Keberadaan Transgender (Waria) di negara kita sudah dikenal cukup lama. Secara historis
keberadaan kelompok Waria berkembang di berbagai isu, seperti perkumpulan kelompok seni
ludruk di Jawa Timur, perkumpulan yang bergerak dalam bidang kesehatan seperti
penanggulangan HIV AIDS dan isu sosial dan income generating.
Diantara kelompok LGBT, di negara kita kelompok Transgender keberadaannya lebih dulu eksis
dibanding tiga kelompok lainnya. Kelompok LGB lebih tersembunyi keberadaanya dalam
kehidupan sehari-hari namun diantara mereka mempunyai jaringan luas melalui media sosial.
Kelompok Transgender menjadi perhatian karena epidemic HIV dan AIDS di kalangan kelompok
ini cukup tinggi di negara kita .
Kelompok lesbian, gay dan biseksual yaitu masalah identitas seks (sexual identities),
sedangkan transgender yaitu masalah identitas gender (gender identity)
(www.decipher,uk.net). Masalah umum yang dialami kelompok transgender yaitu stigma dan
diskriminasi dalam berbagai aktivitas sehari-hari.
Deklarasi Hak Asasi Manusia tahun 2006 di dalamya menyepakai tentang kesetaraan gender,
kependudukan dan HAM. Saat ini kelompok Lesbian, Gay dan Bisek di negara kita , terutama gay
sedang memperjuangkan untuk memperoleh pengakuan atas keberadaannya, termasuk status
hukum gender, perkawinannya dengan sesama jenis, dan tuntutan untuk tidak memperlakukan
diskriminatif dalam kehidupan sosial. Bukti tentang masalah LGBT dalam warga dilakukan
tahun 2013 oleh USAID dan UNDP yang mengungkapkan bagaimana subyek LGBT hidup dengan
berbagai keterbatasan sosial (UNDP,2014).
Menanggapi isu di atas, Majelis Ulama negara kita telah mengeluarkan fatwa tentang LGBT ini
pada tanggal 31 Desember 2014.Komisi Fatwa dengan seluruh anggotanya yang kurang lebih 50
ulama dari berbagai ormas Islam berkumpul dan menyepakati fatwa tentang homoseksualitas,
sodomi, dan pencabulan, yang mencantumkan beberapa ketentuan berikut.
- Pertama, hubungan seksual hanya dibolehkan untuk suami istri, yakni pasangan laki-laki
dan wanita berdasarkan pernikahan yang sah secara syar’i.
- Kedua, orientasi seksual terhadap sesama jenis atau homoseksual yaitu bukan fitrah
tetapi kelainan yang harus disembuhkan.
Ketiga, pelampiasan hasrat seksual kepada sesama jenis hukumnya haram. Tindakan
ini merupakan kejahatan atau jarimah dan pelakunya dikenakan hukuman, baik
had maupun takzir oleh pihak yang berwenang.
- Keempat, melakukan sodomi hukumnya haram dan merupakan perbuatan maksiat yang
mendatangkan dosa besar dan pelakunya dikenakan had untuk zina.
- Kelima, pelampiasan hasrat seksual dengan sesama jenis selain dengan cara sodomi
hukumnya haram dan pelakunya dikenakan hukuman takzir.
Melihat adanya kesenjangan tuntutan LGBT dan respon MUI, maka KPP dan PA, memerlukan
informasi yang lebih lengkap tentang bagaimana pandangan warga tentang LGBT.
Informasi ini diharapkan dapat memberi pemahaman yang seimbang sebagai bahan
pertimbangan dalam menentukan kebijakan yang sesuai dengan kondisi lokal dengan
meminimalkan harm yang terjadi pada kedua pihak.
1.2. Populasi LGBT di berbagai kota di negara kita
Belum diketahui jumlah populasi LGBT di negara kita . Informasi yang diperoleh dari Kemenkes
ada peningkatan jumlah Transgender (Waria) secara bermakna antara tahun 2002 dan
2009, tetapi tidak ada peningkatan bermakna dari tahun 2009 dan 2012. Populasinya
tidak ada yang pasti namun mengacu data populasi rawan terdampak HIV jumlah waria
diperkirakan mencapai 597 ribu orang, sedangkan Lelaki yang seks dengan lelaki termasuk
biseksual mencapai lebih dari 1 juta orang Sumber lain dari menyebutkan
jika menggunakan prevalensi dari populasinya bisa mencapai 3 juta. Sedangkan populasi
lesbian belum banyak diketahui.
Pandangan warga mengenai isu LGBT masih beragam tergantung latar belakang budaya,
agama, kelompok sosial, media, keluarga, pergaulan sebaya, gender dan interaksi dengan
individu LGBT [ Lehman& Thornwel ]. Tingkat penolakan, dan penerimaan terhadap LGBT
sangat tergantung pada faktor faktor di atas.
Melihat tuntutan dan perjuangan yang dilakukan kelompok LGBT di negara kita , mengidikasikan
bahwa warga terutama kalangan keagamaan tidak bisa menerima keberadaannya.
Sebagian besar kalangan keagamaan menghujat perilaku dan orientasi seksual kelompok LGBT
ini. MUI bahkan sudah mengeluarkan fatwa yang menolak praktek hubungan badan dan
perkawinan sesama jenis.
Sebagian warga bersikap netral, menerima keadaan LGBT namun tidak mendukung LGBT
untuk melakukan kegiatan secara terbuka. Kelompok ini beranggapan semua orang mempunyai
hak yang sama untuk hidup memenuhi hak hak sebagai manusia namun tetap
mempertimbangkan konteks lokal. Sedangkan kelompok yang pendukung yaitu kelompok
LGBT, para aktivist dan penggerak kesetaraan yang menginginkan LGBT juga punya hak yang
sama tanpa batasan dalam konteks apapun, termasuk dalam perkawinan sejenis.
Pada umumnya kelompok LGBT masih mengalami banyak kekerasan dan diskriminasi dalam
kesempatan kerja dan tempat tinggal, pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan ,
LGBT sulit mengakses pekerjaan, terutama pekerjaan di sektor formal, karena banyak pemberi
kerja yang homophobic dan karena lingkungan tidak ramah terhadap kaum LGBT. Sementara,
mereka yang berhasil mendapatkan pekerjaan juga kerap mengalami perlakuan diskriminatif
seperti dihina, dijauhi, diancam, dan bahkan mengalami kekerasan secara fisik ,
Dalam dunia kerja kelompok LGBT yang masih tertutup statusnya dalam situasi tertentu masih
dapat masuk ke dunia kerja tanpa diskriminasi berarti, sementara LGBT yang terbuka lebih
banyak mengembangkan diri pada situasi pekerjaan yang tidak begitu terikat dengan norma norma seperti menjadi wirausaha mandiri. Sedangkan kelompok transgender (waria) yaitu
kelompok yang paling banyak mendapatkan diskriminasi karena penampilannya yang berbeda.
Sehingga kelompok ini banyak mengembangkan diri pada sektor –sektor informal seperti salon,
industri kreatif, hiburan dan beberapa diantaranya masuk dalam dunia prostitusi.
Kelompok LGBT umumya mengharapkan perlakuan yang lebih seimbang dan adil dari
Pemerintah, mereka ingin orientasi seksual dan perilaku seksual tidak menjadi hambatan bagi
mereka dalam berwarga , berkarya, berprestasi dan berkontribusi dalam pembangunan.
warga sendiri masih memiliki stigma terkait dengan LGBT, khususnya akibat paparan
media yang berlebihan dan tindak laku LGBT itu sendiri yang mendatangkan kekhwatiran,
seperti kasus HIV AIDS, dan kasus kejahatan seksual pada anak, ditambah lagi dengan pemikiran
yang dilandasi agama.
Kajian ini mempelajari bagaimana warga melihat keberadaan kelompok Transgender
dalam kehidupan sehari-hari. Berbeda dengan kajian lainnya, kajian ini berperspektif dari
kacamata obyek kajian (transgender), artinya sumber data diperoleh langsung dari kelompok
transgender tentang pandangan warga terhadap dirinya. Pada kajian lain berperspektif
dari kacamata warga , yang sumber datanya diperoleh langsung dari warga .
Bagaimana pandangan warga terhadap keberadaan kelompok transgender
dalam kehidupan sehari-hari.
Lesbian yaitu seorang homosexual perempuan; perempuan yang mengalami percintaan atau
tertarik secara seksual kepada perempuan lain. Istilah lesbian juga digunakan untuk
mengexpresikan identitias seksual atau perilaku seksual berkaitan dengan orientasi sex
[http://www.nap.edu/openbook.php?record_id=6109&page=35)
Gay menurut kamus yaitu seseorang yang tertarik kepada jenis kelamin yang sama dan tidak
tertarik kepada sex lawan jenis.[Douglas,2013] Gay pada dasarnya yaitu istilah yang merujuk
kepada seorang (laki laki) homosexual, yaitu laki laki yang berhubungan dengan sesama sejenis
atau laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki.
Bisexualitas yaitu ketertarikan secara romantis, perilaku sexual atau ketertarikan secara
sexual kepada laki laki dan perempuan. sumber lain
menyatakan sebagai romantisme atau ketertarikan secara sexual kepada semua jenis kelamin
atau identitas gender;. Pada dasarnya istilah bisexualitas biasanya
digunakan untuk menggambarkan ketertarikan romantisme atau ketertarikan sexual dalam
konteks manusia kepada orang lain tanpa membedakan laki laki atau perempuan.
Transgender mengacu kepada identitas gender seseorang yang tidak terkait dengan jenis
kelamin biologis yang diperolehnya sejak lahir [Reference .com] Istilah transgender di
negara kita lebih banyak dikenal sebagai Waria, beberapa daerah juga mempunyai istilah yang
menggambarkan transgender seperti, wadam, bencong (Jakarta), calabai (Sulawesi), dan
wandu (Jawa).
Pengetahuan warga umum mengenai LGBT ini sangat masih sangat terbatas, khususnya
mengenai penyebab terjadinya perbedaan orientasi seksual dan identitas seksual ini. Tingkat
pemahaman ini sangat mempengaruhi penerimaan warga terhadap kelompok LGBT.
Pada umumnya kaum Lesbian, Gaya, Bisek dan Transgender (LGBT) menyadari bahwa dirinya
mempunyai perasaan, pikiran, perilaku, orientasi seks yang berbeda dan mereka mempunyai
kebutuhan seks dan penyalurannya. Mereka juga sadar bahwa warga pada umumnya
menolak kehadirannya karena ketidaklazimannya.
