Jumat, 06 Desember 2024

jiwa 3


 dan 

secara hakiki hanya diperuntukan bagi tubuh. Jiwa menghidupkan tubuh, jiwa 

menggerakan tubuh, dan tubuh akan menjalani kehendak jiwa. Singkatnya: Jiwa tidak 

dapat tanpa tubuh atau " the soul cannot be without a body.” 42 

Pandangan Santo  Aquinas tentang hubungan jiwa dan tubuh kita . Jiwa 

merupakan titik pusat temu antara yang jasmani (materi-tubuh) dan dengan yang 

rohani (jiwa).43 Dalam gagasan Thomas perpaduan jiwa dan tubuh yaitu  perpaduan 

yang belum lengkap, menunjuk pada gagasan In octu primo menuju  in octu sekundo. 

In acto primo yaitu kita  bayi atau kita  anak belum sempurna karena belum 

memiliki kesadaran diri dan kemampuan berpikir (inacto sekundo) atau belum 

memiliki kesadaran jiwa. Menurut Thomas Aquinas bagian jiwa dengan fungsi 

kejasmanian untuk berpikir dan berkehendak. Melalui in acto sekundo, kejasmanian 

jiwa mengenali dirinya dan melakukan perbuatan. Melalui intellectus (akal budi: jiwa 

pikiran dan kesadaran) sebagai daya pendorong rohani yang mengarahkan kita  

pada tujuan abadi. Jiwa rohani; intellectus atau akal budi yang membimbing pikiran, 

kesadaran dan kehendak bebas (taat dan bertanggung jawab sesuai hukum kodratinya) 

                                                          

serta suara hatinya, mengarahkan kita  kepada Allah dan memungkinkan  bersatu 

dengan-Nya; ‘Desiderium naturale ad deum” 44;  kita   memandang Allah.  

(1) Pikiran itu yaitu  kesadaran, tidak mengambil tempat dalam ruang. Materi 

yaitu  perluasan sehingga dapat  mengambil tempat dalam ruang dan tidak 

memiliki  kesadaran. (2) Substansi ini tidak memiliki  hubungan satu sama 

lain. Pikiran sama sekali tidak tergantung pada materi, sebaliknya proses materi juga 

tidak tergantung pada pikiran dualisme. (3) kita  yaitu  makhluk ganda yang 

memiliki  pikiran dan badan perluasan. (4) Apa yang kita pikirkan dengan akal kita 

terjadi di dalam badan dan di dalam pikiran, namun sama sekali tidak tergantung pada 

realitas perluasan. 

Sementara Rene Descartes tidak dapat menyangkal bahwa ada interaksi 

konstan antara pikiran dan badan. Interaksi konstan berlangsung antara "roh" dan 

"materi", jiwa dengan badan dan pikiran dengan tubuh. Descartes melihat ada 

hubungan erat antara roh, jiwa, pikiran (kelenjar tunggal pinealis) dengan tubuh 

sebagai satu kesatuan dalam proses berpikir dan menyadari. Artinya jiwa berpikir dan 

bertindak dengan memakai  tubuh atau tubuh menampilkan kehendak jiwa dan 

pikiran. Jiwa dan pikiran berpusat dan bekerja melalui bagian-bagian integral tubuh 

seperti kelenjar pinealis, otak dan saraf-sarafnya. Sebaliknya tumbuh merespons 

ransangan realitas dan dikirimkan ke otak melalui inderawi, diloah oleh kelenjar 

pinealis, disadri oleh jiwa dan dipikirkan oleh pikiran (cogito).  

Tubuh yaitu  mesin dalam arti (1) Tubuh yaitu  parmenen dan independent 

dalam fenomenanya. Artinya secara alamiah tubuh bergerak dan beraktivitas di luar 

koordinasi pikiran dan jiwa. Bandingkan tubuh seperti  motor yang meluncur di jalan 

bebatuan. Sekali mesin dihidupkan dan motor meluncur,  bannya akan melewati jalan 

berbatu tanpa dikontrol mesinnya. Atau  bandingkan gerakan-gerakan reflex atau 

gerakan berulang oleh tangan atau kaki. (2) Tubuh yaitu  mesin bagi jiwa melalui 

pikiran. Tubuh tidak saja menampilkan kehendak jiwa namun  melakukan apa yang 

                                                            

menjadi perintah dan instruksi jiwa dan pikiran. Misalkan saat  mencari sesuatu 

dalam ruangan yang gelap, maka jiwa melalui pikiran membangkitkan kembali 

momori (ingatan), selanjutnya jiwa dan pikiran menuntun tubuh dalam pencariannya.  

Selanjutnya kita menyimak pandangan Gabriel Marcel tentang hubungan jiwa 

dan tubuh kita . Gabriel Marcel (1889-1973), salah satu thema utama dalam 

filsafatnya yaitu  mengenai “tubuh” dalam hubungan dengan jiwa, pikiran dan 

perasaan atau inderawi. Analogi Marcel, "Saya memiliki  tubuhku" dengan "Saya 

memiliki  anjingku" mengandung tiga aspek: (1), antara saya dan tubuhku tidak 

ada  struktur qui-quid (subyek yang memiliki  dan yang dipunyai) seperti (2), 

antara saya dan anjingku; tubuh tidak berada di luar saya seperti halnya dengan anjing; 

(3), saya tidak merupakan "yang lain" terhadap tubuhku seperti saya merupakan "yang 

lain" terhadap anjingku. (4) Tubuh tidak berada antara aku dan apa yang sedang 

dikerjakan. Marcel menegaskan bahwa tubuh bukanlah alat seperti martil berada 

antara tukang kayu dan papan yang sedang dikerjakan, atau contoh lain bila saya 

menulis, tubuh tidak berada antara "aku" dan kertas. 

Penekanan Marcel dalam ajaran  tentang tubuh memakai  istilah: 

“memiliki , ada, merasakan dan menerima”. Pertama pemaknaan istilah 

"memiliki " dan "ada" dikaitkan dengan tubuh. Saya memiliki  tubuhku atau saya 

yaitu  tubuhku.  Tubuhku bagi saya bukan obyek, melainkan selalu melibatkan 

pengalaman (pikiran dan jiwa) saya sendiri tentang organisme fisis-kimiawi (tubuhku). 

Menurutnya; “tubuh” yaitu  "alat absolut", artinya alat bagi sesuatu yang lain. Tubuh 

yaitu  "prototipe" di bidang "memiliki ", yang memungkinkan untuk memiliki  

namun  tidak dipunyai oleh sesuatu yang lain. Sekalipun demikian saya tidak identik 

begitu saja dengan tubuhku. namun  jelas penengahan antara saya dan tubuhku tidak 

bersifat instrumental. Marcel menyebutnya “sympathetic mediation”: penengahan 

pada taraf "merasakan" (sentir). 

Kata Marcel “Saya yaitu  tubuhku, hanya sejauh saya yaitu  makhluk yang 

merasakannya”.  “Merasakan" atau proses "merasakan" hendaknya dimengerti sebagai 

suatu "message" dari luar yang diterima di dalam subyek. Garis pemisah yang ditarik 

antara "di luar" dan "di dalam" harus ditolak karena "menerima" dalam hal perasaan 

tidak pernah sama dengan "menerima semata-mata pasif". "Menerima" di sini harus 

dimengerti sebagai partisipasi, membuka diri, memberikan diri; "menerima" seperti 

tuan rumah menyambut tamu-tamunya. Sedangkan kata "merasakan" berarti menerima 

dalam wilayah yang merupakan wilayah saya; "inkarnasi" kita  hanya mungkin 

karena dengan tubuhku, saya berada dalam dunia, bukan saja dalam arti bahwa saya 

dapat mempengaruhi benda-benda, namun  juga dalam arti bahwa saya terpengaruhi 

oleh benda-benda. Dualisme antara "di luar" dan "di dalam" harus ditinggalkan. Re-

inkarnasi itu merupakan titik tolak refleksi filosofis dan bukan cogito atau kesadaran, 

kata Marcel. 

D. Hubungan Jiwa kita  Dengan  Pikiran (Nous) 

Menurut encyclopedia Britannica, Anaxagoras yaitu  orang pertama (pasti) 

telah menjelaskan konsep nous. Menurutnya, nous termasuk bagian dari jiwa atau soul 

(psuchÄ“). Nous yaitu  sesuatu yang “tipis dan bersifat murni”. Nous yaitu  “asal dari 

segala sesuatu yang memiliki semua pengetahuan tentang segala sesuatu”. Nous 

memiliki  kekuatan terbesar serentak berkuasa atas segala sesuatu (yang besar maupun 

yang lebih kecil). Dalam doktrin  nous dari Anaxagoras, Plato, dan Aristoteles, mereka 

menghubungkan nous atau akal budi dengan diri sang kekal, dimana ia dari sekaligus 

menjadi untuk dirinya sendiri. Selanjutnya nous juga diartikan sebagai mind (pikiran) 

dan soul (jiwa) yang merupakan   arsitek  dari semua yang ada. Nous yaitu  realitas, 

yaitu jiwa (soul), akal (nous), dan ide kebaikan (Yang Baik). Nous sebagai prinsip 

tatanan dunia dan keharmonisan hidup.  

Jadi menurut Anaxagoras (1) nous termasuk atau bagian dari jiwa. (2) nous 

memiliki semua pengetahuan, dan (3) naus sebagai asal atau sumber segala sesuatu. 

(4) berdasar  doktrin bersama nous maka nous dihubungkan dengan sang kekal 

atau sang Pencipta yaitu pernyataan ekspilist-tegas atas subyek tersirat nous 

Anaxagoras (nous point ke-2 dan ke-3). Dengan  singkat ungkapkan nous sang kekal 

yaitu  nous yang memiliki semua pengetahuan dan merupakan asal dan sumber segala 

sesuatu. Dialah, nous sang kekal atau sang pencipta (Allah). (5) Pada pernyataan 

kedua nous diartikan sebagai mind dan soul (pikiran dan jiwa). Pernyataan ini 

semakna dengan pernyataan point satu Anaxagoras (nous termasuk jiwa). Pernyataan 

bagian ini mengaburkan identitas nous maupun  soul. 

