 

yang dialami Anna O, pasien histeris akibat trauma kematian ayahnya. Karena 

kematian ayahnya meninggalkan dirinya dalam kesendirian, mengakibatkan 

kegoncangan jiwanya. Pikiran tidak teratur maka ia tidak dapat mengontrol 

tubuhnya, termasuk merawat tubuhnya sehingga stres dan jatuh sakit (hysteria). 

Dari kedua kasus ini Freud menunjukan bagaimana pengalaman pahit masa 

kanak-kanak dan remaja, turut mengganggu dan menghancurkan masa depan 

mereka. 

Contoh kasus ketiga: Tentara yang kalah perang, kembali dengan segala macam 

trauma kengerian perang dan kecacatan tubuh, mengakibatkan stress dan sakit 

jiwa. Bunyi letusan senjata dan dentuman mortir yang terus membahana dalam 

gendang telinganya, kobaran api disertai jeritan-jeritan maut kita  korban 

perang terus membahana dalam ingatan dan pikirannya, tubuhnya yang luka dan 

cacad menghadirkan rasa minder dan malu dalam berkomunikasi. Kegagalan 

dalam perang serta sanksi yang dijalaninya, menurut Freud semua itu 

menghadirkan konflik baru dalam bathin atau jiwa. Tubuh yang cacad, 

mengakibatkan ia tidak leluasa bekerja. Ia menjadi beban baru dalam keluarga 

dan hidupnya. Penyesalan atas semua yang telah terjadi mengakibatkan 

kegoncangan pikiran, sehingga tak mampu lagi merawat tubuhnya. Inilah 

gambaran ketiga Freud antara hubungan jiwa dan pikiran dengan tubuh. 

Contoh kasus keempat: Freud menggambarkan kehidupan pribadinya dalam 

kecemasan dan ketakutan jiwa yang panjang hingga akhir hayatnya. Kehidupan 

ekonomi keluarga orang tuanya yang paspasan, semakin banyak penderita 

neurosis yang tidak teratasi, acaman terhadap status ke-Yahudi-annya, ancaman 

perang dan penyerangan Nasi tentara Jerman, buku-bukunya yang dibakar, 

menyelamatkan diri mengungsi ke Inggris, penyakit kanker rahang yang terus 

melemahkan tubuhnya, semua akumulasi trauma dan kecemasan ini menunjukan 

bagaimana hubungan jiwa dengan pikiran dan kesadaran serta hubungan 

ketiganya dengan tubuh. Jiwa yang aman dan damai maka dapat menata tubuh 

dan kepribadian yang baik. Jiwa yang goncang, pikiran yang tidak terarah dan 

kesadaran melemah, mengakibatkan tubuh dalam acaman keterlantaran. 

Akhirnya sebelum yang tokoh Psikoanalisa itu berpulang, ia menuangkan 

konflik dan kecemasan serta  ketakutan jiwa dalam motto ini: “The goal of all 

life is death.”29; tujuan dari semua kehidupan ini yaitu  kematian.30 

Benar-tidaknya motto ini bagi kita, tidak penting. Yang terpenting yaitu  

bagaimana Freud menggambarkan seorang kita  (Freud) dengan jiwa dan 

kecerdasan pikirannya menghadapi kerasnya realitas yang mengakibatkan 

kegoncangan jiwa (stress, neurosis, dan gila) yang menghadirkan penderitaan tubuh 

dan kehancuran kepribadian kita . Konflik dan perang saudara antara id, ego dan 

superego, tidak persis sama dengan konflik antar pribadi dan perang dalam realitas 

nyata sebagai mana kita alami dalam hidup. Freud hanya mau menggambarkan mereka 

yang menyimpan trauma yang terus terakumalasi dalam dirinya tanpa suatu solusi 

akan berakibat vatal terhadap dirinya (tubuhnya) dan masa depannya. 

Dengan demikian Freud memberi advis kepada mereka itu untuk mencari 

solusi dengan mendatangi tokoh psikoanalis, karena psikoanalisis yaitu  solusi atas 

konflik jiwa dan kecemasan bathin. Maka akhirnya Freud berpesan : “Look into the 

depths of your own soul and learn first to know yourself, then you will understand why 

this illness was bound to come upon you and perhaps you will thenceforth avoid 

falling ill.” 31 Dapat diartikan bahwa marilah, kita melihat ke dalam jiwa kita  sendiri 

dan belajar untuk mengenalnya baik-baik, maka kita akan memahami mengapa 

penyakit (bencana) ini atau itu akan mendatangi dan menyerang tubuh kita. Dengan 

demikian sedini mungkin kita dapat menghindarinya dan dengan mudah pula dapat 

mencari solusinya. 