Dalam pandangan agama manusia dilahirkan sesuai dengan kodrat seksualnya, yaitu laki dan
perempuan. Ooeh karena itu ajaran agama ini digunakan sebagai pedoman untuk
beriperilaku bahwa laki-laki berjodoh dengan perempuan dan tidak dibenarkan berjodoh
dengan sesama jenis. Berjodoh atau perpasangan seksual di luar aturan agama dianggap
berperilaku menyimpang.
Ada beberapa penjelasan umum mengapa seseorang menjadi LGBT. Pertama, berhubungan
dengan factor biologi dan kondisi sosial. Kedua, seseorang menjadi LBGT dipengaruhi oleh
perbedaan kondisi lingkungan yang didalam termasuk mikrosistem, mesosistem , dan
makrosistem. Mikrosistem berisi dampak dari interaksi antar person, hubungan antar dua atau
lebih mikrosistem disebut mesosistem. Mesosistem pengalaman yang diperoleh secara
kebetulan, sedangkan makrosistem teridiri dari norma-norma sosial dan aturan yang
mempengaruhi individu. Penjelasan lain mengatakan bahwa seksualitas dan perilaku
dipengaruhi oleh lingkungan keluarga dan pengalaman individu dan perasaannya. Dari
beberapa konsep dan teori ini di atas dapat dibuat skema berikut.
Fokus yang dipelajari pada kajian ini yaitu terkait dengan norma sosial khususnya pandangan
warga terhadap LGBT. Pada kajain ini sumber informasi diperoleh langsung dari kelompok
LGBT sehingga nuansa informasi berperspektif kelompok ini .
Jumlah informan sebanyak 18 orang yang berasal dari Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan
Bekasi. Separoh informan berasal dari komunitas transgender, yang lain berasal dari non
kumitas. Sebagian besar bekerja di salon, sebagian lain bekerja sebagai penari, model,
pedagang, mahasiswa dan pekerja seks. Pendidikan bervariasi dari SD hingga Sarjana. Umur
informan juga bervariasi mulai dari 21 tahun hingga 56 tahun. Berdasar perspektif kelompok transgender, mereka menggolongkan menjadi dua, yaitu
kelompok yang menganggap bahwa jatidiri mereka sebagai penyakit dan yang menganggap bahwa mereka menjadi waria karena “kodrat”. Pada kelompok pertama, mereka merasa bahwa
diri mereka berbeda dan tidak normal dibandingkan dengan orang kebanyakan, “Kok gue kaya
gini sih? Kenapa ga kaya orang lain aja yang normal?” Lebih lanjut, KK
mengatakan bahwa pada dasarnya ia jatidiri sebagai Waria yang ia jalani sekarang memang
merupakan penyakit. Ia merasa dirinya menjadi Waria bukan karena sudah demikian adanya
ketika ia dilahirkan. Ia juga tidak merasa menjadi dirinya apa adanya ketika berperilaku dan
berpenampilan sebagai Waria, “Saya kayak gini karena saya mempunyai penyakit bukan karena,
‘ini loh gue, gini nih gue apa adanya.’”
Sementara yang lainnya menganggap bahwa hal itu bukan merupakan penyimpangan
melainkan kodrat dari Tuhan yang tidak bisa diubah seperti yang dikatakan oleh RK berikut.
“Waria itu.. nyimpang bagaimana orang dari hatinya.. yang penting jangan
nyakitin orang aja.. udah pada ngerti orang-orang juga.. Kalo sakit demam flu
bisa disembuhin.. kalo hati disembuhin? Menurut saya bukan nasib, kodrat..
kalo nasib bisa dirubah kalo kodrat?”
Menurut salah satu informan menganggap bahwa transgender (waria), lesbian dan gay.
memiliki orientasi seks yang sama, yaitu sejenis, tetapi Waria bukan merupakan penyakit
layaknya lesbian dan gay. Menurutnya, hal itu bisa ditularkan hanya dengan tidur bersama
meskipun tidak melakukan hubungan seksual. Lesbian dan gay ia lihat sebagai hasil dari
pengaruh lingkungan bukan seperti Waria yang memang sejak lahir sudah memiliki
kecenderungan.
“Kalo banci, kalo waria itu masih bisa diterima ya, Cuma kalo lesbi dan gay itu
kan penyakit menular..Walaupun kita tidak melakukan hubungan dan Cuma
tidur bareng, itu menular. Itu kan penyakit. Itu kan lingkungan, terbawa arus.
Kalo gay sama lesbi itu penyakit. Bukan dari sananya, dari lingkungan. Kebawa bawa..Iya kalo gay, lesbi itu bisa menular. Kalo waria engga”
Istilah transgender bagian dari kelompok LGBT tidak banyak diketahui oleh para informan.
Namun mereka memahami ketika akronim LGBT dijabarkan. Biasanya mereka menyebut diri
mereka sebagai Waria, bencong, dan banci. Semua informan mengaku sebagai transwoman
memiliki ketertarikan dengan laki-laki. Mereka menganggap bahwa dirinya sebagai Waria
berbeda dengan gay atau homo yang juga sama-sama memiliki ketertarikan dengan laki-laki.
Gay dianggap sebagai orang yang munafik dan kerap memandang Waria sebelah mata.
“kalau aku lihat ya, gay itu memandang waria itu sebelah mata ya, padahal
lebih centil mereka mungkin gede munafiknya ya, tapi buat aku waria sama gay
itu sama aja”
Kehidupan Waria dianggap lebih vulgar dan lebih terbuka dibandingkan kehidupan seorang gay
yang cenderung lebih menutup diri. Ciri khas transgender yaitu pada penampilannya sehari hari. Gaya dan perilaku yang ditunjukan lebih seperti perempuan dan umumnya berdandan..
“Transgender keliatan karena bentuk fisik laki-laki tidak bisa bohong”
“Tampilan waria? Ya ada yang dandan, ada yang biasa aja. Aku ini kan biasa”
“Sama tapi kalau menurut aku ya, kalau waria lebih terbuka, kalau gay
kebanyakan menutup diri, mungkin karena image kali ya, ngakunya sok laki-laki
tapi doyannya tetep yang sesama, kalau waria hidupnya lebih vulgar hidupnya
ketimbang gay, intinya garis besar munafik”
Dalam beberapa kasus, gay dan Waria dikatakan bertolak belakang dan tidak bisa bergaul
bersama karena seperti pesaing. “Shemale agak bentrok dengan gay karena memiliki
ketertarikan yang sama sehingga merasa saingan. tapi ada waria yang pacaran dengan gay.
Keberadaan waria bisa ditemukan di berbagai tempat. Populasi Waria secara berkelompok
sering ditemukanm di malam hari, pinggir jalan, taman atau tempat tertentu yang dirasakan
nyaman untuk berkumpul. Tempat-tempat berkumpul ini biasanya dilakukan tidak hanya oleh
Waria yang berprofesi sebagai PSK tapi juga oleh para Waria yang siang hari memiliki pekerjaan
lain seperti penata rias, penata rambut, model, ataupun pekerjaan-pekerjaan formal sebagai
pegawai. Waria PSK dan Waria yang memiliki pekerjaan lain tidak sama dalam pencarian
partner seks ini. Waria yang memiliki pekerjaan biasanya hanya ”mangkal” satu atau dua
minggu sekali bersama dengan teman-temannya. mereka tidak mematok tarif untuk jasa seks
ini dan justru terkadang membayar laki-laki. Hal ini dilakukan karena bagi Waria yang
mempunyai pekerjaan, “mangkal” bukanlah untuk mencari penghasilan melainkan hanya
sebatas mencari kesenangan untuk memenuhi kebutuhan biologis mereka. Biasanya Waria
non-PSK ini memisahkan diri dari pangkalan Waria PSK karena mereka khawatir keberadaan
mereka akan merusak harga pasaran dari Waria PSK
“Kalau kayak kita-kita yang udah kerja kayak kita sih untuk nyari kepuasan ya.
Dibayar alhamdulillah, nggak dibayar juga nggak masalah. Yang penting kita
nyari kepuasan aja karena kita nyarinya laki-laki normal. Laen ama yang orang
kerja (PSK)"
"Iya, nggak gede sih tergantung dia mintanya berapa, kalau aku kan
pancingannya sekarang atau dulu itu sih sama aja, dia minta ga jauh-jauh dari
makan, ongkos makan tapi sekarang beda lagi...Tergantung, aku sih
menyanggupin aja, aku sih semampu aku aja, kisaran yang sekarang umum itu
dari mulai 500 ribu"
.
"Aku menjajakan diri juga, aku kan dandan, dalam kondisi hidup di jalan aku
dandan, tapi tetap aku gratisan aja, siapa yang butuh aja, makanya dipisahin
aku sama temen-temen aku, aku kan jaga tempat kerja dia kan pangkalan
mereka, makanya aku misahin diri dari mereka terkecuali memang ada tamu
yang gratisan itu diserahin ke aku, kan sebagian besar mereka cari duit ya, aku
ga mau sampai ngejatuhin mereka juga. Istilahnya kita kan satu tim"
Dengan berdandan seperti perempuan, hal ini tidak berarti Waria menyukai peran perempuan
dalam berhubungan seks. Adanya kebutuhan biologis untuk berhubungan seks tidak serta
merta mempengaruhi Waria untuk “mangkal”. Sebagian tidak mangkal karena
mempertimbangkan usia. Dengan pertambahan usia, mereka lebih memfokuskan diri pada
pekerjaan yang digeluti ketimbang mencari kesenagan sebagaimana yang dilakukan sewaktu
muda. Selain itu, ada juga Waria yang tidak menginginkan hubungan seks karena khawatir
tertular dengan penyakit kelamin, “kalau mangkal-mangkal kita kan gak tau ada yang bersih
ada yang engga”
“Iyah karena kita merasanya kaya perempuan yah kita jadi perempuan saat
berhubungan seks seperti perempuan, karena kita merasa perempuan yah
diperlakukannya juga seperti perempuan gitu”
“tetep kalaupun aku dandan, aku lebih suka jadi lelakinya, meskipun pakai rok mini
tetep lebih suka jadi laki-lakinya, tapi kalau ML (Make Love) jadi laki-laki, aku belum
pernah jadi bot (bottom)”
“kalo dulu mah waktu masih muda masih suka keluar malem.. sekarang mah
udah nggak, udah usaha gini.. sekarang begini-begini aja (nyalon)..”