Bandingkan dengan kata yang digunakan  menghubungkan nous dengan soul. 

Anaxagoras memakai  kata “termasuk”, (nous termasuk soul) bukan kata “yaitu ” 

atau “yaitu”. Doktrin nous, memakai  kata “menghubungkan” (menghubungkan 

dengan sang kekal). (6) Kedua kata “termasuk” dan “menghubungkan” menunjukkan 

bahwa sang kekal memiliki nous tertinggi sebagai sumber dan asal semua nous. (7) 

Problemnya ada  pada penggunaan kata “soul”.  Artinya apakah nous itu sama 

dengan soul? Apakah sang kekal yaitu  soul atau Dia yaitu  soul tertinggi (sebagai 

sumber dan asal) yang memiliki nous universal ?  

Sokrates berkata dalam apologia, "Hidup yang tidak dikaji yaitu  hidup yang 

tidak layak untuk dihidupi”. Maka dengan mengkaji hidupnya seseorang sampai pada 

pengenalan dirinya (kenalilah dirimu sendiri). Kata Sokrates ..”True wisdom comes to 

each of us when we realize how little we understand about life, ourselves, and the 

world around us.”45 "Kebijaksanaan sejati datang kepada kita masing-masing saat  

kita menyadari betapa sedikit yang kita mengerti tentang kehidupan, diri kita sendiri, 

dan dunia di sekitar kita." Olehnya itu kita  yang yaitu  makhluk yang terus-

menerus mencari dirinya sendiri dan yang setiap saat harus menguji dan mengkaji 

secara cermat kondisi-kondisi eksistensinya, sehingga ia dapat mengenal dirinya 

sendiri. Jika diteliti secara saksama dari kedua pernyataan Sokrates maka tampak 

bahwa Sokrates menekankan subyek nous dengan eksistensi dan aktivitasnya. Secara 

tersirat Sokrates menyatakan bahwa nous (kita ) sebagai subyek atas soul (atau 

nous yang memikirkan soul). 

Aristoteles, jiwa hubungan dengan  intelektual (nous), menjadi 2 bagian utama, 

yaitu: (a) Musyawarah atau perhitungan dan (b). Ilmiah atau teoritis. Point pertama 

(musyawarah atau perhitungan) terbentuk divisi tripartit jiwa intelektual yang terdiri 

dari (a.1) Teknis / produk seni, (a.2). Kehati-hatian / seni melakukan dan (a.3). 

Teoritis. Namun, apa yang penting dari perspektif filsafat pikiran yaitu  bahwa 

Aristoteles tidak percaya bahwa kecerdasan  dapat dipahami sebagai bahan sesuatu.  

                                                            

       

Dia berpendapat sebagai berikut: jika intelek yang material maka itu tidak bisa 

menerima semua bentuk. Jika intelek yaitu  organ bahan tertentu (atau bagian dari 

satu) maka akan dibatasi hanya menerima jenis informasi tertentu, seperti mata 

dibatasi untuk menerima fenomena data visual dan telinga dibatasi untuk menerima 

fenomena data pendengaran. Karena akal mampu menerima dan merenungkan semua 

bentuk data, maka tidak harus menjadi organ fisik.  

Dari semua isi alinea pertama Aristoteles menghubungkan soul di dalam nous 

untuk menyatakan eksistensi dan aktivitas soul. Dengan kata lain eksistensi soul 

ditampilkan dan dinyatakan melalui nous. Dari dan melalui nous, potensi-potensi soul 

diwujudnyatakan dan sebaliknya nous berkerja melalui dan dengan energi dari soul. 

Selanjutnya dalam isi alinea kedua, Aristoteles khususnya  menekankan esensi dari 

nous, bahwa nous bukan substansi material yang terbatas dalam ruang dan waktu. 

Dengan demikian soul dan nous memiliki esensi yang sama namun soul sebagai yang 

pertama bagi nous untuk menyatakan dirinya sekaligus menyatakan soul. 

 Menurut Aristoteles, “nous” pada lapisan atau tahapnya yang tertinggi 

memahami bahwa kemampuannya untuk menatap deretan itu sebagai deretan yang 

mengandung kemampuannya untuk menegaskan adanya “yang menggerak tanpa 

digerakkan sendiri” (”motor immobilis“). Keyakinan itu dihasilkan “nous” bukan 

sebagai “nous pathetikos” (”intellectus passivus” atau “possibilis“) yang terutama 

dipengaruhi oleh kesan-kesan inderawi, melainkan sebagai “nous poietikos” 

(”intellectus agens“) yang ikut menentukan isi pemahamannya secara aktiv, karena 

suatu “daya pencipta” yang ternyatalah termuat di dalamnya. 

Pada alinea ketiga ini, Aristoteles secara implisit menghubungan nous-nya 

dengan nous kekal dari doktrin nous bersama, yang ia sebut “nous poietikos” 

(”intellectus agens“) yang mengandung potensi dan energi penciptaan dalam dirinya. 

Nous sang kekal atau nous universal sang asal dan sang sumber pengerak, namun  ia  


luput dari digerakan, karena Dia (nous kekal) yaitu  sumber gerak, sumber nous dan 

sumber jiwa-jiwa. 46 

Bagaimana pandangan Gereja Ortodokx tentang  hubungan jiwa kita  

dengan  pikiran? St. Gregory dari  Palamas memakai  istilah nous dalam 

pengertian; Nous atau pikiran yaitu  segenap jiwa, gambar dan juga merupakan 

kekuatan jiwa. Tuhan Trinitarian yaitu  nous yang memiliki firman dan roh, maka 

jiwa juga memiliki; nous atau pikiran, kata-kata dan semangat. Hati yaitu  inti dari 

jiwa, dan aktivitas nous terdiri dari pikiran dan gambar konseptual berasal dari energi 

jiwa. Oleh karena itu nous terlalu memiliki esensi dan energi. Jadi istilah  nous 

digunakan kadang-kadang berarti esensi dan kadang-kadang berarti pula energi atau 

tindakan. Dalam Alkitab disebut hati. "nous yaitu  mata jiwa;` tak terpisahkan antara 

satu sama lain dan juga mereka tidak memiliki karakter pribadi". Kata yaitu  

pengetahuan spiritual ditanamkan dalam nous. Kata yaitu  yang mengekspresikan 

pengalaman dan kehidupan nous, dan menurutnya  hal ini terjadi dalam roh. 

St Yohanes dari Damaskus,  telah mengidentifikasikan jiwa dengan nous. 

Sehubungan dengan nous dan pertukaran jiwa, Ia menulis bahwa nous yaitu  bagian 

paling murni dari jiwa dan nous yaitu  mata jiwa. Menurutnya  "jiwa tidak memiliki 

nous sebagai sesuatu yang berbeda dari dirinya sendiri, namun  sebagai bagian yang 

paling murni, sebagai mata untuk tubuh. Itulah manfaat nous bagi jiwa". Dengan 

demikian ia mengatakan bahwa jiwa memiliki nous sebagai matanya. Theoleptos, 

metropolitan Philadelphia, mengajarkan: "saat , sesudah  mengakhiri gangguan 

eksternal dan menguasai pikiran batin, maka nous akan  bergerak untuk tindakan 

spiritual dan kata-kata." Upaya untuk menjaga nous / pikiran murni dan untuk 

membebaskan diri dari hasil banyak gangguan dalam penampilan di dalam diri kita 

dari nous, yang telah mati dan tak terlihat.  

St Yohanes dari Tangga, "keheningan tubuh yaitu  pengetahuan yang akurat 

dari manajemen perasaan dan persepsi. Keheningan jiwa juga merupakan pengetahuan 

yang akurat tentang pikiran seseorang dan pikiran yang tak tergoyahkan". saat  

                                                           

seseorang bertekun dalam perjuangan ini, dan terutama saat  nous telah terpikat oleh 

kerajaan Allah, maka pikiran lenyap seperti fenomena-fenomena yang tersembunyi 

saat  matahari terbit”. Selain penelitian keheningan dari nous, cara lain untuk 

mencegah nous dari berbagai perasaan yang tak menyenangkan yaitu  dengan cara 

menghindari pemicu  yang menimbulkan pikiran. Abba Dorotheos, dalam gereja 

Tradisi Ortodoks, seiring dengan upaya pertobatan dan kehidupan asketis Gereja, 

untuk memurnikan nous sehingga diterangi oleh energi Allah dimana nous menerima 

kasih karunia, yaitu  vitalised, diangkat ke posisi yang tepat, dan lalu  dalam 

gudang rahmat terhadap kecerdasan. Dengan cara ini intelijen menjadi hamba nous 

yang disukai dengan rahmat, dan akan kembali ke keadaan alami kita. Abba 

Dorotheos; mengatakan bahwa setiap kali muncul kembali keinginan yang bergairah 

dalam jiwa, maka seakan-akan pikiran atau nous disiapkan untuk melawan atau segera 

menolaknya.47 

Akhirnya dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) St Gregory dari  Palamas; 

nous segenap jiwa, sebagai gambaran esensi, energi dan kekuatan jiwa.  Searah 

dengan kata Alkitab bahwa nous yaitu  mata jiwa. Kata-kata dan pengetahuan 

spiritual ditanamkan dalam nous. (2) St Yohanes dari Damaskus, jiwa sama dengan 

nous. nous yaitu  bagian paling murni dari jiwa dan nous yaitu  mata jiwa. Jiwa 

yaitu  mata jiwa dan sekaligus mata untuk tubuh. (4). Theoleptos, dengan menguasai 

pikiran jiwa   maka nous akan  bergerak menuju tindakan spiritual. (5) St Yohanes dari 

Tangga, keheningan jiwa (juga keheningan tubuh)  merupakan pengetahuan tentang 

pikiran / nous. Cara memelihara kemurnian nous melalui asketis agar nous terpikat 

oleh kerajaan Allah, menerima kasih karunia dan diterangi energi Allah. Abba 

Dorotheos, tradisi Ortodoks,  saat  munculnya gairah dan keinginan negetif dalam 

jiwa, nous bersiap untuk melawan dan menolaknya. 