                                                            


TINJAUAN KRISTIS  TERHADAP KONSEP JIWA kita  MENURUT 

ARISTOTELES DAN SIGMUND FREUD 


Dalam bab tiga telah dikemukakan konsep jiwa kita  menurut Aristoteles dan 

Sigmund Freud, maka dalam bab empat ini akan dipetakan konsep pemikiran tentang 

jiwa kita  menurut para filsuf dan ilmuan theolog Kristen Ortodoks. Artinya akan 

dikemukakan gagasan utama atau ide pokok tentang jiwa dari masing-masing filsuf 

dan ilmuan. Melalui bentuk pemetaan konsep-konsep jiwa ini, maka dengan 

sendirinya akan tampak unsur kesamaan dan unsur perbedaan yang menjadi ciri khas 

gagasan tentang jiwa kita . 

Pembahasan bab empat terbagi atas dua bagian, yaitu (A) Letak jiwa kita  

dalam tubuh  (B) Hubungan jiwa dengan tubuh kita , (C). Hubungan jiwa kita  

dengan  pikiran dan (D) Hubungan jiwa dengan  kematian kita  (tujuan: keabadian 

jiwa). Pembahasan bab ini dilanjutkan dengan bagian kedua, point B. Tinjauan kritis 

terhadap konsep jiwa yang kontra versi dari Aristoteles dan Sigmund Freud. Dalam 

bagian ini penulis mengemukakan beberapa alasan mengapa sampai Sigmund Freud 

berpendapat bahwa jiwa kita  selalu berkonflik dan dipenuhi kecemasan, serta 

beberapa alasan mengapa Aristoteles mengakui keabadian nous / akal budi dan 

menolak keabadian jiwa. 

 

B. Letak Jiwa kita  Dalam Tubuh 

Pembahasan point ketiga, letak jiwa kita  dalam tubuh ini tidak mengikuti 

kronologi perkembangan hidup filsuf dan pemikirannya namun  dimulai dengan dua 

tokoh sentral dalam tesis ini, yaitu Aristoteles dan Sigmund Freud. Pembahasan 

dimulai dari Aristoteles, lalu  Freud dilanjutkan dengan gagasan Plato. sesudah  

Plato, diketengahkan gagasan dari Rene Descartes dan gagasan dari Theolog Kristen 

Ortodox. 

 


 

1. Pandangan Aristoteles tentang letak jiwa dalam tubuh kita . 

Dalam de Anima, karya On the Soul,  khususnya teori tentang partisi jiwa, 

Aristoteles membagi jiwa kita  atas beberapa bagian. Maka dari latar belakang 

konstruksi teori dalam filsafat dan kedokteran memunculkan pertanyaan berikut: Apa 

konsekuensi dari saling ketergantungan setiap bagian jiwa dengan lokalisasi masing-

masing dalam tubuh? 

Pernyataan pertama, dalam terminologi jiwa,  Aristoteles mengatakan bahwa 

“jiwa hanya memiliki ruang eksistensi kebetulan dalam tubuh”. Aristoteles 

menekankan bahwa jiwa hanya memiliki “ruang” eksistensi hanya dalam “tubuh”, 

penekanannya pada kata “tubuh”  sebagai ruang atau tubuh sebagai wilayah atau areal  

eksistensi dan aktivitas jiwa. Pernyataan, hanya dalam tubuh menunjukkan bahwa 

Aristoteles menekankan bahwa hanya tubuh satu-satu tempat berada jiwa, dan hanya 

tubuh menjadi areal eksistensi dan aktivitas jiwa. Berarti di luar tubuh, jiwa tidak 

dapat hidup dan bereksistensi. Dengan demikian Aristoteles menolok paham 

keabadian jiwa (jiwa hidup terus sesudah  kematian kita ) di luar tubuh. 

Selain itu dalam pernyataan di atas Aristoteles memberi tekanan pada kata 

“kebetulan” dalam tubuh. Apa arti dan makna dari istilah atau kata kebetulan ini: (1) 

kata “kebetulan”,  digunakan Aristoteles untuk menunjukan tiga hal yaitu (a) esensi  

jiwa dan (b) potensi energi jiwa dan (c) eksistensi jiwa dalam tubuh. Tentang 

ketermasukan dan ada jiwa (esensi jiwa) dalam tubuh merupakan tindakan 

“kebetulan”, dalam arti misalnya jiwa si A atau si B, tidak ada keharusan belumnya, ia 

harus masuk dalam tubuh A atau B. (bandingkan pilihan bebas jiwa berinkarnasi 

dalam tubuh-tubuh yang baru, versi Sokrates dan Plato).  Selanjutnya tentang 

keberadaan (eksistensi) “kebetulan” jiwa dalam tubuh, Aristoteles memandang dari 

sisi pemicu  dalam fisika yaitu pemicu  efisien. Artinya, pada tahap awal atau dasar 

jiwa telah ada dalam tubuh, namun  adanya jiwa tidak selalu beresistensi. Pada saat atau 

waktu tertentu jiwa pasif dan tidak beraktivitas, misalkan saat tidur nyenyak. saat  

jiwa beraktivitas dalam tubuh, pada saat itu pula serentak jiwa bereksistensi. Sewaktu 

jiwa menjalani proses bereksistensi, saat itulah kekuatan dan energi jiwa meresapi dan 

mengarahkan tubuh. Dengan kata lain saat  jiwa  mulai dan sedang beraktivitas, 

maka (kebetulan) serentak itu juga menyatakan eksistensinya dalam tubuh. Jadi istilah 

“kebetulan” terutama menunjuk pada eksistensi atau aktivitas jiwa yang bersifat 

situasional, sekalipun sulit mebedakan mana esensi dan mana aksistensi jiwa, jika jiwa 

sendiri tidak bertubuh materi. 