“Saya tidak pernah, nongkrong nongkrong gitu engga...Engga saya engga. Karena
bukan apa-apa, kita menjaga. Menjaga, satu itu. Yang kedua temen temen saya banyak
yang mati...Iya, kena itu kan HIV. Banyak teman saya. Nah makanya itulah saya gak
mau”
Cara lain untuk memenuhi kebutuhan seks yaitu melakukan mansturbasi. Mereka tidak
melakukan hubungan seks dengan orang lain, karena merasa sudah tua, tidak lagi orang lain
bersedia menjadi pasangan seksnya atau merasa sudah cukup puas melakukan masturbasi.
Beberapa informan mengakui bahwa biasanya Waria itu tidak bisa merasa puas hanya degnan
satu laki-laki. Namun demikian ada pula yang mampu melayani hubungan seks dengan 10 orang
dalam waktu semalam.
“Kita lebih baik apa adanya aja. Jadi kalo kita pengen ‘begitu’, terus terang aja
ya bang mau begitu, yauda kita sendiri aja”
“Emang kalau saya jujur emang waria itu ga ada puasnya, ga cukup cowok satu, kan
kita udah punya pasangan nih tetep di belakang kita nyari lagi, tergantung kitanya juga
sih ya”
“Ada hehe, ada yang semalem dapet 10 besoknya jalannya ngegang”
Tidak hanya dengan cara “mangkal”, mereka juga mencari pelanggan ataupun pasangan dengan
memanfaatkan media sosial seperti facebook, twitter, dan BBM. Di dalam sosial media seperti
BBM kadang mereka yang memiliki orientasi sesama jenis atau menjajakan dirinya pada waria
ataupun gay dengan cara menuliskan identitas dan orientasi sepeti misalnya “BOT cantik”.
“Kadang lewat BBM, dikenalin temen, kadang lewat sms, kadang juga nyari
sendiri tapi lebih sering lewat BBM. Kalau di BBM itu suka menawarkan diri
sendiri dia misalnya BOT cantik, gitu-gitu, kasarnya aku berani bayar mereka”
Sebagaima PSK, Waria “yang mangkal” menyadari bahwa hubungan dengan pelanggannya
yaitu hubungan “transaksional” yaitu tidak ada hubungan emosional dalam jangka panjang.
Menurutnya, meskipun bisa menyayangi dan menyukai hubungan seks dengan Waria, pasti ada
keinginan dari laki-laki ini untuk juga menikah atau menjalin hubungan serius dengan
perempuan hingga membangun keluarga yang utuh. Atas dasar pemikiran itu, Waria lebih
menyukai hubungan singkat semalam (one night stand) dan tidak ada hubungan lagi setelahnya
sehingga tidak ada beban baik secara emosional ataupun material. Namun demikian ada juga
orang yang menjadi pasangan Waria karena materi.
“Saya sih ketemu langsung ya di tempat temen. Awal-awal di kenalin. Namanya
jiwanya anak-anak udah gitu keadaan ekonominya kaya gini, yaudah ikut sama
aku, akhirnya lama-lama deket bertahun-tahun. Kadang kalau lelaki kalau
sudah berhubungan sama kita orang jadi males”
“Saya satu rumah sama dia 6 tahun. Sekarang posisi saya sudah susah, sudah
menderita baru saya ditinggalin. 6 tahun. Barang sudah abis semuanya, ludes.
Saya punya tiga salon”
Hubungan emosional antara Waria dengan laki-laki jarang yang bisa bertahan lama. Salah
seorang informan ada yang pernah menjalin hubungan selama enam tahun dengan
pasangannya. Namun pada akhirnya ia harus menerima pil pahit karena pasangannya itu harus
meninggalkannya dan menikah dengan perempuan.
“Sesama jenis juga, tuh cowo saya masih berondong umur 20 kalau yang ini
masih baru, kalau yang lama 6 tahun Cuma kemarin dia married sama cewe
trus dapet yang ini”
Dalam upaya berpenampilan seperti perempuan, sebagian Waria mengubah dirinya tidak hanya
dari cara berpakaian tapi juga secara biologis. Cara yang dilakukan mulai dari suntik hormon
sebagaimana dilakukan oleh salah satu informan yaitu menggunakan suntik KB dengan tujuan
agar bulu halus di tubuhnya berkurang. Umumnya mereka mulai mengambil keputusan untuk
perubahan diri secara biologis ini setelah menginjak usia dewasa mulai lulus SMA hingga usia
20an awal.
Tidak semua Waria menganggap perubahan fisik itu perlu. Sebagaian masih mengkhawatirkan
dirinya apabila melakukan perubahan fisik dengan pertimbangan agama. Namun secara umum,
ada kecenderungan toleransi dari para Waria untuk melakukan perubahan fisik seperti suntik
hormon.
Upaya lain untuk merubah penampilan fisiknya yaitu menumbuhkan payudara. Diantara
kelopok Waria, ada dua pendapat tentang perubahan fisik yang sengaja dilakukannya.
Pada sebagian Waria bependapat bahwa melakukan pembesaran payudara dan pergantian
kelamintidak dibenarkan dalam agamanya.
Pada kelompok Warian ini masih merasa takut untuk mengambil keputusan untuk merubah
fisiknya tubuhnya. Mereka berpikir bahwa suatu hari nanti bisa saja mereka kembali ke jalan
yang benar dengan menjadi laki-laki seutuhnya. Mereka berpendapat bila sudah berganti
kelamin maka pertaubatan akan semakin sulit. Sebagian lain tidak mau melakukan operasi
pergantian kelamin lantaran menyadari bahwa ukuran tubuhnya besar sehingga tidak pantas
jika berganti kelamin.
“Kalo itu belum.. jadi kalo itu kan harus berpikir dengan matang yah. Biar pun
berpenampilan begini yah tapi untuk yang satu itu harus berpikir dengan
matang dan harus berpikir dengan panjang, jangan sampe menyesal kemudian.
Karena yah kalo emang eh apa kita punya Tuhan sudah mengijinkan eeeh
istilahnya dikasih hidayah untuk kembali ke asal jadi laki-laki yah jadi kan
tinggal buang payudaranya gitu”
“Nggak deh.. (ganti kelamin), emang sih hati pengennya ganti fisik begitu, kayanya ga
pantes aja.. udah jalanin aja.. selagi sehat.. terus kalo lagi pengen dandan, udah gitu
aja.. ga usah.. lagian mahal juga.. ga terjangkau.. ngeliat kita kaya begini operasi ga
pantes, harus siang malem dandan, udah gitu.. lingkungan keluarga bisa nerima kalo
dandan.. Kan tiap orang beda fisiknya ya.. ada yang gemulai, kurus kecil gitu.. Kalo aku
kan gede.. ga pantes aja kayanya.. terus kalo dia mampu baru mungkin bisa.. Kalo yang
kasar-kasar gede ga pantes, lucu jadinya”
“Oh kalo itu saya tidak. Saya tidak mau, kalau mau dari dulu. Karena dimata
Tuhan, kita begini aja kita udah dosa. Saya Kristen. Saya orang Kristen. Dimata
tuhan kita sudah berdosa, apalagi bikin bikin begini. Gak ada artinya. Nanti
kalo mati, meninggal siapa yang mandiin. Bisa, Cuma saya gak mau. Dimata
Tuhan uda berdosa begini, cuma orang kan gak tahu saya seperti ini. Nanti kalo
mati biar kita Kristen, islam nanti yang mandiin siapa?”
“ya mungkin saya udah termasuk transgender tapi belum mengubah karena
saya lebih memikirkan agama dibandingkan hal-hal yang sifatnya hanya
sementara di dunia aja karena saya kan Islam”
Sebagian informan menyadari bahwa perilaku seks yang dilakukan berisiko tertular penyakit
kelamin. Tertular penyakit seksual sebagai risiko yang harus dihadapi. Sementara sebagian lain
Waria bisa mengantisipasi penularan penyakit dengan menggunakan kondom saat melakukan
hubungan seks. Kelompok Waria ini merasa untung dengan bergabung bersama komunitas
atau LSM yang beroperasi di lingkungan mereka. Salah seorang informan berinisial IK dari
Depok mengungkapkan bahwa komunitas yang ia ikuti membantu mengedukasi orang-orang
seperti dirinya untuk mendapatkan informasi tentang HIV/AIDS. Ia sendiri sudah mengidap HIV
selama dua tahun. Dengan bergabung di komunitas, Ia merasa mendapatkan pemahaman
bahwa ia masih memiliki harapan hidup asalkan melakukan perawatan dan pengobatan dengan
benar.
Sebagian transgender lainnya merasa tidak perlu bergabung ke komunitas karena dianggap
terlalu banyak aturan yang membuat mereka menjadi tidak bebas bergerak. Selain itu
lingkungan di dalam komunitas sendiri menurutnya belum tentu mendukung satu sama lain.
“Dulu sebenernya ada tapi sekarang udah ga ada Cuma sekarang kan mungkin
udah cape juga mengordinir begini, gay kan susah diarahin karena masing
masing punya jalan sendiri, kalau diarahin mulu kan lama-lama bosen karena
lingkungan beda-beda, kebanyakan lebih suka condong ke luar akhirnya satu
persatu pada ilang, dan komunitas itu bubar, dan masing-masing aja karena
cara pikir di dalam dan di luar beda, terlalu banyak aturan begini begitu, harus
begini begitu kan manusia kebanyakan pengen kebebasan”
“Ya sendiri-sendiri aja, kalau di koordinir gitu kan sakitnya kita ketahuan, tapi
tetep aja yang satu komunitas belum tentu punya penilaian baik sama mereka,
dari anak buahnya, belum tentu dia bisa menutup keburukannya, karena satu
koordinir semuanya jadi ketahuan, satu komunitas pasti tetep aja mulutnya ga
bisa diem, tetep mereka berbicara mending masing-masing aja kita bisa
menyembunyikan penyakit kita, melihat gejalanya seperti apa, merahasiakan
sakitnya, kalau satu komunitas sebagian mungkin ada yang bisa menutupi tapi
sebagian lagi lemes mulutnya. Orang boleh sama tapi belum tentu hatinya kaya
gimana, kita bisa satu tempat, belum tentu diluarnya gimana”
. Faktor pendorong memutuskan menjadi Transgender
Kebanyakan Waria mulai mempertanyakan jatidiri mereka sejak kecil. Sebagian ada yang
merasa sudah begitu adanya sejak dilahirkan, ada yang karena pengaruh keluarga, pengaruh
lingkungan pertemanan, trauma masa kecil, dan faktor ekonomi. Bagi kelompok yang pertama,
mereka merasa sulit untuk berubah karena memang sudah merupakan takdir yang diberikan
dari Tuhan sehingga mereka memiliki kecenderungan untuk berperilaku seperti perempuan.
