Selasa, 27 Februari 2024

transgender 5

 




Keberadaan Transgender (Waria) di negara kita  sudah dikenal cukup lama. Secara historis 

keberadaan kelompok Waria berkembang di berbagai isu, seperti perkumpulan kelompok seni 

ludruk di Jawa Timur, perkumpulan yang bergerak dalam bidang kesehatan seperti 

penanggulangan HIV AIDS dan isu sosial dan income generating. 

Diantara kelompok LGBT, di negara kita  kelompok Transgender keberadaannya lebih dulu eksis 

dibanding tiga kelompok lainnya. Kelompok LGB lebih tersembunyi keberadaanya dalam 

kehidupan sehari-hari namun diantara mereka mempunyai jaringan luas melalui media sosial. 

Kelompok Transgender menjadi perhatian karena epidemic HIV dan AIDS di kalangan kelompok 

ini cukup tinggi di negara kita . 

Kelompok lesbian, gay dan biseksual yaitu  masalah identitas seks (sexual identities), 

sedangkan transgender yaitu  masalah identitas gender (gender identity) 

(www.decipher,uk.net). Masalah umum yang dialami kelompok transgender yaitu  stigma dan 

diskriminasi dalam berbagai aktivitas sehari-hari. 

Deklarasi Hak Asasi Manusia tahun 2006 di dalamya menyepakai tentang kesetaraan gender, 

kependudukan dan HAM. Saat ini kelompok Lesbian, Gay dan Bisek di negara kita , terutama gay 

sedang memperjuangkan untuk memperoleh pengakuan atas keberadaannya, termasuk status 

hukum gender, perkawinannya dengan sesama jenis, dan tuntutan untuk tidak memperlakukan 

diskriminatif dalam kehidupan sosial. Bukti tentang masalah LGBT dalam warga  dilakukan 

tahun 2013 oleh USAID dan UNDP yang mengungkapkan bagaimana subyek LGBT hidup dengan 

berbagai keterbatasan sosial (UNDP,2014).

Menanggapi isu di atas, Majelis Ulama negara kita  telah mengeluarkan fatwa tentang LGBT ini 

pada tanggal 31 Desember 2014.Komisi Fatwa dengan seluruh anggotanya yang kurang lebih 50 

ulama dari berbagai ormas Islam berkumpul dan menyepakati fatwa tentang homoseksualitas, 

sodomi, dan pencabulan, yang mencantumkan beberapa ketentuan berikut.

- Pertama, hubungan seksual hanya dibolehkan untuk suami istri, yakni pasangan laki-laki 

dan wanita berdasarkan pernikahan yang sah secara syar’i.

- Kedua, orientasi seksual terhadap sesama jenis atau homoseksual yaitu  bukan fitrah 

tetapi kelainan yang harus disembuhkan. 

Ketiga, pelampiasan hasrat seksual kepada sesama jenis hukumnya haram. Tindakan 

ini  merupakan kejahatan atau jarimah dan pelakunya dikenakan hukuman, baik 

had maupun takzir oleh pihak yang berwenang.

- Keempat, melakukan sodomi hukumnya haram dan merupakan perbuatan maksiat yang 

mendatangkan dosa besar dan pelakunya dikenakan had untuk zina. 

- Kelima, pelampiasan hasrat seksual dengan sesama jenis selain dengan cara sodomi 

hukumnya haram dan pelakunya dikenakan hukuman takzir.

Melihat adanya kesenjangan tuntutan LGBT dan respon MUI, maka KPP dan PA, memerlukan 

informasi yang lebih lengkap tentang bagaimana pandangan warga  tentang LGBT. 

Informasi ini diharapkan dapat memberi pemahaman yang seimbang sebagai bahan 

pertimbangan dalam menentukan kebijakan yang sesuai dengan kondisi lokal dengan 

meminimalkan harm yang terjadi pada kedua pihak.

1.2. Populasi LGBT di berbagai kota di negara kita 

Belum diketahui jumlah populasi LGBT di negara kita . Informasi yang diperoleh dari Kemenkes 

ada  peningkatan jumlah Transgender (Waria) secara bermakna antara tahun 2002 dan 

2009, tetapi tidak ada  peningkatan bermakna dari tahun 2009 dan 2012. Populasinya 

tidak ada yang pasti namun mengacu data populasi rawan terdampak HIV jumlah waria 

diperkirakan mencapai 597 ribu orang, sedangkan Lelaki yang seks dengan lelaki termasuk 

biseksual mencapai lebih dari 1 juta orang  Sumber lain dari menyebutkan 

jika menggunakan prevalensi dari populasinya bisa mencapai 3 juta. Sedangkan populasi 

lesbian belum banyak diketahui. 

