dan
secara hakiki hanya diperuntukan bagi tubuh. Jiwa menghidupkan tubuh, jiwa
menggerakan tubuh, dan tubuh akan menjalani kehendak jiwa. Singkatnya: Jiwa tidak
dapat tanpa tubuh atau " the soul cannot be without a body.” 42
Pandangan Santo Aquinas tentang hubungan jiwa dan tubuh kita . Jiwa
merupakan titik pusat temu antara yang jasmani (materi-tubuh) dan dengan yang
rohani (jiwa).43 Dalam gagasan Thomas perpaduan jiwa dan tubuh yaitu perpaduan
yang belum lengkap, menunjuk pada gagasan In octu primo menuju in octu sekundo.
In acto primo yaitu kita bayi atau kita anak belum sempurna karena belum
memiliki kesadaran diri dan kemampuan berpikir (inacto sekundo) atau belum
memiliki kesadaran jiwa. Menurut Thomas Aquinas bagian jiwa dengan fungsi
kejasmanian untuk berpikir dan berkehendak. Melalui in acto sekundo, kejasmanian
jiwa mengenali dirinya dan melakukan perbuatan. Melalui intellectus (akal budi: jiwa
pikiran dan kesadaran) sebagai daya pendorong rohani yang mengarahkan kita
pada tujuan abadi. Jiwa rohani; intellectus atau akal budi yang membimbing pikiran,
kesadaran dan kehendak bebas (taat dan bertanggung jawab sesuai hukum kodratinya)
serta suara hatinya, mengarahkan kita kepada Allah dan memungkinkan bersatu
dengan-Nya; ‘Desiderium naturale ad deum” 44; kita memandang Allah.
(1) Pikiran itu yaitu kesadaran, tidak mengambil tempat dalam ruang. Materi
yaitu perluasan sehingga dapat mengambil tempat dalam ruang dan tidak
memiliki kesadaran. (2) Substansi ini tidak memiliki hubungan satu sama
lain. Pikiran sama sekali tidak tergantung pada materi, sebaliknya proses materi juga
tidak tergantung pada pikiran dualisme. (3) kita yaitu makhluk ganda yang
memiliki pikiran dan badan perluasan. (4) Apa yang kita pikirkan dengan akal kita
terjadi di dalam badan dan di dalam pikiran, namun sama sekali tidak tergantung pada
realitas perluasan.
Sementara Rene Descartes tidak dapat menyangkal bahwa ada interaksi
konstan antara pikiran dan badan. Interaksi konstan berlangsung antara "roh" dan
"materi", jiwa dengan badan dan pikiran dengan tubuh. Descartes melihat ada
hubungan erat antara roh, jiwa, pikiran (kelenjar tunggal pinealis) dengan tubuh
sebagai satu kesatuan dalam proses berpikir dan menyadari. Artinya jiwa berpikir dan
bertindak dengan memakai tubuh atau tubuh menampilkan kehendak jiwa dan
pikiran. Jiwa dan pikiran berpusat dan bekerja melalui bagian-bagian integral tubuh
seperti kelenjar pinealis, otak dan saraf-sarafnya. Sebaliknya tumbuh merespons
ransangan realitas dan dikirimkan ke otak melalui inderawi, diloah oleh kelenjar
pinealis, disadri oleh jiwa dan dipikirkan oleh pikiran (cogito).
Tubuh yaitu mesin dalam arti (1) Tubuh yaitu parmenen dan independent
dalam fenomenanya. Artinya secara alamiah tubuh bergerak dan beraktivitas di luar
koordinasi pikiran dan jiwa. Bandingkan tubuh seperti motor yang meluncur di jalan
bebatuan. Sekali mesin dihidupkan dan motor meluncur, bannya akan melewati jalan
berbatu tanpa dikontrol mesinnya. Atau bandingkan gerakan-gerakan reflex atau
gerakan berulang oleh tangan atau kaki. (2) Tubuh yaitu mesin bagi jiwa melalui
pikiran. Tubuh tidak saja menampilkan kehendak jiwa namun melakukan apa yang
menjadi perintah dan instruksi jiwa dan pikiran. Misalkan saat mencari sesuatu
dalam ruangan yang gelap, maka jiwa melalui pikiran membangkitkan kembali
momori (ingatan), selanjutnya jiwa dan pikiran menuntun tubuh dalam pencariannya.
Selanjutnya kita menyimak pandangan Gabriel Marcel tentang hubungan jiwa
dan tubuh kita . Gabriel Marcel (1889-1973), salah satu thema utama dalam
filsafatnya yaitu mengenai “tubuh” dalam hubungan dengan jiwa, pikiran dan
perasaan atau inderawi. Analogi Marcel, "Saya memiliki tubuhku" dengan "Saya
memiliki anjingku" mengandung tiga aspek: (1), antara saya dan tubuhku tidak
ada struktur qui-quid (subyek yang memiliki dan yang dipunyai) seperti (2),
antara saya dan anjingku; tubuh tidak berada di luar saya seperti halnya dengan anjing;
(3), saya tidak merupakan "yang lain" terhadap tubuhku seperti saya merupakan "yang
lain" terhadap anjingku. (4) Tubuh tidak berada antara aku dan apa yang sedang
dikerjakan. Marcel menegaskan bahwa tubuh bukanlah alat seperti martil berada
antara tukang kayu dan papan yang sedang dikerjakan, atau contoh lain bila saya
menulis, tubuh tidak berada antara "aku" dan kertas.
Penekanan Marcel dalam ajaran tentang tubuh memakai istilah:
“memiliki , ada, merasakan dan menerima”. Pertama pemaknaan istilah
"memiliki " dan "ada" dikaitkan dengan tubuh. Saya memiliki tubuhku atau saya
yaitu tubuhku. Tubuhku bagi saya bukan obyek, melainkan selalu melibatkan
pengalaman (pikiran dan jiwa) saya sendiri tentang organisme fisis-kimiawi (tubuhku).
Menurutnya; “tubuh” yaitu "alat absolut", artinya alat bagi sesuatu yang lain. Tubuh
yaitu "prototipe" di bidang "memiliki ", yang memungkinkan untuk memiliki
namun tidak dipunyai oleh sesuatu yang lain. Sekalipun demikian saya tidak identik
begitu saja dengan tubuhku. namun jelas penengahan antara saya dan tubuhku tidak
bersifat instrumental. Marcel menyebutnya “sympathetic mediation”: penengahan
pada taraf "merasakan" (sentir).
Kata Marcel “Saya yaitu tubuhku, hanya sejauh saya yaitu makhluk yang
merasakannya”. “Merasakan" atau proses "merasakan" hendaknya dimengerti sebagai
suatu "message" dari luar yang diterima di dalam subyek. Garis pemisah yang ditarik
antara "di luar" dan "di dalam" harus ditolak karena "menerima" dalam hal perasaan
tidak pernah sama dengan "menerima semata-mata pasif". "Menerima" di sini harus
dimengerti sebagai partisipasi, membuka diri, memberikan diri; "menerima" seperti
tuan rumah menyambut tamu-tamunya. Sedangkan kata "merasakan" berarti menerima
dalam wilayah yang merupakan wilayah saya; "inkarnasi" kita hanya mungkin
karena dengan tubuhku, saya berada dalam dunia, bukan saja dalam arti bahwa saya
dapat mempengaruhi benda-benda, namun juga dalam arti bahwa saya terpengaruhi
oleh benda-benda. Dualisme antara "di luar" dan "di dalam" harus ditinggalkan. Re-
inkarnasi itu merupakan titik tolak refleksi filosofis dan bukan cogito atau kesadaran,
kata Marcel.
D. Hubungan Jiwa kita Dengan Pikiran (Nous)
Menurut encyclopedia Britannica, Anaxagoras yaitu orang pertama (pasti)
telah menjelaskan konsep nous. Menurutnya, nous termasuk bagian dari jiwa atau soul
(psuchÄ“). Nous yaitu sesuatu yang “tipis dan bersifat murni”. Nous yaitu “asal dari
segala sesuatu yang memiliki semua pengetahuan tentang segala sesuatu”. Nous
memiliki kekuatan terbesar serentak berkuasa atas segala sesuatu (yang besar maupun
yang lebih kecil). Dalam doktrin nous dari Anaxagoras, Plato, dan Aristoteles, mereka
menghubungkan nous atau akal budi dengan diri sang kekal, dimana ia dari sekaligus
menjadi untuk dirinya sendiri. Selanjutnya nous juga diartikan sebagai mind (pikiran)
dan soul (jiwa) yang merupakan arsitek dari semua yang ada. Nous yaitu realitas,
yaitu jiwa (soul), akal (nous), dan ide kebaikan (Yang Baik). Nous sebagai prinsip
tatanan dunia dan keharmonisan hidup.
Jadi menurut Anaxagoras (1) nous termasuk atau bagian dari jiwa. (2) nous
memiliki semua pengetahuan, dan (3) naus sebagai asal atau sumber segala sesuatu.
(4) berdasar doktrin bersama nous maka nous dihubungkan dengan sang kekal
atau sang Pencipta yaitu pernyataan ekspilist-tegas atas subyek tersirat nous
Anaxagoras (nous point ke-2 dan ke-3). Dengan singkat ungkapkan nous sang kekal
yaitu nous yang memiliki semua pengetahuan dan merupakan asal dan sumber segala
sesuatu. Dialah, nous sang kekal atau sang pencipta (Allah). (5) Pada pernyataan
kedua nous diartikan sebagai mind dan soul (pikiran dan jiwa). Pernyataan ini
semakna dengan pernyataan point satu Anaxagoras (nous termasuk jiwa). Pernyataan
bagian ini mengaburkan identitas nous maupun soul.