“Kalo kaya saya yah itu udah kodrat, emang udah jalannya dari Allah begini,
dari lahir. Kalo yang lain mungkin saya ga tau kenapa tapi mungkin juga karena
kodrat dari Allah”
Mereka merasa tidak mungkin untuk membohongi diri sendiri hingga akhirnya memutuskan
untuk menjadi Waria. Mereka lebih memilih menjadi Waria meskipun ada pilihan untuk
menjadi laki-laki heteroseksual. Biasanya mereka yang menganggap kecenderungan menjadi
Waria mengingat kembali masa kecil mereka ketika pilihan permainan dan kelompok bermain
yang tidak seperti teman-teman lainnya yang laki-laki. Mereka lebih menyukai permainan
boneka ketimbang permainan lainnya.
“Saya waktu masih SD juga udah mulai. Gaya itu udah ada. Cuma kadang-kadang kan
dari itu kan makin lama-lama gitu kan kita nggak bisa di, itu kan hati ya. Hati kan nggak
bisa dibohongin daripada kita nyiksa. Maap salah ngomong. Daripada kita nyiksa diri
terus akhirnya jadi kayak gitu ada beban jadi mending ya apa adanya aja yang penting
kita nggak ngerugiin orang lain. terutama juga kita nggak pernah jahat”
“Dari kecil sudah diperlakukan seperti perempuan. diberi mainan apa saja dan memang
tertarik dengan boneka”
Diantara informan mengungkapkan bahwa penyebab mereka menjadi Waria karena
orangtuanya semula menginginkan anak perempuan karena di keluarga lebih banyak anak
namun yang lahir yaitu anak laki-laki. Meski begitu, tidak semua orangtua yang awalnya
mengharapkan anak perempuan itu bisa menerima dan memaksa mereka untuk melakukan
kegiatan-kegiatan yang diasosiasikan dengan kegiatan untuk laki-laki seperti bermain bola.
“Karena gini mas, saya cerita nih dulu saya 6 bersaudara. Perempuannya Cuma
satu. Saya kan paling bontot, paling kecil. dulu ceritanya abang bang saya,
nanti kalo dia lahir mau dia laki mau dia perempuan mau saya pakein baju
perempuan. Teryata dibalik semua itu, lahirnya laki laki. Yaudah keterusan.
Saya sampe SMP saya pake baju perempuan”
“Iya. Tapi dulu waktu aku masih kecil, maksudnya, orang tua aku tu orangnya
emang pengen cewek dulunya. Di rumah kan main boneka gitu, kan. Trus
disuruh jangan, main bola, ngaji, gitu kan dulu”
Diantara informan menjadi Waria karena merasa sebagai minoritas di keluarganya. Sebagian
besar anak yaitu perempuan sehingga cenderung berperilaku seperti perempuan juga. Hal ini
dianggap oleh salah seorang informan sebagai kelalaian orangtua karena kurang memahami
gejala yang dialami anaknya ketika kecil. Informan lain berpendapat bahwa mejadi Waria
karena pola asuh orang tua yang terlalu memanjakan dirinya seperti yang dialami oleh KK
“Saya sih ya begitu aja ya mungkin dari faktor keluarga kali ya. Keluarga kan 9,
perempuan satu. Mungkin karena dulu dari keluarga kan nggak tahu ya jadi
kan terus mengalir begitu aja”
"Dan saya juga kan anak dan cucu terakhir di keluarganya ayah saya. nah suka
dimanja... apalagi saya dimanjanya bener-bener banget lah sama mamah jadi"
“...dan mendapat kasih sayang yang berlebihan seperti diperlakukan secara
cewek”
Salah satu informan meceriterakan bahwa ada Waria yang berasal dari keluarga yang tidak
utuh. Ia menceriterakan bahwa menjadi Waria karena sebagai akibat dari keluarganya yang
berantakan, “Ada juga transgender yang disebabkan keluarga yang broken home” Sebagian juga ada yang merasa dirinya bisa menjadi Waria karena memiliki trauma
masa kecil akibat diperkosa. Tidak semua Waria setuju dengan alasan ini. Menurut salah satu
informan, alasan traumatis seperti ini hanya merupakan justifikasi atas perilaku yang pada
dasarnya sudah ia inginkan.
“Omongannya sih ada tapi nggak tahu kenyataannya saya nggak tahu.
Kadang-kadang ada yang suka begitu. ‘Udah kita disodomi aku jadi ama laki’.
Ada begitu temen-temen aku bilang. Tapi menurut aku sih itu alasan ya. Alasan
mungkin karena malu jadi waria"
“Kadang-kadang gitu dari faktor kejadian yang trauma masa dulu yah, yah
misalnya kaya korban itu eeeh pemerkosaan, korban gituan. Nah kan jadinya
dia merasa ada perasaan berbeda gitu yah, jadi muncul. Kaya misal temen aku
ada yang digituin sama orang waktu kecil”
Tidak hanya perlakuan orangtua, hal yang juga menjadi pemicu seseorang
untuk menjadi Waria yaitu ketika ia mendapatkan opini positif seperti pujian
dari orang lain sebagaimana yang dialami oleh KK. Ia pernah dipakaikan atribut
perempuan, yaitu rambut palsu, lalu dipuji cantik oleh keluarganya, “pernah
dipakein wig juga (oleh keluarga), dibilang, ‘ih cantik ya, cantik ya’. Jadi itu
yang memacu saya”
KK juga mendapatkan opini semacam itu dari teman-temannya saat sekolah dasar. Dengan
kondisi fisik yang menurutnya cenderung lembut dan terlihat seperti perempuan, ia menerima
opini-opini dari temannya di sekolah dan mulai mempertanyakan jatidirnya sendiri. Beberapa
laki-laki bahkan menyatakan suka kepadanya ketika di sekolah dasar.
"Awalnya itu dulu kan emang waktu kecil saya itu kan mungkin tubuhnya beda
sama yang lain. mungkin lebih putih, lebih bersih, dan cowok-cowok
kebanyakan ngeliatnya cantik. Nah waktu SD jadi ada beberapa cowok yang
ngomong suka sama saya, ‘kiki, gue suka sama lo’. Nah kan kalau masih kecil
kan masih proses dalam pembentukan keperibadian. Masih mencari jati dirinya.
Nah kalau misalkan ada cowok yang ngomong suka sama suatu anak kecil tapi
dia cowok juga, nah otomatis dia berpikir lagi dong. Dia mirroring kenapa
orang itu bisa ngomong seperti itu kan. Makanya saya mirroring juga nih
kenapa ya. Terus lama-lama dilihat, ‘oh jadi emang bener ya muka saya emang
cantik.’ Tapi mungkin persepsinya itu loh yang membuat saya seperti itu nah
pas saya besar jadi kayak ke-replace. Itu yang memacu saya untuk jadi
pandangannya beda tentang laki-laki, jadi ada ketertarikan, penampilannya
jadi berbeda”
Beberapa di antara informan yaitu perantau dari daerah yang datang ke Jakarta untuk
mengadu nasib. Kecenderungan yang sudah mereka rasakan sejak kecil semakin menguat
ketika mereka datang ke Jakarta dan bergabung dengan teman pergaulan yang sama.
“Ketika umur 20 pindah ke Jakarta dan mulai menggunakan pakaian
perempuan... Datang ke Jakarta diajak teman yang juga waria di Jakarta”
Faktor ekonomi juga menjadi latar belakang mereka menjadi Waria karena adanya anggapan
bahwa tanpa keahlian khusus, menjadi Waria merupakan jalan mudah untuk mendapatkan
penghasilan. Informan ini sudah dari awal merasa tidak sebagai laki-laki heteroseks namun
kesempatan ekonomi ini menjadi lebih meyakinkan dirinya untuk menjadi Waria secara utuh.
“Dulu kan kita juga kadang-kadang kan, ‘oh kita dalam keadaan begini jadi
waria. Nyari kerjaan gampang. Menjadi stylist juga gampang. Sedangkan jadi
laki-laki kan belum tentu segampang kayak waria gitu nyari pekerjaan. Kalau
jadi laki-laki ya jatohnya kalau nggak punya pendidikan ya di bangunan. Ada
juga aku pikiran ke situ kalau ah jadi waria gampang, cari kerjaan gampang.
Selain itu juga ada jiwa begitu juga nyari kerjaan gampang"
Selain dari informan di atas, ada juga yang merasa butuh untuk menjadi Waria karena ia
memiliki cita-cita untuk membuat usaha salon. Akhirnya ia merubah penampilan untuk
mendukung usahanya ini .
“Setelah saya kerja pun saya tetep berpenampilan laki-laki, cuman saya punya
cita-cita yah dalam istilah dalam arti cita-cita saya kepengen berpenampilan
layaknya seperti perempuan setelah saya kalo punya usaha sendiri… Saya kerja
di Jhonny Andrean, iyah gitu. Jadi saya kerja di Jhonny, di Pondok Kelapa, ehhh
kurang lebih itu saya kerja tiga tahun empat tahun lah. Iyah tahun 98 saya baru
buka usaha. Iyah jadi eh yah mulai dari situ yah saya mulai berpenampilan
perempuan. Terus berfikir oh saya harus seperti apa gitu kan. Gitu. Tapi kalo
misalnya berpenampilan perempuan tuh bukan berarti kita harus dandan yang
menor atau yang apah gitu kan gitu, intinya berpenampilan perempuan”
3.6. Pandangan dan sikap lingkungan sosial terhadap Transgender
Keberadaan Waria di tengah warga ditanggapi secara beragam. Sebagian warga
mendukung, sebagian bersikap cuek, mendiamkan, dan ada yang tidak bisa menerima
kehadirannya. Salah seorang informan mengatakan bahwa dengan melihat usahanya sebagai
penata rambut, warga sekitarnya memaklumi dan mendukung kegiatan yang ia lakukan.