Pandangan warga  mengenai isu LGBT masih beragam tergantung latar belakang budaya, 

agama, kelompok sosial, media, keluarga, pergaulan sebaya, gender dan interaksi dengan 

individu LGBT [ Lehman& Thornwel ]. Tingkat penolakan, dan penerimaan terhadap LGBT 

sangat tergantung pada faktor faktor di atas. 

Melihat tuntutan dan perjuangan yang dilakukan kelompok LGBT di negara kita , mengidikasikan 

bahwa warga  terutama kalangan keagamaan tidak bisa menerima keberadaannya. 

Sebagian besar kalangan keagamaan menghujat perilaku dan orientasi seksual kelompok LGBT 

ini. MUI bahkan sudah mengeluarkan fatwa yang menolak praktek hubungan badan dan 

perkawinan sesama jenis.

Sebagian warga  bersikap netral, menerima keadaan LGBT namun tidak mendukung LGBT 

untuk melakukan kegiatan secara terbuka. Kelompok ini beranggapan semua orang mempunyai 

hak yang sama untuk hidup memenuhi hak hak sebagai manusia namun tetap  

mempertimbangkan konteks lokal. Sedangkan kelompok yang pendukung yaitu  kelompok 

LGBT, para aktivist dan penggerak kesetaraan yang menginginkan LGBT juga punya hak yang 

sama tanpa batasan dalam konteks apapun, termasuk dalam perkawinan sejenis. 


Pada umumnya kelompok LGBT masih mengalami banyak kekerasan dan diskriminasi dalam 

kesempatan kerja dan tempat tinggal, pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan ,

LGBT sulit mengakses pekerjaan, terutama pekerjaan di sektor formal, karena banyak pemberi 

kerja yang homophobic dan karena lingkungan tidak ramah terhadap kaum LGBT. Sementara, 

mereka yang berhasil mendapatkan pekerjaan juga kerap mengalami perlakuan diskriminatif 

seperti dihina, dijauhi, diancam, dan bahkan mengalami kekerasan secara fisik ,

Dalam dunia kerja kelompok LGBT yang masih tertutup statusnya dalam situasi tertentu masih 

dapat masuk ke dunia kerja tanpa diskriminasi berarti, sementara LGBT yang terbuka lebih 

banyak mengembangkan diri pada situasi pekerjaan yang tidak begitu terikat dengan norma norma seperti menjadi wirausaha mandiri. Sedangkan kelompok transgender (waria) yaitu  

kelompok yang paling banyak mendapatkan diskriminasi karena penampilannya yang berbeda. 

Sehingga kelompok ini banyak mengembangkan diri pada sektor –sektor informal seperti salon, 

industri kreatif, hiburan dan beberapa diantaranya masuk dalam dunia prostitusi. 

Kelompok LGBT umumya mengharapkan perlakuan yang lebih seimbang dan adil dari 

Pemerintah, mereka ingin orientasi seksual dan perilaku seksual tidak menjadi hambatan bagi 

mereka dalam berwarga , berkarya, berprestasi dan berkontribusi dalam pembangunan. 

warga  sendiri masih memiliki stigma terkait dengan LGBT, khususnya akibat paparan 

media yang berlebihan dan tindak laku LGBT itu sendiri yang mendatangkan kekhwatiran, 

seperti kasus HIV AIDS, dan kasus kejahatan seksual pada anak, ditambah lagi dengan pemikiran 

yang dilandasi agama. 

Kajian ini mempelajari bagaimana warga  melihat keberadaan kelompok Transgender

dalam kehidupan sehari-hari. Berbeda dengan kajian lainnya, kajian ini berperspektif dari 

kacamata obyek kajian (transgender), artinya sumber data diperoleh langsung dari kelompok 

transgender tentang pandangan warga  terhadap dirinya. Pada kajian lain berperspektif 

dari kacamata warga , yang sumber datanya diperoleh langsung dari warga . 


Bagaimana pandangan warga  terhadap keberadaan kelompok transgender 

dalam kehidupan sehari-hari.  