Pernyataan kedua, menurut teori ruang Aristoteles: ia menegaskan bahwa 

“hanya tubuh fisik dikelilingi oleh tubuh lain yang (secara nyata)  dalam ruang, karena 

ruang tubuh yaitu  defined sebagai batas dalam tubuh yang mengelilinginya”. 32 Jika 

pada pernyataan pertama di atas tekanan Aristoteles pada eksistensi jiwa, maka pada 

pernyataan ini Aristoteles memberi tekanan pada tubuh seperti: (1) Tubuh sebagai 

ruang bagi ada dan keberadaan jiwa dan (2). Tubuh (kulit tubuh) sebagai pembatas 

ruang bagi tubuh maupun jiwa. (3). Hanya tubuh menjadi tempat berada dan tempat 

bereksistensi jiwa. (4). Tubuh tidak menutup ruang bagi jiwa dan tidak membuka cela-

cela ruang bagi jiwa untuk keluar dari tubuh. (5). Tubuh memberi ruang serentak 

menyiapkan bagian-bagian organism tubuh untuk menunjang aktivitas jiwa. 

Jadi kesimpulannya bahwa bukan saja tubuh jasmani mewadahi dan 

“mengelilingi” tubuh jiwa yang rohani, namun  saat  jiwa bereksistensi dan 

beraktivitas, tubuh jiwa juga “mengelilingi” tubuh jasmani. Secara real mau 

diterjamahkan bahwa lapisan akhir tepi luar dari kulit tubuh, pembungkus tubuh, 

ada  juga batas-batas akhir jiwa sebagai pelindung yang mengelilingi tubuh 

mampun jiwa, saat  jiwa sementara bereksistensi. Hubungan saling ketermasukannya 

antara jiwa dengan tubuh dan hubungan esensi dengan eksistensi jiwa dalam tubuh 

dapat digambarkan dengan contoh berikut: dua lembar kaca bening sama ukuran, sama 

warna dan sama jenis, selanjutnya keduanya dilekatkan menyatu menjadi satu. 

lalu  kita memandangnya dari segala arah. Hal yang nampak dalam inderawi dan 

                                                            

kesadaran fenomenologi, dua lempengan kaca tadi bukan dua namun  satu yang sama 

dan semirip. Hampir tak bisa membedakan bahwa “mereka” terdiri dari dua lembar 

yang disatukan, dan saling meresapi dan saling mengisi secara penuh. Itu contoh yang 

menggambarkan hubungan jiwa dan tubuh.  

Pernyataan ketiga, pada teori jiwa, Aristoteles manyatakan bahwa “jiwa 

sebagai bentuk badan organik itu sendiri ruang inkorporeal dan enextensible, dan 

karena itu tidak membutuhkan atau menempati tempat”.  Dari pernyataan ketiga ini 

ada  beberapa point yang penting: (1). Aristoteles mengatakan bahwa “tubuh” jiwa 

dan tubuh “jasmani” kita  sama bentuk atau mirip sehingga saling mengisi dan 

saling meresapi (bandingkan air bening dalam gelas atau botol; seperti jiwa dalam 

tubuh). (2). Karena bentuk jiwa dan badan organik merupakan ruang inkorporeal dan 

enextensible, maka jiwa tidak memerlukan tempat untuk di tempati. Pada point ini 

Aristoleles lebih menekankan pada substansi esensi dari jiwa, yang bukan matrial. 

Karena jiwa itu berkodrati rohani (bertubuh roh) maka  ia, jiwa membutuhkan ruang 

namun  tidak membutuhkan tempat. Akhirnya (3). seluruh tubuh yaitu  ruang bagi jiwa, 

namun  bukan tempat bagi jiwa. 

sesudah  mengkaji ketiga pernyataan Aristoteles di atas, maka saatnya 

menentukan  dimana letak jiwa dalam tubuh kita  menurut teori jiwa Aristoteles. 

(1) dari teori ruang, maka jiwa terletak dalam keseluruhan tubuh sebagai ruang yang 

dibatasi oleh kulit-kulit pembungkus tubuh, sekaligus sebagai batas bagi tubuh 

mampun jiwa. (2) Dari teori jiwa Aristoteles maka “letak”  jiwa, bahwa jiwa kita  

berada dalam seluruh tubuh kita  karena bentuk tubuh jiwa sama bentuk dengan 

tubuh jasmani. (3). Aristoteles menegaskan bahwa “tempat” bagi jiwa atau letak jiwa 

hanya dalam tubuh, tidak di tempat lain. Dengan demikian Aristoteles tidak saja 

menolak keabadian jiwa (sesudah  kita  mati) namun  juga menolak gagasan Plato 

tentang jiwa-jiwa hypercosmik. 

