an oleh tubuh sebagai keutuhan jiwa-badani. Tubuh yaitu subjek bagi
jiwanya (dalam identifikasi jiwa) dan sebaliknya dalam kondisi tertentu jiwa yaitu
subyek atas tubuh, misalnya dalam praksis berpikir, penggerak organism dan pemberi
kehidupan bagi tubuh. Oleh karena itu, "jiwa harus menjadi substansi dalam arti
bentuk tubuh alamiah berpotensi memiliki kehidupan di dalamnya”. Maka Aristoteles
menyatakan bahwa: “The soul is the cause or source of the living body – it is now
manifest that the soul is also the final cause of its body.19 Jiwa yaitu sumber
kehidupan yang memberi atau sebagai pemicu terjadinya kehidupan bagi tubuh
(pemicu utama). Dari pernyataan ini Aristoteles meletakan jiwa dan tubuh dalam
kerangka kausalitas, dimana jiwa sebagai “pemicu ” dan tubuh “hidup” sebagai
akibat.
Konsepsi Aristoteles tentang relasi tubuh dan jiwa ada pada gagasan jiwa
hylomorphic”,20 artinya bahwa jiwa yaitu bentuk terpenting bagi tubuh. Dalam arti
bahwa jiwa datang ke dalam tubuh dengan potensi kehidupannya, mengakualisasi
materi organisme tubuh dan membentuknya menjadi organisme hidup atau suatu
kehidupan baru. Hal ini mengisyaratkan bahwa “tanpa jiwa”, tubuh tidak bisa menjadi
tubuh yang hidup. Dari konsep jiwa hylomorphic, menunjukan tubuh dan setiap
ograniknya hanya berfungsi andaikan diresapi dan digerakan oleh jiwa. Tanpa jiwa,
tubuh akan mati. Selanjutnya gagasan “jiwa datang” dan menghidupi tubuh;
menunjuk penekanan Aristoteles pada dualime kita dan pemisahan kodrati
jasmani tubuh dan kodrati rohani jiwa (khususnya “nus”).
Selanjutnya dari sudut pandang teleologis (konteks psikologi) Aristoteles
menyatakan: “the soul is the final cause or source of the living body. 21 Dari penyataan
ini Aristoteles menegaskan kembali bahwa "jiwa yaitu pemicu akhir atau sumber
dari tubuh yang hidup" Dalam pengartian bahwa jiwa yaitu "aktualitas pertama dan
terakhir (satu-satunya) dari tubuh alamiah berpotensi memiliki kehidupan di
dalamnya," Di sini Aristoteles menunjukan dengan jelas bahwa jiwa satu-satunya (atau
hanya jiwa) yang dapat bertindak menghadirkan kehidupan formal melalui tubuh
sebagai tanda kehadiran dan kebersatuan jiwa dengan dan melalui tubuh. Hal ini
secara jelas membuktikan bahwa "jiwa yaitu bagian integral dari setiap 'action'
tubuh. Jiwa telah menyebabkan dan menghadirkan kehidupan, pikiran dan tindakan
tubuh.
Sehubungan dengan jiwa sebagai pemicu pertama yang menghidupkan dan
menggerakan tubuh organik, Aristoteles menggungkapan dua hal. (1), istilah “datang”
atau masuknya jiwa dalam tubuh menghasilkan tubuh jasmani menjadi hidup. Artinya;
ada jiwa maka ada kehidupan. (2) (inilah juga point penting), Ketiadaan jiwa atau
keterpisahan jiwa dari tubuh, di sana jiwa lalu sebagai pemicu sesuatu (tubuh)
kehilangan kehidupan. Artinya jiwa “pergi” maka tubuh “mati”. Dalam pernyataan
kedua ini berupa suatu penyataan negasi, artinya jiwa memiliki dua fungsi sekaligus;
(1). Jiwa sebagai pemicu pertama sesuatu (tubuh) menjadi hidup (afirmasi), dan (2),
jiwa juga sebagai pemicu terakhir sesuatu (tubuh) mengalami kematian dan
kehancuran (negasi).
Gagasan dalam point kedua ini mengingatkan kita pada konsep jiwa Plato:
“tubuh yaitu penjara jiwa” atau jiwa terpenjara dalam tubuh, maka senantiasa jiwa
mencari pembebasan diri. Menurut Plato “kematian” yaitu gerbang pembebasan bagi
jiwa terlepas dari kurungan tubuh. Namun sebagai catatan gagasan Plato: “tubuh
penjara jiwa” terutama dalam konteks etika dan filsafat politiknya dalam negara-kota,
polis Yunani klasik, yang mengandung dua pengertian: (1). Pembebasan jiwa
sehubungan dengan sikap hati: keputusan dan pilihan yang benar atas hidup dan (2),
sehubungan dengan kematian itu sendiri. Namun gagasan Arsitoteles sehubungan
dengan point kedua (kematian) bertentangan dengan gagasan Plato dan semua filsuf
dan ilmuan. Aristoteles mengakui keabadian nous (nus) sedangkan menolak keabadian
jiwa. Pendapat Aristoteles ini bersifat paradox sekaligus kontraversi yang menjadi
problem bagi filsuf dan ilmuan terutama theolog (agama-agama).
4. Kematian soul (jiwa) dan keabadian nous (akal-budi).
Aristoteles dalam psikologinya berbicara tentang jiwa universal, yaitu jiwa-
jiwa yang dimiliki oleh makluk hidup seperti jiwa hewan atau jiwa tumbuhan. Suatu
pernyataan pradoks yang menggiring pikiran kita untuk mencari dan membentuk
persepsi, seperti apa rupa dan bentuk dari jiwa-jiwa itu. Dengan memastikan bentuk
jiwa kita maka dengan demikian dapat membedakan esensi jiwa kita dengan
jiwa makluk hidup lainnya. Tentang hal ini Aristoteles berpendapat bahwa …“it is
not necessary to ask whether soul and body are one, just as it is not necessary to ask
whether the wax and its shape are one, nor generally whether the matter of each thing
and that of which it is the matter are one“; Kita tak bertanya apakah jiwa dan tubuh
yaitu satu. Sama hal seperti tidak perlu kita bertanya: apakah lilin dan bentuk yaitu
satu, atau umumnya apakah setiap masalah atau hal yaitu satu. Apabila sesuatu hal
atau obyek dibicarakan dengan cara yang berbeda dan dari sudut pandang yang
berbeda pula, maka yang dipermasalahkan yaitu aktualitasnya. Maka penjelasan
Aritoteles bahwa setiap makluk hidup memiliki jiwa namun jiwa makluk lain berbeda
dengan jiwa kita . Perbedaan ini tak perlu dipermasalahkan, karena menurutnya
berhubungan dengan aktualitas jiwa, bukan tentang esensi jiwa.
Hubungan jiwa dengan akal budi. Manurut Aristoteles bahwa kita
ditambahkan (memiliki) unsur esensi yaitu nous atau akal budi (nus). Jiwa bukan
merupakan bagian material: itu sesuatu seperti bentuk atau struktural pengaturan
bagian organik fisik. Jiwa sebagai inti dari makluk hidup termasuk kita . Jiwa
yaitu 'hancur' jika bentuk yang tepat hilang seperti bahwa ia tidak dapat melakukan
fungsi normal. Sedangkan tubuh atau badan fisik merupakan struktur organik yang
berfungsi (ditujukan) untuk memproduksi sesuatu: mereka yaitu berorientasi pada
tujuan. Artinya bentuk yang dihasilkan dan ditampilkan tubuh yaitu akhir dari proses
atau tujuan akhir kehendak jiwa. Dengan kata lain tubuh bertindak atas nama jiwa dan
akal budi untuk mewujudkan keinginan ketiganya. Jadi kalau pisau hancur maka
pemotongan terhenti. Jika tubuh mati maka jiwa terhenti (jiwa ikut mati), Aristoteles.
Atas dasar peran nous dan akal budi inilah, menjadi pedoman Aristoteles memilih
keabadian akal budi (nous-nus), bukan keabadian jiwa.
berdasar uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa (1), Antara jiwa dan
tubuh yaitu dua substansi yang berbeda secara hakiki (tidak se-zat) namun mereka
saling menyatu dan saling meresapi tanpa batas ruang dan waktu. (2), tubuh dan jiwa
berbeda namun dari perbedaan itu mereka menyatu dalam ke-serupa-an yang satu
menjadi tubuh yang hidup. (3), menurut Aritoteles, tubuh tak bisa hidup tanpa jiwa
dan sebaliknya jiwa tak dapat tampak sebagai yang hidup di luar tubuh. Inilah
kebenaran pandangan Aristoteles bahwa " the soul cannot be without a body.”22. Jiwa
tidak dapat ada tanpa tubuh. Maka tubuh mati, jiwa pun ikut mati (penolakan atas
keabdian jiwa).23 Jiwa tidak dapat ada tanpa tubuh. Maka tubuh mati, jiwa pun ikut
mati (penolakan atas keabdian jiwa).