 

E. Hubungan Jiwa Dengan  Kematian kita .  

Tugas berat dan merupakan perkara yang tak terselami bagi kemampuan 

berpikir kita  yaitu bagaimana caranya mengamankan konstruksi kesatuan jiwa 

dan badan. Artinya dari kesadaran berpikir kita  ia berusaha agar  tidak sampai 

terjadi keterpisahan antara jiwa dan tubuhnya, karena itu problem yang mengerikan. 

Perjuangan ini pasti ditentang Plato, sementara bagi Aristoteles; itu tergantung nasib, 

selanjutnya bagi Rene Descartes tak perlu dirisaukan, sedangkan menurut Freud itu 

segera dibenahi dan akhirnya bagi Martin Heidegger, perlu dicari titik awalnya.  

Bagaimana pandangan Masyarakat Yunani Kuno, tentang kematian dan nasib 

jiwa kita ? Burnet melalui theory soul Yunani kuno, mengutip kata Aristoteles 

berikut: “ The human soul, ceases to exist upon death”.  Gagasan Aritoteles ini seiring 

dengan keyakinan masyarakat Yunani kuno terhadap nasib jiwanya sesudah  peristiwa 

kematian itu tiba; “They think that after it has left the body it no longer exists 

anywhere, but that it is destroyed and dissolved on the day the man dies.”  48 diketahui 

bahwa menurut mereka, jiwa yaitu  hal yang material akan hancur dan  tersebar 

"seperti napas atau asap".49 Dengan demikian masyarakat Yunani kuno berpendapat 

bahwa saat  terjadi perstiwa kematian atas diri kita , maka berakhirlah segala-

gala. Baik tubuh maupun jiwa mati menghilang. Jiwa diidentikan dengan napas dan 

asap yang hilang sirna. Keyakinan mereka diadopsi dan sekaligus diperkuat oleh 

Aristoteles bahwa sesudah  kematian tidak ada lagi jiwa (jiwa ikut mati dan 

menghilang) sama dengan napas, asap dan pemotongan dari pisau. Pandangan 

matrialistik jiwa ini bertentangan dengan pendapat Homer, filsuf Yunani kuno dan 

terutama Sokrates dan Plato yang menganut keabadian jiwa kita . Plato 

menegaskan bahwa tempat kehidupan jiwa-jiwa berada di alam semesta dan 

selanjutnya jiwa-jiwa itu berpeluang untuk menjalani proses reinkarnasi pada tubuh-

tubuh berikutnya. Sekalipun Aristoteles  menolak keabadian jiwa, namun  ia 

memperkenalkan substansi lain yang datang dari luar, masuk ke dalam tubuh kita  

                                                           

yaitu nus atau roh. Menurutnya bahwa roh atau nus inilah yang tetap hidup sesudah  

kematian seseorang kita .  

Puisi-puisi Homer memakai  kata jiwa dihubungkan kematian di medan 

perang.  kita  dikatakan; telah memiliki dan akan kehilangan jiwanya. Pasukan 

yang memilih masuk medan perang akan berhadapan dengan kematian dan kehilangan 

jiwanya. saat  kematian tiba jiwa akan meninggalkan tubuh dan tubuh sementara  

badan orang ini menuju ke bawah (kematian) di mana memiliki akhirat yang 

menyedihkan sebagai bayangan dan gambaran dari orang yang meninggal.50 

Pada puisi lain Homer menyatakan: “The 'soul' was an eminently appropriate 

word to use so as to denote the person, or quasi-person, that continued to exist after 

death”. Dan “'soul' as that which endures in the underworld after a person's death”. 51 

Pernyataan pertama dari Homer menunjukan bahwa (1) hanya istilah “jiwa” 

merupakan kata yang tepat (nyata) yang dapat digunakan untuk menunjuk orang atau 

pribadi yang terus atau tetap ada sesudah  kematian seseorang itu terlaksana. 

Selanjutnya pernyataan bagian kedua memberi tekanan khusus pada kelanjutan hidup 

jiwa, yang tak akan mati yaitu (2) jiwa sebagai sesuatu yang tetap bertahan di bawah 

(dunia kematian) sesudah  kematian seseorang terlaksana. Dari kedua pernyataan ini 

menunjukan bahwa kehidupan sesudah  kematian merupakan tujuan dari kehidupan di 

dunia kini. Bagi Homer tak ada kematian dan kehancuran bagi jiwa.  Dengan demikian 

pendapat Homer bertolak belakang dengan keyakinan masyarakat Yunani kuno pada 

zaman itu (abad ke-6 sampai ke-5 sebelum masehi). 

Kesimpulan: (1), Jiwa kita  memiliki nasib yang sama ditangan pandangan 

masyarakat Yunani kuno dan Aristoteles. (2). Kematian yaitu  akhir perjalanan jiwa 

bersama tubuh. (3). Homer, kematian merupakan pengalaman menarik untuk jiwa 

namun  pengalaman menyedihkan bagi tubuh. (4). Bagi Homer kematian tubuh 

merupakan gambaran menyedihkan bukan saja bagi tubuh namun  juga bagi kita . 

                                                           

Selanjutnya kita mengkaji pandangan Sokrates dan Plato tentang kematian dan 

nasib jiwa kita . Socrates dalam dialog  (di phaedo), ia diajukan pertanyaan berikut 

oleh lawan diskusinya:  "Apakah kau tidak menyadari bahwa jiwa kita yaitu  abadi 

dan tidak pernah hancur?" lalu  Sokrates menjawabnya: “saya tidak hanya  

mengatakan bahwa jiwa yaitu  abadi, namun  juga bahwa jiwa itu merenungkan 

kebenaran sesudah  pemisahan dari badan pada saat kematian”. 52 Berhubungan dengan 

kematian kita , Plato berpendapat bahwa “kematian hanyalah permulaan dari suatu 

reinkarnasi baru yang lebih rendah atau lebih tinggi daripada keberadaannya 

sebelumnya”. Dan dalam karyanya: phaidros, Plato berkata bahwa “sesudah  10.000 

tahun, jiwa akan kembali ke asal usulnya”53 (Dunia Kayangan). 

Dalam pernyataan Sokrates di atas, bukan saja menunjuk pada keabadian jiwa 

kita , namun  serentak menyatakan aktivitas jiwa sesudah  kematian; misalnya jiwa itu 

merenungkan tentang keterpisahan itu sendiri. Pendapat Sokrates dipertegas oleh Plato 

bahwa kematian yaitu  permulaan hidup baru bagi jiwa, dan sekaligus peluang bagi 

jiwa yang telah bebas itu berinkarnasi di masa mendatang hingga 10.000 lalu  

saatnya ia kembali asalnya. Sebagai kesimpulan Sokrates maupun Plato memiliki 

pemahaman yang sama tentang kematian dan nasib jiwa kita  sesudah  kematian. (1) 

Kematian yaitu  moment tepat untuk keterpisahan dan pemebebasan diri jiwa dari 

tubuh. (2), Kematian yaitu  awal kehidupan baru bagi jiwa. (3). Kematian merupakan 

pilihan aternatif bebas bagi jiwa untuk leluasa berinkarnasi. (4), Kematian member 

kesempatan terbaik bagi jiwa untuk menikmati pengetahuan dan kebijaksanaan tanpa 

halangan (tubuh). Pertanyaan refkleksi lanjutan: Jika dengan kematian jiwa bebas 

menikmati pengetahuan dan kebijaksanaan, mengapa harus jiwa memilih berinkarnasi 

dalam tubuh yang baru ? (masuk lagi dalam penjara), maka (5), Plato menegaskan 

bahwa dibutuhkan 10.000 tahun untuk jiwa kemabali ke asal usulnya. Dengan 

demikian sepanjang masa itu jiwa berulangkali dapat berinkarnasi (Sokrates). (6). 

Setiap kali kematian tubuh dan  proses inkarnasi, tampaknya jiwa terus memurnikan 

dirinya agar ia pantas kembali ke asal usulnya. 

                                                          

Plato memiliki pandangan khusus tentang kematian dan keabadian jiwa. 

Menurut Plato “ide” yaitu  kenyataan sesungguhnya hanya ada dalam dunia. 

Sedangkan realitas yang ada di dunia hanyalah sekedar bayangan dari ide-ide.[4]. Jiwa 

berasal dari kayangan, dunia ide-ide. Dunia diciptakan sebelum jiwa thnaios sementara  

jiwa kita  diciptakan oleh "sang tukang" (Demiurgos) dan menempatkan di dalam 

dunia, bukan di dalam tubuh.  Jiwa hidup dan tempat berada di dunia dan dialam 

semesta. Dunia inilah tempat kediaman jiwa yang sesungguhnya. Jiwa masuk kedalam 

tubuh kita  ada suatu  pilihan dan keputusan jiwa terhadap peluang reinkarnasi. 

Pada suatu saat  jiwa mengalami inkarnasi dan masuk ke dalam tubuh yang baru. 

Jiwa berada dalam tubuh merupakan suatu kebetulan sekaligus bencana bagi jiwa itu 

sendiri. Jadi dunia yang sekarang (tubuh) yang ditempati jiwa bukanlah dunia jiwa 

yang sesungguhnya namun  dunia sementara atau dinia imitasi.  