Lesbian yaitu  seorang homosexual perempuan; perempuan yang mengalami percintaan atau 

tertarik secara seksual kepada perempuan lain. Istilah lesbian juga digunakan untuk 

mengexpresikan identitias seksual atau perilaku seksual berkaitan dengan orientasi sex 

[http://www.nap.edu/openbook.php?record_id=6109&page=35)

Gay menurut kamus yaitu  seseorang yang tertarik kepada jenis kelamin yang sama dan tidak 

tertarik kepada sex lawan jenis.[Douglas,2013] Gay pada dasarnya yaitu  istilah yang merujuk 

kepada seorang (laki laki) homosexual, yaitu laki laki yang berhubungan dengan sesama sejenis 

atau laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki. 

Bisexualitas yaitu  ketertarikan secara romantis, perilaku sexual atau ketertarikan secara 

sexual kepada laki laki dan perempuan. sumber lain 

menyatakan sebagai romantisme atau ketertarikan secara sexual kepada semua jenis kelamin 

atau identitas gender;. Pada dasarnya istilah bisexualitas biasanya 

digunakan untuk menggambarkan ketertarikan romantisme atau ketertarikan sexual dalam 

konteks manusia kepada orang lain tanpa membedakan laki laki atau perempuan.

Transgender mengacu kepada identitas gender seseorang yang tidak terkait dengan jenis 

kelamin biologis yang diperolehnya sejak lahir [Reference .com] Istilah transgender di 

negara kita  lebih banyak dikenal sebagai Waria, beberapa daerah juga mempunyai istilah yang 

menggambarkan transgender seperti, wadam, bencong (Jakarta), calabai (Sulawesi), dan 

wandu (Jawa). 

Pengetahuan warga  umum mengenai LGBT ini sangat masih sangat terbatas, khususnya 

mengenai penyebab terjadinya perbedaan orientasi seksual dan identitas seksual ini. Tingkat 

pemahaman ini sangat mempengaruhi penerimaan warga  terhadap kelompok LGBT.  

Pada umumnya kaum Lesbian, Gaya, Bisek dan Transgender (LGBT) menyadari bahwa dirinya 

mempunyai perasaan, pikiran, perilaku, orientasi seks yang berbeda dan mereka mempunyai 

kebutuhan seks dan penyalurannya. Mereka juga sadar bahwa warga  pada umumnya 

menolak kehadirannya karena ketidaklazimannya. 

Dalam pandangan agama manusia dilahirkan sesuai dengan kodrat seksualnya, yaitu laki dan 

perempuan. Ooeh karena itu ajaran agama ini  digunakan sebagai pedoman untuk 

beriperilaku bahwa laki-laki berjodoh dengan perempuan dan tidak dibenarkan berjodoh 

dengan sesama jenis. Berjodoh atau perpasangan seksual di luar aturan agama dianggap 

berperilaku menyimpang. 

Ada beberapa penjelasan umum mengapa seseorang menjadi LGBT. Pertama, berhubungan 

dengan factor biologi dan kondisi sosial. Kedua, seseorang menjadi LBGT dipengaruhi oleh 

perbedaan kondisi lingkungan yang didalam termasuk mikrosistem, mesosistem , dan 

makrosistem. Mikrosistem berisi dampak dari interaksi antar person, hubungan antar dua atau 

lebih mikrosistem disebut mesosistem. Mesosistem pengalaman yang diperoleh secara 

kebetulan, sedangkan makrosistem teridiri dari norma-norma sosial dan aturan yang 

mempengaruhi individu. Penjelasan lain mengatakan bahwa seksualitas dan perilaku 

dipengaruhi oleh lingkungan keluarga dan pengalaman individu dan perasaannya. Dari 

beberapa konsep dan teori ini  di atas dapat dibuat skema berikut.  

Fokus yang dipelajari pada kajian ini yaitu  terkait dengan norma sosial khususnya pandangan 

warga  terhadap LGBT. Pada kajain ini sumber informasi diperoleh langsung dari kelompok 

LGBT sehingga nuansa informasi berperspektif kelompok ini .  