“Sebenarnya ada dua, kadang kadang manusia ada yang mendorong. “udah kamu terusin aja,
biar kamu jadi orang sukses”
Ada juga sekelompok warga yang bisa menerima kehadiran mereka asal tidak bertingkah
secara berlebihan seperti yang dikemukakan oleh AP. Ia menambahkan bahwa batas toleransi
warga yaitu ketika perilaku seks dan pertemanan Waria tidak mencolok dan terlihat oleh
warga tempat mereka tinggal, “soalnya kan dari sifat sendiri yang nggak nonjolin, dan
nggak sembarangan bawa orang” Terlebih lagi, menurutnya, apabila
warga bisa melihat bahwa Waria yang tinggal di sekitar mereka memang memiliki
pekerjaan yang jelas, “Apalagi kita ada kerjaan jadi warga tau, dan warga nggak
mandang negatif”
“rata-rata kalo yang berlebihan gitu warga membenci, soalnya itu kan
terlalu frontal terlalu nggak sadar diri, kalo misalnya kita biasa aja paling di
diemin aja”
Sebagian warga tidak bisa menerima kehadiran Waria dengan alasan bertentangan
dengan norma agama, “ada yang suka ngelarang ‘jangan, dosa itu!’”
Menurut GG, orang-orang yang memandang transgender secara diskriminatif yaitu orang orang picik yang merasa dirinya paling benar.
“mereka yang memandang berbeda tuh mereka yang pandangannya picik,
belum tentu dirinya sempurna atau gimana, kalau sudah merasa sempurna sih
gapapa”
Tidak hanya di lingkungan warga , penolakan juga kadang terjadi di lingkungan keluarga.
Salah seorang informan yang merupakan perantau asal Sumatera Barat pernah tidak dianggap
kehadirannya oleh keluarga ketika ia pulang kampung. Tidak hanya LV, penolakan dari keluarga
juga dialami oleh DR yang merasa telah dibuang oleh keluarganya karena mengetahui bahwa
dirinya Waria.
“aku dari padang, aku kabur, pas kemarin lebaran aku ke padang aku dibukain
kamar di hotel, jangankan ngenalin aku, namaku aja udah jelek di sana”
“Iya, saya kan sama keluarga udah di buang karena saya waria...Engga, jadi
saya dari dulu tuh dari SMP saya hidup mandiri tanpa saudara tanpa
orangtua.orangtua saya tau...”
Beberapa Waria lain bahkan juga mengalami perlakuan penganiyaan fisik. KK, mahasiswa
tingkat akhir di salah satu perguruan tinggi negeri mengatakan bahwa ia pernah mengalami
pemukulan oleh seniornya sewaktu ia duduk di bangku SMA. Senior ini yaitu gay yang
merasa tersaingi dengan keberadaan KK yang Waria. Kekerasan fisik ini juga pernah dialami
oleh GG yang tidak bisa diterima oleh keluarganya “Kalau aku dulu awalnya kakak aku ga nerima, dari mulai smp sampai sudah
kerja masih sering kena kepalan tangan kakak aku, ya mungkin dia malu punya
adik waria”
Pengalaman penganiayaan menjadi bahan renungan bagi Waria yang pernah mengalaminya.
Seperti yang diceritakan oleh MR. Dalam suatu pesta pernikahan di mana Waria dipersilahkan
naik ke panggung untuk menghibur tapi justru mendapatkan perlakuan kurang menyenangkan
dari ulama setempat yang melempari mereka dengan telur busuk. Dengan adanya peristiwa
ini , MR yang saat itu menyaksikan tanpa merasakan langsung, menyadari bahwa Ia dan
teman-temannya perlu melakukan pendekatan dengan RT dan tokoh agama untuk meminta
izin jika hendak mengadakan acara sejenis.
“pernah nonton dimana dulu dilemparin telor busuk, makanya sekarang kalau
kita mau ngadain kontes bilang dulu sama rtnya, ulamanya, tokoh agamanya,
ga sembarangan sih kalau kaya gitu”
Tidak semua Waria menunjukkan identitasnya kepada khalayak umu. Menurutnya ada ruang ruang sosial tertentu yang bisa membuat mereka mau menunjukkan jatidirinya. Mereka akan
melihat situasi terhadap lingkup sosial yang akan ditunjukan identitasnya. Jika dilihat bahwa
lingkungan sosial ini belum bisa menerima kehadiran mereka, maka mereka cenderung
menutup jatidirinya, “di lingkungan aku masih tertutup karena orang di sana masih awam, kan
kalo yang tau cuma kita doang”
Bagi para Waria yang memiliki pekerjaan khususnya yang bekerja di bidang yang tidak
terasosiasi dengan Waria (salon), mereka menutupi identitasnya ketika bekerja. Mereka
memberikan istilah ‘siang-malam’. Artinya, mereka bekerja dan berpenampilan seperti laki-laki
pada siang hari namun ketika malam hari penampilan berubah menjadi Waria. Sebagian
informan merasa belum siap untuk mengubah penampilannya siang dan malam.
“Hanya malem aja… Ada juga sih yang siang malem maunya begitu.. tapi kalo
saya kan. maksudnya kalo siang kan ada kesibukan kan kerja jadi siang engga…
Emang lebih nyaman begitu.. karena saya masih belum ada kemauan lah untuk
berubah siang malem... emang dari dulu begitu”
Di lingkungan keluarga biasanya mereka terbuka. Ada keluarga yang bisa menerima karena
menganggap bahwa anggota keluarganya bisa menjadi Waria akibat asuhan mereka. Ada juga
yang pada akhirnya menerima setelah berkali-kali mencoba untuk menjodohkannya dengan
perempuan.
“keluarga juga alhamdulillah nggak ada, ini ya, ibarat kalau di kampung kan,
maaf salah ngomong ya menurut agama ya, itu tergantung kitanya, perbuatan
kita. Kalau mau melakuin, itu ibarat kan satu lobang nggak mungkin dua gitu ibarat kata. Ya nggak nyuruh nggak, ya kadang-kadang keluarga udah ngga
ributkan sih alhamdulillah”
Ada juga keluarga Waria yang bisa menerima keadaan anaknya namun tidak membuka identitas
ini ke orang lai. Keluarga ini lebih memilih untuk mengatakan bahwa ia yaitu gay
ketimbang Waria karena bisa lebih diterima dengan penampilan yang tetap seperti laki-laki.
Namun bagi transgender, hal ini justru membuatnya serba salah.
“Jadi di mata keluarga saya, saya waria. Cuma kalo di umum, dia gak mau
ngatain saya waria tapi Gay… makanya saya bajunya biasa aja, baju cowo. Jadi
kalau saya tuh serba salah mas, jadi orang bilang “ah waria gak mungkin”,
padahal sebenarnya saya waria. Saya berdandan”
Meski sebagian anggota keluarga Waria bisa menerima, ada yang berusaha menutupi
identitasnya dengan menjodohkan mereka di kampung dengan tujuan agar tidak dicurigai oleh
tetangga.
“Orangtua ngejodohin. Udah. Waktu itu ke jogja, kadang di kampung. Di
kampung biar orang nggak tau bahwa aku waria”
. Sosialisasi Transgender di lingkungan sosial/ warga
Di lingkungan sosial warga , orang-orang yang bisa menerima kehadiran Waria biasanya
yaitu orang yang berpendidikan dan memiliki pergaulan yang luas sehingga sudah sering
berinteraksi dengan transgender. Untuk bisa diterima di lingkungan tempat tinggal/kos, Waria
biasanya menjaga agar sekeliling mereka tidak merasa terganggu
“menurut gue masih agak kentel diskriminasinya, cuman dari beberapa sektor
aja yang nggak terlalu mendiskriminasi, kayak di tempat lsm, dan lingkungan
kampus. Menurut gue yang berpendidikan tidak akan terlalu diskriminatif”
“...kebanyakan kalo misalnya orang pergaulan bebas, dalam arti sering bergaul
sama siapa pun, mereka welcome... kalo orang sering bergaul ngeliatnya itu
lucu gitu.”
“kalo orang sekitar sih masih nerima ya, cuman dengan batasan, misalnya aku
kan masih suka terima tamu tapi jangan lewat waktu lah, jangan ada gaduh
apa-apa”
Kebanyakan informan yang tinggal di lingkungan perumahan biasa juga bertetangga baik
dengan bergaul bersama mereka, menawarkan bantuan sehingga warga juga merasa
nyaman dengan keberadaannya. Namun ada juga yang selektif memilih tempat kos yang
nyaman sehingga mereka bisa bebas dengan pasangan ataupun kliennya
“tetangga gue welcome, gue kan orangnya baik ya, lo mau potong rambut ga?
Sini ga usah bayar sama gue…”
“Bencong kan kalo mau ngontrak liat lokasi, aman apa nggak.. yang punya
kontrakan enak apa nggak.. kalo bencong kan kadang-kadang nyamannya kaya
gini ya, kalo dia bawa lelaki.. atau punya lelaki bebas gitu..”
. Lingkungan Pendidikan
Sikap orang-orang di lingkungan sekolah hampir sama dengan warga umum. Menurut
Transman yang sedang kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri, di lingkungan kampusnya
banyak orang-orang berpendidikan sehingga mereka bisa menerima kehadiran Waria seperti
Transman “kalo lingkungan kampus/pergaulan temen-temen SMA mereka terima aja sih”
Namun demikian ada lingkungan sekolah yang tidak bisa menerima keberadaan Waria. Hal ini
ditunjukkan dengan sikap yang tidak bersahabat, “Banyak yang dikucilin di sekolah.. dikatain
orang, dihina sama orang.. dicibir..”
Menurut sebagian informan, mereka pada dasarnya bisa diterima di lingkungan kerja asal tidak
menunjukan perilaku yang tidak wajar, yang membuat orang lain tidak nyaman. Di sisi lain, para
Waria harus bisa menutupi identitasnya. Hal ini karena apabila diketahui orientasinya maka
mereka bisa dikeluarkan dari pekerjaan.