Pada mulanya kita  yaitu  roh murni yang hidup dari kontemplasi dalam 

ide-ide ilahi. namun  kita gagal mencapai kehidupan yang sebagaimana mestinya 

karena kita menyimpang dari kiblat idea-idea tersebut, sehingga kita langsung 

terhukum dengan dipenjarakannya jiwa ke dalam tubuh. Untuk itu kita harus berusaha 

naik ke atas dan memperoleh perhatian dan cinta besar untuk dunia ideal dan ilahi itu. 

Akan namun  kemungkinan untuk mewujudkan makna ini sangat dibatasi karena kita 

terbelenggu dalam materi, yaitu dunia jasmani dan tubuh menjadi kemungkinan-

kemungkinan buruk untuk terus tersesat. 

Maka menurut Plato jalan satu-satu jiwa mencapai keabadiannya, yaitu  

peristiwa keterpisahan jiwa dari tubuh pada saat kematian kita . Gagasan Plato 

didukung oleh kaum Neoplatonisme yang berpendapat bahwa “Jiwa yang dirantai dan 

rindu untuk melarikan diri dari belenggu tubuh dan kembali ke sumber asalnya”. 54 

Untuk mencapai persatuan dengan yang satu (To Hen / Yang Esa) dan yang baik baik 

yaitu Allah, maka perhatian kepada dunia eksternal perlu mendapat prioritas selama 

masa hidup seseorang. Jadi aklhirnya mau ditegaskan bahwa Plato dengan tawanan 

dengan penjara dan kuburan dilanjutkan oleh  Neoplatonisme dengan tahanan dan 

                                                           

belenggu rantai, yang menggambarkan nasib jiwa dalam tubuh kita , atau 

hubungan jiwa dengan tubuh di antara rantai dalam penjara dan kubur. 

Plato yaitu  murid kesayangan sang gurunya Sokrates, sekaligus pewaris ilmu 

dan penutur “jiwa” Sokrates sesudah  kematian gurunya itu. Aristoteles  yaitu  murid 

Plato dan pewaris intelektual dari gerunya Plato dan leluhurnya Sokrates. Dengan 

demikian Sokrates tidak memilih peluang pembebasan tubuh, namun  berpihak pada 

pembebasan jiwa menuju keabadian jiwa melalui segelas racun. Hubungan Sokrates 

dengan Plato dan Aristoteles seperti keluarga yang seakan-akan diikat dengan unsur 

genitas darah. Boleh dikata Sokrates yaitu  kakeknya Aristoteles, Plato yaitu  

ayahnya Aristoteles. Tragedi kematian sang kakek, Sokrates kiranya juga menjadi 

keprihatinan bagi sang anak, Plato dan sang cucu Aristoteles.  

Ada benang merah yang menyatukan Homer, Sokrates, Plato dan Aristoteles 

yaitu panggilan kepahlawanan (tanggung jawab kita ; terutama jiwa) terhadap 

negara (polis), yang menuntut pengorbanan dan kepatuhan dari jiwa (dan pikiran) 

terhadap etika dan moral kenegaraan (polis). Permasalahannya sekarang bagaimana 

Aristoteles memandang keputusan dan pilihan Sokrates menghadap kematian? Apakah 

pandangan Aristoteles searah dengan Plato tentang hubungan jiwa dengan badan dan 

hubungan jiwa dengan kematian? Dan yang terpenting dari sisi mana (disiplin ilmu 

dan teori yang mana) Aristoteles mereduksi fenomenologi pandangan jiwa dari 

Homer, Sokrates dan Plato? 

Dalam teori jiwa, Aristoteles hadir dalam gagasan bahasa analoginya:  

Aristoteles menggambarkan hubungan jiwa dengan badan, dan hubungan jiwa dengan 

kematian seperti hubungan pisau dengan pemotongan. Materi pisau sebagai tubuh dan 

satu-satunya fungsi pemotongan sebagai jiwa. Selama pisau itu baik dan ada dalam 

realitas, maka tugas pemotongan itu  terjadi. Sebaliknya jika pisau itu berkarat atau 

lenyap, maka pemotongan pun berakhir. Jadi menurut Aristoteles tentang hubungan 

jiwa dan kematian, bahwa saat  tubuh mati maka jiwapun berakhir. Dengan kata lain 

kematian yaitu  titik akhir kehidupan dan berakhirlah hubungan jiwa dengan badan: 

Pisau rusak pemotongan berakhir, tubuh mati maka jiwapun berakhir. 

Rene Descartes dalam karya-karyanya hampir tak menyinggung tentang 

keabadian jiwa sesudah  kematian. Suatu saat  Mersenne mengeluh kepada Descartes; 

mengapa ia tidak menyinggung tentang keabadian jiwa dalam karyanya. Dercartes 

menanggapi sebagai berikut: "You should not be surprised. I could not prove that God 

could not annihilate the soul, but only that it is by nature entirely distinct from the 

body, and consequently it is not bound by nature to die with it." 55 Anda tidak perlu 

heran. Aku tidak bisa membuktikan bahwa Allah tidak dapat memusnahkan jiwa, 

namun  hanya bahwa hal itu oleh alam, seluruhnya berbeda dari tubuh, dan akibatnya 

tidak terikat oleh alam untuk mati dengannya.  Dalam hal ini Descartes tidak dapat 

membuktikan jiwa itu abadi, namun  dia percaya itu, dengan mengatakan bahwa tubuh 

akan mati dan hancur sedangkan jiwa tidak.  

Descartes mengakui keterbatasan akal budi, yang diagungkan melalui 

ungkapan “cogito ergo sum”, dalam pernyataan yaitu aku tidak bisa membuktikan 

bahwa Allah tidak dapat memusnahkan jiwa. Dalam “cogito” Desecartes menegaskan 

seakan-akan ada-tidaknya segala sesuatu tergantung pada akal budi. Di luar akal budi 

segala sesuatu itu tidak ada. Perlu diingat bahwa konsep “cogito” Descartes tidak 

berkenaan atau tidak sampai membatalkan esensi dan hakekat adanya realitas secara 

obyek ontologi-metafisis. Sebaliknya gagasan “cogito” Descartes menunjuk pada 

kekuatan akal budi sebagai pemicu  konstruksi karakter dan pemahaman keunikan 

obyek baik dalam fenomenologi kesadaran kita  maupun dalam konteks konstruksi 

verbal atau deskripsi tentang segala sesuatu melalui bantuan akal budi. 

Konsep “cogito”, menunjukan bagaimana Rene Descartes mencoba 

mengembangkan gagasan akal budi atau nous dari Aristoteles.  Kata Descartes: "From 

this it follows that the human body may indeed easily enough perish, but the mind is 

owing to its nature immortal."56  Dari ungkapan ini, Descartes tidak menunjuk pada 

jiwa yang abadi namun  pikiran (mind atau nous) yang abadi; terus hidup sesudah  

kematian. Gagasan “cogito” Descartes mirip konsep akal budi Aristoteles, namun pada 

akhirnnya konsep keabadian jiwa, ada  perbedaan paham. Hal ini terbukti pada 

                                                            

pendapat Descartes: Aku tidak bisa membuktikan bahwa Allah tidak dapat 

memusnahkan jiwa…dan , .. tubuh akan mati dan hancur sedangkan jiwa tidak akan 

mati. 

Jika ditelusuri lebih mendalam gagasan kematian dan keabadian jiwa serta 

keabdian akal budi (nous) oleh para filsuf maka mau dikatakan bahwa di sana terjadi 

konflik semantik dan permainan bahasa. Homer, Heraklitos, Sokrates dan Plato 

menggunggunakan istilah jiwa (soul) yang hidup terus saat  kematian seseorang 

terjadi. Sementara Aristoteles memakai  istilah roh atau nous yang terus hidup. 

Descartes memakai  istilah pikiran atau mind / nous (cogito).  Singkatnya semua 

filsuf berbicara tentang substansi abstrak atau sisi dalam tubuh kita  yang bukan 

matrial. Baik jiwa, akal budi maupun roh dalam tubuh kita  merupakan sesuatu  

yang tidak dapat dikenali bentuk esensinya.  57 Mereka dan kita hanya dapat 

memahami dan mungkin sedikit mengenal jiwa, pikiran dan roh, dari sisi efek-efeknya 

yang tampak dan ditampakan oleh tubuh sebagai perluasaan atau hanya dapat 

dirasakan atau dipikirkan namun  tidak dapat dibuktikan secara real. Jadi mana yang 

abadi? Jiwa atau pikiran dan atau roh? Jiwa dan pikiran, keduanya bukan materi, dan 

mungkin mirip roh atau roh itu sendiri. Apakah tubuh atau badan jiwa sama dengan 

tubuh dan badan pikiran? Jika pikiran yang abadi atau jiwa yang abadi, maka 

pertanyaan seperti apa bentuknya? Apa hanya sekedar suatu energi atau suatu pribadi 

seperti digambar Homer dan Plato di rumah Hades ? Bagaimana kata theolog dan 

agama tentang hal ini. 

sesudah  kita menyimak gagasan dan teori filsuf tentang hubungan jiwa dengan 

kematian dan keabadian jiwa, maka sekarang kita coba menggali bagaimana pendapat 

theolog tentang hubungan kematian dan keabadian jiwa. Berhubungan dengan 

peristiwa kematian kita , Gereja Kristen Ortodoks percaya bahwa sesudah  mati atau 

kematian kita , jiwanya dinilai secara “individu” oleh Allah, dan lalu  jiwa 

yang baik dikirim ke pangkuan Abraham (surga sementara) atau dan yang jahat 

dikirim ke Hades / Neraka (penyiksaan sementara). lalu  pada pengadilan 

terakhir, “semua orang” akan menghadapi penghakiman Allah; dan yang dianggap 

                                                          

benar akan pergi ke surga selamanya  sementara  mereka yang  terkutuk akan 

dimasukan ke Danau Api/ Neraka (penyiksaan permanen). Gereja Kristen Ortodoks 

meyakini bahwa jiwa salah sesuatu seperti pribadi yang hidup terus sesudah  kematian 

tubuh. Jiwa (sang pribadi) dua kali menjalani penghakiman Allah sebelum ia 

menjalani pahala atau hukuman parmanen. 