Jumlah informan sebanyak 18 orang yang berasal dari Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan 

Bekasi. Separoh informan berasal dari komunitas transgender, yang lain berasal dari non 

kumitas. Sebagian besar bekerja di salon, sebagian lain bekerja sebagai penari, model, 

pedagang, mahasiswa dan pekerja seks. Pendidikan bervariasi dari SD hingga Sarjana. Umur 

informan juga bervariasi mulai dari 21 tahun hingga 56 tahun.  Berdasar perspektif kelompok transgender, mereka menggolongkan menjadi dua, yaitu 

kelompok yang menganggap bahwa jatidiri mereka sebagai penyakit dan yang menganggap bahwa mereka menjadi waria karena “kodrat”. Pada kelompok pertama, mereka merasa bahwa 

diri mereka berbeda dan tidak normal dibandingkan dengan orang kebanyakan, “Kok gue kaya 

gini sih? Kenapa ga kaya orang lain aja yang normal?” Lebih lanjut, KK 

mengatakan bahwa pada dasarnya ia jatidiri sebagai Waria yang ia jalani sekarang memang 

merupakan penyakit. Ia merasa dirinya menjadi Waria bukan karena sudah demikian adanya 

ketika ia dilahirkan. Ia juga tidak merasa menjadi dirinya apa adanya ketika berperilaku dan 

berpenampilan sebagai Waria, “Saya kayak gini karena saya mempunyai penyakit bukan karena, 

‘ini loh gue, gini nih gue apa adanya.’” 

Sementara yang lainnya menganggap bahwa hal itu bukan merupakan penyimpangan 

melainkan kodrat dari Tuhan yang tidak bisa diubah seperti yang dikatakan oleh RK berikut.

“Waria itu.. nyimpang bagaimana orang dari hatinya.. yang penting jangan 

nyakitin orang aja.. udah pada ngerti orang-orang juga.. Kalo sakit demam flu 

bisa disembuhin.. kalo hati disembuhin? Menurut saya bukan nasib, kodrat.. 

kalo nasib bisa dirubah kalo kodrat?” 

Menurut salah satu informan menganggap bahwa transgender (waria), lesbian dan gay. 

memiliki orientasi seks yang sama, yaitu sejenis, tetapi Waria bukan merupakan penyakit 

layaknya lesbian dan gay. Menurutnya, hal itu bisa ditularkan hanya dengan tidur bersama 

meskipun tidak melakukan hubungan seksual. Lesbian dan gay ia lihat sebagai hasil dari 

pengaruh lingkungan bukan seperti Waria yang memang sejak lahir sudah memiliki 

kecenderungan.

“Kalo banci, kalo waria itu masih bisa diterima ya, Cuma kalo lesbi dan gay itu 

kan penyakit menular..Walaupun kita tidak melakukan hubungan dan Cuma 

tidur bareng, itu menular. Itu kan penyakit. Itu kan lingkungan, terbawa arus. 

Kalo gay sama lesbi itu penyakit. Bukan dari sananya, dari lingkungan. Kebawa bawa..Iya kalo gay, lesbi itu bisa menular. Kalo waria engga” 

Istilah transgender bagian dari kelompok LGBT tidak banyak diketahui oleh para informan. 

Namun mereka memahami ketika akronim LGBT dijabarkan. Biasanya mereka menyebut diri 

mereka sebagai Waria, bencong, dan banci. Semua informan mengaku sebagai transwoman

memiliki ketertarikan dengan laki-laki. Mereka menganggap bahwa dirinya sebagai Waria 

berbeda dengan gay atau homo yang juga sama-sama memiliki ketertarikan dengan laki-laki. 

Gay dianggap sebagai orang yang munafik dan kerap memandang Waria sebelah mata.

“kalau aku lihat ya, gay itu memandang waria itu sebelah mata ya, padahal 

lebih centil mereka mungkin gede munafiknya ya, tapi buat aku waria sama gay 

itu sama aja” 

Kehidupan Waria dianggap lebih vulgar dan lebih terbuka dibandingkan kehidupan seorang gay 

yang cenderung lebih menutup diri. Ciri khas transgender yaitu  pada penampilannya sehari hari. Gaya dan perilaku yang ditunjukan lebih seperti perempuan dan umumnya berdandan..

“Transgender keliatan karena bentuk fisik laki-laki tidak bisa bohong” 

“Tampilan waria? Ya ada yang dandan, ada yang biasa aja. Aku ini kan biasa” 

“Sama tapi kalau menurut aku ya, kalau waria lebih terbuka, kalau gay 

kebanyakan menutup diri, mungkin karena image kali ya, ngakunya sok laki-laki 

tapi doyannya tetep yang sesama, kalau waria hidupnya lebih vulgar hidupnya 

ketimbang gay, intinya garis besar munafik” 

Dalam beberapa kasus, gay dan Waria dikatakan bertolak belakang dan tidak bisa bergaul 

bersama karena seperti pesaing. “Shemale agak bentrok dengan gay karena memiliki 

ketertarikan yang sama sehingga merasa saingan. tapi ada waria yang pacaran dengan gay.