Bandingkan dengan kata yang digunakan menghubungkan nous dengan soul.
Anaxagoras memakai kata “termasuk”, (nous termasuk soul) bukan kata “yaitu ”
atau “yaitu”. Doktrin nous, memakai kata “menghubungkan” (menghubungkan
dengan sang kekal). (6) Kedua kata “termasuk” dan “menghubungkan” menunjukkan
bahwa sang kekal memiliki nous tertinggi sebagai sumber dan asal semua nous. (7)
Problemnya ada pada penggunaan kata “soul”. Artinya apakah nous itu sama
dengan soul? Apakah sang kekal yaitu soul atau Dia yaitu soul tertinggi (sebagai
sumber dan asal) yang memiliki nous universal ?
Sokrates berkata dalam apologia, "Hidup yang tidak dikaji yaitu hidup yang
tidak layak untuk dihidupi”. Maka dengan mengkaji hidupnya seseorang sampai pada
pengenalan dirinya (kenalilah dirimu sendiri). Kata Sokrates ..”True wisdom comes to
each of us when we realize how little we understand about life, ourselves, and the
world around us.”45 "Kebijaksanaan sejati datang kepada kita masing-masing saat
kita menyadari betapa sedikit yang kita mengerti tentang kehidupan, diri kita sendiri,
dan dunia di sekitar kita." Olehnya itu kita yang yaitu makhluk yang terus-
menerus mencari dirinya sendiri dan yang setiap saat harus menguji dan mengkaji
secara cermat kondisi-kondisi eksistensinya, sehingga ia dapat mengenal dirinya
sendiri. Jika diteliti secara saksama dari kedua pernyataan Sokrates maka tampak
bahwa Sokrates menekankan subyek nous dengan eksistensi dan aktivitasnya. Secara
tersirat Sokrates menyatakan bahwa nous (kita ) sebagai subyek atas soul (atau
nous yang memikirkan soul).
Aristoteles, jiwa hubungan dengan intelektual (nous), menjadi 2 bagian utama,
yaitu: (a) Musyawarah atau perhitungan dan (b). Ilmiah atau teoritis. Point pertama
(musyawarah atau perhitungan) terbentuk divisi tripartit jiwa intelektual yang terdiri
dari (a.1) Teknis / produk seni, (a.2). Kehati-hatian / seni melakukan dan (a.3).
Teoritis. Namun, apa yang penting dari perspektif filsafat pikiran yaitu bahwa
Aristoteles tidak percaya bahwa kecerdasan dapat dipahami sebagai bahan sesuatu.
Dia berpendapat sebagai berikut: jika intelek yang material maka itu tidak bisa
menerima semua bentuk. Jika intelek yaitu organ bahan tertentu (atau bagian dari
satu) maka akan dibatasi hanya menerima jenis informasi tertentu, seperti mata
dibatasi untuk menerima fenomena data visual dan telinga dibatasi untuk menerima
fenomena data pendengaran. Karena akal mampu menerima dan merenungkan semua
bentuk data, maka tidak harus menjadi organ fisik.
Dari semua isi alinea pertama Aristoteles menghubungkan soul di dalam nous
untuk menyatakan eksistensi dan aktivitas soul. Dengan kata lain eksistensi soul
ditampilkan dan dinyatakan melalui nous. Dari dan melalui nous, potensi-potensi soul
diwujudnyatakan dan sebaliknya nous berkerja melalui dan dengan energi dari soul.
Selanjutnya dalam isi alinea kedua, Aristoteles khususnya menekankan esensi dari
nous, bahwa nous bukan substansi material yang terbatas dalam ruang dan waktu.
Dengan demikian soul dan nous memiliki esensi yang sama namun soul sebagai yang
pertama bagi nous untuk menyatakan dirinya sekaligus menyatakan soul.
Menurut Aristoteles, “nous” pada lapisan atau tahapnya yang tertinggi
memahami bahwa kemampuannya untuk menatap deretan itu sebagai deretan yang
mengandung kemampuannya untuk menegaskan adanya “yang menggerak tanpa
digerakkan sendiri” (”motor immobilis“). Keyakinan itu dihasilkan “nous” bukan
sebagai “nous pathetikos” (”intellectus passivus” atau “possibilis“) yang terutama
dipengaruhi oleh kesan-kesan inderawi, melainkan sebagai “nous poietikos”
(”intellectus agens“) yang ikut menentukan isi pemahamannya secara aktiv, karena
suatu “daya pencipta” yang ternyatalah termuat di dalamnya.
Pada alinea ketiga ini, Aristoteles secara implisit menghubungan nous-nya
dengan nous kekal dari doktrin nous bersama, yang ia sebut “nous poietikos”
(”intellectus agens“) yang mengandung potensi dan energi penciptaan dalam dirinya.
Nous sang kekal atau nous universal sang asal dan sang sumber pengerak, namun ia
luput dari digerakan, karena Dia (nous kekal) yaitu sumber gerak, sumber nous dan
sumber jiwa-jiwa. 46
Bagaimana pandangan Gereja Ortodokx tentang hubungan jiwa kita
dengan pikiran? St. Gregory dari Palamas memakai istilah nous dalam
pengertian; Nous atau pikiran yaitu segenap jiwa, gambar dan juga merupakan
kekuatan jiwa. Tuhan Trinitarian yaitu nous yang memiliki firman dan roh, maka
jiwa juga memiliki; nous atau pikiran, kata-kata dan semangat. Hati yaitu inti dari
jiwa, dan aktivitas nous terdiri dari pikiran dan gambar konseptual berasal dari energi
jiwa. Oleh karena itu nous terlalu memiliki esensi dan energi. Jadi istilah nous
digunakan kadang-kadang berarti esensi dan kadang-kadang berarti pula energi atau
tindakan. Dalam Alkitab disebut hati. "nous yaitu mata jiwa;` tak terpisahkan antara
satu sama lain dan juga mereka tidak memiliki karakter pribadi". Kata yaitu
pengetahuan spiritual ditanamkan dalam nous. Kata yaitu yang mengekspresikan
pengalaman dan kehidupan nous, dan menurutnya hal ini terjadi dalam roh.
St Yohanes dari Damaskus, telah mengidentifikasikan jiwa dengan nous.
Sehubungan dengan nous dan pertukaran jiwa, Ia menulis bahwa nous yaitu bagian
paling murni dari jiwa dan nous yaitu mata jiwa. Menurutnya "jiwa tidak memiliki
nous sebagai sesuatu yang berbeda dari dirinya sendiri, namun sebagai bagian yang
paling murni, sebagai mata untuk tubuh. Itulah manfaat nous bagi jiwa". Dengan
demikian ia mengatakan bahwa jiwa memiliki nous sebagai matanya. Theoleptos,
metropolitan Philadelphia, mengajarkan: "saat , sesudah mengakhiri gangguan
eksternal dan menguasai pikiran batin, maka nous akan bergerak untuk tindakan
spiritual dan kata-kata." Upaya untuk menjaga nous / pikiran murni dan untuk
membebaskan diri dari hasil banyak gangguan dalam penampilan di dalam diri kita
dari nous, yang telah mati dan tak terlihat.
St Yohanes dari Tangga, "keheningan tubuh yaitu pengetahuan yang akurat
dari manajemen perasaan dan persepsi. Keheningan jiwa juga merupakan pengetahuan
yang akurat tentang pikiran seseorang dan pikiran yang tak tergoyahkan". saat
seseorang bertekun dalam perjuangan ini, dan terutama saat nous telah terpikat oleh
kerajaan Allah, maka pikiran lenyap seperti fenomena-fenomena yang tersembunyi
saat matahari terbit”. Selain penelitian keheningan dari nous, cara lain untuk
mencegah nous dari berbagai perasaan yang tak menyenangkan yaitu dengan cara
menghindari pemicu yang menimbulkan pikiran. Abba Dorotheos, dalam gereja
Tradisi Ortodoks, seiring dengan upaya pertobatan dan kehidupan asketis Gereja,
untuk memurnikan nous sehingga diterangi oleh energi Allah dimana nous menerima
kasih karunia, yaitu vitalised, diangkat ke posisi yang tepat, dan lalu dalam
gudang rahmat terhadap kecerdasan. Dengan cara ini intelijen menjadi hamba nous
yang disukai dengan rahmat, dan akan kembali ke keadaan alami kita. Abba
Dorotheos; mengatakan bahwa setiap kali muncul kembali keinginan yang bergairah
dalam jiwa, maka seakan-akan pikiran atau nous disiapkan untuk melawan atau segera
menolaknya.47
Akhirnya dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) St Gregory dari Palamas;
nous segenap jiwa, sebagai gambaran esensi, energi dan kekuatan jiwa. Searah
dengan kata Alkitab bahwa nous yaitu mata jiwa. Kata-kata dan pengetahuan
spiritual ditanamkan dalam nous. (2) St Yohanes dari Damaskus, jiwa sama dengan
nous. nous yaitu bagian paling murni dari jiwa dan nous yaitu mata jiwa. Jiwa
yaitu mata jiwa dan sekaligus mata untuk tubuh. (4). Theoleptos, dengan menguasai
pikiran jiwa maka nous akan bergerak menuju tindakan spiritual. (5) St Yohanes dari
Tangga, keheningan jiwa (juga keheningan tubuh) merupakan pengetahuan tentang
pikiran / nous. Cara memelihara kemurnian nous melalui asketis agar nous terpikat
oleh kerajaan Allah, menerima kasih karunia dan diterangi energi Allah. Abba
Dorotheos, tradisi Ortodoks, saat munculnya gairah dan keinginan negetif dalam
jiwa, nous bersiap untuk melawan dan menolaknya.