5. Hubungan jiwa dengan kebahagiaan (eudaimonia).
Tujuan tertinggi yang hendak dicapai kita yaitu kebahagiaan atau
“eudaimonia” yang merupakan tujuan akhir kehidupan. Kata Aristoteles
”Kebahagiaan ini bukan kebahagiaan yang subjektif, abstrak atau ideal namun suatu
keadaan yang sedemikian rupa, sehingga segala sesuatu yang termasuk keadaan
bahagia (jiwa) itu ada pada kita . Artinya bahwa tujuan yang dikejar yaitu
demi kepentingan diri sendiri, bukan demi kepentingan orang lain. “Kebahagiaan itu
nyata dialami (jiwa), tidak ideal, dan harus menjadi sesuatu yang praktis dialami dan
dirasakan oleh (jiwa) kita ”. “Kebahagiaan ini harus ditemukan dalam pekerjaan
dan kehidupan yang khas kita wi”.
Oleh karena itu kebahagiaan sejati terletak pada kehidupan yang aktif dari
rasional atau dalam realisasi sempurna dan out working jiwa sejati dan dalam diri,
secara terus-menerus berlanjut sepanjang hidup seseorang. Kebahagiaan harus
didasarkan pada sifat kita , dan dimulai dari fakta-fakta dari pengalaman pribadi.
Isi dari setiap kebahagiaan ialah perbuatan sendiri yang bersifat khusus
disempurnakan. Jadi kebahagiaan kita terletak pada aktifitas yang khas kita wi
(dimiliknya) sebagai kita yang terus-menerus disempurnakan. Namun tujuan
kehidupan; kebahagiaan tertinggi, yang dikejar oleh tiap kita yang berpikir secara
murni (melalui jiwanya), menurutnya kita tak mungkin mencapainya sebab
kebahagiaan yang tertinggi atau puncak kebahagiaan itu hanya dapat dicapai oleh para
dewa. Sebaliknya kita hanya dapat mencoba mendekatinya dengan mengatur
keinginan hatinya atau jiwanya (hasrat nous dan soulnya). kita hanya mengejar
kebahagian di dunia ini (yang nyata), dan tak perlu mengejar kebahagiaan kekal,
karena jiwa akan mati dan kebahagiaan kekal telah diambil oleh para dewa. Secara
sinis mau dikatakan; untuk apa kita mengejar kebahagiaan kekal versi Plato, jika
kebahagiaan itu tidak tersedia (telah dicaplok para dewa).
Akhirnya Aristoteles menegaskan bahwa kebahagiaan kita ada pada
aktivitas yang khusus dan mengarah pada kesempurnaanya. Potensi khas kita
yang membedakan dari binatang atau makluk lain yaitu berkat akal budi dan
spiritualitasnya (jiwanya). Karena itu, aktivitas dan aktualitas kita yang bisa
mengarahkan pada kebahagiaan yaitu semua bentuk aktivitas yang melibatkan
bagian-bagian jiwa yang berakal budi. Namun, karena kita hidup dalam alam
dunia dan masyarakat, maka aktualisasi dari akal budi dan jiwanya ini bukan
semata-mata diarahkan pada yang maha budi dan idea, namun juga diarahkan pada
kehidupan kongkrit melalui partisipasi dalam kehidupan masyarakat. Tegasnya,
kebahagiaan (jiwanya) tercapai dengan cara memaksimalkan potensi diri untuk
memandang realitas rohani (spiritualitas-jiwa) di satu sisi, dan aktif dalam
berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat di sisi yang lain. Di sinilah Aristoteles
membatasi ruang gerak jiwa dan tujuan kebahagiaan yang sempurna dalam realitas
polis. Jadi, Aristoteles mengemukakan pandangan kontra versi sekaligus paradoks
sehubungan dengan hakekat jiwa dan kebahagiaan jiwa yang bersifat rohani, yang
digagaskan sebelumnya.
Akhirnya dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Tujuan akhir kehidupan
yaitu kebahagiaan sama dengan Plato dan Aristoteles, berhubungan dengan polis
Yunani kuno (unsur kesamaan). (2) Letak perbedaan yaitu Plato menekankan pada
kebahagian abadi sesudah kematian seseorang, sementara Aristoteles menekankan pada
kebahagian kini dan sekarang di dunia ini (bukan di dunia kayangan; ideal Plato atau
dunia nanti theolog). (3) Plato dan filsuf serta ilmuan pada umumnya termasuk theolog
(agama-agama) mengakui bahwa jiwa yaitu pemicu tubuh jasmani hidup dan jiwa
itulah yang akan hidup terus (keabdian jiwa) sesudah kematian tubuh. Gagasan ini
berbeda dengan Aristoteles sehubungan dengan gagasan fungsi jiwa dengan tubuh.
Menurutnya jiwa akan mati dan hancur bersama tubuh, sedangkan akal budi dan roh
(nous dan nus) tetap hidup. Inilah paham keabadian nous Aristoteles yang kontraversi
(point ini akan dibahas khusus pada hubungan jiwa dengan pikiran dalam bab IV).
E. Sigmund Freud dan teori jiwa psikoanalisa
Sigmund Freud dengan nama aslinya Sigismund Scholomo, lahir pada 6 Mei
1856 di Freiberg, Moravia wilayah kekaisaran Austria-Hongaria (sekarang
Cekoslowakia). Dalam pengembangan Psikoanalisisnya fokus perhatian Freud terdiri
dari dua hal (1) Pengaruh pikiran bawah sadar terhadap sadar dan (2) Ekspresi dari
pikiran bawah sadar melalui simbol-simbol (seksualitas) sebagai kekuatan yang
memotivasi perilaku kita . Karena perhatian Freud khusus tentang kondisi
kejiwaan dan bathin kita (pasien histeris) maka psikoanalisa Freud; Psikoanalisis
disebut juga Psikodinamika (Psikologi Dalam) karena memandang individu sebagai
sistem dinamik yang tunduk pada hukum-hukum dinamika, dapat berubah dan dapat
saling bertukar energi. Oleh karena itu Freud dan Teori-teori Psikoanalisa dianggap
sebagai salah satu gerakan revolusioner di bidang psikologi yang dimulai dari satu
metode penyembuhan penderita sakit mental, hingga menjelma menjadi sebuah
konsepsi baru tentang kita . …The basic objective of psychoanalysis is to remove
neuroses and thereby cure patients by returning the damaged ego to its normal
state”24
Teori-teori Freud yang terus berkumandang dan cukup menggegerkan dunia
ilmu pengetahuan hingga saat ini yaitu teori kepribadian (personality theory) yang
menekankan bahwa jiwa kita senantiasa berkonflik, yaitu konflik tiada akhir
antara ketiga kekuatan jiwa id, ego dan superego. Teori kedua yang banyak
mengundang kritik dan kecaman yaitu teori tentang kesadaran (mind theory) dimana
Freud menekankan bahwa sebenarnya kehidupan kita setiap saat tidak dituntun
dan diarahkan oleh kesadaran (pikiran) namun seluruh tingkah laku dan kehidupan
kita dituntun, diarahkan bahkan didominasi oleh ketidaksadaran dan tidak sadar
(unconscious / id). Teori ketiga yang tak kalah menghebohkan (banyak menuai
kritikan dari kaum Feminis) yaitu teori psikoseksual fase (Oedipus complex dan
Electra kompleks), dimana Freud menterjamahkan hubungan segitiga antara anak
dengan edua orang tua di masa bayi dan di masa anak-anak sebagai hubungan yang
diwarnai kepuasan seksual (libido) anak terhadap orang tuanya, kendati hal itu tak
disadari sang anak.
1. Teori Struktur Jiwa
Dalam teori kepribadian (personality theory) Freud membagi “jiwa” kita
menjadi tiga bagian kekuatan yaitu “Id”, sang buta dan makluk primitiv dari dunia
alam bawah sadar / ketidaksadaran kita dengan prinsip kepuasan kenikmatan
segera (pleasure prinsiple), yang mana setiap saat id muncul selalu menuntut
penyaluran kepusaan segera tanpa kompromi (itulah tokoh pertama). Sebagai lawan
duel yaitu tokoh ketiga yang diberi nama Freud yaitu “superego” dengan prinsip
moral (morality principle), yang mengharuskan dan bahkan mewajibkan pihak id
(yang buta-primitif) untuk taat mutlak tanpa kompromi.