2. Sigmund Freud dan letak jiwa dalam tubuh kita . 

Menurut saya, Sigmund Freud yaitu  salah satu ilmuan yang berani menantang 

jiwa kita . Alasannya bahwa Sigmund Freud tidak bekerja dengan teknologi 

microskop seperti Peneliti Laboratorium yang mengamati bagaimana folikel de graff 

meledak pada saat ovulasi, lalu  ovum meninggalkan ovarium menuju ke tube 

fallopi, dimana ratusan bahkan ribuan sel sperma Y dan X berkompetisi menembusi 

selaput membaran sebagai yang pertama dan pemenang membuahi inti sel ovum. 

Freud pun tidak bekerja dengan teknologi mutakhir seperti NASA yang memantau dan 

menditeksi misteri di balik ruang angksa. Freud hanya bekerja dengan kursi sofa di 

ruang kliniknya dengan metode asosiasi bebas. Para ilmuan terutama beberapa tokoh-

tokoh psikologi berkeberatan dan bahkan menolak teori-teori Freud, dengan 

pertimbangan bahwa sampel tidak memenuhi syarat dan metodenya kurang akurat. 

Terlepas dari benar tidaknya teori Freud, namun  Freud berani membagi dunia 

bathin, mental atau ke-jiwa-an kita  secara terperinci. 

Pendapat Pertama: sehubungan dengan teori mental atau jiwa Freud membaginya 

menjadi dua wilayah (1) Alam sadar atau alam kesadaran dan (2) Alam bawah 

sadar (termasuk alam tidak sadar dan ketidaksadaran). 

Pendapat kedua: masih berhubungan dengan jiwa yaitu teori kepribadian, Freud 

membagi jiwa kita  atas tiga bagian energi kekuatan yaitu id, ego dan 

superego. lalu  Freud membagi daerah atau wilayah kekuasaan bagi ketiga 

makluk itu. (1) Id menguasai wilayah alam bawah sadar, dan (2) Ego menguasai 

alam sadar atau kesadaran, sedangkan (3) Superego bisa memilih bereksistensi 

di alam bawah sadar (id)  atau di alam kesadaran (ego). 

Pendapat ketiga: Sehubungan dengan teori pikiran (mind theory), Freud membagi 

dunia batin (ke-jiwa-an) kita  menjadi tiga wilayah (1) Kesadaran 

(counscious) tempat mangkal kesadaran dan pikiran, dan (2) Unconscious (tidak 

dasar, bawah sadar atau ketidaksadaran) sebagai walayah id dan tempat mangkal 

pikiran bawah sadar dan superego serta (3) Pra-sadar (pre-conscious) yang 

merupakan ruang atau wilayah di antara tidak sadar dan sadar. 

berdasar  tiga pendapat dalam teori Freud di atas maka pertanyaannya 

dimana Freud meletakan jiwa dalam tubuh kita . Jawabannya yaitu   (1) jiwa 

kita  terletak di alam sadar maupun di dalam bawah sadar. (2) Jiwa kita  

terletak hanya di dalam tubuh kita , tidak di tempat lain. 

Plato dalam teori dualis menunjukkan bahwa jiwa terletak dalam tubuh 

kita ; tubuh menjadi penjara bagi jiwa. Namun karena Plato menganut paham 

keabadian jiwa (jiwa dapat hidup terus sesudah  kematian), maka dengan demikian 

tubuh bukan satu-satunya ruang hidup bagi jiwa kita . Plato dalam karyanya; 

Timaios  (polis) membedakan tiga kelompok jiwa di alam semesta: (1) Jiwa-jiwa  

hypercosmic atau the soul of the world yaitu jiwa-jiwa dari encosmic pertama seperti 

jiwa fenomena-fenomena, jiwa tujuh planet, jiwa para Dewa,  jiwa Malaikat, jiwa 

Setan, jiwa pahlawan dan jiwa kita . Jiwa-jiwa hypercosmic ini terletak atau 

berada di alam semesta dan tidak memiliki tubuh. Kelompok jiwa yang berikut (2) 

jiwa-jiwa makrokosmos, seperti jiwa-jiwa pada hewan, tumbuhan dan mungkin benda 

mati (jiwa magnet; Thales). Jiwa-jiwa makrocosmis ini terletak atau berada di dunia 

kita . Sedangkan yang terakhir (3) jiwa-jiwa mikrokosmos atau jiwa kita .33, 34 

Pertanyaannya dimana letak jiwa kita  dalam tubuh menurut Plato. (1) 

Plato meletakan jiwa dalam tubuh kita  seperti seorang Sipir meletakan tubuh / diri 

nara pidana dalam (ruang atau sel) penjara. (2). Sehubungan dengan gagasan 

keabadian jiwa kita  maka Plato meletakan jiwa kita  (sesudah  meninggal) di 

alam semesta ini. (3). Sehubungan dengan  paham reinkarnasi jiwa-jiwa maka Plato 

juga meletakan jiwa-jiwa kita  di hypercomic, atau di dunia kayangan Dewa/Dewi 

dan diletakan dalam tubuh yang baru. (4). Sebagai catatan bahwa Plato meletakan jiwa 

                                                           

kita  sesuai dengan esensi dan situasi dari jiwa itu sendiri. Artinya Plato “bisa 

meletakan” jiwa  kita  di dalam tubuh kita  kalau itu jiwa kita ; bisa juga di 

dalam “tubuh” alam semesta seperti jiwa yang telah mengalami kematian tubuhnya;  

bisa di dalam “tubuh” ruang angkasa, maupun di dalam “tubuh” dunia kayangannya, 

berdasaran pada kondisi-kondisi jiwa itu sendiri. 