“dulu aku kerja kantoran, cuman taunya biasa aja, soalnya aku juga diem
nggak terlalu banyak sosor sana sosor sini, tapi ada sebagian yang nanyain sih
kok diumur segini belum nikah hehehe”
“Kadang kadang yang seperti itu memang bisa diterima. Cuma nanti
dilatarbelakangnya suka ada saling pacaran sama temennya yang lama lama
kebongkar dan bisa dikeluarin. Banyak yang begitu..Bisa. Bank bank aja banyak
yang gay gay itu. (masuk ke kantor-kantor)..Iya, pasti lama lama ketauan dan
dikeluarin”
Pengalaman di tempat Pelayanan Kesehatan
Ketika ditanya mengenai hambatan yang dihadapi dalam mengakses layanan kesehatan
biasanya mereka mengatakan bahwa tidak pernah mendapat permasalahan yang berarti
kecuali dalam bentuk tatapan sinis dari pasien ataupun tenaga kesehatan. Mereka sudah
terbiasa dengan hal itu sehingga tidak menganggapnya sebagai masalah besar ketika
mengakses layanan kesehatan. Ketika pergi ke rumah sakit atau instansi kesehatan lainnya yang
perlu diperhatikan yaitu berpakaian secara layak, yaitu dengan berpakaian dan berperilaku
seperti laki-laki pada umumnya. Kemudian yang juga penting diperhatikan ketika mengakses
layanan kesehatan yaitu mereka harus memiliki uang. Ketimbang mendapatkan masalah
karena orientasi seks, mereka lebih banyak mendapatkan hambatan apabila datang ke rumah
sakit namun tidak memiliki uang.
“Ga pa pa, dia kan profesional.. mau apa kek, apa kek, yang penting kan duit..
ga ada.. ga ada semua.. (hambatan)” “Yang penting mereka duit, pakaian kita
gimana.. udah gitu sopan ya pasti diterima.. apalagi kita mau bayar”
Tidak semua Waria merasa mudah dalam mengakses layanan kesehatan. Sebagian merasa
dipandang sinis oleh sesama pasien saat menunggu antrian ataupun dipandang sisni oleh
tenaga kesehatan. Salah satu informan bercerita bahwa dirinya dipermalukan oleh dokter yang
menangani kasusnya. Ia dimaki-maki dan hasil diagnosanya dibeberkan ke muka umum.
“paling cuma disinisin kalo lagi ngecek hehe”
“pas aku tau kena hiv/aids ada dokter ngomong hasilnya di depan banyak
orang, jadinya kan malu ya, jadi aib gitu”
Menurut salah satu informan, aanaya stigma yang berkembang di warga terhadap Waria
membuat mereka enggan datang ke tempat layanan kesehatan meskipun layanan ini
sangat dibutuhkannya. Mereka merasa terhambat untuk mengkases layanan kesehatan karena
ditolak saat datang di rumah sakit atau instansi kesehatan lainnya dengan berbagai alasan
seperti fasilitas ruang inap sudah penuh atau lasan eknis lainnya.
“itu perlu sih untuk yang permasalahan hiv itu perlu, tapi gue suka bingung gitu
loh, disaat itu diperlukan, ketika mereka ditawarkan itu terus responnya kayak
bete terstigma, jadi kadang suka menolak atau gimana, butuh tapi suka
ditolak”
“Kadang kadang temen temen waria apalagi yang bertete, kadang kadang
bilang pasiennya penuhlah, Inilah, itulah”
Lapangan pekerjaan dan industri yang umumnya diasosiasikan dengan Waria yaitu fesyen,
salon kecantikan, dan rumah makan. Bagi yang bekerja di ranah formal biasanya menutupi
jatidiri mereka dengan tidak berpenampilan dan bergaya sebagaimana Waria ketika bekerja,
“Ada juga yang kantoran tapi dia nutupin dirinya” Kehadiran Waria di
lingkungan kerja tidak selalu mendapatkan penerimaan dari sekelilingnya. Salah seorang
informan menceritakan bahwa ada seorang temannya yang Waria menjadi seorang dokter.
Diskriminasi justru datang dari pasiennya yang tidak mau ditangani olehnya.
“temen gue dia dokter, kadang-kadang pasiennya suka minta ganti dokter,
karena penampilannya kayak gue, berarti langsung terstigma gitu kan, ada
juga kan orang yang nggak mau liat kemampuannya tapi dari penampilan
doang”
Kesulitan Waria untuk masuk ke lingkungan kerja formal membuat mereka harus melakukan
penyesuaian seperti tidak menunjukan bahwa dirinya transgender ketika bekerja. Namun hal ini
menjadi masalah tersendiri apabila sudah terlanjur mengubah tampilan fisiknya dengan
memperbesar payudara.
“Satusatunya jalan jangan nonjolin tete aja...Hambatannya penampilan, dari
penampilan itu rambutnya panjang. Jangan bertete aja deh. Kalo di kantor, di
rumah sakit kek. Ya kalo di di salon maah udah wajar” (WM, TG, DR 40 Jakarta).
Keadaan ini akan membenarkan pandangan umum bahwa Waria memang terkait dengan
jenis-jenis industri khusus seperti salon, fesyen, dan rumah makan. Meskipun memiliki
kapasitas untuk menempati posisi tertentu dalam pekerjaan formal, warga akan sulit
menerima mereka. Atau jika mereka tetap ingin bekerja formal, mereka bisa bekerja di
lingkungan LSM yang kondisi lingkungan lebih permisif.
“Kebanyakan susah ya, perusahaan kan kadang malu juga ya istilahnya buat
yang punya nama gitu itu juga kualitas juga”
“Waria diremehin banget, waria juga ada yang pinter”
“kalo pekerjaan sih ya lsm, ketika mereka tidak bisa mendapatkan pekerjaan di
perusahaan, mereka pasti akan bekerja di lsm yang merupakan tempat untuk
mengutarakan apresiasi mereka”
HAM dan Diskriminasi
Salah satu informan yang sedang menempuh pendidikan tinggi mengatakan bahwa hak asasi
yang selama ini dilanggar oleh negara yaitu hak bagi dirinya untuk bisa bebas memilih
orientasi seksual. Hal lain yang umunya belum terpenuhi yaitu hak untuk memeperoleh
layanan kesehatan dan reproduksi.
"hak-hak yang rasanya agak terlanggar oleh negara gue rasa dari hak
kesehatan dan reproduksi, kalo nggak salah setiap warga negara berhak
memilih orientasinya, ya kayak kebebasan setiap individu”
Tidak semua Waria menyetujui soal pencatuman identitas Waria dalam tanda pengenal diri.
Ada beberapa alasan atas ketidaksetujuan mereka perihal pengakuan identitas di kartu tanda
pengenal. Pertama yaitu karena beberapa di antara Waria masih nyaman dengan
merahasiakan identitasnya. Dengan adanya tanda pengenal, mereka khawatir hal itu dapat
membocorkan rahasia yang selama ini dijaga.
“perlu nggak perlu sih tapi lebih baik nggak usah, tapi akhirnya kayak
kebanyakan pada nggak mau, terutama yang tertutup ya, soalnya kalo suatu
saat dia lupa naro dan ditemuin orang kan jadinya ketauan ya identitasnya”
Kedua, mereka juga khawatir apabila dengan adanya label Waria di KTP justru akan
menyuburkan diskriminasi di kemudian hari. Ketiga, mereka juga menganggap bahwa status di
kartu identitas harus sesuai dengan jenis kelamin.
“menurut gue ketika ditambahkan malah akan menambah diksriminasi sih jadi
menurut gue sebaiknya dihilangkan”
“Engga…tetap. Laki-laki perempuan. ( kolom jenis kelamin) ..Ya emang
dasarnya kita begitu. Gak boleh. Status laki, ya laki laki.”
Keempat, sebagain juga mempertimbangkan ketika suatu hari mereka meninggal. Jika status
mereka masih Waria, mereka tidak ingin warga kebingungan menangani jenazahnya
sebagai perempuan atau laki-laki. Kelima, ada juga yang merasa bahwa pengakuan identitas
transgender di KTP itu tidak perlu karena salah satu informan pernah melihat salah seorang
temannya yang kesulitan ketika ingin membuat paspor. Hal ini menjadi permasalahan karena
orang ini memiliki KTP dengan jenis kelamin perempuan.
“Aku jenis kelami cowo, aku memang apa adanya, memang menurut agama
kaya gini, ibaratnya kan kita suatu saat bakal mati, kalau kita di KTP nya beda
kan bingung, diperlakukan kaya apa bingung”
“Dia mau bikin paspor gitu kan, gitu.. yah tapi di KTPnya kan permpuan… Aku
sendiri laki-laki.. Engga sih.. makanya mendingan saya laki-laki daripada ganti
identitas jadi masalah kan, jadi memalsukan data”
Namun di sisi lain, sebagian juga berharap adanya pengakuan identitas dalam tanda pengenal.
Akan tetapi, mereka ia merasa masih harus melakukan banyak perombakan dirinya secara fisik
sehingga benar-benar menjadi perempuan utuh untuk bisa mendapatkan status ini .
“Sebenernya sih kepengen yah dikasih kesempatan sepert itu, jadi yah
identitasnya jadi apa namanya bener-bener perempuan atau laki gitu kan. Tapi
ya kalo emang dia belum seutuh perempuan sih kenapa harus diubah jadi
perempuan di KTP gitu kan. Kecuali udah ganti kelamin baru perempuan yah
oke lah karena dia kan sudah berubah total gitu yah. Gitu” Keinginan Mengadopsi Anak
Pada umumnya para informan yang merupakan Waria menginginkan untuk mengadopsi anak.
Jikapun tidak bisa mengadopsi anak secara legal, menurut salah satu informan sekarang ini
sudah banyak trangender yang mengasuh anak dari anggota keluarganya.
“Rata-rata kalo emang transgender itu dia emang mengasuh atau mungut
anak dari sodara dia sendiri.. kebanyakan dari sodara dia sendiri kaya ade atau
kakanya dia gitu… Yah mungkin karena lebih enakan sama anak sodara kali
yah”
Informan lain menambahkan bahwa adopsi anak boleh saja dilakukan dengan syarat tidak
mendidik anak ini untuk memiliki orientasi sejenis seperti mereka. Hal serupa juga
dikatakan oleh KK. Menurutnya Waria boleh megasuh anak asalkan dengan gender yang sama
dalam artinya jika seseorang sudah menjadi Waria, maka anak yang diasuh harus perempuan,
dan begitu juga sebaliknya sehingga tidak membuka kesempatan bagi anak ini untuk
menyukai sesama jenis.
“Itu sih hak kita, yang pasti kita mendidiknya benar dan tidak mendidiknya
mengikuti jejak kita, ga jadi masalah LGBT atau bukan yang penting cara
mendidiknya, masa sih aku mengadopsi anak dan mendidiknya jadi banci juga.