E. Hubungan Jiwa Dengan Kematian kita .
Tugas berat dan merupakan perkara yang tak terselami bagi kemampuan
berpikir kita yaitu bagaimana caranya mengamankan konstruksi kesatuan jiwa
dan badan. Artinya dari kesadaran berpikir kita ia berusaha agar tidak sampai
terjadi keterpisahan antara jiwa dan tubuhnya, karena itu problem yang mengerikan.
Perjuangan ini pasti ditentang Plato, sementara bagi Aristoteles; itu tergantung nasib,
selanjutnya bagi Rene Descartes tak perlu dirisaukan, sedangkan menurut Freud itu
segera dibenahi dan akhirnya bagi Martin Heidegger, perlu dicari titik awalnya.
Bagaimana pandangan Masyarakat Yunani Kuno, tentang kematian dan nasib
jiwa kita ? Burnet melalui theory soul Yunani kuno, mengutip kata Aristoteles
berikut: “ The human soul, ceases to exist upon death”. Gagasan Aritoteles ini seiring
dengan keyakinan masyarakat Yunani kuno terhadap nasib jiwanya sesudah peristiwa
kematian itu tiba; “They think that after it has left the body it no longer exists
anywhere, but that it is destroyed and dissolved on the day the man dies.” 48 diketahui
bahwa menurut mereka, jiwa yaitu hal yang material akan hancur dan tersebar
"seperti napas atau asap".49 Dengan demikian masyarakat Yunani kuno berpendapat
bahwa saat terjadi perstiwa kematian atas diri kita , maka berakhirlah segala-
gala. Baik tubuh maupun jiwa mati menghilang. Jiwa diidentikan dengan napas dan
asap yang hilang sirna. Keyakinan mereka diadopsi dan sekaligus diperkuat oleh
Aristoteles bahwa sesudah kematian tidak ada lagi jiwa (jiwa ikut mati dan
menghilang) sama dengan napas, asap dan pemotongan dari pisau. Pandangan
matrialistik jiwa ini bertentangan dengan pendapat Homer, filsuf Yunani kuno dan
terutama Sokrates dan Plato yang menganut keabadian jiwa kita . Plato
menegaskan bahwa tempat kehidupan jiwa-jiwa berada di alam semesta dan
selanjutnya jiwa-jiwa itu berpeluang untuk menjalani proses reinkarnasi pada tubuh-
tubuh berikutnya. Sekalipun Aristoteles menolak keabadian jiwa, namun ia
memperkenalkan substansi lain yang datang dari luar, masuk ke dalam tubuh kita
yaitu nus atau roh. Menurutnya bahwa roh atau nus inilah yang tetap hidup sesudah
kematian seseorang kita .
Puisi-puisi Homer memakai kata jiwa dihubungkan kematian di medan
perang. kita dikatakan; telah memiliki dan akan kehilangan jiwanya. Pasukan
yang memilih masuk medan perang akan berhadapan dengan kematian dan kehilangan
jiwanya. saat kematian tiba jiwa akan meninggalkan tubuh dan tubuh sementara
badan orang ini menuju ke bawah (kematian) di mana memiliki akhirat yang
menyedihkan sebagai bayangan dan gambaran dari orang yang meninggal.50
Pada puisi lain Homer menyatakan: “The 'soul' was an eminently appropriate
word to use so as to denote the person, or quasi-person, that continued to exist after
death”. Dan “'soul' as that which endures in the underworld after a person's death”. 51
Pernyataan pertama dari Homer menunjukan bahwa (1) hanya istilah “jiwa”
merupakan kata yang tepat (nyata) yang dapat digunakan untuk menunjuk orang atau
pribadi yang terus atau tetap ada sesudah kematian seseorang itu terlaksana.
Selanjutnya pernyataan bagian kedua memberi tekanan khusus pada kelanjutan hidup
jiwa, yang tak akan mati yaitu (2) jiwa sebagai sesuatu yang tetap bertahan di bawah
(dunia kematian) sesudah kematian seseorang terlaksana. Dari kedua pernyataan ini
menunjukan bahwa kehidupan sesudah kematian merupakan tujuan dari kehidupan di
dunia kini. Bagi Homer tak ada kematian dan kehancuran bagi jiwa. Dengan demikian
pendapat Homer bertolak belakang dengan keyakinan masyarakat Yunani kuno pada
zaman itu (abad ke-6 sampai ke-5 sebelum masehi).
Kesimpulan: (1), Jiwa kita memiliki nasib yang sama ditangan pandangan
masyarakat Yunani kuno dan Aristoteles. (2). Kematian yaitu akhir perjalanan jiwa
bersama tubuh. (3). Homer, kematian merupakan pengalaman menarik untuk jiwa
namun pengalaman menyedihkan bagi tubuh. (4). Bagi Homer kematian tubuh
merupakan gambaran menyedihkan bukan saja bagi tubuh namun juga bagi kita .
Selanjutnya kita mengkaji pandangan Sokrates dan Plato tentang kematian dan
nasib jiwa kita . Socrates dalam dialog (di phaedo), ia diajukan pertanyaan berikut
oleh lawan diskusinya: "Apakah kau tidak menyadari bahwa jiwa kita yaitu abadi
dan tidak pernah hancur?" lalu Sokrates menjawabnya: “saya tidak hanya
mengatakan bahwa jiwa yaitu abadi, namun juga bahwa jiwa itu merenungkan
kebenaran sesudah pemisahan dari badan pada saat kematian”. 52 Berhubungan dengan
kematian kita , Plato berpendapat bahwa “kematian hanyalah permulaan dari suatu
reinkarnasi baru yang lebih rendah atau lebih tinggi daripada keberadaannya
sebelumnya”. Dan dalam karyanya: phaidros, Plato berkata bahwa “sesudah 10.000
tahun, jiwa akan kembali ke asal usulnya”53 (Dunia Kayangan).
Dalam pernyataan Sokrates di atas, bukan saja menunjuk pada keabadian jiwa
kita , namun serentak menyatakan aktivitas jiwa sesudah kematian; misalnya jiwa itu
merenungkan tentang keterpisahan itu sendiri. Pendapat Sokrates dipertegas oleh Plato
bahwa kematian yaitu permulaan hidup baru bagi jiwa, dan sekaligus peluang bagi
jiwa yang telah bebas itu berinkarnasi di masa mendatang hingga 10.000 lalu
saatnya ia kembali asalnya. Sebagai kesimpulan Sokrates maupun Plato memiliki
pemahaman yang sama tentang kematian dan nasib jiwa kita sesudah kematian. (1)
Kematian yaitu moment tepat untuk keterpisahan dan pemebebasan diri jiwa dari
tubuh. (2), Kematian yaitu awal kehidupan baru bagi jiwa. (3). Kematian merupakan
pilihan aternatif bebas bagi jiwa untuk leluasa berinkarnasi. (4), Kematian member
kesempatan terbaik bagi jiwa untuk menikmati pengetahuan dan kebijaksanaan tanpa
halangan (tubuh). Pertanyaan refkleksi lanjutan: Jika dengan kematian jiwa bebas
menikmati pengetahuan dan kebijaksanaan, mengapa harus jiwa memilih berinkarnasi
dalam tubuh yang baru ? (masuk lagi dalam penjara), maka (5), Plato menegaskan
bahwa dibutuhkan 10.000 tahun untuk jiwa kemabali ke asal usulnya. Dengan
demikian sepanjang masa itu jiwa berulangkali dapat berinkarnasi (Sokrates). (6).
Setiap kali kematian tubuh dan proses inkarnasi, tampaknya jiwa terus memurnikan
dirinya agar ia pantas kembali ke asal usulnya.
Plato memiliki pandangan khusus tentang kematian dan keabadian jiwa.
Menurut Plato “ide” yaitu kenyataan sesungguhnya hanya ada dalam dunia.
Sedangkan realitas yang ada di dunia hanyalah sekedar bayangan dari ide-ide.[4]. Jiwa
berasal dari kayangan, dunia ide-ide. Dunia diciptakan sebelum jiwa thnaios sementara
jiwa kita diciptakan oleh "sang tukang" (Demiurgos) dan menempatkan di dalam
dunia, bukan di dalam tubuh. Jiwa hidup dan tempat berada di dunia dan dialam
semesta. Dunia inilah tempat kediaman jiwa yang sesungguhnya. Jiwa masuk kedalam
tubuh kita ada suatu pilihan dan keputusan jiwa terhadap peluang reinkarnasi.
Pada suatu saat jiwa mengalami inkarnasi dan masuk ke dalam tubuh yang baru.
Jiwa berada dalam tubuh merupakan suatu kebetulan sekaligus bencana bagi jiwa itu
sendiri. Jadi dunia yang sekarang (tubuh) yang ditempati jiwa bukanlah dunia jiwa
yang sesungguhnya namun dunia sementara atau dinia imitasi.