Selanjutnya sesudah  kita menyimak kedua tokoh utama Aristoteles dan 

Sigmund Freud dimana mereka meletakan jiwa kita , disusul dimana Plato 

meletakan jiwa kita , maka kira-kira dimana Rene Descartes meletakan jiwa 

kita . Rene Descartes hadir dengan ide yang menakjubkan tentang jiwa; Ia 

menunjuk tata letak jiwa dalam tubuh kita . Dalam buku; L'homme Machine 

(1748); menurut Descartes, bahwa harus ada satu bagian dari organik tubuh (organ 

fisik yang bersifat tunggal) yang dapat menjadi penghubung (perantara) dan yang 

berfungsi menyatukan antara jiwa dengan tubuh agar memungkinkan jiwa dapat 

beraktivitas (misalkan berpikir dan menyadari). Rene Descartes menunjuk pada 

kelenjar pineal yaitu   organ fisik tunggal, sebagai terminal seluruh sistem syaraf otak 

yang terletak di tengah-tengah kepala kita . 

Pertanyaannya: Bagaimana kita tahu bahwa kelenjar pineal,  inilah merupakan 

tempat utama jiwa hadir dalam kepala kita  ? 

        Descartes menulis: “But in so far as we have only one simple thought about a given object at any 

one time, there must necessarily be some place where the two images coming through the two 

eyes, or the two impressions coming from a single object through the double organs of any other 

sense, can come together in a single image or impression before reaching the soul, so that they do 

not present to it two objects instead of one. We can easily understand that these images or other 

impressions are unified in this gland by means of the spirits which fill the cavities of the brain”35. 

Tapi sejauh kita hanya memiliki satu pikiran mengenai objek yang diberikan 

pada satu waktu, maka harus ada suatu tempat di mana dua gambar yang datang 

melalui dua mata, atau dua tayangan yang berasal dari satu objek melalui organ-organ 

ganda, dapat datang bersama-sama dalam satu gambar atau tayangan sebelum 

mencapai jiwa, (disatukan oleh kelenjar pinealis)  sehingga mereka tidak hadir dalam 

                                                           

dua benda namun  menjadi  satu. Kita dapat dengan mudah memahami bahwa gambar-

gambar atau tayangan lainnya disatukan dalam kelenjar ini dengan cara roh yang 

mengisi rongga otak. 

kita  memiliki bermacam-macam inderawi, dan ada inderawi yang 

berpasangan (ganda) seperti dua mata, dua telinga. kita  memiliki organ tubuh 

yang ganda seperti dua kaki dan dua tangan. kita  juga memiliki emosi / perasaan, 

kesadaran dan pikiran, yang mana masing-masing beraktivitas sesuai dengan fungsi 

dan hukum alam yang menggerakannya. Contohnya: pada suatu saat  salah satu indra 

atau salah satu organ tubuh terkoneksi dengan suatu obyek, misalkan jari-jari kaki dan 

tangan serentak dimasukan ke dalam bejana berisi air es. Maka apa yang terjadi? Pada 

saat itu inderawi, pikiran dan kesadaran serentak menyatakan hanya satu fenomena 

yang di alami tubuh kita , yaitu dingin, bukan panas atau rasa lain. Sedangkan 

pada kenyataan yang direndam dalam bejana air es bukan pikiran, bukan pula inderawi 

atau kesadaran melainkan jari-jari kaki dan tangan. Apa kata Rene Dercartes, substansi 

atau organism tubuh yang menyatukan semua yang berbeda itu yaitu  kelenjar pineal 

yang merupakan organ fisik di otak yang bersifat tunggal. Kelenjar pineal-lah yang 

mengolah dan menyatukan obyek yang berbeda dalam suatu persepsi dan satu 

gambaran ide sebelum mereka sampai pada jiwa.  