Di antara kedua tokoh ini, Freud menempatkan “tokoh kedua” yang namanya
“ego” yang harus dan terpaksa bertindak bijaksana sebagai pemain atau lawan perang,
sekaligus hakim atas tokoh pertama dan tokoh ketiga. Ego yang terhimpit dalam
tuntutan realitas (reality principle) menurut Freud dia, ego berperan ganda. Di satu sisi
ia tampil sebagai “tokoh konflik” bagian yang setara dengan id dan superego, dan ego
berhadapan dengan id dan superego sebagai lawan konflik. Di sisi lain, pada titik
klimaks konflik dan pertempuran, ego harus bangkit menjadi “aku”, sang hakim yang
mengambil keputusan memihak antara satu; id atau superego.
Menurut Freud di antara “tokoh siapapun” yang menang atau kalah pada setiap
saat pertempuran, akhirnya yang mengalami kegembiraan, kesedihan dan penderitaan
yaitu ego (aku), sementara pengalaman yang indah ataupun buruk- menyakitkan hati,
semuanya “diserahkan” kepada id untuk menampung di gudang alam bawah sadar
(“gudang alam semesta dalam batin kita ”). Kenangan-kenangan manis maupun
pahit yang direpresikan ke alam bawah sadar senantiasa menyatu membentuk
kekuatan id yang dasyat seperti gunung es di samudera. Pada prinsipnya id tidak perlu
terpengaruh dan memperhitungkan waktu, situasi dan kondisi sekitarnya. Di saat id
ingin memenuhi pleasurenya, tindakan “membabi-buta” pun disertakan bersama
tuntutannya terhadap ego. Sang “tokoh” ego seakan-akan tak perlu untuk menanggapi
karena pada dasarnya tuntutan id itu juga merupakan lapisan terbawah dari keinginan
dan harapan ego itu sendiri, termasuk pemenuhan drive (bandingkan teori drive
Freud). saat ego mencoba untuk berpihak pada id (kebutuhan “dekat” dengan ego),
maka pada kesempatan itu pula superego menebarkan aturan-aturan dan hukum-
hukum (alias lampu merah-darurat) yang disertai resiko-resiko laksana kerikir duri di
sekeliling ego. Ego dalam kecemasan dan ketakutannya; mendorong ego bersikap
hati-hati (bahkan menurut superego); ego jangan mengikuti keinginan id. Dan
mungkin juga superego yang tuli-buta tanpa menyadari bahwa sebenarnya tuntutan id
itu yaitu bagian dari keinginan dan harapan drive ego itu sendiri.
Dalam teori kepribadian (personality theory), Freud tidak saja membagi jiwa
kita menjadi tiga bagian kekuatan yang independent, namun Freud melukiskan
bagaimana konflik yang terus terjadi di antara ketiga kukuatan jiwa itu. Tidak hanya
itu Freud menekankan bahwa ego sebagai penengah ataupun hakim, pada akhirnya ego
sendiri menderita atas keputusannya. Semua pengalaman baik buruk dalam konflik itu,
semuanya direpresikan ke alam bawah sadar yaitu wilayah kekuasaan id, dan setiap
saat; di waktu-waktu mendatang semua kenangan yang direpresikan itu kembali
menuntut kepuasan segera kepada ego ( dan ego aku).
Hal terpenting dan menarik sekaligus menantang dan menuai kritik yaitu
bagaimana Freud menggambarkan id laksana sosok “pahlawan” perang dan konflik
yang tidak memperdulikan apapun. Hal yang aneh namun masuk akal yaitu bagaimana
Freud menggambarkan Id yang buta-tuli dan primitive di alam bawah sadar yang
gelap-gulita itu, muncul dan hadir hanya dengan sutu (1) tuntutan dominan kepuasaan
segera. Dan lebih menarik lagi bahwa bagaimana id membuka pintu gerbang “gudang
semesta” alam bawah sadar untuk semua kata, nama, kalimat, ide dan lain-lain bagi
pemikiran dan perasaan bahkan khayalan, naluri dan mimpi kita , saat mereka
aktiv menjalankan fungsinya. Bahkan kekayaan superego seperti hukum, aturan,
peringatan dan resiko-resiko (senjata superego) tersimpan dan disimpan oleh id.
Olenya itu Freud menyatakan bahwa pusat dan arena konflik antara id, ego dan
superego tidak saja terjadi dalam wilayah kekuasaan ego (kesadaran) namun juga
terjadi di wilayah id (bawah sadar dan ketidaksadaran), karena semua yang dibutuhkan
untuk konflik dan perang saudara ini (katakan saja bahkan “amunisi perang”
ketiganya) tersimpan oleh dan di wilayah kekuasaan Id yaitu gudang alam bawah
sadar.
2. Teori Struktur Mind / Pikiran
Hubungan jiwa dengan pikiran kita (Freud cenderung memakai istilah
sadar dan kesadaran), ia membagi pikiran kita menjadi tiga bagian yaitu (1)
Kesadaran atau alam sadar (conscious) dimana pikiran kita sementara aktif, dan
(2) Alam bawah sadar dan ketidaksadaran (unconscious) dimana pikiran kita tidak
aktif atau sangat melemah, dan di antara keduanya ada bagian (3) yaitu pra-
kesadaran (pre-conscious), dimana terjadi proses peralihan dari tidak menjadi sadar.
Artinya antara tidak sadar dengan sadar di sana ada proses menuju sadar atau
kesadaran.
Kendati teori mind / pikiran atau kesadaran ini dihasilkan dari realitas
penderita histeris, namun proses ini juga terjadi pada orang yang sehat. Misalkan saat
kita tidur setiap hari. Saat tertidur nyenyak kita berada di alam tidak sadar
atau bawah sadar (unconscious). Pada saat kita terbangun dan sebelum sadar
penuh (conscious) dimana ia bisa berpikir jernih, dan sebelum kita sampai pada
titik sadar berpikir itu, ia melewati apa yang disebut Freud dengan pre-conscious yaitu
proses dari tahap-tahap tidak sadar menuju sadar atau kesadaran penuh.
Dari pemahaman inilah, menjadi alasan kuat mengapa Freud menekankan
bahwa kita dibimbing dan didominasi bukan oleh kesadaran atau pikiran namun
oleh ketidaksadaran dan tidak sadar (id). Mimpi yaitu jalan tol id (kenangan) dari
alam bawah sadar merealisasikan diri. Menurut Freud pada saat tidur nyenyak,
keradasaran “menghilang” dan pikiran melemah bahkan tidak berfungsi, sehingga
alam bawah sadar (id) merealisasikan keinginannya melalui pikiran bawah sadar.
Tegasnya; jadi pada saat sadar di sana id beraksi, dan pada saat ngelamun id beraksi.
Pada saat tidur nyenyak, histeris, mabuk, mati suri bahkan mati, disana id berkuasa,
Menurut saya bahwa pada id dan di dalam bawah sadar merupakan gudang,
bank dan lubung alam semesta dalam bathin (ke-jiwa-an) kita dimana segala
“sesuatu” ide, gagasan dll tersimpan disana. Sebagai contohnya: saat kita
berpikir tentang sapi, ikan atau mawar, maka nama, identitas, ciri dan lain-lain yang
berhubungan dengan sapi, ikan, mawar dengan sendirinya muncul dalam pikiran.
Pertanyaan; dari mana mereka? Sudah pasti mereka berasal dari gudang kenangan
alam semesta bawah sadar (kerajaan id). Jadi id dan ketidaksadaran (alam bawah
sadar) sungguh-sungguh mendominasi kehidupan kita dari saat ke saat. Itulah
yang ditekankan Freud dalam teori kepribadian khususnya tentang kondisi ke-jiwa-an
kita . Singkatnya, tak ada gudang di alam semesta ini yang dapat menyamai
gudang id; alam bawah sadar dalam ke-jiwa-an kita .
3. Hubungan pikiran dan jiwa dengan badan.
Alam bawah sadar sebagai gudang semesta dan id sebagai penguasa
tunggalnya, kenikmatan segera tubuh dan jiwa (termasuk pikiran) yaitu sasarannya,
superego yaitu lawannya, ego yaitu musuh komprominya id dan tubuh (badan)
dengan segala potensinya sebagai alasan, amunisi, sarana bahkan tujuan dari keinginan
id itu sendiri. Dan tubuh menjadi sasaran kebahagiaan serentak menjadi korbannya.
Seperti apa yang dikatakan Freud:
“ Look into the depths of your own soul and learn first to know yourself, then
you will understand why this illness was bound to come upon you and perhaps
you will thenceforth avoid falling ill.”26 Artinya jika berbicara tentang batin,
jiwa dan pikiran kita, Freud mengajak lihatlah ke kedalaman jiwa, dan belajar
dulu untuk mengenal diri sendiri, maka Anda akan memahami mengapa
penyakit ini (bahkan kematian) pasti akan datang kepada Anda dan mungkin
Anda akan menghindarinya.