Santo Yohanes Chrysostom berpendapat bahwa “setidaknya seseorang harus 

terus mengingat kematian dan penghakiman terakhir akan datang padanya”58. 

Maksudnya jiwa seseorang terus mengingat akan kematian dan penghakiman akhir 

zaman atas dirinya, maka dengan sendirinya ia memurnikan nous (pikirannya) dan 

sekaligus melepaskan orang dari tirani pikiran. Melalui metode pertapaan seseorang 

dibebaskan  dari tirani pikiran dan serentak  nous dan hati dimurnikan, maka jiwanya 

diisi dengan energi dari Roh Kudus dan ia dapat mengatasi dan menyembuhkan 

“penyakit-penyakit” yang berhubungan dengan jiwanya. 

Akhirnya dapat disimpulkan sebagai berikut : (1) Konsep kematian dalam 

pandangan masyarakat Yunani kuno bahwa kematian yaitu  akhir kehidupan 

seseorang, dimana jiwanya diidentikan dengan asap dan napas yang melebur dan 

menghilang. Pandangan ini senada dengan pandangan Aristoteles tentang kematian 

jiwa. (2) Berhadapan dengan peristiwa kematian Sokrates menggambarkan keabadian 

jiwa secara mengambang karena Sokrates terus pempertanyakan hakekat jiwa yang 

tidak nyata dan tak dikenali. (3) Homer menekankan bahwa hanya kata jiwa yang real 

dan tepat untuk menunjuk orang atau arwah dari orang yang telah meninggal. Jadi 

“kata” jiwa yaitu  “dia” yang terus hidup. (5) sehubungan dengan tujuan jiwa / tujuan 

hidup dari jiwa kita . Homer menunjuk dunia bawah atau dunia kematian sebagai 

ujung dari perjalanan jiwa (ke rumah Hades; dewa kematian). Sementara Plato, 

                                                            

Platonis, Kristen Ortodoks  mengarakan jiwa sesudah  proses kematian kepada asalnya 

(dunia kayangan, surga) atau neraka. (6)  Plato dan Platonis menggambarkan persitiwa 

kematian sebagai pembebasan jiwa, yaitu jiwa berhasil membebaskan dirinya dari 

penjara tubuh, menuju keabadiannya. 

Selanjutnya (6) Theolog dan khususnya Gereja Kristen Ortodoks mengakui 

keabdian jiwa sesudah  kematian tubuh dan (7) Sehubungan dengan kematian kita  

maka dapat disimpulkan pendapat dari umat kita , dari Filsuf, ilmuan dan teolog 

sebagai berikut: (a). Semuanya sepakai bahwa kita  akan mati, dan tubuh jasmani 

akan mati dan hancur. (b). Sebagian yakin bahwa  ada kehidupan sesudah  kematian: 

(b.1) sebagian percaya bahwa yang terus hidup sesudah  kematian yaitu  jiwa. (b.2), 

beberapa filsuf percaya bahwa yang terus hidup yaitu  roh dan pikiran, bukan jiwa. 

(c) Sebagian kita  percaya bahwa tak ada kehidupan sesudah  kematian. Artinya 

kita  mati maka habislah segalanya dari kita  itu. (d) Semua orang beragama 

baik agama kosmologi maupun aga monotheisme modern mengakui bahwa sesudah  

kematian jiwa atau rohnya kita  tetap hidup dan menghadapi penghakiman terakhir 

sebagai syarat memperoleh pahala atau hukuman parmanen dari sang pencipta. 

F. Pandangan Kontra versi dan pradoks dari Aristoteles dan Sigmund Freud 

tentang jiwa kita . 

1. Konta versi dan pradoks ide jiwa   dari Aristoteles 

Menurut hasil penelitian dan kajian khusus terhadap teori soul Aristoteles, dari 

Tim Mapping Body and Soul (Model pemetaan tubuh dan jiwa), (Roland Wittwer 

dkk)  universität Berlin, Fi eld of philological (2009-2010) menunjukan bahwa terjadi 

pradoks dalam gagasan dan teori Aristoteles tentang keabadian intelek (nous) yang 

bertolak belakang dari paham  keabadian jiwa (psuche) dari para Filsuf.  Menurut 

mereka paham keabadian nous Aristoteles ini tidak saja bertentangan namun  sekaligus 

membingungkan filsuf dan ilmuan berabad-abad lamanya. 

Kontradiksi dalam gagasan Aristoteles sehubungan dengan hakekat jiwa (psuche) dan 

intelek (nous). 

a.  berdasar  doktrin intelek dalam teori nous, Aristoteles menegaskan bahwa nous 

yaitu  incorporeal sama seperti jiwa artinya bahwa nous (akal-pikiran) dan soul 

(jiwa) tidak memiliki organ tubuh matrial. Namun ada perbedaan antara nous dan 

soul. Nous yang merupakan incorporeal dan kekal, menurutnya nous tetap hidup 

sesudah  kematian tubuh, sementara soul dianggapnya fana artinya bahwa jiwa akan 

mati bersama tubuh. Hal ini menunjukkan bahwa Aristoteles menganut paham 

keabadian nous bukan keabadian jiwa. Gagasan Aristoteles ini bertolak belakang 

dengan pendapat filsuf terutama Sokrates dengan Plato yang mengakui paham 

keabadian jiwa. 

b.  Dalam fisika Aristoteles tentang empat pemicu  yang menghasilkan “bentuk”  

dari segala sesuatu  yaitu pemicu  material, pemicu  efisien, pemicu  formal 

dan pemicu  final.  Sehubungan dengan pemicu  efisien dan formal  yang 

mengasilkan bentuk hidup; 

       Pertama sehubungan dengan prinsip hylomorphic Aristoteles  menyatakan: 

..”that the soul is the essential form , and the body the matter : Therefore, the 

body comes into actual, rather than mere potential being, because matter is 

actualised by a soul, forming the living organism “ 60 artinya "jiwa yaitu  bentuk 

penting dari tubuh”, karena jiwa datang ke dalam tubuh, dengan potensi 

kehidupannya mengkatualisasikan materi dan membentuk organisme –organisme 

tubuh menjadi hidup. 

      Bersadarkan prinsip hylomorphic di atas Aristoteles menekankan  (1) gagasan 

“bentuk” atau hasil akhir dari keempat proses pemicu , tubuh menjadi “bentuk” 

yang hidup; dimana jiwa yaitu  “bentuk” penting dari tubuh. (2), Aristoteles 

menekankan pemicu  pertama; “asal” jiwa yang datang dari luar dan memasuki

tubuh. (3), Aristoteles menekankan penyabab efisien yaitu tentang potensi-potensi 

jiwa; yang memungkinkan kehidupan bagi tubuh. (4), Aristoteles menekankan 

pemicu  ketiga yaitu pemicu  formal; Jiwa dengan potensi-potensi klehidupan 

dapat menghidupkan dan menggerakan organism tubuh. (5) Aritoteles 

menekankan pemicu  keempat yaitu pemicu  final dimana jiwa telah berhasil 

menghidupi tubuh. 

         Dari keempat pemicu  (pendekatan fisika) Aristoteles ini, jiwa telah 

dan berhasil menyebabkan tubuh menjadi hidup. Pada prinsipnya Aristoteles 

menyatakan bahwa (a) jiwa berasal bukan dari tubuh dan point penting yaitu 

bahwa (b) sebelum jiwa masuk dalam tubuh, jiwa yaitu  hidup. (c) hidupnya jiwa 

tidak tergantung pada tubuh. (d) secara tersirat (disangkal Aristoteles) bahwa 

sebenarnya tanpa tubuh jiwa dapat hidup; karena sebelum jiwa masuk ke dalam 

tubuh, jiwa telah hidup dan jiwa yaitu  kehidupan itu sendiri. Jika tubuh mati, 

seharusnya jiwa tetap hihup, karena jiwa hanya menumpang pada tubuh.  Namun 

Aristoteles telah menolak keabadian jiwa (jiwa mati bersama tubuh) maka 

pernyataan Aristoteles bukan saja bersifat kontra versi namun  juga bersifat 

paradoks. Artinya dari pemicu  pertama (material) asal jiwa bertentangan dengan 

gagasan kematian jiwa, dimana jiwa sebagai pemicu  final. 

      Kedua, selanjutnya berhubungan dalam konsep teleologi (teori psikologi) 

Aristoteles mengatakan;  as “ the soul is the final cause or source of the living 

body” 61 atau jiwa yaitu  pemicu  akhir atau sumber dari tubuh yang hidup. 

Dalam gagasan ini Aristoteles menekankan pemicu  efisien. Jiwa sebagai 

sumber hidup yang menyebabkan tubuh hidup. pemicu  final / terakhir, 

menyiratkan beberapa pengertian (1), Kata “terakhir” berarti hanya dia (jiwa) 

satu-satunya pemicu  hidup (2) Kata “terakhir” juga menunjuk hasil terakhir 

(pemicu  final) yang positif yaitu tubuh masuk dalam tubuh dan tubuh menjdi 

hidup (3), Kata “terakhir” juga menunjukan  hasil (pemicu  final) yang  negetif 

artinya jika jiwa keluar dari tubuh, tubuh akan mati. 

                                                            

         Dalam konsep teleologi Aristoteles, menunjukan bahwa jiwa 

merupakan pemicu  satu-satunya yang serentak pertama maupun terakhir suatu 

peristiwa kehidupan bagi tubuh maupun suatu bencana    kematian bagi tubuh. 

Secara singkat mau dikatakan: Jiwa masuk, tubuh hidup. Jiwa keluar, tubuh mati. 