Akhirnya dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Setiap organ tubuh berfungsi 

untuk kepentingannya, kecuali otak kita  berfungsi untuk seluruh kepentingan 

tubuh (otak yang berpikir tentang segala sesuatu, dan otak yang mengarahkan semua 

organ tubuh), sehingga dipastikan bahwa hanya atribut otak, lebih tepat menjadi 

tempat hadirnya (letaknya) jiwa. (2). Kelenjar pineal sebagai organ yang tunggal 

dengan fungsi penyatuan atau menjadikan semua jadi satu-kesatuan. kita  

memiliki dua mata dan dua telinga serentak keduanya menangkap obyek yang sama 

sesuai dengan fungsinya yang berbeda namun  pada akhirnya muncul dalam otak yaitu  

satu persepsi dan kesan visual yang tunggal tentang obyek itu. Dan inilah kerja dari 

kelenjar pineal sebagai organ yang tunggal, dengan fungsi pemersatu, perantara dan 

penghubung antara tubuh dengan jiwa, antara jiwa dengan pikiran / kesadaran dan 

antara jiwa (pikiran/kesadaran) dengan inderawi dan realitas. (3). Dengan demikian, 

Rene Descartes menunjuk pada kelenjar pineal, sebagai terminal seluruh sistem syaraf 

otak yang terletak di tengah-tengah kepala kita , yaitu  sebagai tempat bagi (letak) 

jiwa dan sekaligus perantara antara jiwa dengan tubuh kita . 

Selanjutnya bagaimana  pandangan Theolog Kristen Ortodox tentang letak 

jiwa kita  dalam tubuh. Santo Gregory mencela umat  se-zaman, saat  meyakini 

bahwa nous (pikiran) dan soul (jiwa) kita  berpusat di jantung. Ia menulis: 

"Tampaknya bahwa orang ini tidak menyadari bahwa esensi nous (soul) yaitu  

satu hal, energinya yaitu  hal yang lain". 36 Penempatan nous dan soul /jiwa di dalam 

jantung telah dikritik oleh st Gregorius. Keyakinan umat masa itu yaitu  jika 

seseorang telah dimurnikan tubuhnya melalui pengendalian diri, telah membuat emosi 

dan keinginan (jiwa dan pikiran) menjadi tempat kebajikan.  Maka mereka menunjuk 

jantung atau hati kita  sebagai tempat dan pusat letak jiwa kita .  

Nampaknya pandangan  santo Gregoius dari Palamas berbeda. Ia mengatakan 

bahwa “hati” yaitu  organ mengendalikan takhta kasih karunia, dan menurut Palamas  

nous dan semua pikiran jiwa dapat ditemukan di sana. Santo Gregoius dari Palamas 

dalam pandangan dogmatiknya ia menempatkan jiwa berada di dalam hati kita . 

Menurutnya bukan saja jiwa, namun  akal budi (nous) dan semua pikiran jiwa dapat 

diketemukan di dalam hati, karena hati sebagai takhta kasih. Dengan demikian 

Gregoius dari Palamas meletakan jiwa kita  bukan di otak atau di jantung namun  di 

hati (materi hati). Sebagai contoh misalnya banyak gambar-gambar rohani gereja 

Ortodox dan Katolik menampilkan gambar hati  atau love. Gambar hati atau love 

(jiwa) ini sebagai simbol cinta kasih, kasih sayang, persahabatan, kasih setia dalam 

kehidupan penikahan dll. 

Para filsuf Yunani kuno percaya bahwa jiwa berada pada tempat tertentu di 

dalam tubuh. Orang-orang suci aliran  Hellenisers berpendapat bahwa karena otak 

kita  berfungsi untuk berpikir dan berpikir merupakan aktivitas jiwa, maka mereka 

mengganggap bahwa jiwa berada di dalam otak kita  (Acropolis). Sementara ada 

                                                           

beberapa orang suci dari kelompok Hellenisers  yang lain menempatkan jiwa kita  

berada di bagian paling tengah jantung "dan di dalamnya unsur yang dimurnikan dari 

nafas jiwa hewani"; sebagai kendaraan yang paling asli (Judaisers). Judaisers 

mengatakan bahwa kita tahu persis bahwa bagian yang cerdas dalam hati, tidak seperti 

dalam sebuah wadah, karena itu yaitu  inkorporeal, juga bukan di luar hati, karena 

siam. 

Akhirnya dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Rene Descartes menyatakan 

bahwa jiwa (grandula pinealis) berada di otak atau kepala kita . (2) Umat  se-

zaman st Gregory, beranggapan bahwa jiwa berada di jantung kita . (3) St Gregory 

Palamas, mengatakan bahwa hati yaitu  organ yang mengendalikan takhta kasih 

karunia Allah maka di dalam hati kita , di sana ada   nous (pikiran) dan soul 

atau jiwa kita . Berarti jiwa kita  ada dalam tubuh yaitu di dalam hati.(4) Plato 

mengatakan bahwa letak jiwa bisa di dalam tubuh, di dalam alam dan juga di dunia 

kayangan.  Sementara Freud, mengatakan letak jiwa ada di alam bawah sadar maupun 

di alam kesadaran. Dan (5) menurut Aristoteles bahwa letak jiwa kita  hanya  

dalam tubuh kita , titik!, tidak di tempat lain. 