Pada mulanya kita yaitu roh murni yang hidup dari kontemplasi dalam
ide-ide ilahi. namun kita gagal mencapai kehidupan yang sebagaimana mestinya
karena kita menyimpang dari kiblat idea-idea tersebut, sehingga kita langsung
terhukum dengan dipenjarakannya jiwa ke dalam tubuh. Untuk itu kita harus berusaha
naik ke atas dan memperoleh perhatian dan cinta besar untuk dunia ideal dan ilahi itu.
Akan namun kemungkinan untuk mewujudkan makna ini sangat dibatasi karena kita
terbelenggu dalam materi, yaitu dunia jasmani dan tubuh menjadi kemungkinan-
kemungkinan buruk untuk terus tersesat.
Maka menurut Plato jalan satu-satu jiwa mencapai keabadiannya, yaitu
peristiwa keterpisahan jiwa dari tubuh pada saat kematian kita . Gagasan Plato
didukung oleh kaum Neoplatonisme yang berpendapat bahwa “Jiwa yang dirantai dan
rindu untuk melarikan diri dari belenggu tubuh dan kembali ke sumber asalnya”. 54
Untuk mencapai persatuan dengan yang satu (To Hen / Yang Esa) dan yang baik baik
yaitu Allah, maka perhatian kepada dunia eksternal perlu mendapat prioritas selama
masa hidup seseorang. Jadi aklhirnya mau ditegaskan bahwa Plato dengan tawanan
dengan penjara dan kuburan dilanjutkan oleh Neoplatonisme dengan tahanan dan
belenggu rantai, yang menggambarkan nasib jiwa dalam tubuh kita , atau
hubungan jiwa dengan tubuh di antara rantai dalam penjara dan kubur.
Plato yaitu murid kesayangan sang gurunya Sokrates, sekaligus pewaris ilmu
dan penutur “jiwa” Sokrates sesudah kematian gurunya itu. Aristoteles yaitu murid
Plato dan pewaris intelektual dari gerunya Plato dan leluhurnya Sokrates. Dengan
demikian Sokrates tidak memilih peluang pembebasan tubuh, namun berpihak pada
pembebasan jiwa menuju keabadian jiwa melalui segelas racun. Hubungan Sokrates
dengan Plato dan Aristoteles seperti keluarga yang seakan-akan diikat dengan unsur
genitas darah. Boleh dikata Sokrates yaitu kakeknya Aristoteles, Plato yaitu
ayahnya Aristoteles. Tragedi kematian sang kakek, Sokrates kiranya juga menjadi
keprihatinan bagi sang anak, Plato dan sang cucu Aristoteles.
Ada benang merah yang menyatukan Homer, Sokrates, Plato dan Aristoteles
yaitu panggilan kepahlawanan (tanggung jawab kita ; terutama jiwa) terhadap
negara (polis), yang menuntut pengorbanan dan kepatuhan dari jiwa (dan pikiran)
terhadap etika dan moral kenegaraan (polis). Permasalahannya sekarang bagaimana
Aristoteles memandang keputusan dan pilihan Sokrates menghadap kematian? Apakah
pandangan Aristoteles searah dengan Plato tentang hubungan jiwa dengan badan dan
hubungan jiwa dengan kematian? Dan yang terpenting dari sisi mana (disiplin ilmu
dan teori yang mana) Aristoteles mereduksi fenomenologi pandangan jiwa dari
Homer, Sokrates dan Plato?
Dalam teori jiwa, Aristoteles hadir dalam gagasan bahasa analoginya:
Aristoteles menggambarkan hubungan jiwa dengan badan, dan hubungan jiwa dengan
kematian seperti hubungan pisau dengan pemotongan. Materi pisau sebagai tubuh dan
satu-satunya fungsi pemotongan sebagai jiwa. Selama pisau itu baik dan ada dalam
realitas, maka tugas pemotongan itu terjadi. Sebaliknya jika pisau itu berkarat atau
lenyap, maka pemotongan pun berakhir. Jadi menurut Aristoteles tentang hubungan
jiwa dan kematian, bahwa saat tubuh mati maka jiwapun berakhir. Dengan kata lain
kematian yaitu titik akhir kehidupan dan berakhirlah hubungan jiwa dengan badan:
Pisau rusak pemotongan berakhir, tubuh mati maka jiwapun berakhir.
Rene Descartes dalam karya-karyanya hampir tak menyinggung tentang
keabadian jiwa sesudah kematian. Suatu saat Mersenne mengeluh kepada Descartes;
mengapa ia tidak menyinggung tentang keabadian jiwa dalam karyanya. Dercartes
menanggapi sebagai berikut: "You should not be surprised. I could not prove that God
could not annihilate the soul, but only that it is by nature entirely distinct from the
body, and consequently it is not bound by nature to die with it." 55 Anda tidak perlu
heran. Aku tidak bisa membuktikan bahwa Allah tidak dapat memusnahkan jiwa,
namun hanya bahwa hal itu oleh alam, seluruhnya berbeda dari tubuh, dan akibatnya
tidak terikat oleh alam untuk mati dengannya. Dalam hal ini Descartes tidak dapat
membuktikan jiwa itu abadi, namun dia percaya itu, dengan mengatakan bahwa tubuh
akan mati dan hancur sedangkan jiwa tidak.
Descartes mengakui keterbatasan akal budi, yang diagungkan melalui
ungkapan “cogito ergo sum”, dalam pernyataan yaitu aku tidak bisa membuktikan
bahwa Allah tidak dapat memusnahkan jiwa. Dalam “cogito” Desecartes menegaskan
seakan-akan ada-tidaknya segala sesuatu tergantung pada akal budi. Di luar akal budi
segala sesuatu itu tidak ada. Perlu diingat bahwa konsep “cogito” Descartes tidak
berkenaan atau tidak sampai membatalkan esensi dan hakekat adanya realitas secara
obyek ontologi-metafisis. Sebaliknya gagasan “cogito” Descartes menunjuk pada
kekuatan akal budi sebagai pemicu konstruksi karakter dan pemahaman keunikan
obyek baik dalam fenomenologi kesadaran kita maupun dalam konteks konstruksi
verbal atau deskripsi tentang segala sesuatu melalui bantuan akal budi.
Konsep “cogito”, menunjukan bagaimana Rene Descartes mencoba
mengembangkan gagasan akal budi atau nous dari Aristoteles. Kata Descartes: "From
this it follows that the human body may indeed easily enough perish, but the mind is
owing to its nature immortal."56 Dari ungkapan ini, Descartes tidak menunjuk pada
jiwa yang abadi namun pikiran (mind atau nous) yang abadi; terus hidup sesudah
kematian. Gagasan “cogito” Descartes mirip konsep akal budi Aristoteles, namun pada
akhirnnya konsep keabadian jiwa, ada perbedaan paham. Hal ini terbukti pada
pendapat Descartes: Aku tidak bisa membuktikan bahwa Allah tidak dapat
memusnahkan jiwa…dan , .. tubuh akan mati dan hancur sedangkan jiwa tidak akan
mati.
Jika ditelusuri lebih mendalam gagasan kematian dan keabadian jiwa serta
keabdian akal budi (nous) oleh para filsuf maka mau dikatakan bahwa di sana terjadi
konflik semantik dan permainan bahasa. Homer, Heraklitos, Sokrates dan Plato
menggunggunakan istilah jiwa (soul) yang hidup terus saat kematian seseorang
terjadi. Sementara Aristoteles memakai istilah roh atau nous yang terus hidup.
Descartes memakai istilah pikiran atau mind / nous (cogito). Singkatnya semua
filsuf berbicara tentang substansi abstrak atau sisi dalam tubuh kita yang bukan
matrial. Baik jiwa, akal budi maupun roh dalam tubuh kita merupakan sesuatu
yang tidak dapat dikenali bentuk esensinya. 57 Mereka dan kita hanya dapat
memahami dan mungkin sedikit mengenal jiwa, pikiran dan roh, dari sisi efek-efeknya
yang tampak dan ditampakan oleh tubuh sebagai perluasaan atau hanya dapat
dirasakan atau dipikirkan namun tidak dapat dibuktikan secara real. Jadi mana yang
abadi? Jiwa atau pikiran dan atau roh? Jiwa dan pikiran, keduanya bukan materi, dan
mungkin mirip roh atau roh itu sendiri. Apakah tubuh atau badan jiwa sama dengan
tubuh dan badan pikiran? Jika pikiran yang abadi atau jiwa yang abadi, maka
pertanyaan seperti apa bentuknya? Apa hanya sekedar suatu energi atau suatu pribadi
seperti digambar Homer dan Plato di rumah Hades ? Bagaimana kata theolog dan
agama tentang hal ini.
sesudah kita menyimak gagasan dan teori filsuf tentang hubungan jiwa dengan
kematian dan keabadian jiwa, maka sekarang kita coba menggali bagaimana pendapat
theolog tentang hubungan kematian dan keabadian jiwa. Berhubungan dengan
peristiwa kematian kita , Gereja Kristen Ortodoks percaya bahwa sesudah mati atau
kematian kita , jiwanya dinilai secara “individu” oleh Allah, dan lalu jiwa
yang baik dikirim ke pangkuan Abraham (surga sementara) atau dan yang jahat
dikirim ke Hades / Neraka (penyiksaan sementara). lalu pada pengadilan
terakhir, “semua orang” akan menghadapi penghakiman Allah; dan yang dianggap
benar akan pergi ke surga selamanya sementara mereka yang terkutuk akan
dimasukan ke Danau Api/ Neraka (penyiksaan permanen). Gereja Kristen Ortodoks
meyakini bahwa jiwa salah sesuatu seperti pribadi yang hidup terus sesudah kematian
tubuh. Jiwa (sang pribadi) dua kali menjalani penghakiman Allah sebelum ia
menjalani pahala atau hukuman parmanen.