Maka jika Aristoteles menolak keabadian jiwa, maka gagasannya bertentangan 

dan sekaligus paradoks dengan pendapatnya tentang jiwa sebagai pemicu  

pertama dan pemicu  final kehidupan bagi tubuh. Dengan kata lain jiwa hidup di 

luar tubuh, sesudah  jiwa masuk dalam tubuh, maka jiwa mengalami kematian. Jadi 

jika dibandingkan dengan paham inkarnasi jiwa dari Sokrates dengan Plato, jiwa 

memasuki tubuh baru, dan terus hidup sesudah  kematian tubuh itu, sementara 

Aristoteles, jiwa berinkarnasi masuk ketubuh baru untuk menghadapi 

kematiannya.  

  c.  Dalam teori psikologinya Aristoteles menganalogikan hubungan jiwa dengan 

tubuh laksana pisau (kapak) dengan tindakan “pemotongan”.62 Jiwa yaitu  

pemotongan (bagian esensi) sedangkan tubuh yaitu  materinya atau bentuk fisik  

pisau atau kapak. Jika ditinjau dari sisi fenomenologi tentang obyek realitas yang 

terdiri dari bagian materi (bentuk nyata), bagian esensi (eidios) dan bagian energi 

(daya kekuatan) maka analogi jiwa kita  dengan pisau atau kapak; menunjuk 

pada unsur materi dan fungsi atau tindakan dari energi atau kekuatan (memotong), 

tidak menunjuk pada eidios dari pisau atau kapak secara keseluruhan. Walaupun 

pada kenyataan pemotongan dan membelah yaitu  fungsi utama atau satu-satu 

dari materi pisau atau kapak. Dalam analogi jiwa ini Aristoteles menyerupakan 

jiwa kita  dengan pisau atau kapak, namun  titik fokus penekanan Aristoteles 

tidak mengena karena ia menekankan hanya unsur formal (materi benda pisau dan 

kapak) dengan tindakan fungsi energi (pemotongan atau membelah) dari pisau 

dan kapak. Sementara esensi dari pisau dan kapak tersembunyi di balik keutuhan 

materi dan tindakan fungsi kapak dan pisau. (Bandingan pembagian unsur 

                                                            

       

menurut Immanuel Kant antara fenomen dan nomenonon). Kesimpulannya bahwa 

“materi” pisau atau kapak seperti tubuh, pemotongan dan membelah yaitu  

“energi” (kekuatan atau aktivitas) atau fungsi dari materi pisau dan kapak sama 

seperti potensi aktualisasi jiwa melalui pikiran. Sementara esensi atau hakekat 

jiwa sebagai substansi makluk hidup tidak disentuh dalam analogi itu. Jadi jika 

pisau atau kapak (tubuh) mati dan hancur, maka fungsi dan tugas pemotongan, 

membelah dan menghidupi berakhir, namun  esensi jiwa yaitu  hidup akan keluar 

dari tubuh, karena dulunya jawa masuk maka saat kematian jiwa yang keluar. 

Jiwa yang keluar itulah menyebabkan tubuh mati. Inilah pandangan (analogi) 

Aristoteles yang kontra versi dan paradoks. 

d. Dalam teori tentang jiwa-jiwa, khususnya jiwa makrokosmis Aristoteles 

menyatakan bahwa jiwa hewan dan tumbuhan hanya memiliki energi jiwa tidak 

memiliki ensensi jiwa yaitu akal budi.63  Thales dalam teori tentang alam semesta 

mengatakan bahwa besi magnit memiliki jiwa. Jiwa yaitu  daya atau energi yaitu 

magnetnya.  Sekiranya Thales menganalogikan jiwa kita  dengan pisau atau 

kapak, dapat diterima karena bagi Thales benda mati seperti besi termasuk pisau 

dan kapak, juga benda mati memiliki jiwa, sementara Aristoteles menolak 

gagasan jiwa hypercosmik termasuk konsep jiwa Thales. Menurutnya bahwa jiwa 

hewan dan tumbuhan akan mati karena tidak memiliki unsu esensi yaitu akal budi 

sementara jiwa memiliki akal budi. Jika jiwa kita  akan mati pada saat 

kematian maka apa bedanya jiwa kita  dengan jiwa hewan? Dengan demikian 

mau dikatakan bahwa penganalogian jiwa dengan pisau atau kapak oleh 

Arsitoteles, bentuk analogi ini tidak tepat dan tidak cocok. Kesimpulan yaitu  

bahwa Aristoteles menolak jiwa-jiwa pada benda (benda mati), tepi malah ia 

menganalogikan jiwa kita  dengan benda mati pisau dan kapak. Inilah pilihan 

jenis dan form analogi dari Aristoteles yang kontra versi dan paradoks. 

e.  Sehubungan dengan teori nous (akal, pikiran atau ratio), Aristoteles menekankan 

bahwa justru jiwa memungkin adanya nous (akal). Aristoteles mengatakan bahwa 

                        

jiwa kita  berbeda dari jiwa hewan dan tumbuhan karena jiwa kita  

“ditambahkan” uncur “esensi” yaitu akal budi. Berarti (a) jiwa itu ada dan hidup 

duluan di luar tubuh. (b). jiwa itu masuk ke dalam tubuh (c). Jiwa itu telah 

menghidupkan materi tubuh menjadi tubuh yang hidup. (d) Karena tubuh telah 

hidup, maka jiwa “ditambahkan” esensi (akal budi atau nous). Point di ini 

menunjukan bahwa “nous” atau akal budi ditambahkan (ditempelkan) pada jiwa.  

Mengapa Aristoteles menegaskan bahwa nous atau akal budi bersifat  abadi dan 

sementara jiwa kita  akan mati? Kita bandingkan dengan apa yang dibuat 

Sigmund Freud. Sigmund Freud, mengatakan bahwa id yaitu energi jiwa yang 

primitiv dan mendasar, dia yaitu id (bagian jiwa) ada dan terbentuk bersama sejak 

janin terbentuk dalam rahim ibu. Sementara ego dan superego ada dan terbentuk 

mulai pada masa kanak-kanak. Catatan penting: kendati ego dan superego muncul 

lalu , namun  ketiganya (id, ego, superego) memiliki posisi dan hak keseteraan 

yang sama dalam jiwa. Id (tertua atau yang sulung) tidak menggantikan atau 

membatalkan hak keberadaan ego dan superego. 

Kembali ke Aristoteles, dengan istilah atau kata nous atau akal budi 

“ditambahkan” pada jiwa. Berarti bahwa nous atau akal budi yaitu  bagian dari 

jiwa, dan seharusnya tidak menggantikan jiwa dalam hak keabadian. Namun 

Aristoteles menggambarkan hal yang sebaliknya, yaitu nous yang merupakan 

bagian dari jiwa terus akan hidup (keabadian nous), sementara jiwa yang 

hakekatnya ada hidup akan mati.  Pernyataan: sekiranya jiwa tidak masuk ke 

dalam tubuh, dan tubuh materi tidak akan hidup, atau tidak ada kehidupan dalam 

satu tubuh (seseorang). Pertanyaannya: mungkinkah nous atau akal budi masuk 

dan dapat menghidupkan tubuh materi itu? Jiwa seorang telah mati; Apakah nous 

atau akal budi masih tetap bereksistensi dan beraktivitas dalam tubuh jenazah itu? 

Pada hakekatnya (esensi); jiwa yaitu  “hidup” atau “kehidupan” itu sendiri. 

Aktivitas jiwa yaitu  “menghidupi” melalui energi kehidupan jiwa.  (a) Nous atau 

akal budi masuk ke dalam tubuh (tubuh yang sudah ada jiwa dan tubuh yang 

sudah dihidupi jiwa), dan ia memakai  energi atau potensi kehidupan jiwa 

untuk menjalani tugas berpikir dan menyadari. (b) Nous bekerja dan berfungsi 

dengan bantuan jiwa dan memakai  energi jiwa, maka tanpa jiwa, nous tidak 

dapat masuk dalam tubuh. (c) Tanpa jiwa, nous tidak bisa bereksistensi atau 

beraktivitas dalam tubuh. Kesimpulan: gagasan keabadian nous ini, menunjukan 

bukan saja gagasan Aristoteles yang serba kontra versi dan paradoks namun  suatu 

pengingkaran terhadap hakekat dan esensi jiwa yang yaitu  hidup. 

f.  Selain gagasan tentang jiwa (psuche) dan intelek (nous), dimana jiwa pemberi 

hidup bagi tubuh akan mati dan hancur, sementara nous yang incorporeal yaitu  

abadi dan tetap hidup sesudah  kematian. Aristoteles mengemukakan substansi ketiga 

yang bersifat kekal yang tak akan mati. kita  terdiri dari materi (hyle), jiwa 

(soul atau phsyke) dan akal atau pikiran (nous) dan roh (nus) yang disebutnya 

“thyrathen” (seperti roh yang datang dari Tuhan). Dari pembagian ini Aristoteles 

menyatakan bahwa dalam alam kejiwaan kita  ada  jiwa, pikiran dan roh. 

Bagian-bagian ke-jiwa-an yang terus hidup sesudah  kematian yaitu nous (akal) dan 

thyrathen (roh) sementara yang akan mati dan hancur yaitu  soul atau jiwa. 

Pertanyaan: mungkinkah nous dan thyrathen berada dan bereksistensi dalam tubuh 

tanpa kehadiran jiwa? Mungkinkah kehidupan akan terjadi jika Aristoteles merobah 

urutan proses pemicu nya, artinya nous masuk dulu dalam tubuh, menyusul  

thyrathen (roh). Apakah ketermasukan keduanya ke dalam tubuh, sudah dapat 

menghasilkan tubuh material menjadi hidup?  Ataukah keduanya harus menunggu 

jiwa. Jika nous (akal) dan thyrathen (roh) gagal sebab pemicu  kehidupan tubuh, 

sedangkan jiwa yang menghidupkan tubuh; bagaimana Aristoteles mengklaim 

keabadian nous (akal) dan thyrathen (roh) dan membatalkan hak keabadian jiwa. 