C. Hubungan Jiwa kita  Dengan Tubuh  

Pandangan Filsuf Alam Yunani kuno tetang Hubungan Jiwa kita  dengan  

Tubuh jasmaninya. Epicurus atomist dalam teori soul menyatakan bahwa  “jiwa, 

seperti segala sesuatu yang ada, kecuali kekosongan yang akhirnya terdiri dari 

atom”.37 Epicurus pada kenyataannya memandang jiwa kita  sebagai suatu bahan 

utama, sejenis atom tanpa nama substansi, yang bertanggung jawab untuk tindakan 

persepsi. Epicurus membedakan antara kesenangan dengan  rasa sakit jiwa kita  

terhadap tubuhnya. Ada perbedaan dalam pikiran antara bagian rasional jiwa di satu 

sisi dan badan animasi dengan jiwa rasional, di sisi lain. Dalam tradisi Epicurean 

istilah 'jiwa' yaitu  “kata-kata” yang kadang-kadang digunakan memiliki makna 

tradisional yang luas seperti jiwa yaitu  apa yang menjiwai makluk hidup (misalnya, 

                                                            

Diogenes dari Oenoanda, fr. 37 Smith). namun  kata “jiwa” juga diartikan sebagai  

fungsi mental,  kognisi, emosi dan keinginan dalam tubuh dan dari tubuh. 

Bagaimana Sokrates memandang hubungan jiwa dengan tubuh? Kata Socrates 

bahwa “Kematian makhluk melibatkan kelangsungan jiwa yang bersangkutan, yang 

berlangsung melalui periode pemisahan dari tubuh, dan lalu  kembali untuk 

menghidupkan tubuh lain dalam perubahan yang merupakan mitra dari perubahan 

sebelumnya yang hampir sekarat”38. Selanjutnya kata Sokrates: “Jiwa tanpa tubuh, 

tetap dapat menikmati kehidupan,  pemikiran dan kecerdasan”.39 Keabadian jiwa 

terjadi saat  proses kematian seseorang tiba. Artinya saat  terjadi kehidupan baru 

(inkarnasi jiwa) maka di sana terjadi proses penyatuan tubuh dan jika. saat  datang 

kematian, maka terjadi pemisahan tubuh dan jiwa. Jiwa meninggalkan tubuh menuju 

keabadiannya (memasuki dunia alam semesta) untuk menikmati kehidupan dan 

kecerdasan sambil menunggu periode baru inkarnasi baginya. 

Sokrates  dalam Plato, melihat hubungan jiwa dengan tubuh diletakan dalam 

kerangka akhir dari sejarah kehidupan Sokrates sendiri. Nilai kebenaran dan keadilan, 

serta pengadilan dan kematian Sokrates menjadi faktor-faktor utama menggambarkan 

hubungan jiwa dengan badan. (1) Sokrates mengingatkan sahabat-sahabatnya tentang 

keabadian jiwa dan proses reinkarnasi jiwa dari orang-orang yang telah meninggal. (2) 

Sokrates menekankan dengan jelas hubungan jiwa dengan badan. Penegasannya 

yaitu  justru melalui pemisahan atau kematian itulah jiwa abadi lebih eksis dan 

leluasa memikmati kehidupan,  pemikiran dan kecerdasan. 

Dari dua pernyataan Sokrates di atas menunjukan bahwa (1). Tubuh 

merupakan sarana bagi eksistensi dan aktivitas jiwa. (2). Hal yang terpenting dalam 

hidup ini yaitu  jiwa bukan tubuh. (3). Jiwa bersifat abadi, tetap hidup dan berpeluang 

berinkarnasi dalam tubuh-tubuh yang baru, sementara tubuh sekarang akan mati dan 

hancur. (4). Secara implisit, Sokrates meneguhkan hati sahabatnya bahwa kalau toh ia 

memilih jalan kematian, maka yang mati yaitu  tubuhnya, bukan jiwanya. Jiwanya 

                                                           

tetap hidup sesudah  kematian tubuhnya, dan (5) “jiwa” Sokrates masih memiliki 

beberapa peluang di masa depan untuk berinkarnasi dalam tubuh-tubuh yang lain. 

Karena itu, tak perlu sahabat-sahabatnya mepermasalahkan sakitnya tubuh, kematian 

dan kehancuran tubuh, namun  sebaliknya tetap yakin bahwa jiwa kita  (jiwa 

Sokrates) tetap hidup di dunia sebrang. Sokrates menarik sebuah kesimpulan bahwa 

“Baiklah, wajar bagi jiwa untuk menjadi sama sekali tidak  terpisahkan, atau hampir 

jadi, namun, dalam situasi apapun, jiwa tidak tunduk pada pembubaran dan kerusakan 

dari tubuh”. 40 Intinya sekalipun tubuh Sokrates mati dan hancur lebur, namun  jiwanya 

tetap utuh dan hidup. 

Selanjutnya pandangan Plato (Sokrates) tentang hubungan Jiwa kita  

dengan Tubuh jasmaninya. Dalam kitab phaedo Plato mengajarkan tentang hubungan 

jiwa dan badan. Dalam rumah atau bangunan diri atau pribadi kita , Plato 

memisahkannya menjadi ruangan-ruangan  dengan membangun tembok pembatas 

yang jelas. Ada ruang untuk tubuh dan ada ruang-ruang untuk jiwa. Sementara 

bangunan diri kita  atau tubuh itu disebutnya sebagai penjara dan kuburan. Tubuh 

kita  itu bangunan penjara plus kuburan dan jiwa kita  yaitu  nara pidana 

dalam penjara, dan arwah yang terkurung dalam kuburan. Bagaimana gambaran rinci 

Plato tentang hubungan tubuh dan jiwa? 