Jika kita berbicara tentang hubungan pikiran dan jiwa dengan badan, maka kita
sampai pada konsep dualisme (atau mungkin trialisme) Freud tentang kita . Dari
teori kepribadian (1). Freud menempatkan tubuh di satu sisi berhadapan dengan jiwa
di sisi yang lain. Bagaimana pengaruh jiwa terhadap badan dan sebaliknya. (2). Freud
menempatkan id berhadapan dengan tubuh, begitu juga ego dan superego. Bagaimana
hubungan dan pengaruh id terhadap tubuh dan sebaliknya. Hal yang sama berlaku pula
untuk ego dan superego. (3) (trialisme jiwa), dimana id berhadapan dengan ego, ego
berhadapan dengan superego dan superego berhadapan dengan id. Katiganya
berperang di dalam dan dihadapan ego-aku dengan memakai tubuh sebagai sarana
sekaligus tujuan dari peperangan itu.
Konflik ke-jiwa-an antara id, ego, superego (dan ego-aku) ini mirip gambaran
state of natural Thomas Hobbes; “perang semua melawan semua” (Bellum omnes
contra omnia). Artinya saat id menuntut pleasurenya serentak ia mengangkat senjata
bukan saja melawan superego, namun juga melawan hukum, aturan, norma,
kehormatan, harga diri, masa depan dan keselamatan (morality principle), serentak
pula ia (id) mengumumkan perang kepada ego, realitas, keselamatan tubuh,
kenyamanan jiwa, ketenangan pikiran dan hak orang lain (reality principle). Pada
kesempatan yang sama id melibatkan naluri, emosi, kenangan, trauma, kegembiraan,
kekecewaan, drive, trauma, dll yang menyertai tuntutan segeranya, menyeret semua
elemen dan kekuatan pikiran, jiwa dan tubuh dalam suatu pertarungan, konflik dan
perang semesta. Jadi Bellum omnes contra omnia, tampak dalam konflik yang
melibatkan semua energi dan elemet tubuh secara keseluruhan tanpa kecuali.
Perbedaannya perang gaya state of natural Hobbes terjadi di luar tubuh yaitu antar
person atau kelompok kita , sementara perang saudara dari Freud terjadi dalam
tubuh kita yaitu antara id, ego dan superego atau ‘konflik-konflik batin’.
Bagaimana hasil akhirnya? Menurut Freud, tubuh yang menjadi tujuan dan
sasaran kenikmatan dan kebahagiaan dari perjuangan id, pada puncaknya tubuh
kita itu sendirilah yang menjadi korban atas perang semesta bathin (jiwa) kita
itu. Sigmund Freud menjelaskan secara transparan hubungan jiwa dengan pikiran,
hubungan jiwa dengan kesadaran, hubungan jiwa dengan tubuh dalam konflik bathin
atau ke-jiwa-an kita ini, dalam kasus-kasus berikut sebagai contoh perbandingan:
Contoh kasus Pertama: pasien ibu-ibu (perempuan) yang neurosis. Karena
pemerkosaan atau kekerasan fisik-mental yang dialami para perempuan itu
(tubuh mereka) di masa lampau mengakibatkan (jiwa atau mental) mereka sock,
trauma, stress dan bahkan gila. Stres dan gila menunjukan jiwa mereka
terganggu. Jiwa terganggu mengakibatkan pikiran tidak terarah. Pikiran tidak
terarah maka kesadaran diri menurun; tak bisa mengontrol diri, tutur kata dan
tindakan. Jiwa tertanggu, pikirannya tumpul, kesadarannya melemah, maka
tubuh tidak terurus dan ditelantarkan sekaligus terobyekkan tanpa disadari.
Maka tubuh tersiksa dan rusak serta kehormatan dan martabatnya sebagai
kita ikut ternoda dan tercelah akibat jiwa yang terganggu. Trauma-trauma
itu menimbulkan konflik dalam jiwa. digambarkan dalam diskusi sesudah suatu
konflik sebagai berikut: Katakan saja, id berkomentar: mau apalagi, apapun
akibatnya sekarang, ego juga telah menikmati sedikit dari peristiwa itu. Kerena
itulah bagian dari harapan drive dan kerinduan dari alam bawah sadar ego.
Superego pasti tidak diam dan membentak id; semua permasalahan (bencana)
ini, hanya karena keinginan dan paksaan id. Sementara ego, engkau lemah dan
pasrah terhadap situasi. Ego pun membela diri, bahwa sudah menekan id, namun
tak ada jalan keluar. Akhirnya ego-aku menuduh ketiganya, katanya: gara-gara
“keegoisan” kamu bertiga dan berkonflik tiada hentinya, sekarang tubuh aku
menjadi hancur, martabatku ternoda dan aku menjadi gila.
Contoh kasus Kedua: anak-anak yang menjadi korban oedipus complex / elektra
oedipus, atau anak-anak dan remaja korban tabu masyarakat dan sistem
pendidikan tradisional, atau mereka yang mengalami pemerkosaan atau
kejahatan hubungan inset di masa kecil dan remaja, menurut Freud, akumulasi
trauma masalah itu terus mengganggu ketenangan jiwa, pikiran dan tubuh
mereka. Bandingkan seorang anak atau remaja diperkosa, ia sering kali mandi
dan memberikan dirinya. Tindakan sering mandi ini, merupakan sikap bathin
dalam menghapus trauma, kenadatipun itu bukan solusinya. Atau kasus lain
yang dialami Anna O, pasien histeris akibat trauma kematian ayahnya. Karena
kematian ayahnya meninggalkan dirinya dalam kesendirian, mengakibatkan
kegoncangan jiwanya. Pikiran tidak teratur maka ia tidak dapat mengontrol
tubuhnya, termasuk merawat tubuhnya sehingga stres dan jatuh sakit (hysteria).
Dari kedua kasus ini Freud menunjukan bagaimana pengalaman pahit masa
kanak-kanak dan remaja, turut mengganggu dan menghancurkan masa depan
mereka.
Contoh kasus ketiga: Tentara yang kalah perang, kembali dengan segala macam
trauma kengerian perang dan kecacatan tubuh, mengakibatkan stress dan sakit
jiwa. Bunyi letusan senjata dan dentuman mortir yang terus membahana dalam
gendang telinganya, kobaran api disertai jeritan-jeritan maut kita korban
perang terus membahana dalam ingatan dan pikirannya, tubuhnya yang luka dan
cacad menghadirkan rasa minder dan malu dalam berkomunikasi. Kegagalan
dalam perang serta sanksi yang dijalaninya, menurut Freud semua itu
menghadirkan konflik baru dalam bathin atau jiwa. Tubuh yang cacad,
mengakibatkan ia tidak leluasa bekerja. Ia menjadi beban baru dalam keluarga
dan hidupnya. Penyesalan atas semua yang telah terjadi mengakibatkan
kegoncangan pikiran, sehingga tak mampu lagi merawat tubuhnya. Inilah
gambaran ketiga Freud antara hubungan jiwa dan pikiran dengan tubuh.
Contoh kasus keempat: Freud menggambarkan kehidupan pribadinya dalam
kecemasan dan ketakutan jiwa yang panjang hingga akhir hayatnya. Kehidupan
ekonomi keluarga orang tuanya yang paspasan, semakin banyak penderita
neurosis yang tidak teratasi, acaman terhadap status ke-Yahudi-annya, ancaman
perang dan penyerangan Nasi tentara Jerman, buku-bukunya yang dibakar,
menyelamatkan diri mengungsi ke Inggris, penyakit kanker rahang yang terus
melemahkan tubuhnya, semua akumulasi trauma dan kecemasan ini menunjukan
bagaimana hubungan jiwa dengan pikiran dan kesadaran serta hubungan
ketiganya dengan tubuh. Jiwa yang aman dan damai maka dapat menata tubuh
dan kepribadian yang baik. Jiwa yang goncang, pikiran yang tidak terarah dan
kesadaran melemah, mengakibatkan tubuh dalam acaman keterlantaran.
Akhirnya sebelum yang tokoh Psikoanalisa itu berpulang, ia menuangkan
konflik dan kecemasan serta ketakutan jiwa dalam motto ini: “The goal of all
life is death.”29; tujuan dari semua kehidupan ini yaitu kematian.30
Benar-tidaknya motto ini bagi kita, tidak penting. Yang terpenting yaitu
bagaimana Freud menggambarkan seorang kita (Freud) dengan jiwa dan
kecerdasan pikirannya menghadapi kerasnya realitas yang mengakibatkan
kegoncangan jiwa (stress, neurosis, dan gila) yang menghadirkan penderitaan tubuh
dan kehancuran kepribadian kita . Konflik dan perang saudara antara id, ego dan
superego, tidak persis sama dengan konflik antar pribadi dan perang dalam realitas
nyata sebagai mana kita alami dalam hidup. Freud hanya mau menggambarkan mereka
yang menyimpan trauma yang terus terakumalasi dalam dirinya tanpa suatu solusi
akan berakibat vatal terhadap dirinya (tubuhnya) dan masa depannya.