Tanpa jiwa masuk dalam tubuh, jiwa yaitu  incorporeal dan abadi. Keabadian jiwa 

tidak tergantung pada tubuh.  (bandingkan konsep jiwa dan proses inkarnasi jiwa-

jiwa oleh Sokrates dan Plato. Alam semesta yaitu  tempat tinggal jiwa yang 

sebenaranya, sedangkan  tubuh yaitu  tempat sementara jiwa yang berikarnasi). 

Akhirnya dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Aristoteles menganalisis  jiwa  

kita  dari berbagai disiplin ilmu (Psikologi, Fisika, Logika, Etika, Filsafat dan 

Poitik). (2) Dalam bukunya generasi hewan Aristoteles menyatakan bahwa sementara 

bagian lain dari jiwa (secara fisik) berasal dari orang tua, sedangkan  nous, harus 

datang dari luar, ke dalam tubuh, karena nous dari yang ilahi atau saleh, dan tidak ada 

kesamaan dengan yang energeia tubuh. (3) Dalam psikologinya, hubungan jiwa 

dengan yang lain, Aristoteles menulis bahwa jiwa sesudah  kematian "tidak ingat," (4) 

Metafisika Aristoteles, Dalam Buku XII, bag.7-10, Aristoteles menyamakan nous 

aktif, saat  orang berpikir dan nous mereka menjadi apa yang mereka pikirkan, 

dengan "penggerak bergeming" alam semesta, dan Tuhan: "untuk aktualitas pemikiran 

(nous) yaitu  hidup, dan Allah yaitu  bahwa aktualitas, dan aktualitas penting dari 

Allah yaitu  hidup yang paling baik dan kekal "Nous sebagai pemicu  adanya ( 

terjadinya)  kosmos. (5) Dalam teori psikologinya Aristoteles menganalogikan 

hubungan jiwa dengan tubuh laksana pisau (kapak) dengan tindakan “pemotongan”. 

Dan (6) Menurut hemat saya 5 point (teori-teori /system) ini menjadi pemicu , 

mengapa Aristoteles mengakui Keabadian akal budi (nous dari yang Ilahi) dan 

menolak keabadian jiwa kita . 

2. Mungkin Konsep Jiwa dari Aristoteles Juga Berkonflik 

Apakah bagian-bagian jiwa kita  dalam pandangan Aristoteles juga 

berkonflik seperti bagian-bagian jiwa menurut Sigmund Freud? Plato membagi jiwa-

jiwa atas berbagai jenis seperti jiwa-jiwa hypercosmic, jiwa-jiwa makrokosmic dan 

jiwa-jiwa mikrokosmis. Khusus untuk jiwa-jiwa kita  (jiwa-jiwa mikrokosmis), ia 

membaginya atas beberapa bagian jiwa. Sementara Aristoteles menghindari istilah 

jenis-jenis jiwa, kendatipun ia mengakui jiwa-jiwa makrokomis yang berada dalam 

tubuh hewan dan tumbuhan. lalu  Aristoteles membagi jiwa kita  atas 

bagian-bagian. Thomas Aquinas maupun Sigmund Freud melakukan hal serupa 

dengan membagi jiwa kita  menjadi bagian-bagian. Muncul pertanyaan: jika 

semua mereka melakukan hal yang sama, mengapa justru Freud menyatakan hal yang 

berbeda dan bertolak belakang?  

Sebelum menjawab pertanyaan di atas terlebih dahulu meninjau kembali latar 

belakang dan arah pembahasan filsuf tentang jiwa-jiwa termasuk jiwa kita . (1) 

Filsuf alam Yunani kuno, dalam membahasnya tentang jiwa-jiwa, perhatian mereka 

lebih terarah pada jiwa-jiwa kosmos atau alam (jiwa-jiwa hypercosmis dan jiwa-jiwa 

makrocosmis): Thales menghubungan jiwa dengan jiwa magnet, Herakletos 

menghubungkan dengan kobaran api abadi. (2). Homer menggambarkan jiwa kita  

dalam dua tataran (a). jiwa dalam hubungan dengan tanggungjawab terhadap negara 

(jiwa kepahlawanan) dan (b). jiwa kita  yang terus hidup dan beraktivitas sesudah  

kematian. (3). Sokrates, Plato dan Aristoteles lebih terfokus pada jiwa kita  dan 

secara umum dalam tiga tataran; (a). Tekanan pertama pada jiwa kita  sebelum dan 

sesudah  proses inkarnasi. (b). Tekanan kedua khusus pada peranan jiwa dalam tubuh 

kita  (b). Tekanan ketiga, terjadi pergeseran atau lompatan dari jiwa dalam tubuh 

ke person (jiwa-jiwa tiap orang) dalam polis sehubungan dengan tanggungjawab 

moral-politik terhadap Negara polis. Artinya jika kita menelaah konsep jiwa dari 

Sokrates, Plato dan Aristoteles maka terlebih dahulu diingat gagasan jiwa ini berada 

dalam tataran (jiwa) dalam tubuh atau (jiwa-jiwa) person warga masyarakat. 

Thomas Aquinas membahas tentang jiwa dalam tubuh kita  dalam 

hubungan dengan keterarahan dan kebersatuan kelak dengan sang pencipta. Sementara  

Rene Descates membahas tentang jiwa kita  lebih menekankan pada hubungan 

jiwa dengan pikiran (cogito). Akhirnya Sigmund Freud membahas jiwa kita  

terarah khusus pada jiwa dengan  efek-efeknya terhadap tubuh dan kepribadian.  Plato 

mengatakan bahwa jiwa terpenjara dalam tubuh. Tubuh yaitu  penjara sekaligus 

kuburan bagi jiwa. Istilah “penjara dan kuburan” sudah menunjukkan bahwa di sana 

jiwa tertekan dan teraniaya. Kata Plato: “selama kita memiliki tubuh yang menemani 

argumen yang kita kembangkan dalam penyelidikan kita, dan jiwa kita tercampur 

dengan hal jahat semacam ini, kita tidak akan pernah mendapatkan apa yang kita 

inginkan”64. Atau dengan meninggalkan tubuhnya kita  akan menemukan hakekat 

segala sesuatu. Dari ketiga pendapat Plato ini secara nyata menggambarkan ada 

konflik dalam tubuh kita . namun  mengapa Plato tak pernah mengatakan bahwa 

jiwa kita  berkonflik. 

Jika jiwa dari Plato merasa tertekan; alias tidak bebas dalam penjara dan 

kuburan tubuh, seharusnya di sana pun terjadi kecemasan dan konflik. Jika jiwa dari 

Aristoteles menyadari bahwa ia akan mati bersama tubuhnya, maka seharusnya timbul 

kecemasan dan konflik, karena jiwa pemberi tubuh kehidupan sementara yang abadi; 

terus hidup yaitu  ratio atau akal budi (nous dan nus). Seharusnya di dalam tubuh 

                                                           

Aristoteles terjadi konflik antara jiwa dengan nous dan nus. Minimal ada protes dari 

jiwa; mengapa saya “jiwa” memberi hidup yang harus mati. 

Mengapa Plato terutama Aristoteles menggambarkan ke-jiwa-an kita  aman 

dan nyaman? Untuk memahami point ini, kita harus kembali pada sudut pandang dan 

disiplin ilmu dalam arti metode pendekatan yang dipakai setiap ilmuan dan filsuf 

dalam mendekati dan mengkaji jiwa. (1) Aristoteles mengkaji jiwa kita  dari 

berbagai disiplin ilmu terutama dari ilmu ekskta. Atas dasar inilah unsur dan ciri 

matematis / rasionalitas memainkan peranan penting, dimana bukan jiwa yang 

menentukan kebenaran namun  akal budi berdasar  kebenaran empiris. (2) Kajian 

Aristoteles terhadap jiwa kita  sasaran pada keamanan dan kesuksesan negara-

kota: polis Yunani kuno, seperti gurunya Plato dan kakeknya Sokrates. Maka terjadi 

pergeseran penekanan fenomena jiwa dalam tubuh kita  bergeser keluar dari tubuh 

kita  dan ditampakan dalam moral (tingkah laku yang baik dan bijakasana) dan 

ketaatan politik (bagaimana menciptakan negara polis yang aman dan damai). (3) 

Dengan ruang lingkup kajian ini maka bukan realitas aktivitas bagian jiwa yang 

berbeda menjadi perhatian Aristoteles, namun  bagaimana peranan akal budi melalui 

potensi jiwa, mengarah dan mengontrol prilaku moral dan tindakan politik masyarakat 

dalam polis. Jika toh terjadi konflik, konflik itu terjadi dalam masyarakat antara person 

bukan dalam person. (4) Sebagai kesimpulan untuk jiwa Aristoteles bahwa Aristoteles 

berawal dari jiwa dalam tubuh kita  (sebagai pemicu  dan penggerak hidup), 

lalu  mengalir keluar kepada masyarakat dalam polis. Bandingkan analogi Plato 

bahwa tubuh kita  laksana bangunan, rumah dan jalan-jalan di kota polis. Negara 

polis, yaitu  tubuh dan masyarakat yang rasional, bermoral yang pantas dalam 

kehidupan politik bijak yaitu  jiwanya. 

berbagai kecemasan dalam batin kita . (3) Misi Freud yaitu  mencari pemicu  

utama mengapa pasiennya stess, neurosis, gila dst serta Freud berupaya mencari solusi 

penyembuhan bagi penderita neurosis (4). Berpedomana pada missi ini, Freud 

menuruh perhatian khusus pada dunia mental (ke-jiwa-an) pasiennya, dan akhirnya ia 

menarik kesimpulan bahwa akumulasi trauma dan konflik yang berkepanjangan dalam 

jiwa dapat mengakibatkan seseorang mengalami neurosis atau sakit jiwa. Akhirnya (5) 

apakah konflik kejiwaan antara id, ego dan superego yang digambarkan Sigmund 

Freud yang dialami penderita neurosis juga dialami oleh orang sehat? Andaikan kita 

menolak bahwa tak pernah terjadi konflik dalam batin kita  seperti yang 

digagaskan Sigmund Freud, namun pada kenyataan dalam batin atau jiwa kita , di 

sana sering terjadi  kecemasan. Kecemasan-kecemasan ini timbul dan terjadi akibat 

desakan (atau ketegangan) antara ketiga tuntutan yaitu Plesure Principle (id), Reality  

Principle (ego) dan Morality Principle (superego). 