Keberadaan waria bisa ditemukan di berbagai tempat. Populasi Waria secara berkelompok 

sering ditemukanm di malam hari, pinggir jalan, taman atau tempat tertentu yang dirasakan 

nyaman untuk berkumpul. Tempat-tempat berkumpul ini biasanya dilakukan tidak hanya oleh 

Waria yang berprofesi sebagai PSK tapi juga oleh para Waria yang siang hari memiliki pekerjaan 

lain seperti penata rias, penata rambut, model, ataupun pekerjaan-pekerjaan formal sebagai 

pegawai. Waria PSK dan Waria yang memiliki pekerjaan lain tidak sama dalam pencarian 

partner seks ini. Waria yang memiliki pekerjaan biasanya hanya ”mangkal” satu atau dua 

minggu sekali bersama dengan teman-temannya. mereka tidak mematok tarif untuk jasa seks 

ini  dan justru terkadang membayar laki-laki. Hal ini dilakukan karena bagi Waria yang 

mempunyai pekerjaan, “mangkal” bukanlah untuk mencari penghasilan melainkan hanya 

sebatas mencari kesenangan untuk memenuhi kebutuhan biologis mereka. Biasanya Waria 

non-PSK ini memisahkan diri dari pangkalan Waria PSK karena mereka khawatir keberadaan 

mereka akan merusak harga pasaran dari Waria PSK

“Kalau kayak kita-kita yang udah kerja kayak kita sih untuk nyari kepuasan ya. 

Dibayar alhamdulillah, nggak dibayar juga nggak masalah. Yang penting kita 

nyari kepuasan aja karena kita nyarinya laki-laki normal. Laen ama yang orang 

kerja (PSK)" 

"Iya, nggak gede sih tergantung dia mintanya berapa, kalau aku kan 

pancingannya sekarang atau dulu itu sih sama aja, dia minta ga jauh-jauh dari 

makan, ongkos makan tapi sekarang beda lagi...Tergantung, aku sih 

menyanggupin aja, aku sih semampu aku aja, kisaran yang sekarang umum itu 

dari mulai 500 ribu" 

.

"Aku menjajakan diri juga, aku kan dandan, dalam kondisi hidup di jalan aku 

dandan, tapi tetap aku gratisan aja, siapa yang butuh aja, makanya dipisahin 

aku sama temen-temen aku, aku kan jaga tempat kerja dia kan pangkalan 

mereka, makanya aku misahin diri dari mereka terkecuali memang ada tamu 

yang gratisan itu diserahin ke aku, kan sebagian besar mereka cari duit ya, aku 

ga mau sampai ngejatuhin mereka juga. Istilahnya kita kan satu tim" 

Dengan berdandan seperti perempuan, hal ini tidak berarti Waria menyukai peran perempuan 

dalam berhubungan seks. Adanya kebutuhan biologis untuk berhubungan seks tidak serta 

merta mempengaruhi Waria untuk “mangkal”. Sebagian tidak mangkal karena 

mempertimbangkan usia. Dengan pertambahan usia, mereka lebih memfokuskan diri pada 

pekerjaan yang digeluti ketimbang mencari kesenagan sebagaimana yang dilakukan sewaktu 

muda. Selain itu, ada juga Waria yang tidak menginginkan hubungan seks karena khawatir 

tertular dengan penyakit kelamin, “kalau mangkal-mangkal kita kan gak tau ada yang bersih 

ada yang engga”

“Iyah karena kita merasanya kaya perempuan yah kita jadi perempuan saat 

berhubungan seks seperti perempuan, karena kita merasa perempuan yah 

diperlakukannya juga seperti perempuan gitu” 

“tetep kalaupun aku dandan, aku lebih suka jadi lelakinya, meskipun pakai rok mini 

tetep lebih suka jadi laki-lakinya, tapi kalau ML (Make Love) jadi laki-laki, aku belum 

pernah jadi bot (bottom)” 

“kalo dulu mah waktu masih muda masih suka keluar malem.. sekarang mah 

udah nggak, udah usaha gini.. sekarang begini-begini aja (nyalon)..” 