Dengan demikian Freud memberi advis kepada mereka itu untuk mencari
solusi dengan mendatangi tokoh psikoanalis, karena psikoanalisis yaitu solusi atas
konflik jiwa dan kecemasan bathin. Maka akhirnya Freud berpesan : “Look into the
depths of your own soul and learn first to know yourself, then you will understand why
this illness was bound to come upon you and perhaps you will thenceforth avoid
falling ill.” 31 Dapat diartikan bahwa marilah, kita melihat ke dalam jiwa kita sendiri
dan belajar untuk mengenalnya baik-baik, maka kita akan memahami mengapa
penyakit (bencana) ini atau itu akan mendatangi dan menyerang tubuh kita. Dengan
demikian sedini mungkin kita dapat menghindarinya dan dengan mudah pula dapat
mencari solusinya.
TINJAUAN KRISTIS TERHADAP KONSEP JIWA kita MENURUT
ARISTOTELES DAN SIGMUND FREUD
Dalam bab tiga telah dikemukakan konsep jiwa kita menurut Aristoteles dan
Sigmund Freud, maka dalam bab empat ini akan dipetakan konsep pemikiran tentang
jiwa kita menurut para filsuf dan ilmuan theolog Kristen Ortodoks. Artinya akan
dikemukakan gagasan utama atau ide pokok tentang jiwa dari masing-masing filsuf
dan ilmuan. Melalui bentuk pemetaan konsep-konsep jiwa ini, maka dengan
sendirinya akan tampak unsur kesamaan dan unsur perbedaan yang menjadi ciri khas
gagasan tentang jiwa kita .
Pembahasan bab empat terbagi atas dua bagian, yaitu (A) Letak jiwa kita
dalam tubuh (B) Hubungan jiwa dengan tubuh kita , (C). Hubungan jiwa kita
dengan pikiran dan (D) Hubungan jiwa dengan kematian kita (tujuan: keabadian
jiwa). Pembahasan bab ini dilanjutkan dengan bagian kedua, point B. Tinjauan kritis
terhadap konsep jiwa yang kontra versi dari Aristoteles dan Sigmund Freud. Dalam
bagian ini penulis mengemukakan beberapa alasan mengapa sampai Sigmund Freud
berpendapat bahwa jiwa kita selalu berkonflik dan dipenuhi kecemasan, serta
beberapa alasan mengapa Aristoteles mengakui keabadian nous / akal budi dan
menolak keabadian jiwa.
B. Letak Jiwa kita Dalam Tubuh
Pembahasan point ketiga, letak jiwa kita dalam tubuh ini tidak mengikuti
kronologi perkembangan hidup filsuf dan pemikirannya namun dimulai dengan dua
tokoh sentral dalam tesis ini, yaitu Aristoteles dan Sigmund Freud. Pembahasan
dimulai dari Aristoteles, lalu Freud dilanjutkan dengan gagasan Plato. sesudah
Plato, diketengahkan gagasan dari Rene Descartes dan gagasan dari Theolog Kristen
Ortodox.
1. Pandangan Aristoteles tentang letak jiwa dalam tubuh kita .
Dalam de Anima, karya On the Soul, khususnya teori tentang partisi jiwa,
Aristoteles membagi jiwa kita atas beberapa bagian. Maka dari latar belakang
konstruksi teori dalam filsafat dan kedokteran memunculkan pertanyaan berikut: Apa
konsekuensi dari saling ketergantungan setiap bagian jiwa dengan lokalisasi masing-
masing dalam tubuh?
Pernyataan pertama, dalam terminologi jiwa, Aristoteles mengatakan bahwa
“jiwa hanya memiliki ruang eksistensi kebetulan dalam tubuh”. Aristoteles
menekankan bahwa jiwa hanya memiliki “ruang” eksistensi hanya dalam “tubuh”,
penekanannya pada kata “tubuh” sebagai ruang atau tubuh sebagai wilayah atau areal
eksistensi dan aktivitas jiwa. Pernyataan, hanya dalam tubuh menunjukkan bahwa
Aristoteles menekankan bahwa hanya tubuh satu-satu tempat berada jiwa, dan hanya
tubuh menjadi areal eksistensi dan aktivitas jiwa. Berarti di luar tubuh, jiwa tidak
dapat hidup dan bereksistensi. Dengan demikian Aristoteles menolok paham
keabadian jiwa (jiwa hidup terus sesudah kematian kita ) di luar tubuh.
Selain itu dalam pernyataan di atas Aristoteles memberi tekanan pada kata
“kebetulan” dalam tubuh. Apa arti dan makna dari istilah atau kata kebetulan ini: (1)
kata “kebetulan”, digunakan Aristoteles untuk menunjukan tiga hal yaitu (a) esensi
jiwa dan (b) potensi energi jiwa dan (c) eksistensi jiwa dalam tubuh. Tentang
ketermasukan dan ada jiwa (esensi jiwa) dalam tubuh merupakan tindakan
“kebetulan”, dalam arti misalnya jiwa si A atau si B, tidak ada keharusan belumnya, ia
harus masuk dalam tubuh A atau B. (bandingkan pilihan bebas jiwa berinkarnasi
dalam tubuh-tubuh yang baru, versi Sokrates dan Plato). Selanjutnya tentang
keberadaan (eksistensi) “kebetulan” jiwa dalam tubuh, Aristoteles memandang dari
sisi pemicu dalam fisika yaitu pemicu efisien. Artinya, pada tahap awal atau dasar
jiwa telah ada dalam tubuh, namun adanya jiwa tidak selalu beresistensi. Pada saat atau
waktu tertentu jiwa pasif dan tidak beraktivitas, misalkan saat tidur nyenyak. saat
jiwa beraktivitas dalam tubuh, pada saat itu pula serentak jiwa bereksistensi. Sewaktu
jiwa menjalani proses bereksistensi, saat itulah kekuatan dan energi jiwa meresapi dan
mengarahkan tubuh. Dengan kata lain saat jiwa mulai dan sedang beraktivitas,
maka (kebetulan) serentak itu juga menyatakan eksistensinya dalam tubuh. Jadi istilah
“kebetulan” terutama menunjuk pada eksistensi atau aktivitas jiwa yang bersifat
situasional, sekalipun sulit mebedakan mana esensi dan mana aksistensi jiwa, jika jiwa
sendiri tidak bertubuh materi.
Pernyataan kedua, menurut teori ruang Aristoteles: ia menegaskan bahwa
“hanya tubuh fisik dikelilingi oleh tubuh lain yang (secara nyata) dalam ruang, karena
ruang tubuh yaitu defined sebagai batas dalam tubuh yang mengelilinginya”. 32 Jika
pada pernyataan pertama di atas tekanan Aristoteles pada eksistensi jiwa, maka pada
pernyataan ini Aristoteles memberi tekanan pada tubuh seperti: (1) Tubuh sebagai
ruang bagi ada dan keberadaan jiwa dan (2). Tubuh (kulit tubuh) sebagai pembatas
ruang bagi tubuh maupun jiwa. (3). Hanya tubuh menjadi tempat berada dan tempat
bereksistensi jiwa. (4). Tubuh tidak menutup ruang bagi jiwa dan tidak membuka cela-
cela ruang bagi jiwa untuk keluar dari tubuh. (5). Tubuh memberi ruang serentak
menyiapkan bagian-bagian organism tubuh untuk menunjang aktivitas jiwa.
Jadi kesimpulannya bahwa bukan saja tubuh jasmani mewadahi dan
“mengelilingi” tubuh jiwa yang rohani, namun saat jiwa bereksistensi dan
beraktivitas, tubuh jiwa juga “mengelilingi” tubuh jasmani. Secara real mau
diterjamahkan bahwa lapisan akhir tepi luar dari kulit tubuh, pembungkus tubuh,
ada juga batas-batas akhir jiwa sebagai pelindung yang mengelilingi tubuh
mampun jiwa, saat jiwa sementara bereksistensi. Hubungan saling ketermasukannya
antara jiwa dengan tubuh dan hubungan esensi dengan eksistensi jiwa dalam tubuh
dapat digambarkan dengan contoh berikut: dua lembar kaca bening sama ukuran, sama
warna dan sama jenis, selanjutnya keduanya dilekatkan menyatu menjadi satu.
lalu kita memandangnya dari segala arah. Hal yang nampak dalam inderawi dan
kesadaran fenomenologi, dua lempengan kaca tadi bukan dua namun satu yang sama
dan semirip. Hampir tak bisa membedakan bahwa “mereka” terdiri dari dua lembar
yang disatukan, dan saling meresapi dan saling mengisi secara penuh. Itu contoh yang
menggambarkan hubungan jiwa dan tubuh.