Santo Yohanes Chrysostom berpendapat bahwa “setidaknya seseorang harus
terus mengingat kematian dan penghakiman terakhir akan datang padanya”58.
Maksudnya jiwa seseorang terus mengingat akan kematian dan penghakiman akhir
zaman atas dirinya, maka dengan sendirinya ia memurnikan nous (pikirannya) dan
sekaligus melepaskan orang dari tirani pikiran. Melalui metode pertapaan seseorang
dibebaskan dari tirani pikiran dan serentak nous dan hati dimurnikan, maka jiwanya
diisi dengan energi dari Roh Kudus dan ia dapat mengatasi dan menyembuhkan
“penyakit-penyakit” yang berhubungan dengan jiwanya.
Akhirnya dapat disimpulkan sebagai berikut : (1) Konsep kematian dalam
pandangan masyarakat Yunani kuno bahwa kematian yaitu akhir kehidupan
seseorang, dimana jiwanya diidentikan dengan asap dan napas yang melebur dan
menghilang. Pandangan ini senada dengan pandangan Aristoteles tentang kematian
jiwa. (2) Berhadapan dengan peristiwa kematian Sokrates menggambarkan keabadian
jiwa secara mengambang karena Sokrates terus pempertanyakan hakekat jiwa yang
tidak nyata dan tak dikenali. (3) Homer menekankan bahwa hanya kata jiwa yang real
dan tepat untuk menunjuk orang atau arwah dari orang yang telah meninggal. Jadi
“kata” jiwa yaitu “dia” yang terus hidup. (5) sehubungan dengan tujuan jiwa / tujuan
hidup dari jiwa kita . Homer menunjuk dunia bawah atau dunia kematian sebagai
ujung dari perjalanan jiwa (ke rumah Hades; dewa kematian). Sementara Plato,
Platonis, Kristen Ortodoks mengarakan jiwa sesudah proses kematian kepada asalnya
(dunia kayangan, surga) atau neraka. (6) Plato dan Platonis menggambarkan persitiwa
kematian sebagai pembebasan jiwa, yaitu jiwa berhasil membebaskan dirinya dari
penjara tubuh, menuju keabadiannya.
Selanjutnya (6) Theolog dan khususnya Gereja Kristen Ortodoks mengakui
keabdian jiwa sesudah kematian tubuh dan (7) Sehubungan dengan kematian kita
maka dapat disimpulkan pendapat dari umat kita , dari Filsuf, ilmuan dan teolog
sebagai berikut: (a). Semuanya sepakai bahwa kita akan mati, dan tubuh jasmani
akan mati dan hancur. (b). Sebagian yakin bahwa ada kehidupan sesudah kematian:
(b.1) sebagian percaya bahwa yang terus hidup sesudah kematian yaitu jiwa. (b.2),
beberapa filsuf percaya bahwa yang terus hidup yaitu roh dan pikiran, bukan jiwa.
(c) Sebagian kita percaya bahwa tak ada kehidupan sesudah kematian. Artinya
kita mati maka habislah segalanya dari kita itu. (d) Semua orang beragama
baik agama kosmologi maupun aga monotheisme modern mengakui bahwa sesudah
kematian jiwa atau rohnya kita tetap hidup dan menghadapi penghakiman terakhir
sebagai syarat memperoleh pahala atau hukuman parmanen dari sang pencipta.
F. Pandangan Kontra versi dan pradoks dari Aristoteles dan Sigmund Freud
tentang jiwa kita .
1. Konta versi dan pradoks ide jiwa dari Aristoteles
Menurut hasil penelitian dan kajian khusus terhadap teori soul Aristoteles, dari
Tim Mapping Body and Soul (Model pemetaan tubuh dan jiwa), (Roland Wittwer
dkk) universität Berlin, Fi eld of philological (2009-2010) menunjukan bahwa terjadi
pradoks dalam gagasan dan teori Aristoteles tentang keabadian intelek (nous) yang
bertolak belakang dari paham keabadian jiwa (psuche) dari para Filsuf. Menurut
mereka paham keabadian nous Aristoteles ini tidak saja bertentangan namun sekaligus
membingungkan filsuf dan ilmuan berabad-abad lamanya.
Kontradiksi dalam gagasan Aristoteles sehubungan dengan hakekat jiwa (psuche) dan
intelek (nous).
a. berdasar doktrin intelek dalam teori nous, Aristoteles menegaskan bahwa nous
yaitu incorporeal sama seperti jiwa artinya bahwa nous (akal-pikiran) dan soul
(jiwa) tidak memiliki organ tubuh matrial. Namun ada perbedaan antara nous dan
soul. Nous yang merupakan incorporeal dan kekal, menurutnya nous tetap hidup
sesudah kematian tubuh, sementara soul dianggapnya fana artinya bahwa jiwa akan
mati bersama tubuh. Hal ini menunjukkan bahwa Aristoteles menganut paham
keabadian nous bukan keabadian jiwa. Gagasan Aristoteles ini bertolak belakang
dengan pendapat filsuf terutama Sokrates dengan Plato yang mengakui paham
keabadian jiwa.
b. Dalam fisika Aristoteles tentang empat pemicu yang menghasilkan “bentuk”
dari segala sesuatu yaitu pemicu material, pemicu efisien, pemicu formal
dan pemicu final. Sehubungan dengan pemicu efisien dan formal yang
mengasilkan bentuk hidup;
Pertama sehubungan dengan prinsip hylomorphic Aristoteles menyatakan:
..”that the soul is the essential form , and the body the matter : Therefore, the
body comes into actual, rather than mere potential being, because matter is
actualised by a soul, forming the living organism “ 60 artinya "jiwa yaitu bentuk
penting dari tubuh”, karena jiwa datang ke dalam tubuh, dengan potensi
kehidupannya mengkatualisasikan materi dan membentuk organisme –organisme
tubuh menjadi hidup.
Bersadarkan prinsip hylomorphic di atas Aristoteles menekankan (1) gagasan
“bentuk” atau hasil akhir dari keempat proses pemicu , tubuh menjadi “bentuk”
yang hidup; dimana jiwa yaitu “bentuk” penting dari tubuh. (2), Aristoteles
menekankan pemicu pertama; “asal” jiwa yang datang dari luar dan memasuki
tubuh. (3), Aristoteles menekankan penyabab efisien yaitu tentang potensi-potensi
jiwa; yang memungkinkan kehidupan bagi tubuh. (4), Aristoteles menekankan
pemicu ketiga yaitu pemicu formal; Jiwa dengan potensi-potensi klehidupan
dapat menghidupkan dan menggerakan organism tubuh. (5) Aritoteles
menekankan pemicu keempat yaitu pemicu final dimana jiwa telah berhasil
menghidupi tubuh.
Dari keempat pemicu (pendekatan fisika) Aristoteles ini, jiwa telah
dan berhasil menyebabkan tubuh menjadi hidup. Pada prinsipnya Aristoteles
menyatakan bahwa (a) jiwa berasal bukan dari tubuh dan point penting yaitu
bahwa (b) sebelum jiwa masuk dalam tubuh, jiwa yaitu hidup. (c) hidupnya jiwa
tidak tergantung pada tubuh. (d) secara tersirat (disangkal Aristoteles) bahwa
sebenarnya tanpa tubuh jiwa dapat hidup; karena sebelum jiwa masuk ke dalam
tubuh, jiwa telah hidup dan jiwa yaitu kehidupan itu sendiri. Jika tubuh mati,
seharusnya jiwa tetap hihup, karena jiwa hanya menumpang pada tubuh. Namun
Aristoteles telah menolak keabadian jiwa (jiwa mati bersama tubuh) maka
pernyataan Aristoteles bukan saja bersifat kontra versi namun juga bersifat
paradoks. Artinya dari pemicu pertama (material) asal jiwa bertentangan dengan
gagasan kematian jiwa, dimana jiwa sebagai pemicu final.
Kedua, selanjutnya berhubungan dalam konsep teleologi (teori psikologi)
Aristoteles mengatakan; as “ the soul is the final cause or source of the living
body” 61 atau jiwa yaitu pemicu akhir atau sumber dari tubuh yang hidup.
Dalam gagasan ini Aristoteles menekankan pemicu efisien. Jiwa sebagai
sumber hidup yang menyebabkan tubuh hidup. pemicu final / terakhir,
menyiratkan beberapa pengertian (1), Kata “terakhir” berarti hanya dia (jiwa)
satu-satunya pemicu hidup (2) Kata “terakhir” juga menunjuk hasil terakhir
(pemicu final) yang positif yaitu tubuh masuk dalam tubuh dan tubuh menjdi
hidup (3), Kata “terakhir” juga menunjukan hasil (pemicu final) yang negetif
artinya jika jiwa keluar dari tubuh, tubuh akan mati.
Dalam konsep teleologi Aristoteles, menunjukan bahwa jiwa
merupakan pemicu satu-satunya yang serentak pertama maupun terakhir suatu
peristiwa kehidupan bagi tubuh maupun suatu bencana kematian bagi tubuh.
Secara singkat mau dikatakan: Jiwa masuk, tubuh hidup. Jiwa keluar, tubuh mati.