Masalah adopsi anak kan urusannya sama tuhan”
Salah satu informan mengatakan bahwa seharusnya Waria bisa dan diperbolehkan untuk
mengadopsi anak. Hal ini lantaran ia berpikir bahwa setiap orang memiliki konsep yang berbeda
soal keluarga. Jika mengacu ke peraturan, menurutnya saat ini syarat untuk menjadi orangtua
adopsi yaitu pasangan ayah dan ibu. Hal ini membatasi pasangan sejenis untuk bisa memiliki
anak adopsi. Seorang informan lain juga setuju dengan alasan untuk bisa menjada dan merawat
dirinya saat sudah tua.
“perlu untuk kelompok lgbt, karena setiap orang memiliki pandangan berbeda
tentang keluarga itu sendiri, walaupun teknologi sekarang udah maju, tapi
tetep aja kan masih susah untuk pasangan sejenis mendapatkan anak, jadi
kadang-kadang emang mereka berkeinginan untuk adopsi tapi peraturan disini
kan harus ayah dan ibu”
“Gapapa. Gak masalah. Itu kan buat masa depan kita mas kedepannya..Ya
nanti seandainya kita udah tua, ada yang ngurusin. Saya kalo banyak duit juga
bias”
Kebanyakan informan menganggap bahwa pernikahan sesama sejenis itu tidak mungkin untuk
dilakukan di negara kita mengingat warga nya masih banyak yang menentang. Disadari
bahwa hukum yang berlaku di negara kita idak memungkinkan untuk mengesahan perkawinan
sejenis. Pada sisi lain, sebagian kelompok memperjuangkan hak untuk diakuinya secara sah
perkawinan sejenis ini.
“Kalo gay saya uda pernah, si Indra brugman sama Bertran di Belanda. Nikah
dia..Ya aneh yah kok bisa terjadi gitu. Cuma klo disini kok gak ada, tapi yang
diluar negeri ada..Kalo di negara kita kayaknya di tentang sih mas, gak bisa kalo
di negara kita ”
Sebagian besar informan lebih memilih agar perkawinan sejenis tidak ada di negara kita . Hal ini
mempertimbangkan beberapa faktor yang mengindikasikan akan adanya resistensi di tengah
warga karena merasa khawatir perilaku transgender menular kepada warga umum.
“Ooh gak bisa...Nanti diwarga nilainya jadi jelek aja, “emang warga
mau jadi kayak elo” pasti kan begitu”
Sementara yang lainnya memberikan pandangan yang kaitannya dengan pemahaman agama.
Meskipun dirinya yaitu Waria, mereka memahami bahwa posisi mereka secara agama yaitu
salah sehingga mereka lebih memilih agar perkawinan sejenis tidak ada karena kehadiran
mereka pada dasarnya menyalahi kodrat.
“aku kan nggak setuju (perkawinan sejenis), kita gini aja istilahnya dosa, lain
kalo di luar negeri, kan disana beda ya, ini kan kita kasarnya udah menyalahi
kodrat”
“tapi kalo untuk pernikahan sejenis aku paling marah, karena apa ya lu
diciptakan sebagai apa, bukannya dipuji sama yang diatas, emang kita
perbuatan udah dosa ya”
Dengan pertimbangan ini, salah satu informan bahkan mengatakan bahwa adanya pernikahan
sejenis bisa memberi pengaruh buruk terhadap negara, “Jangan sampai ada karena negara
akan hancur”
Di sisi lain, ada juga transgender yang merasa perkawinan sejenis perlu diakui oleh negara.
Salah satu yang menyetujui yaitu Waria yang saat ini memiliki pasangan yang hidup bersama
dengannya. Ia melihat pernikahan sejenis sebagai hal yang baik karena ia bisa hidup bebas
dengan suaminya di tengah warga umum karena bisa mendapatkan pengakuan legal dari
pemerintah bahwa mereka yaitu pasangan sehingga mereka juga bisa memiliki KTP dan
mudah mengurus jika hendak pindah tempat tinggal.
“Uh aku paling seneng (perkawinan sejenis). Kan aku jadi bisa bebas sama
suami. Mau kemana-mana sama dia ada surat jalan. Kalau kemana-mana
pindah kasih KTPnya”
Informan lain ada juga yang menyetujui dengan pandangan bahwa saat ini mereka sudah cukup
tersakiti oleh keadaan yang cenderung memberikan label “sakit” kepada mereka padahal
menurutnya tidak.
"Aku sih setuju-setuju aja, ya kalau memang menteri agama menyetujui dan
warga nya sudah menerima ya silahkan-silahkan aja, kasian orang-orang
yang terbuang, yang tersakiti padahal mereka ga sakit. Kenapa tiba-tiba
disakiti, aku sih setuju-setuju aja"
Sebagian menyetujui bahwa Waria juga memiliki hak dalam berpolitik khususnya ketika
membicarakan apabila mereka hendak menjadi pemimpin dan mencalonkan diri dalam Pemilu.
Ada yang berpendapat setuju karena hak berpolitik dianggap sebagai bagian dari hak asasi
manusia.
“Yah berhak aja.. itu kan hak asasi manusia.. maksudnya walaupun kita
berbeda fisik tapi kan maksudnya yah hatinya sama aja gitu, sedangkan
perempuan aja bisa kan jadi presiden, masa seorang waria engga”
Sementara di sisi lain ada yang kembali lagi bercermin pada posisi mereka di tengah
warga . Menurutnya boleh saja Waria menjadi pemimpin rakyat tapi harus siap menerima
konsekuensi akan adanya komentar-komentar sinis yang akan dilemparkan bahwa mereka saja
belum bisa mengurus hidupnya sendiri, “lo aja nggak bener idupnya”
. Hak untuk memperoleh pendidikan
Kebanyakan Waria menutupi jatidirinya ketika dulu berada di lingkungan sekolah (SD, SMP,
SMA). Dengan demikian, banyak di antara para informan yang tidak mengalami hambatan
ataupun diskriminasi ketika masih duduk di bangku sekolah. Namun salah satu informan
menambahkan bahwa biasanya meski tidak ada hambatan bagi Waria untuk mengikuti kegiatan
sekolah namun tetap ada perlakuan diskriminatif dari orang-orang di lingkungan sekolah. Bukan
hanya di lingkungan sekolah, seorang informan lainnya juga mengalami hambatan untuk
melanjutkan sekolah karena dihalangi oleh orangtua.
“hambatan mendapatkan pendidikan sih engga, tapi diskriminasi dalam ranah
pendidikan tetep ada, bukan dari pendidikannya tapi dari lingkungan kayak
cowo agak melambai dikit langsung mengalami pelecehan seksual, ngadu ke
gurunya tetep juga disalahin”
“Itu sebenernya dari keluarga, kalo keluarga dia mampu dan ga menilai gitu gitu (merendahkan).. terus kemauan orang itu tersendiri, anak waria yang mau
disekolahin juga itu, sebetulnya kalo sharing antara keluarga dan anak
mungkin bisa.. tapi ya gitu deh.. kalo udah ngeliat kaya gitu, terserah deh
hidupnya (tidak peduli ke anak yang waria).. gitu sih kebanyakan..”
Walaupun mengakui dirinya sebagai Waria, tidak berarti semuanya setuju apabila ada pelajar
yang ingin menunjuka jatidirinya di lingkungan sekolah. Menurut informan ini, tidak semestinya
mereka menjadi Waria terlebih di sekolah. Namun ia menambahkan bahwa tidak menjadi
masalah jika orang ini sudah dewasa dan berada di lingkungan pendidikan tinggi. Hal ini
ia nilai boleh saja karena menurutnya orang dewasa sudah bisa membuat keputusan untuk
dirinya.
"kalau udah dewasa kan udah punya, kalau yang udah punya pengalaman kan
udah punya pilihan sendiri. Udah tahu. Kalau masih kecil kan masih bisa
terkontrol. Kan kita (dewasa) udah punya pendirian tetap gitu. apa lagi udah
kuliah. Punya pendirian sendiri. Bisa milih"
Untuk menjadi pekerja di lingkungan pendidikan, salah satu informan menerangkan bahwa hal
itu tentu baik untuk Waria yang bersangkutan karena telah diberikan kesempatan untuk
bekerja di sana. Akan tetapi ia menambahkan bahwa Waria ini harus bisa mengontrol
dirinya untuk tidak mengganggu orang lain ketika bekerja.
ya antara setuju tidak setuju. Itu kalau memang untuk membantu mereka
sebagai waria atau homo di tempat yang itu mungkin bisa. Tapi itu tergantung
ke kitanya sendiri juga sih ya. Apa dia mau melakukan yang.. kadang-kadang
kan kalau waria itu lepas kontrol. Kalau kita di kampus jadi cleaning service,
ada laki-laki ganteng diganggu nah itu kan kadang-kadang. Tapi kalau untuk
mendidik, dan untuk membantu itu bagus juga sih"
Sebagian besar informan merasa bahwa ibadah urusan pribadi seseorang dengan Tuhannya
sehingga mereka merasa seharusnya boleh saja jika ada Waria yang ingin beribadah asalkan
sesuai dengan jenis kelaminnya. Jika terlahir sebagai laki-laki maka beribadah dengan tata cara
yang ditentukan agama sebagai laki-laki, begitu juga sebaliknya.
“emang kita perbuatan udah dosa ya, ada banci yang solat dia pake mukena,
itu pernah aku jorokin, tapi kalo solat biasa pake baju koko, ya maksudnya
siapa sih yang mau jadi begini”
Dalam melaksanakan ritual ibadah, pada dasarnya mereka menyadari bahwa warga tidak
keberatan menerima mereka di rumah-rumah ibadah. Meski tidak bisa dipungkiri bahwa
sebagian juga mendapatkan tatapan sinis dan pengusiran dari orang-orang di sekitarnya ketika
ingin menjalankan ibadah. Tapi mereka cenderung tidak peduli dengan opini orang lain dalam
hal ini.