Pernyataan ketiga, pada teori jiwa, Aristoteles manyatakan bahwa “jiwa
sebagai bentuk badan organik itu sendiri ruang inkorporeal dan enextensible, dan
karena itu tidak membutuhkan atau menempati tempat”. Dari pernyataan ketiga ini
ada beberapa point yang penting: (1). Aristoteles mengatakan bahwa “tubuh” jiwa
dan tubuh “jasmani” kita sama bentuk atau mirip sehingga saling mengisi dan
saling meresapi (bandingkan air bening dalam gelas atau botol; seperti jiwa dalam
tubuh). (2). Karena bentuk jiwa dan badan organik merupakan ruang inkorporeal dan
enextensible, maka jiwa tidak memerlukan tempat untuk di tempati. Pada point ini
Aristoleles lebih menekankan pada substansi esensi dari jiwa, yang bukan matrial.
Karena jiwa itu berkodrati rohani (bertubuh roh) maka ia, jiwa membutuhkan ruang
namun tidak membutuhkan tempat. Akhirnya (3). seluruh tubuh yaitu ruang bagi jiwa,
namun bukan tempat bagi jiwa.
sesudah mengkaji ketiga pernyataan Aristoteles di atas, maka saatnya
menentukan dimana letak jiwa dalam tubuh kita menurut teori jiwa Aristoteles.
(1) dari teori ruang, maka jiwa terletak dalam keseluruhan tubuh sebagai ruang yang
dibatasi oleh kulit-kulit pembungkus tubuh, sekaligus sebagai batas bagi tubuh
mampun jiwa. (2) Dari teori jiwa Aristoteles maka “letak” jiwa, bahwa jiwa kita
berada dalam seluruh tubuh kita karena bentuk tubuh jiwa sama bentuk dengan
tubuh jasmani. (3). Aristoteles menegaskan bahwa “tempat” bagi jiwa atau letak jiwa
hanya dalam tubuh, tidak di tempat lain. Dengan demikian Aristoteles tidak saja
menolak keabadian jiwa (sesudah kita mati) namun juga menolak gagasan Plato
tentang jiwa-jiwa hypercosmik.
2. Sigmund Freud dan letak jiwa dalam tubuh kita .
Menurut saya, Sigmund Freud yaitu salah satu ilmuan yang berani menantang
jiwa kita . Alasannya bahwa Sigmund Freud tidak bekerja dengan teknologi
microskop seperti Peneliti Laboratorium yang mengamati bagaimana folikel de graff
meledak pada saat ovulasi, lalu ovum meninggalkan ovarium menuju ke tube
fallopi, dimana ratusan bahkan ribuan sel sperma Y dan X berkompetisi menembusi
selaput membaran sebagai yang pertama dan pemenang membuahi inti sel ovum.
Freud pun tidak bekerja dengan teknologi mutakhir seperti NASA yang memantau dan
menditeksi misteri di balik ruang angksa. Freud hanya bekerja dengan kursi sofa di
ruang kliniknya dengan metode asosiasi bebas. Para ilmuan terutama beberapa tokoh-
tokoh psikologi berkeberatan dan bahkan menolak teori-teori Freud, dengan
pertimbangan bahwa sampel tidak memenuhi syarat dan metodenya kurang akurat.
Terlepas dari benar tidaknya teori Freud, namun Freud berani membagi dunia
bathin, mental atau ke-jiwa-an kita secara terperinci.
Pendapat Pertama: sehubungan dengan teori mental atau jiwa Freud membaginya
menjadi dua wilayah (1) Alam sadar atau alam kesadaran dan (2) Alam bawah
sadar (termasuk alam tidak sadar dan ketidaksadaran).
Pendapat kedua: masih berhubungan dengan jiwa yaitu teori kepribadian, Freud
membagi jiwa kita atas tiga bagian energi kekuatan yaitu id, ego dan
superego. lalu Freud membagi daerah atau wilayah kekuasaan bagi ketiga
makluk itu. (1) Id menguasai wilayah alam bawah sadar, dan (2) Ego menguasai
alam sadar atau kesadaran, sedangkan (3) Superego bisa memilih bereksistensi
di alam bawah sadar (id) atau di alam kesadaran (ego).
Pendapat ketiga: Sehubungan dengan teori pikiran (mind theory), Freud membagi
dunia batin (ke-jiwa-an) kita menjadi tiga wilayah (1) Kesadaran
(counscious) tempat mangkal kesadaran dan pikiran, dan (2) Unconscious (tidak
dasar, bawah sadar atau ketidaksadaran) sebagai walayah id dan tempat mangkal
pikiran bawah sadar dan superego serta (3) Pra-sadar (pre-conscious) yang
merupakan ruang atau wilayah di antara tidak sadar dan sadar.
berdasar tiga pendapat dalam teori Freud di atas maka pertanyaannya
dimana Freud meletakan jiwa dalam tubuh kita . Jawabannya yaitu (1) jiwa
kita terletak di alam sadar maupun di dalam bawah sadar. (2) Jiwa kita
terletak hanya di dalam tubuh kita , tidak di tempat lain.
Plato dalam teori dualis menunjukkan bahwa jiwa terletak dalam tubuh
kita ; tubuh menjadi penjara bagi jiwa. Namun karena Plato menganut paham
keabadian jiwa (jiwa dapat hidup terus sesudah kematian), maka dengan demikian
tubuh bukan satu-satunya ruang hidup bagi jiwa kita . Plato dalam karyanya;
Timaios (polis) membedakan tiga kelompok jiwa di alam semesta: (1) Jiwa-jiwa
hypercosmic atau the soul of the world yaitu jiwa-jiwa dari encosmic pertama seperti
jiwa fenomena-fenomena, jiwa tujuh planet, jiwa para Dewa, jiwa Malaikat, jiwa
Setan, jiwa pahlawan dan jiwa kita . Jiwa-jiwa hypercosmic ini terletak atau
berada di alam semesta dan tidak memiliki tubuh. Kelompok jiwa yang berikut (2)
jiwa-jiwa makrokosmos, seperti jiwa-jiwa pada hewan, tumbuhan dan mungkin benda
mati (jiwa magnet; Thales). Jiwa-jiwa makrocosmis ini terletak atau berada di dunia
kita . Sedangkan yang terakhir (3) jiwa-jiwa mikrokosmos atau jiwa kita .33, 34
Pertanyaannya dimana letak jiwa kita dalam tubuh menurut Plato. (1)
Plato meletakan jiwa dalam tubuh kita seperti seorang Sipir meletakan tubuh / diri
nara pidana dalam (ruang atau sel) penjara. (2). Sehubungan dengan gagasan
keabadian jiwa kita maka Plato meletakan jiwa kita (sesudah meninggal) di
alam semesta ini. (3). Sehubungan dengan paham reinkarnasi jiwa-jiwa maka Plato
juga meletakan jiwa-jiwa kita di hypercomic, atau di dunia kayangan Dewa/Dewi
dan diletakan dalam tubuh yang baru. (4). Sebagai catatan bahwa Plato meletakan jiwa
kita sesuai dengan esensi dan situasi dari jiwa itu sendiri. Artinya Plato “bisa
meletakan” jiwa kita di dalam tubuh kita kalau itu jiwa kita ; bisa juga di
dalam “tubuh” alam semesta seperti jiwa yang telah mengalami kematian tubuhnya;
bisa di dalam “tubuh” ruang angkasa, maupun di dalam “tubuh” dunia kayangannya,
berdasaran pada kondisi-kondisi jiwa itu sendiri.
Selanjutnya sesudah kita menyimak kedua tokoh utama Aristoteles dan
Sigmund Freud dimana mereka meletakan jiwa kita , disusul dimana Plato
meletakan jiwa kita , maka kira-kira dimana Rene Descartes meletakan jiwa
kita . Rene Descartes hadir dengan ide yang menakjubkan tentang jiwa; Ia
menunjuk tata letak jiwa dalam tubuh kita . Dalam buku; L'homme Machine
(1748); menurut Descartes, bahwa harus ada satu bagian dari organik tubuh (organ
fisik yang bersifat tunggal) yang dapat menjadi penghubung (perantara) dan yang
berfungsi menyatukan antara jiwa dengan tubuh agar memungkinkan jiwa dapat
beraktivitas (misalkan berpikir dan menyadari). Rene Descartes menunjuk pada
kelenjar pineal yaitu organ fisik tunggal, sebagai terminal seluruh sistem syaraf otak
yang terletak di tengah-tengah kepala kita .