Manurut Plato, jiwa yaitu  sesuatu yang abadi (tidak akan mati). Jiwa berasal dari 

dunia ide-ide. Jiwa mampu mengenali ide-ide, maka jiwapun memiliki  sifat-sifat 

yang sama dengan ide-ide. Jiwa sudah ada di suatu tempat yang penuh dengan 

kearifan sebelum dilahirkan. Jiwa selalu memiliki  kerinduan untuk mencapai 

kearifan dan kebijaksanaan. Padangan Plato tentang tubuh. Tubuh memiliki  sifat 

rapuh, tidak tetap, dan selalu berubah karena itu tubuh “membingungkan” kita  

dalam upaya mencari kebenaran. Tubuh memiliki  sifat mengarahkan seseorang 

untuk mencari kesenangan dan kepuasan tubuh. Tubuh memenjarakan jiwa karena 

kita  selalu ingin memenuhi kebutuhan tubuh seperti: bersenang-senang dan 

“memuja” tubuh karena itu tubuh menjadi penghalang bagi jiwa untuk mencapai 

                                                           

kearifan dan kebijaksanaan. Tubuh yaitu  penjara dan tubuh yaitu  kuburan bagi jiwa 

(sooma-sema), olehnya itu kita  harus berusaha sebisa mungkin melepaskan diri 

dari belenggu tubuh yang memenjarakan jiwanya.  

Plato menegaskan: “selama kita memiliki tubuh yang menemani argumen yang 

kita kembangkan dalam penyelidikan kita, dan jiwa kita tercampur dengan hal jahat 

semacam ini, kita tidak akan pernah mendapatkan apa yang kita inginkan”41. 

Kerinduan jiwa kita  menurut Plato yaitu  terbebas (membebaskan diri dari 

penjara  dan menyelamatkan  jiwanya dari kuburan) agar jiwa dapat pulang kembali 

memasuki dunia ide-ide, bersatu dengan ide-ide dan dapat mencapai kearifan dan 

kebijaksanaan. Plato dari sisi politik negara (polis), memandang tubuh kita  dan 

tubuhnya sendiri sebagai penghalang (penjara dan kuburan) bagi kemajuan polis. Bagi 

Plato, tubuh itu tidak penting, sekalipun ia sadar bahwa tubuh merupakan satu-satunya 

sarana penampilan jiwa. Namun paham keabadian jiwa, maka selama jiwa berada di 

dalam tubuh (terpenjara), selama itu pula jiwa tidak pernah mencapai kearifan dan 

kebijaksaan.  

Pertanyaannya: apa arti dan manfaat kearifan dan kebijaksaan terhadap polis 

kalau tidak ditampilkan melalui tubuh? Plato tidak hendak membangun polis atau 

negara-kota Athena, dimana masyarakatnya yaitu  kumpulan jiwa-jiwa tak berbadan 

(seperti jiwa-jiwa hypercosmic), namun  Plato memandang hubungan jiwa dengan badan 

dari sisi etika dan moral politik, yang berhubungan dengan tugas dan tanggung jawab 

terhadap negara (polis). Sehubungan dengan ajaran sosial-politik (poleticia), menurut 

Plato, jiwa kita  berfungsi untuk memutuskan dan mengarahkan bagaimana 

seseorang harus bersikap. Jiwa kita  memiliki tugas mengendalikan perilaku tubuh, 

karena jiwalah tempat kebaikkan kekal (yang ada di dunia keabadian sebelum jiwa 

kita  masuk dan terpenjara dalam tubuh yang fana ini) dan mengetahui apa yang 

                                                            

    

terbaik bagi kita  dan bagi polis. Dari sisi inilah Plato menyamakan tubuh fisik 

kita  dengan tanah, bangunan, dan sumber daya materi lainnya dari kota Athena.  

Bagaimana pandangan Aristoteles tentang  hubungan jiwa dan tubuh kita ? 

Arsitoteles dalam teori  psikologi  mengemukakan bahwa jiwa yaitu  bentuk 

terpenting bagi tubuh. Dalam arti bahwa jiwa datang ke dalam tubuh dengan potensi 

kehidupan mengaktualisasi materi organis tubuh dan membentuknya menjadi 

organisme hidup atau suatu kehidupan baru. Jiwa yaitu  pemicu  akhir atau sumber 

dari tubuh yang hidup. Dalam pengartian bahwa jiwa yaitu  "aktualitas pertama dari 

tubuh alamiah berpotensi memiliki kehidupan di dalamnya," Jadi menurutnya jiwa dan 

tubuh itu satu. Keduanya saling membutuhkan dan saling mengisi.  Jiwa itu ada