“Masalah agama kan keyakinan, masjid atau gereja itu ga ada penolakan yang
menolak mah orang-orangnya juga, istilahnya kan kita menyerahkan diri ya,
yang punya pandangan gitu tuh orangnya yang melarang kita masuk, tapi
masjidnya kan engga”
“beribadah? ya biasa pakai mukena.... Ya biasa pakai sarung pake kopiah ya
sama aja... Kadang kadang gimana ya suka “ih jijik”..Yaa jalanin. Mau diterima
sukur, engga sukur. Ada temen saya, rambut panjang, alis melengking tapi kalo
solat jumat ikut jumat mas. Mau diterima sukur, kaga sukur..Dia pake baju
yang tebalan. (untuk yang payudaranya terlihat) ..Tapi tetep solat..Iya. Rambut
dimasukin dalam peci yak an, jadi gak keliatan perempuannya”
“Ada sih, kamu mau duduk di cowo ga boleh di cewe juga kadang ga boleh,
padahal kita udah pakaian cowo, tetep kamu sana ga boleh deket-deket..Iya
akhirnya paling pojok gitu”
Seperti halnya yang dialami oleh transgender beragama kristen. Meskipun pendetanya kurang
menerima kehadirannya di gereja, namun ia tetap pergi ke gereja karena menurutnya ibadah
yaitu urusannya dengan Tuhan dan posisi pendeta hanyalah perantara.
Kadang kadang pendeta, pendeta tidak menerima saya. Tapi saya jalanin
aja..Maksudnya “jangan seperti itu”, dia buka khotbah baca firman tuhan yang
begini begini “kamu jangan suka hubungan laki sama laki” tapi saya jalanin aja.
“Emang saya nyembahnya sama kamu, saya nyembahnya sama Tuhan” Mau
diterima kan urusan saya, pendeta kan Cuma perantara. Belum tentu pendeta
masuk surga. Saya berdebat sama dia. Kalo ada saya tuh dia suka buka firman
yang ada ayat “laki laki tak boleh berhubungan dengan lakilaki”. Awalnya sih
gak kayak itu, pas di tengah tengah baru dia nyebut laki laki sama laki laki gak
boleh. Saya bertentangan, gak takut saya. “kamu berani banget si Adi”
yaiyalah manusia tuh sama, makan sama, Cuma kita beda”
Hambatan terbanyak justru datang dari dalam diri Waria itu sendiri yang merasa malu untuk
masuk ke rumah-rumah ibadah, misalnya mesjid. Mereka tidak percaya diri untuk masuk ke
mesjid dengan pakaian laki-laki namun secara fisik penampilannya sudah seperti perempuan.
Sebagian juga cenderung menghindari rumah-rumah ibadah pada akhirnya karena khawatir
kehadirannya mengganggu kenyamanan jamaah lain.
“hambatannya ya biasa, dari transwomannya, sebenernya bukan hambatan
dari warga , mereka kayak takut, mau masuk ke barisan cowo tapi muka
cewe, mau pake mukena nggak nyaman”
“Aku kalau ke mushola jarang teh, paling di rumah doang solatnya. Dzikir jam
1, senin kamis sering puasa. Buat doain orang tua saya supaya saya sehat bisa
nyari duit. Orang bilang apa mah saya masa bodoh… Tapi kadang-kadang kan
nempel haram. Kita kalau taraweh di belakang ujung deh biar gak nempel nempel. Saking keselnya sih… Tapi kadang-kadang kan nempel haram. Kita
kalau taraweh di belakang ujung deh biar gak nempel-nempel. Saking keselnya
sih”
Sorang Waria dinilai tidak antas menjadi pemimpin agama karena memperbaiki dulu dirinya
sendiri sebelum menyebarkan kebaikan kepada orang lain. Ada juga yang beranggapan tidak
mungkin apabila ada Waria yang ingin menjadi pemimpin agama terlebih yang sudah memiliki
payudara. warga sudah pasti akan menolak mereka. Ada juga yang beranggapan bahwa
Waria boleh menjadi pemimpin agama selama yang disampaikan dengan benar.
“Jarang sih, orang gak bakalan mau mas. Maksudnya warga gabakalan
mau. Kecuali yang tidak bertete ya, Cuma kalo yang bertete tidak bisa diterima.
Susah”
“Kalau menyimpang atau tidak itu urusan pribadinya, ya kan, pokoknya dalam
amanatnya tidak menyampaikan hal-hal yang aneh, tapi untuk warga
banyak tidak begitu, untuk dirinya sendiri mungkin, jadi siapapun yang
memimpin negara kita kalau LGBT wajar-wajar aja kalau dia mampu karena
dia harus memangku beban yang besar. Jadi supaya orang-orang yang normal
terpacu juga, kenapa yang LGBT bisa kita ga bias”
Dalam kehidupan sehari-hari, para Waria cenderung merasa tidak memiliki masalah untuk
menjadi bagian dari warga umum. Jikapun ada yang memiliki pandangan negatif terhadap
mereka, hal ini tidak akan diambil pusing dengan tidak mengindahkan opini ini .
“kalo aku kan emang biasa aja sama orang-orang (tidak peduli dengan opini)
jadi kalo hambatan ya jarang sih hehe”
Selain karena kurang peduli terhadap opini orang lain, sebagian juga bisa menyesuaikan
perilaku dalam konteks-konteks sosial tertentu. Sehingga orang awam yang tidak terbiasa
dengan kehadiran transgender tidak merasa terganggu.
“kayaknya enggak sih, belum tau, tapi kalo yang di lingkungan baru aku selalu
menutup diri, kalo belum ada kerjaan baru ya gitu deh mending jaga jarak dulu
dan nunggu waktu yang tepat. Kalo yang udah tau sih pasti bilangnya ah elu
gini padahal hahaha”
Berdasar perspektif Waria, mereka menggolongkan dirinya menjadi dua kelompok, yaitu
kelompok Waria karena pengaruh lingkungan sosial dan kelompok Waria karena “kodrat”. Pada
kelompok pertama, mereka merasa bahwa diri mereka dirasakan berbeda dengan orang lain
sejak remaja yang terbentuk perilakunya karena lingkungan keluarga atau kelompok peernya
atau lingkungan sosialnya. Kelompok Waria lain menganggap bahwa menjadi Waria bukan
karena penyimpangan melainkan kodrat dari Tuhan yang tidak bisa diubah perilakunya.
Keberadaan kelompok Waria di tengah warga ditanggapi dengan berbagai respon.
Sebagian warga mendukung keberadaannya dan warga lain bersikap cuek,
mendiamkan, dan ada yang tidak bisa menerima kehadirannya. warga mendukung
keberadaan Waria karena dikaitkan dengan ketrampilan bekerja di bidangnya, seperti salon,
entertain dan sebagainya. warga bisa menerima keberadaan Waria sepanjang tidak
melakukan display affection secara terbuka. Bisa diterima warga selama mereka tidak
terlalu menonjolkan jatidirinya seperti berpakaian seksi dan membawa pasangan di lingkungan
tempat tinggal. Sebagian warga membiarkan Waria bersosialisasi dengan warga
umum asal mereka tidak membuat masalah, beritikat baik, sopan dan tidak menggganggu tata
krama dalam bersosialisasi. Sebagian warga tidak bisa menerima kehadiran Waria dengan
alasan bertentangan dengan norma agama.
Dalam hidupnya para Waria berharap memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan
pekerjaan dan bersosialisasi sebagaimana orang biasa. Mereka berharap mendapat
kesempatan kerja, promosi dan karier sama dengan anggota warga lain bila kapasitasnya
memenuhi kualifikasi dan tidak menjadikan transgender sebagai bahan cemoohan sehingga
membuat mereka bekerja secara tidak aman. Pada sisi lain warga juga berharap mereka
bisa berubah, paling tidak mengurangi tampilan sebagai transgender yang menor dalam
berdandan, berlebihan dalam berbicara dan berpakaian.
Tuntutan mereka terhadap persamaan hak Hak politik, ekonomi, sosial, pendidikan dan budaya,
tempat tinggal cukup beralasan. Sebenarnya mereka dapat memenuhi hak hak sebagaimana
anggota warga lain karena isu ini tidak cukup riskan bukan karena konteknya di luar
keagamaan.
Belum semua Waria nyaman saat datang ke tempat layanan kesehatan. Sering kali petugas
kesehatan memberi layanan dengan tatapan sinis, makian, dan stigma lainnya. Instansi
kesehatan juga seharusnya bisa menerima tanpa perlu membuat-buat alasan sebagai
penolakan halus seperti ruangan penuh dan sebagainya. Kemungkinan ini terjadi karena
perilaku yang berlebihan dari Waria saat berhadapan dengan petugas kesehatan.
Sebagian kelompok tidak menuntut akan pengakuannya sebagai Waria. Mereka tidak menuntut
status Waria dicantumkan dalam KTP nya karena khawatir identitasnya diketahui orang lain
sedangkan mereka ingin merahasiakan keadaan dirinya. Bila dicantumkan dalam KTP
dikuatirkan akan berpotensi menjadi ruang diskriminasi baru, misal, kalau meninggal orang
tahu bagaimana memperlakukan jenazahnya, repot kalau mau buat paspor (dokumen tidak
konsisten) dan sebagainya.
Sebagian kelompok LGBT termasuk Waria di negara kita menuntut haknya agar bisa kawin
dengan sesama jenis kelamin. Sebagian kelompok lain merasa tidak perlu menuntut haknya
untuk bisa kawin dengan sesama jenis karena menganggap bahwa kawin dengan sesama jenis
tidak dibenarkan secara sosial dan agama dan jika hal terjadi maka akan ada resistensi dari
warga .
Pada umumnya para Waria mendapat pengalaman yang kurang menyenangkan saat mengakses
layanan kesehatan dan mencari pekerjaan formal. Ketika mengakses layanan kesehatan
biasanya mereka akan memilih datang ke tempat layanan yang dikelola LSM atau ke petugas
kesehatan yang sudah mereka kenal. Bagi mereka yang tidak mempunyai ketrampilan hidup
maka mereka akan menjadi pengamen atau PSK. Dalam kehidupan beragama, Sebagian Waria
berkeinginan bisa melakukan kegiatan keagamaan tanpa hambatan. Namun demikian
warga masih memperlakukan dengan orang: sinis bahkan dari tempat ibadah.
. Rekomendasi
1. Pemerintah perlu memperhatikan pemenuhan hak –hak transgender terkait hak-hak
kehidupan dasar, seperti hak mendapatkan pendidikan, partisipasi politik, terlibat dalam
kegiatan keagamaan dan kehidupan sosial dan ekonomi, serta kesehatan.
2. Pemerintah perlu mendorong warga agar tidak melakukan diskriminasi
terhadap transgender di berbagai sektor agar transgender mampu mandiri dan dapat
mengembangkan potensinya.