Pertanyaannya: Bagaimana kita tahu bahwa kelenjar pineal, inilah merupakan
tempat utama jiwa hadir dalam kepala kita ?
Descartes menulis: “But in so far as we have only one simple thought about a given object at any
one time, there must necessarily be some place where the two images coming through the two
eyes, or the two impressions coming from a single object through the double organs of any other
sense, can come together in a single image or impression before reaching the soul, so that they do
not present to it two objects instead of one. We can easily understand that these images or other
impressions are unified in this gland by means of the spirits which fill the cavities of the brain”35.
Tapi sejauh kita hanya memiliki satu pikiran mengenai objek yang diberikan
pada satu waktu, maka harus ada suatu tempat di mana dua gambar yang datang
melalui dua mata, atau dua tayangan yang berasal dari satu objek melalui organ-organ
ganda, dapat datang bersama-sama dalam satu gambar atau tayangan sebelum
mencapai jiwa, (disatukan oleh kelenjar pinealis) sehingga mereka tidak hadir dalam
dua benda namun menjadi satu. Kita dapat dengan mudah memahami bahwa gambar-
gambar atau tayangan lainnya disatukan dalam kelenjar ini dengan cara roh yang
mengisi rongga otak.
kita memiliki bermacam-macam inderawi, dan ada inderawi yang
berpasangan (ganda) seperti dua mata, dua telinga. kita memiliki organ tubuh
yang ganda seperti dua kaki dan dua tangan. kita juga memiliki emosi / perasaan,
kesadaran dan pikiran, yang mana masing-masing beraktivitas sesuai dengan fungsi
dan hukum alam yang menggerakannya. Contohnya: pada suatu saat salah satu indra
atau salah satu organ tubuh terkoneksi dengan suatu obyek, misalkan jari-jari kaki dan
tangan serentak dimasukan ke dalam bejana berisi air es. Maka apa yang terjadi? Pada
saat itu inderawi, pikiran dan kesadaran serentak menyatakan hanya satu fenomena
yang di alami tubuh kita , yaitu dingin, bukan panas atau rasa lain. Sedangkan
pada kenyataan yang direndam dalam bejana air es bukan pikiran, bukan pula inderawi
atau kesadaran melainkan jari-jari kaki dan tangan. Apa kata Rene Dercartes, substansi
atau organism tubuh yang menyatukan semua yang berbeda itu yaitu kelenjar pineal
yang merupakan organ fisik di otak yang bersifat tunggal. Kelenjar pineal-lah yang
mengolah dan menyatukan obyek yang berbeda dalam suatu persepsi dan satu
gambaran ide sebelum mereka sampai pada jiwa.
Akhirnya dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Setiap organ tubuh berfungsi
untuk kepentingannya, kecuali otak kita berfungsi untuk seluruh kepentingan
tubuh (otak yang berpikir tentang segala sesuatu, dan otak yang mengarahkan semua
organ tubuh), sehingga dipastikan bahwa hanya atribut otak, lebih tepat menjadi
tempat hadirnya (letaknya) jiwa. (2). Kelenjar pineal sebagai organ yang tunggal
dengan fungsi penyatuan atau menjadikan semua jadi satu-kesatuan. kita
memiliki dua mata dan dua telinga serentak keduanya menangkap obyek yang sama
sesuai dengan fungsinya yang berbeda namun pada akhirnya muncul dalam otak yaitu
satu persepsi dan kesan visual yang tunggal tentang obyek itu. Dan inilah kerja dari
kelenjar pineal sebagai organ yang tunggal, dengan fungsi pemersatu, perantara dan
penghubung antara tubuh dengan jiwa, antara jiwa dengan pikiran / kesadaran dan
antara jiwa (pikiran/kesadaran) dengan inderawi dan realitas. (3). Dengan demikian,
Rene Descartes menunjuk pada kelenjar pineal, sebagai terminal seluruh sistem syaraf
otak yang terletak di tengah-tengah kepala kita , yaitu sebagai tempat bagi (letak)
jiwa dan sekaligus perantara antara jiwa dengan tubuh kita .
Selanjutnya bagaimana pandangan Theolog Kristen Ortodox tentang letak
jiwa kita dalam tubuh. Santo Gregory mencela umat se-zaman, saat meyakini
bahwa nous (pikiran) dan soul (jiwa) kita berpusat di jantung. Ia menulis:
"Tampaknya bahwa orang ini tidak menyadari bahwa esensi nous (soul) yaitu
satu hal, energinya yaitu hal yang lain". 36 Penempatan nous dan soul /jiwa di dalam
jantung telah dikritik oleh st Gregorius. Keyakinan umat masa itu yaitu jika
seseorang telah dimurnikan tubuhnya melalui pengendalian diri, telah membuat emosi
dan keinginan (jiwa dan pikiran) menjadi tempat kebajikan. Maka mereka menunjuk
jantung atau hati kita sebagai tempat dan pusat letak jiwa kita .
Nampaknya pandangan santo Gregoius dari Palamas berbeda. Ia mengatakan
bahwa “hati” yaitu organ mengendalikan takhta kasih karunia, dan menurut Palamas
nous dan semua pikiran jiwa dapat ditemukan di sana. Santo Gregoius dari Palamas
dalam pandangan dogmatiknya ia menempatkan jiwa berada di dalam hati kita .
Menurutnya bukan saja jiwa, namun akal budi (nous) dan semua pikiran jiwa dapat
diketemukan di dalam hati, karena hati sebagai takhta kasih. Dengan demikian
Gregoius dari Palamas meletakan jiwa kita bukan di otak atau di jantung namun di
hati (materi hati). Sebagai contoh misalnya banyak gambar-gambar rohani gereja
Ortodox dan Katolik menampilkan gambar hati atau love. Gambar hati atau love
(jiwa) ini sebagai simbol cinta kasih, kasih sayang, persahabatan, kasih setia dalam
kehidupan penikahan dll.
Para filsuf Yunani kuno percaya bahwa jiwa berada pada tempat tertentu di
dalam tubuh. Orang-orang suci aliran Hellenisers berpendapat bahwa karena otak
kita berfungsi untuk berpikir dan berpikir merupakan aktivitas jiwa, maka mereka
mengganggap bahwa jiwa berada di dalam otak kita (Acropolis). Sementara ada
beberapa orang suci dari kelompok Hellenisers yang lain menempatkan jiwa kita
berada di bagian paling tengah jantung "dan di dalamnya unsur yang dimurnikan dari
nafas jiwa hewani"; sebagai kendaraan yang paling asli (Judaisers). Judaisers
mengatakan bahwa kita tahu persis bahwa bagian yang cerdas dalam hati, tidak seperti
dalam sebuah wadah, karena itu yaitu inkorporeal, juga bukan di luar hati, karena
siam.
Akhirnya dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Rene Descartes menyatakan
bahwa jiwa (grandula pinealis) berada di otak atau kepala kita . (2) Umat se-
zaman st Gregory, beranggapan bahwa jiwa berada di jantung kita . (3) St Gregory
Palamas, mengatakan bahwa hati yaitu organ yang mengendalikan takhta kasih
karunia Allah maka di dalam hati kita , di sana ada nous (pikiran) dan soul
atau jiwa kita . Berarti jiwa kita ada dalam tubuh yaitu di dalam hati.(4) Plato
mengatakan bahwa letak jiwa bisa di dalam tubuh, di dalam alam dan juga di dunia
kayangan. Sementara Freud, mengatakan letak jiwa ada di alam bawah sadar maupun
di alam kesadaran. Dan (5) menurut Aristoteles bahwa letak jiwa kita hanya
dalam tubuh kita , titik!, tidak di tempat lain.
C. Hubungan Jiwa kita Dengan Tubuh
Pandangan Filsuf Alam Yunani kuno tetang Hubungan Jiwa kita dengan
Tubuh jasmaninya. Epicurus atomist dalam teori soul menyatakan bahwa “jiwa,
seperti segala sesuatu yang ada, kecuali kekosongan yang akhirnya terdiri dari
atom”.37 Epicurus pada kenyataannya memandang jiwa kita sebagai suatu bahan
utama, sejenis atom tanpa nama substansi, yang bertanggung jawab untuk tindakan
persepsi. Epicurus membedakan antara kesenangan dengan rasa sakit jiwa kita
terhadap tubuhnya. Ada perbedaan dalam pikiran antara bagian rasional jiwa di satu
sisi dan badan animasi dengan jiwa rasional, di sisi lain. Dalam tradisi Epicurean
istilah 'jiwa' yaitu “kata-kata” yang kadang-kadang digunakan memiliki makna
tradisional yang luas seperti jiwa yaitu apa yang menjiwai makluk hidup (misalnya,
Diogenes dari Oenoanda, fr. 37 Smith). namun kata “jiwa” juga diartikan sebagai
fungsi mental, kognisi, emosi dan keinginan dalam tubuh dan dari tubuh.