Maka jika Aristoteles menolak keabadian jiwa, maka gagasannya bertentangan
dan sekaligus paradoks dengan pendapatnya tentang jiwa sebagai pemicu
pertama dan pemicu final kehidupan bagi tubuh. Dengan kata lain jiwa hidup di
luar tubuh, sesudah jiwa masuk dalam tubuh, maka jiwa mengalami kematian. Jadi
jika dibandingkan dengan paham inkarnasi jiwa dari Sokrates dengan Plato, jiwa
memasuki tubuh baru, dan terus hidup sesudah kematian tubuh itu, sementara
Aristoteles, jiwa berinkarnasi masuk ketubuh baru untuk menghadapi
kematiannya.
c. Dalam teori psikologinya Aristoteles menganalogikan hubungan jiwa dengan
tubuh laksana pisau (kapak) dengan tindakan “pemotongan”.62 Jiwa yaitu
pemotongan (bagian esensi) sedangkan tubuh yaitu materinya atau bentuk fisik
pisau atau kapak. Jika ditinjau dari sisi fenomenologi tentang obyek realitas yang
terdiri dari bagian materi (bentuk nyata), bagian esensi (eidios) dan bagian energi
(daya kekuatan) maka analogi jiwa kita dengan pisau atau kapak; menunjuk
pada unsur materi dan fungsi atau tindakan dari energi atau kekuatan (memotong),
tidak menunjuk pada eidios dari pisau atau kapak secara keseluruhan. Walaupun
pada kenyataan pemotongan dan membelah yaitu fungsi utama atau satu-satu
dari materi pisau atau kapak. Dalam analogi jiwa ini Aristoteles menyerupakan
jiwa kita dengan pisau atau kapak, namun titik fokus penekanan Aristoteles
tidak mengena karena ia menekankan hanya unsur formal (materi benda pisau dan
kapak) dengan tindakan fungsi energi (pemotongan atau membelah) dari pisau
dan kapak. Sementara esensi dari pisau dan kapak tersembunyi di balik keutuhan
materi dan tindakan fungsi kapak dan pisau. (Bandingan pembagian unsur
menurut Immanuel Kant antara fenomen dan nomenonon). Kesimpulannya bahwa
“materi” pisau atau kapak seperti tubuh, pemotongan dan membelah yaitu
“energi” (kekuatan atau aktivitas) atau fungsi dari materi pisau dan kapak sama
seperti potensi aktualisasi jiwa melalui pikiran. Sementara esensi atau hakekat
jiwa sebagai substansi makluk hidup tidak disentuh dalam analogi itu. Jadi jika
pisau atau kapak (tubuh) mati dan hancur, maka fungsi dan tugas pemotongan,
membelah dan menghidupi berakhir, namun esensi jiwa yaitu hidup akan keluar
dari tubuh, karena dulunya jawa masuk maka saat kematian jiwa yang keluar.
Jiwa yang keluar itulah menyebabkan tubuh mati. Inilah pandangan (analogi)
Aristoteles yang kontra versi dan paradoks.
d. Dalam teori tentang jiwa-jiwa, khususnya jiwa makrokosmis Aristoteles
menyatakan bahwa jiwa hewan dan tumbuhan hanya memiliki energi jiwa tidak
memiliki ensensi jiwa yaitu akal budi.63 Thales dalam teori tentang alam semesta
mengatakan bahwa besi magnit memiliki jiwa. Jiwa yaitu daya atau energi yaitu
magnetnya. Sekiranya Thales menganalogikan jiwa kita dengan pisau atau
kapak, dapat diterima karena bagi Thales benda mati seperti besi termasuk pisau
dan kapak, juga benda mati memiliki jiwa, sementara Aristoteles menolak
gagasan jiwa hypercosmik termasuk konsep jiwa Thales. Menurutnya bahwa jiwa
hewan dan tumbuhan akan mati karena tidak memiliki unsu esensi yaitu akal budi
sementara jiwa memiliki akal budi. Jika jiwa kita akan mati pada saat
kematian maka apa bedanya jiwa kita dengan jiwa hewan? Dengan demikian
mau dikatakan bahwa penganalogian jiwa dengan pisau atau kapak oleh
Arsitoteles, bentuk analogi ini tidak tepat dan tidak cocok. Kesimpulan yaitu
bahwa Aristoteles menolak jiwa-jiwa pada benda (benda mati), tepi malah ia
menganalogikan jiwa kita dengan benda mati pisau dan kapak. Inilah pilihan
jenis dan form analogi dari Aristoteles yang kontra versi dan paradoks.
e. Sehubungan dengan teori nous (akal, pikiran atau ratio), Aristoteles menekankan
bahwa justru jiwa memungkin adanya nous (akal). Aristoteles mengatakan bahwa
jiwa kita berbeda dari jiwa hewan dan tumbuhan karena jiwa kita
“ditambahkan” uncur “esensi” yaitu akal budi. Berarti (a) jiwa itu ada dan hidup
duluan di luar tubuh. (b). jiwa itu masuk ke dalam tubuh (c). Jiwa itu telah
menghidupkan materi tubuh menjadi tubuh yang hidup. (d) Karena tubuh telah
hidup, maka jiwa “ditambahkan” esensi (akal budi atau nous). Point di ini
menunjukan bahwa “nous” atau akal budi ditambahkan (ditempelkan) pada jiwa.
Mengapa Aristoteles menegaskan bahwa nous atau akal budi bersifat abadi dan
sementara jiwa kita akan mati? Kita bandingkan dengan apa yang dibuat
Sigmund Freud. Sigmund Freud, mengatakan bahwa id yaitu energi jiwa yang
primitiv dan mendasar, dia yaitu id (bagian jiwa) ada dan terbentuk bersama sejak
janin terbentuk dalam rahim ibu. Sementara ego dan superego ada dan terbentuk
mulai pada masa kanak-kanak. Catatan penting: kendati ego dan superego muncul
lalu , namun ketiganya (id, ego, superego) memiliki posisi dan hak keseteraan
yang sama dalam jiwa. Id (tertua atau yang sulung) tidak menggantikan atau
membatalkan hak keberadaan ego dan superego.
Kembali ke Aristoteles, dengan istilah atau kata nous atau akal budi
“ditambahkan” pada jiwa. Berarti bahwa nous atau akal budi yaitu bagian dari
jiwa, dan seharusnya tidak menggantikan jiwa dalam hak keabadian. Namun
Aristoteles menggambarkan hal yang sebaliknya, yaitu nous yang merupakan
bagian dari jiwa terus akan hidup (keabadian nous), sementara jiwa yang
hakekatnya ada hidup akan mati. Pernyataan: sekiranya jiwa tidak masuk ke
dalam tubuh, dan tubuh materi tidak akan hidup, atau tidak ada kehidupan dalam
satu tubuh (seseorang). Pertanyaannya: mungkinkah nous atau akal budi masuk
dan dapat menghidupkan tubuh materi itu? Jiwa seorang telah mati; Apakah nous
atau akal budi masih tetap bereksistensi dan beraktivitas dalam tubuh jenazah itu?
Pada hakekatnya (esensi); jiwa yaitu “hidup” atau “kehidupan” itu sendiri.
Aktivitas jiwa yaitu “menghidupi” melalui energi kehidupan jiwa. (a) Nous atau
akal budi masuk ke dalam tubuh (tubuh yang sudah ada jiwa dan tubuh yang
sudah dihidupi jiwa), dan ia memakai energi atau potensi kehidupan jiwa
untuk menjalani tugas berpikir dan menyadari. (b) Nous bekerja dan berfungsi
dengan bantuan jiwa dan memakai energi jiwa, maka tanpa jiwa, nous tidak
dapat masuk dalam tubuh. (c) Tanpa jiwa, nous tidak bisa bereksistensi atau
beraktivitas dalam tubuh. Kesimpulan: gagasan keabadian nous ini, menunjukan
bukan saja gagasan Aristoteles yang serba kontra versi dan paradoks namun suatu
pengingkaran terhadap hakekat dan esensi jiwa yang yaitu hidup.
f. Selain gagasan tentang jiwa (psuche) dan intelek (nous), dimana jiwa pemberi
hidup bagi tubuh akan mati dan hancur, sementara nous yang incorporeal yaitu
abadi dan tetap hidup sesudah kematian. Aristoteles mengemukakan substansi ketiga
yang bersifat kekal yang tak akan mati. kita terdiri dari materi (hyle), jiwa
(soul atau phsyke) dan akal atau pikiran (nous) dan roh (nus) yang disebutnya
“thyrathen” (seperti roh yang datang dari Tuhan). Dari pembagian ini Aristoteles
menyatakan bahwa dalam alam kejiwaan kita ada jiwa, pikiran dan roh.
Bagian-bagian ke-jiwa-an yang terus hidup sesudah kematian yaitu nous (akal) dan
thyrathen (roh) sementara yang akan mati dan hancur yaitu soul atau jiwa.
Pertanyaan: mungkinkah nous dan thyrathen berada dan bereksistensi dalam tubuh
tanpa kehadiran jiwa? Mungkinkah kehidupan akan terjadi jika Aristoteles merobah
urutan proses pemicu nya, artinya nous masuk dulu dalam tubuh, menyusul
thyrathen (roh). Apakah ketermasukan keduanya ke dalam tubuh, sudah dapat
menghasilkan tubuh material menjadi hidup? Ataukah keduanya harus menunggu
jiwa. Jika nous (akal) dan thyrathen (roh) gagal sebab pemicu kehidupan tubuh,
sedangkan jiwa yang menghidupkan tubuh; bagaimana Aristoteles mengklaim
keabadian nous (akal) dan thyrathen (roh) dan membatalkan hak keabadian jiwa.