 

4. Kelima Alasan Aritoteles Menolak Keabadian Jiwa 

Beberapa alasan mengapa Aritoteles menolak keabadian jiwa. Aristoteles 

memilih keabadian akal budi dan menolak keabadian jiwa karena. Aristoteles 

menganalisis  jiwa  kita  dari berbagai disiplin ilmu (Psikologi, Fisika, Logika, 

Etika, Filsafat dan Politik). Dalam bukunya generasi hewan Aristoteles menyatakan 

bahwa sementara bagian lain dari jiwa (secara fisik) berasal dari orang tua, sedangkan  

nous, harus datang dari luar, ke dalam tubuh, karena nous dari yang ilahi atau saleh, 

dan tidak ada kesamaan dengan yang energi tubuh. Dalam psikologinya, hubungan 

jiwa dengan yang lain, Aristoteles menulis bahwa jiwa sesudah  kematian "tidak ingat," 

Metafisika Aristoteles, Dalam Buku XII, bag.7-10, Aristoteles menyamakan nous 

aktif, saat  orang berpikir dan nous mereka menjadi apa yang mereka pikirkan, 

dengan "penggerak bergeming" alam semesta, dan Tuhan: "untuk aktualitas pemikiran 

(nous) yaitu  hidup, dan Allah yaitu  bahwa aktualitas, dan aktualitas penting dari 

Allah yaitu  hidup yang paling baik dan kekal "Nous sebagai pemicu  adanya 

(terjadinya)  kosmos. Dalam teori psikologinya Aristoteles menganalogikan hubungan 

                           

jiwa dengan tubuh laksana pisau (kapak) dengan tindakan “pemotongan”.6667 Beberapa 

alasan ini di atas kiranya menjadi alasan mengapa Aristoteles menyatakan 

gagasannya yaitu menolak keabadian jiwa. 

 

5. Pendefenisian istilah jiwa 

Akhirnya kita sampai pada pendefenisian istilah jiwa. Dipenghujung tesis ini 

penulis mencoba menjawab pertanyaan apa itu jiwa-jiwa makluk hidup dan apa 

sesungguhnya jiwa kita . Jiwa-jiwa yaitu   “sesuatu” seperti energi atau zat 

pembawa kehidupan yang ada dalam tubuh benda, hewan, tumbuhan dan kita  

yang berfungsi menghidupkan dan menggerakan tubuh. Jiwa kita  yaitu  

“kesesuatuan” seperti “person” yang serupa dengan personnya seseorang atau 

“pribadi” (mirip dengan kepribadiannya)  seseorang. Dengan kata lain  jiwa yaitu “ke-

sesuatu-an” (“person”) yang sama mirip namun  tidak sama persis dengan tubuh jasmani 

seseorang yang memasuki tubuh serta menghidupi tubuh, dan saat  kematian tiba, 

jiwa pergi meninggalkan tubuh.  

                                                            


Jiwa-jiwa di dalam alam semesta ini diketegorikan dalam tiga kelompok besar 

yaitu pertama, jiwa-jiwa hypercosmis, kedua, jiwa-jiwa macrocosmis, dan ketiga, 

jiwa-jiwa microcosmis. Masyarakat Yunani kuno, masyarakat tradional Inggris dan 

Jerman, bahkan masyarakat pasca post modern; para filsuf Yunani kuno, filsuf zaman 

keemasan filsafat Yunani klasik, filsuf dan ilmuan (theolog), Zaman Pertengahan dan 

Zaman Modern memiliki pamahaman yang unik dan khas tentang jiwa-jiwa alam 

semesta terutama jiwa kita . Dari semua kelompok masyarakat, filsuf dan ilmuan 

di atas menerima dan mengakui bahwa: 

Pertama, Setiap makluk memiliki daya dan energi kehidupan dalam dirinya, bagi 

sebagian besar dari mereka menyebut energi daya kehidupan dengan nama “jiwa” 

(jiwa kita , jiwa hewan, jiwa tanaman, jiwa malaikat, jiwa alam dst). 

Kedua: Kendati setiap makluk memiliki jiwa, namun  jiwa pada kita  berbeda 

dengan jiwa pada makluk lain, karena jiwa kita  selain memiliki energi kehidupan, 

jiwa itu memiliki (esensi jiwa)  nous atau akal budi (Aristoteles). 

Ketiga, Mereka semua mengakui bahwa jiwa dalam tubuh setiap makluk hidup 

berfungsi untuk menghidupi dan menggerakan organisme tubuh jasmani. Tatkala 

makluk jiwa pembawa kehidupan itu berpisah dari tubuh jasmani pada peristiwa 

kematian kita  misalnya, maka tubuh jasmani “mati” dan akan hancur. Sementara 

tentang  “jiwa”, ada  dua pendapat yaitu (1) yaitu  kelompok yang mengakui 

keabadian jiwa (Homer, sebagian filsuf Yunani kuno, Sokrates dan Plato, Thomas 

Aquinas dan para theolog). Menurut mereka sejak peristiwa kematian kita  itu 

terjadi pada diri seseorang maka sejak saat itu jiwa akan keluar dan kembali  pada 

“asalnya”. (2). Kelompok kedua yang menolak keabadian jiwa seperti masyarakat 

Yunani kuno, Aristoteles (bukan jiwa yang hidup terus namun  “nus”), dan kaum Atheis.  

Keempat, Sehubungan dengan hakekat jiwa ada  dua paham yang satu menganut 

dualism jiwa dan yang lain menganut paham monism jiwa. Paham monism jiwa 

nampak dalam karya Homer dan matrialism, sementara paham dualisme (atau 

mungkin lebih) nampak pada karya filsuf yang membagi jiwa kita  atas beberapa 

bagian termasuk Sigmund Freud; psikoanalisis. 

Kelima, Sehubungan dengan kodrati jiwa ada  dua paham yang berbeda, 

kelompok materialism memandang jiwa sebagai energi matrial, bagian dari kodrati 

jasmani yang akan hancur, sedangkan  kelompok yang  mengakui jiwa sebagai energi 

kehidupan atau “person” yang bertubuh roh, berkodrati rohani, menyatakan bahwa 

jiwa itu akan tetap hidup, sesudah  kematian itu terjadi. 

Keenam, Sehubungan dengan asal jiwa kita , ada  jawaban yang beragam. 

kelompok filsuf alam terutama filsuf  Yunani kono berpendapat bahwa jiwa berasal 

dari kekuatan alam atau kosmos melalui proses reinkarnasi jiwa pada tubuh-tubuh 

yang baru. Kelompok filsuf Zaman Keemasan seperti Sokrates dan Plato, dan Platonis 

mengakui jiwa berasal dari kekuatan super natural tunggal yang merupakan sumber 

kehidupan (Plato dengan ide murni dan Platinos dengan To Hen). Sementara 

kelompok yang lain termasuk theolog mengakui bahwa jiwa diciptakan oleh Sang 

Pencipta  (Tuhan, Allah dan istilah lainnya) dengan cara yang dikehendaki Tuhan 

sendiri (misalnya, Aquinas dengan konsep immiteri). 

Ketujuh, Tentang realitas jiwa kita . Kelompok terbesar baik paham monism 

maupun dualism jiwa dan termasuk para psikolog (ada  yang membagi jiwa kita  

atas beberapa bagian) mereka menyatakan bahwa pada dan di dalam jiwa kita  itu 

aman dan damai (tak ada konflik). Sebaliknya hanya Sigmund Freud pendiri 

psikoanalisis memiliki pendapat yang berseberangan dengan menyatakan bahwa jiwa 

kita  senantiasa berkonflik dan dilanda kecemasan tiada hentinya.  

Menurut hemat saya, paham yang berbeda ini disebabkan oleh (1):  Sehubungan 

dengan substansi obyek kajian, apakah yang didekati yaitu  hakekat dan esensi jiwa 

atau hanya energi dan akitivitas dari jiwa yang tampak melalui tubuh? (2). 

Sehubungan dengan realitas dan kondisi dari obyek kajian. Artinya kondisi kita  

(keadaan ke-jiwa-an kita ) seperti apa yang dianalisa oleh filsuf dan ilmuan? (3), 

Metode yang digunakan dalam kajian. (4) Dari disiplin ilmu yang mana. (5). Sasaran 

dan tujuan yang hendak dicapai. 

Sigmund Freud memakai sampel penelitian yaitu  para penderita neurosis 

(pasien sakit jiwa dst), maka Freud mencari apa pemicu nya, sehingga ia sampai 

pada konflik jiwa. Berbeda dengan Sokrates, Plato dan Aristoteles menganalisis jiwa 

kita  dalam kaitan dengan polis (moralitas yang baik dalam masyarakat dan polis). 

Sekalipun substansi ke-jiwa-an kita  sebagai dasar perubahan prilaku (yang 

menjadi sasaran utama kajian), namun karena masyarakat dan warga polis bukan 

kumpulan makluk jiwa-jiwa, namun  kumpulan pribadi-pribadi kita , maka obyek 

jiwa bergeser ke obyek pribadi (kita  utuh). Jadi toh kalau ada konflik yang terjadi 

antara bagian-bagian jiwa, itu luput dari perhatian dan kajian (Sokrtes, Plato dan 

Aristoteles) karena perhatian diarahkan kepada person kita  utuh (warga polis) 

yang bertanggungjawab atas polis.