Bagaimana Sokrates memandang hubungan jiwa dengan tubuh? Kata Socrates
bahwa “Kematian makhluk melibatkan kelangsungan jiwa yang bersangkutan, yang
berlangsung melalui periode pemisahan dari tubuh, dan lalu kembali untuk
menghidupkan tubuh lain dalam perubahan yang merupakan mitra dari perubahan
sebelumnya yang hampir sekarat”38. Selanjutnya kata Sokrates: “Jiwa tanpa tubuh,
tetap dapat menikmati kehidupan, pemikiran dan kecerdasan”.39 Keabadian jiwa
terjadi saat proses kematian seseorang tiba. Artinya saat terjadi kehidupan baru
(inkarnasi jiwa) maka di sana terjadi proses penyatuan tubuh dan jika. saat datang
kematian, maka terjadi pemisahan tubuh dan jiwa. Jiwa meninggalkan tubuh menuju
keabadiannya (memasuki dunia alam semesta) untuk menikmati kehidupan dan
kecerdasan sambil menunggu periode baru inkarnasi baginya.
Sokrates dalam Plato, melihat hubungan jiwa dengan tubuh diletakan dalam
kerangka akhir dari sejarah kehidupan Sokrates sendiri. Nilai kebenaran dan keadilan,
serta pengadilan dan kematian Sokrates menjadi faktor-faktor utama menggambarkan
hubungan jiwa dengan badan. (1) Sokrates mengingatkan sahabat-sahabatnya tentang
keabadian jiwa dan proses reinkarnasi jiwa dari orang-orang yang telah meninggal. (2)
Sokrates menekankan dengan jelas hubungan jiwa dengan badan. Penegasannya
yaitu justru melalui pemisahan atau kematian itulah jiwa abadi lebih eksis dan
leluasa memikmati kehidupan, pemikiran dan kecerdasan.
Dari dua pernyataan Sokrates di atas menunjukan bahwa (1). Tubuh
merupakan sarana bagi eksistensi dan aktivitas jiwa. (2). Hal yang terpenting dalam
hidup ini yaitu jiwa bukan tubuh. (3). Jiwa bersifat abadi, tetap hidup dan berpeluang
berinkarnasi dalam tubuh-tubuh yang baru, sementara tubuh sekarang akan mati dan
hancur. (4). Secara implisit, Sokrates meneguhkan hati sahabatnya bahwa kalau toh ia
memilih jalan kematian, maka yang mati yaitu tubuhnya, bukan jiwanya. Jiwanya
tetap hidup sesudah kematian tubuhnya, dan (5) “jiwa” Sokrates masih memiliki
beberapa peluang di masa depan untuk berinkarnasi dalam tubuh-tubuh yang lain.
Karena itu, tak perlu sahabat-sahabatnya mepermasalahkan sakitnya tubuh, kematian
dan kehancuran tubuh, namun sebaliknya tetap yakin bahwa jiwa kita (jiwa
Sokrates) tetap hidup di dunia sebrang. Sokrates menarik sebuah kesimpulan bahwa
“Baiklah, wajar bagi jiwa untuk menjadi sama sekali tidak terpisahkan, atau hampir
jadi, namun, dalam situasi apapun, jiwa tidak tunduk pada pembubaran dan kerusakan
dari tubuh”. 40 Intinya sekalipun tubuh Sokrates mati dan hancur lebur, namun jiwanya
tetap utuh dan hidup.
Selanjutnya pandangan Plato (Sokrates) tentang hubungan Jiwa kita
dengan Tubuh jasmaninya. Dalam kitab phaedo Plato mengajarkan tentang hubungan
jiwa dan badan. Dalam rumah atau bangunan diri atau pribadi kita , Plato
memisahkannya menjadi ruangan-ruangan dengan membangun tembok pembatas
yang jelas. Ada ruang untuk tubuh dan ada ruang-ruang untuk jiwa. Sementara
bangunan diri kita atau tubuh itu disebutnya sebagai penjara dan kuburan. Tubuh
kita itu bangunan penjara plus kuburan dan jiwa kita yaitu nara pidana
dalam penjara, dan arwah yang terkurung dalam kuburan. Bagaimana gambaran rinci
Plato tentang hubungan tubuh dan jiwa?
Manurut Plato, jiwa yaitu sesuatu yang abadi (tidak akan mati). Jiwa berasal dari
dunia ide-ide. Jiwa mampu mengenali ide-ide, maka jiwapun memiliki sifat-sifat
yang sama dengan ide-ide. Jiwa sudah ada di suatu tempat yang penuh dengan
kearifan sebelum dilahirkan. Jiwa selalu memiliki kerinduan untuk mencapai
kearifan dan kebijaksanaan. Padangan Plato tentang tubuh. Tubuh memiliki sifat
rapuh, tidak tetap, dan selalu berubah karena itu tubuh “membingungkan” kita
dalam upaya mencari kebenaran. Tubuh memiliki sifat mengarahkan seseorang
untuk mencari kesenangan dan kepuasan tubuh. Tubuh memenjarakan jiwa karena
kita selalu ingin memenuhi kebutuhan tubuh seperti: bersenang-senang dan
“memuja” tubuh karena itu tubuh menjadi penghalang bagi jiwa untuk mencapai
kearifan dan kebijaksanaan. Tubuh yaitu penjara dan tubuh yaitu kuburan bagi jiwa
(sooma-sema), olehnya itu kita harus berusaha sebisa mungkin melepaskan diri
dari belenggu tubuh yang memenjarakan jiwanya.
Plato menegaskan: “selama kita memiliki tubuh yang menemani argumen yang
kita kembangkan dalam penyelidikan kita, dan jiwa kita tercampur dengan hal jahat
semacam ini, kita tidak akan pernah mendapatkan apa yang kita inginkan”41.
Kerinduan jiwa kita menurut Plato yaitu terbebas (membebaskan diri dari
penjara dan menyelamatkan jiwanya dari kuburan) agar jiwa dapat pulang kembali
memasuki dunia ide-ide, bersatu dengan ide-ide dan dapat mencapai kearifan dan
kebijaksanaan. Plato dari sisi politik negara (polis), memandang tubuh kita dan
tubuhnya sendiri sebagai penghalang (penjara dan kuburan) bagi kemajuan polis. Bagi
Plato, tubuh itu tidak penting, sekalipun ia sadar bahwa tubuh merupakan satu-satunya
sarana penampilan jiwa. Namun paham keabadian jiwa, maka selama jiwa berada di
dalam tubuh (terpenjara), selama itu pula jiwa tidak pernah mencapai kearifan dan
kebijaksaan.
Pertanyaannya: apa arti dan manfaat kearifan dan kebijaksaan terhadap polis
kalau tidak ditampilkan melalui tubuh? Plato tidak hendak membangun polis atau
negara-kota Athena, dimana masyarakatnya yaitu kumpulan jiwa-jiwa tak berbadan
(seperti jiwa-jiwa hypercosmic), namun Plato memandang hubungan jiwa dengan badan
dari sisi etika dan moral politik, yang berhubungan dengan tugas dan tanggung jawab
terhadap negara (polis). Sehubungan dengan ajaran sosial-politik (poleticia), menurut
Plato, jiwa kita berfungsi untuk memutuskan dan mengarahkan bagaimana
seseorang harus bersikap. Jiwa kita memiliki tugas mengendalikan perilaku tubuh,
karena jiwalah tempat kebaikkan kekal (yang ada di dunia keabadian sebelum jiwa
kita masuk dan terpenjara dalam tubuh yang fana ini) dan mengetahui apa yang
terbaik bagi kita dan bagi polis. Dari sisi inilah Plato menyamakan tubuh fisik
kita dengan tanah, bangunan, dan sumber daya materi lainnya dari kota Athena.
Bagaimana pandangan Aristoteles tentang hubungan jiwa dan tubuh kita ?
Arsitoteles dalam teori psikologi mengemukakan bahwa jiwa yaitu bentuk
terpenting bagi tubuh. Dalam arti bahwa jiwa datang ke dalam tubuh dengan potensi
kehidupan mengaktualisasi materi organis tubuh dan membentuknya menjadi
organisme hidup atau suatu kehidupan baru. Jiwa yaitu pemicu akhir atau sumber
dari tubuh yang hidup. Dalam pengartian bahwa jiwa yaitu "aktualitas pertama dari
tubuh alamiah berpotensi memiliki kehidupan di dalamnya," Jadi menurutnya jiwa dan
tubuh itu satu. Keduanya saling membutuhkan dan saling mengisi. Jiwa itu ada