Tanpa jiwa masuk dalam tubuh, jiwa yaitu incorporeal dan abadi. Keabadian jiwa
tidak tergantung pada tubuh. (bandingkan konsep jiwa dan proses inkarnasi jiwa-
jiwa oleh Sokrates dan Plato. Alam semesta yaitu tempat tinggal jiwa yang
sebenaranya, sedangkan tubuh yaitu tempat sementara jiwa yang berikarnasi).
Akhirnya dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Aristoteles menganalisis jiwa
kita dari berbagai disiplin ilmu (Psikologi, Fisika, Logika, Etika, Filsafat dan
Poitik). (2) Dalam bukunya generasi hewan Aristoteles menyatakan bahwa sementara
bagian lain dari jiwa (secara fisik) berasal dari orang tua, sedangkan nous, harus
datang dari luar, ke dalam tubuh, karena nous dari yang ilahi atau saleh, dan tidak ada
kesamaan dengan yang energeia tubuh. (3) Dalam psikologinya, hubungan jiwa
dengan yang lain, Aristoteles menulis bahwa jiwa sesudah kematian "tidak ingat," (4)
Metafisika Aristoteles, Dalam Buku XII, bag.7-10, Aristoteles menyamakan nous
aktif, saat orang berpikir dan nous mereka menjadi apa yang mereka pikirkan,
dengan "penggerak bergeming" alam semesta, dan Tuhan: "untuk aktualitas pemikiran
(nous) yaitu hidup, dan Allah yaitu bahwa aktualitas, dan aktualitas penting dari
Allah yaitu hidup yang paling baik dan kekal "Nous sebagai pemicu adanya (
terjadinya) kosmos. (5) Dalam teori psikologinya Aristoteles menganalogikan
hubungan jiwa dengan tubuh laksana pisau (kapak) dengan tindakan “pemotongan”.
Dan (6) Menurut hemat saya 5 point (teori-teori /system) ini menjadi pemicu ,
mengapa Aristoteles mengakui Keabadian akal budi (nous dari yang Ilahi) dan
menolak keabadian jiwa kita .
2. Mungkin Konsep Jiwa dari Aristoteles Juga Berkonflik
Apakah bagian-bagian jiwa kita dalam pandangan Aristoteles juga
berkonflik seperti bagian-bagian jiwa menurut Sigmund Freud? Plato membagi jiwa-
jiwa atas berbagai jenis seperti jiwa-jiwa hypercosmic, jiwa-jiwa makrokosmic dan
jiwa-jiwa mikrokosmis. Khusus untuk jiwa-jiwa kita (jiwa-jiwa mikrokosmis), ia
membaginya atas beberapa bagian jiwa. Sementara Aristoteles menghindari istilah
jenis-jenis jiwa, kendatipun ia mengakui jiwa-jiwa makrokomis yang berada dalam
tubuh hewan dan tumbuhan. lalu Aristoteles membagi jiwa kita atas
bagian-bagian. Thomas Aquinas maupun Sigmund Freud melakukan hal serupa
dengan membagi jiwa kita menjadi bagian-bagian. Muncul pertanyaan: jika
semua mereka melakukan hal yang sama, mengapa justru Freud menyatakan hal yang
berbeda dan bertolak belakang?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas terlebih dahulu meninjau kembali latar
belakang dan arah pembahasan filsuf tentang jiwa-jiwa termasuk jiwa kita . (1)
Filsuf alam Yunani kuno, dalam membahasnya tentang jiwa-jiwa, perhatian mereka
lebih terarah pada jiwa-jiwa kosmos atau alam (jiwa-jiwa hypercosmis dan jiwa-jiwa
makrocosmis): Thales menghubungan jiwa dengan jiwa magnet, Herakletos
menghubungkan dengan kobaran api abadi. (2). Homer menggambarkan jiwa kita
dalam dua tataran (a). jiwa dalam hubungan dengan tanggungjawab terhadap negara
(jiwa kepahlawanan) dan (b). jiwa kita yang terus hidup dan beraktivitas sesudah
kematian. (3). Sokrates, Plato dan Aristoteles lebih terfokus pada jiwa kita dan
secara umum dalam tiga tataran; (a). Tekanan pertama pada jiwa kita sebelum dan
sesudah proses inkarnasi. (b). Tekanan kedua khusus pada peranan jiwa dalam tubuh
kita (b). Tekanan ketiga, terjadi pergeseran atau lompatan dari jiwa dalam tubuh
ke person (jiwa-jiwa tiap orang) dalam polis sehubungan dengan tanggungjawab
moral-politik terhadap Negara polis. Artinya jika kita menelaah konsep jiwa dari
Sokrates, Plato dan Aristoteles maka terlebih dahulu diingat gagasan jiwa ini berada
dalam tataran (jiwa) dalam tubuh atau (jiwa-jiwa) person warga masyarakat.
Thomas Aquinas membahas tentang jiwa dalam tubuh kita dalam
hubungan dengan keterarahan dan kebersatuan kelak dengan sang pencipta. Sementara
Rene Descates membahas tentang jiwa kita lebih menekankan pada hubungan
jiwa dengan pikiran (cogito). Akhirnya Sigmund Freud membahas jiwa kita
terarah khusus pada jiwa dengan efek-efeknya terhadap tubuh dan kepribadian. Plato
mengatakan bahwa jiwa terpenjara dalam tubuh. Tubuh yaitu penjara sekaligus
kuburan bagi jiwa. Istilah “penjara dan kuburan” sudah menunjukkan bahwa di sana
jiwa tertekan dan teraniaya. Kata Plato: “selama kita memiliki tubuh yang menemani
argumen yang kita kembangkan dalam penyelidikan kita, dan jiwa kita tercampur
dengan hal jahat semacam ini, kita tidak akan pernah mendapatkan apa yang kita
inginkan”64. Atau dengan meninggalkan tubuhnya kita akan menemukan hakekat
segala sesuatu. Dari ketiga pendapat Plato ini secara nyata menggambarkan ada
konflik dalam tubuh kita . namun mengapa Plato tak pernah mengatakan bahwa
jiwa kita berkonflik.
Jika jiwa dari Plato merasa tertekan; alias tidak bebas dalam penjara dan
kuburan tubuh, seharusnya di sana pun terjadi kecemasan dan konflik. Jika jiwa dari
Aristoteles menyadari bahwa ia akan mati bersama tubuhnya, maka seharusnya timbul
kecemasan dan konflik, karena jiwa pemberi tubuh kehidupan sementara yang abadi;
terus hidup yaitu ratio atau akal budi (nous dan nus). Seharusnya di dalam tubuh
Aristoteles terjadi konflik antara jiwa dengan nous dan nus. Minimal ada protes dari
jiwa; mengapa saya “jiwa” memberi hidup yang harus mati.
Mengapa Plato terutama Aristoteles menggambarkan ke-jiwa-an kita aman
dan nyaman? Untuk memahami point ini, kita harus kembali pada sudut pandang dan
disiplin ilmu dalam arti metode pendekatan yang dipakai setiap ilmuan dan filsuf
dalam mendekati dan mengkaji jiwa. (1) Aristoteles mengkaji jiwa kita dari
berbagai disiplin ilmu terutama dari ilmu ekskta. Atas dasar inilah unsur dan ciri
matematis / rasionalitas memainkan peranan penting, dimana bukan jiwa yang
menentukan kebenaran namun akal budi berdasar kebenaran empiris. (2) Kajian
Aristoteles terhadap jiwa kita sasaran pada keamanan dan kesuksesan negara-
kota: polis Yunani kuno, seperti gurunya Plato dan kakeknya Sokrates. Maka terjadi
pergeseran penekanan fenomena jiwa dalam tubuh kita bergeser keluar dari tubuh
kita dan ditampakan dalam moral (tingkah laku yang baik dan bijakasana) dan
ketaatan politik (bagaimana menciptakan negara polis yang aman dan damai). (3)
Dengan ruang lingkup kajian ini maka bukan realitas aktivitas bagian jiwa yang
berbeda menjadi perhatian Aristoteles, namun bagaimana peranan akal budi melalui
potensi jiwa, mengarah dan mengontrol prilaku moral dan tindakan politik masyarakat
dalam polis. Jika toh terjadi konflik, konflik itu terjadi dalam masyarakat antara person
bukan dalam person. (4) Sebagai kesimpulan untuk jiwa Aristoteles bahwa Aristoteles
berawal dari jiwa dalam tubuh kita (sebagai pemicu dan penggerak hidup),
lalu mengalir keluar kepada masyarakat dalam polis. Bandingkan analogi Plato
bahwa tubuh kita laksana bangunan, rumah dan jalan-jalan di kota polis. Negara
polis, yaitu tubuh dan masyarakat yang rasional, bermoral yang pantas dalam
kehidupan politik bijak yaitu jiwanya.
berbagai kecemasan dalam batin kita . (3) Misi Freud yaitu mencari pemicu
utama mengapa pasiennya stess, neurosis, gila dst serta Freud berupaya mencari solusi
penyembuhan bagi penderita neurosis (4). Berpedomana pada missi ini, Freud
menuruh perhatian khusus pada dunia mental (ke-jiwa-an) pasiennya, dan akhirnya ia
menarik kesimpulan bahwa akumulasi trauma dan konflik yang berkepanjangan dalam
jiwa dapat mengakibatkan seseorang mengalami neurosis atau sakit jiwa. Akhirnya (5)
apakah konflik kejiwaan antara id, ego dan superego yang digambarkan Sigmund
Freud yang dialami penderita neurosis juga dialami oleh orang sehat? Andaikan kita
menolak bahwa tak pernah terjadi konflik dalam batin kita seperti yang
digagaskan Sigmund Freud, namun pada kenyataan dalam batin atau jiwa kita , di
sana sering terjadi kecemasan. Kecemasan-kecemasan ini timbul dan terjadi akibat
desakan (atau ketegangan) antara ketiga tuntutan yaitu Plesure Principle (id), Reality
Principle (ego) dan Morality Principle (superego).
4. Kelima Alasan Aritoteles Menolak Keabadian Jiwa
Beberapa alasan mengapa Aritoteles menolak keabadian jiwa. Aristoteles
memilih keabadian akal budi dan menolak keabadian jiwa karena. Aristoteles
menganalisis jiwa kita dari berbagai disiplin ilmu (Psikologi, Fisika, Logika,
Etika, Filsafat dan Politik). Dalam bukunya generasi hewan Aristoteles menyatakan
bahwa sementara bagian lain dari jiwa (secara fisik) berasal dari orang tua, sedangkan
nous, harus datang dari luar, ke dalam tubuh, karena nous dari yang ilahi atau saleh,
dan tidak ada kesamaan dengan yang energi tubuh. Dalam psikologinya, hubungan
jiwa dengan yang lain, Aristoteles menulis bahwa jiwa sesudah kematian "tidak ingat,"
Metafisika Aristoteles, Dalam Buku XII, bag.7-10, Aristoteles menyamakan nous
aktif, saat orang berpikir dan nous mereka menjadi apa yang mereka pikirkan,
dengan "penggerak bergeming" alam semesta, dan Tuhan: "untuk aktualitas pemikiran
(nous) yaitu hidup, dan Allah yaitu bahwa aktualitas, dan aktualitas penting dari
Allah yaitu hidup yang paling baik dan kekal "Nous sebagai pemicu adanya
(terjadinya) kosmos. Dalam teori psikologinya Aristoteles menganalogikan hubungan
jiwa dengan tubuh laksana pisau (kapak) dengan tindakan “pemotongan”.6667 Beberapa
alasan ini di atas kiranya menjadi alasan mengapa Aristoteles menyatakan
gagasannya yaitu menolak keabadian jiwa.
5. Pendefenisian istilah jiwa
Akhirnya kita sampai pada pendefenisian istilah jiwa. Dipenghujung tesis ini
penulis mencoba menjawab pertanyaan apa itu jiwa-jiwa makluk hidup dan apa
sesungguhnya jiwa kita . Jiwa-jiwa yaitu “sesuatu” seperti energi atau zat
pembawa kehidupan yang ada dalam tubuh benda, hewan, tumbuhan dan kita
yang berfungsi menghidupkan dan menggerakan tubuh. Jiwa kita yaitu
“kesesuatuan” seperti “person” yang serupa dengan personnya seseorang atau
“pribadi” (mirip dengan kepribadiannya) seseorang. Dengan kata lain jiwa yaitu “ke-
sesuatu-an” (“person”) yang sama mirip namun tidak sama persis dengan tubuh jasmani
seseorang yang memasuki tubuh serta menghidupi tubuh, dan saat kematian tiba,
jiwa pergi meninggalkan tubuh.
Jiwa-jiwa di dalam alam semesta ini diketegorikan dalam tiga kelompok besar
yaitu pertama, jiwa-jiwa hypercosmis, kedua, jiwa-jiwa macrocosmis, dan ketiga,
jiwa-jiwa microcosmis. Masyarakat Yunani kuno, masyarakat tradional Inggris dan
Jerman, bahkan masyarakat pasca post modern; para filsuf Yunani kuno, filsuf zaman
keemasan filsafat Yunani klasik, filsuf dan ilmuan (theolog), Zaman Pertengahan dan
Zaman Modern memiliki pamahaman yang unik dan khas tentang jiwa-jiwa alam
semesta terutama jiwa kita . Dari semua kelompok masyarakat, filsuf dan ilmuan
di atas menerima dan mengakui bahwa:
Pertama, Setiap makluk memiliki daya dan energi kehidupan dalam dirinya, bagi
sebagian besar dari mereka menyebut energi daya kehidupan dengan nama “jiwa”
(jiwa kita , jiwa hewan, jiwa tanaman, jiwa malaikat, jiwa alam dst).
Kedua: Kendati setiap makluk memiliki jiwa, namun jiwa pada kita berbeda
dengan jiwa pada makluk lain, karena jiwa kita selain memiliki energi kehidupan,
jiwa itu memiliki (esensi jiwa) nous atau akal budi (Aristoteles).
Ketiga, Mereka semua mengakui bahwa jiwa dalam tubuh setiap makluk hidup
berfungsi untuk menghidupi dan menggerakan organisme tubuh jasmani. Tatkala
makluk jiwa pembawa kehidupan itu berpisah dari tubuh jasmani pada peristiwa
kematian kita misalnya, maka tubuh jasmani “mati” dan akan hancur. Sementara
tentang “jiwa”, ada dua pendapat yaitu (1) yaitu kelompok yang mengakui
keabadian jiwa (Homer, sebagian filsuf Yunani kuno, Sokrates dan Plato, Thomas
Aquinas dan para theolog). Menurut mereka sejak peristiwa kematian kita itu
terjadi pada diri seseorang maka sejak saat itu jiwa akan keluar dan kembali pada
“asalnya”. (2). Kelompok kedua yang menolak keabadian jiwa seperti masyarakat
Yunani kuno, Aristoteles (bukan jiwa yang hidup terus namun “nus”), dan kaum Atheis.
Keempat, Sehubungan dengan hakekat jiwa ada dua paham yang satu menganut
dualism jiwa dan yang lain menganut paham monism jiwa. Paham monism jiwa
nampak dalam karya Homer dan matrialism, sementara paham dualisme (atau
mungkin lebih) nampak pada karya filsuf yang membagi jiwa kita atas beberapa
bagian termasuk Sigmund Freud; psikoanalisis.
Kelima, Sehubungan dengan kodrati jiwa ada dua paham yang berbeda,
kelompok materialism memandang jiwa sebagai energi matrial, bagian dari kodrati
jasmani yang akan hancur, sedangkan kelompok yang mengakui jiwa sebagai energi
kehidupan atau “person” yang bertubuh roh, berkodrati rohani, menyatakan bahwa
jiwa itu akan tetap hidup, sesudah kematian itu terjadi.
Keenam, Sehubungan dengan asal jiwa kita , ada jawaban yang beragam.
kelompok filsuf alam terutama filsuf Yunani kono berpendapat bahwa jiwa berasal
dari kekuatan alam atau kosmos melalui proses reinkarnasi jiwa pada tubuh-tubuh
yang baru. Kelompok filsuf Zaman Keemasan seperti Sokrates dan Plato, dan Platonis
mengakui jiwa berasal dari kekuatan super natural tunggal yang merupakan sumber
kehidupan (Plato dengan ide murni dan Platinos dengan To Hen). Sementara
kelompok yang lain termasuk theolog mengakui bahwa jiwa diciptakan oleh Sang
Pencipta (Tuhan, Allah dan istilah lainnya) dengan cara yang dikehendaki Tuhan
sendiri (misalnya, Aquinas dengan konsep immiteri).
Ketujuh, Tentang realitas jiwa kita . Kelompok terbesar baik paham monism
maupun dualism jiwa dan termasuk para psikolog (ada yang membagi jiwa kita
atas beberapa bagian) mereka menyatakan bahwa pada dan di dalam jiwa kita itu
aman dan damai (tak ada konflik). Sebaliknya hanya Sigmund Freud pendiri
psikoanalisis memiliki pendapat yang berseberangan dengan menyatakan bahwa jiwa
kita senantiasa berkonflik dan dilanda kecemasan tiada hentinya.
Menurut hemat saya, paham yang berbeda ini disebabkan oleh (1): Sehubungan
dengan substansi obyek kajian, apakah yang didekati yaitu hakekat dan esensi jiwa
atau hanya energi dan akitivitas dari jiwa yang tampak melalui tubuh? (2).
Sehubungan dengan realitas dan kondisi dari obyek kajian. Artinya kondisi kita
(keadaan ke-jiwa-an kita ) seperti apa yang dianalisa oleh filsuf dan ilmuan? (3),
Metode yang digunakan dalam kajian. (4) Dari disiplin ilmu yang mana. (5). Sasaran
dan tujuan yang hendak dicapai.
Sigmund Freud memakai sampel penelitian yaitu para penderita neurosis
(pasien sakit jiwa dst), maka Freud mencari apa pemicu nya, sehingga ia sampai
pada konflik jiwa. Berbeda dengan Sokrates, Plato dan Aristoteles menganalisis jiwa
kita dalam kaitan dengan polis (moralitas yang baik dalam masyarakat dan polis).
Sekalipun substansi ke-jiwa-an kita sebagai dasar perubahan prilaku (yang
menjadi sasaran utama kajian), namun karena masyarakat dan warga polis bukan
kumpulan makluk jiwa-jiwa, namun kumpulan pribadi-pribadi kita , maka obyek
jiwa bergeser ke obyek pribadi (kita utuh). Jadi toh kalau ada konflik yang terjadi
antara bagian-bagian jiwa, itu luput dari perhatian dan kajian (Sokrtes, Plato dan
Aristoteles) karena perhatian diarahkan kepada person kita utuh (warga polis)
yang bertanggungjawab atas polis.