“Saya tidak pernah, nongkrong nongkrong gitu engga...Engga saya engga. Karena

bukan apa-apa, kita menjaga. Menjaga, satu itu. Yang kedua temen temen saya banyak 

yang mati...Iya, kena itu kan HIV. Banyak teman saya. Nah makanya itulah saya gak 

mau” 

Cara lain untuk memenuhi kebutuhan seks yaitu  melakukan mansturbasi. Mereka tidak 

melakukan hubungan seks dengan orang lain, karena merasa sudah tua, tidak lagi orang lain 

bersedia menjadi pasangan seksnya atau merasa sudah cukup puas melakukan masturbasi. 

Beberapa informan mengakui bahwa biasanya Waria itu tidak bisa merasa puas hanya degnan 

satu laki-laki. Namun demikian ada pula yang mampu melayani hubungan seks dengan 10 orang 

dalam waktu semalam. 

“Kita lebih baik apa adanya aja. Jadi kalo kita pengen ‘begitu’, terus terang aja 

ya bang mau begitu, yauda kita sendiri aja” 

“Emang kalau saya jujur emang waria itu ga ada puasnya, ga cukup cowok satu, kan 

kita udah punya pasangan nih tetep di belakang kita nyari lagi, tergantung kitanya juga 

sih ya” 

“Ada hehe, ada yang semalem dapet 10 besoknya jalannya ngegang” 

Tidak hanya dengan cara “mangkal”, mereka juga mencari pelanggan ataupun pasangan dengan 

memanfaatkan media sosial seperti facebook, twitter, dan BBM. Di dalam sosial media seperti 

BBM kadang mereka yang memiliki orientasi sesama jenis atau menjajakan dirinya pada waria 

ataupun gay dengan cara menuliskan identitas dan orientasi sepeti misalnya “BOT cantik”.

“Kadang lewat BBM, dikenalin temen, kadang lewat sms, kadang juga nyari 

sendiri tapi lebih sering lewat BBM. Kalau di BBM itu suka menawarkan diri 

sendiri dia misalnya BOT cantik, gitu-gitu, kasarnya aku berani bayar mereka”

Sebagaima PSK, Waria “yang mangkal” menyadari bahwa hubungan dengan pelanggannya 

yaitu  hubungan “transaksional” yaitu tidak ada hubungan emosional dalam jangka panjang. 

Menurutnya, meskipun bisa menyayangi dan menyukai hubungan seks dengan Waria, pasti ada 

keinginan dari laki-laki ini  untuk juga menikah atau menjalin hubungan serius dengan 

perempuan hingga membangun keluarga yang utuh. Atas dasar pemikiran itu, Waria lebih 

menyukai hubungan singkat semalam (one night stand) dan tidak ada hubungan lagi setelahnya 

sehingga tidak ada beban baik secara emosional ataupun material. Namun demikian ada juga 

orang yang menjadi pasangan Waria karena materi. 

“Saya sih ketemu langsung ya di tempat temen. Awal-awal di kenalin. Namanya 

jiwanya anak-anak udah gitu keadaan ekonominya kaya gini, yaudah ikut sama 

aku, akhirnya lama-lama deket bertahun-tahun. Kadang kalau lelaki kalau 

sudah berhubungan sama kita orang jadi males” 

“Saya satu rumah sama dia 6 tahun. Sekarang posisi saya sudah susah, sudah 

menderita baru saya ditinggalin. 6 tahun. Barang sudah abis semuanya, ludes. 

Saya punya tiga salon” 

Hubungan emosional antara Waria dengan laki-laki jarang yang bisa bertahan lama. Salah 

seorang informan ada yang pernah menjalin hubungan selama enam tahun dengan 

pasangannya. Namun pada akhirnya ia harus menerima pil pahit karena pasangannya itu harus 

meninggalkannya dan menikah dengan perempuan.

“Sesama jenis juga, tuh cowo saya masih berondong umur 20 kalau yang ini 

masih baru, kalau yang lama 6 tahun Cuma kemarin dia married sama cewe 

trus dapet yang ini” 

Dalam upaya berpenampilan seperti perempuan, sebagian Waria mengubah dirinya tidak hanya 

dari cara berpakaian tapi juga secara biologis. Cara yang dilakukan mulai dari suntik hormon 

sebagaimana dilakukan oleh salah satu informan yaitu menggunakan suntik KB dengan tujuan 

agar bulu halus di tubuhnya berkurang. Umumnya mereka mulai mengambil keputusan untuk 

perubahan diri secara biologis ini setelah menginjak usia dewasa mulai lulus SMA hingga usia 

20an awal.

Tidak semua Waria menganggap perubahan fisik itu perlu. Sebagaian masih mengkhawatirkan 

dirinya apabila melakukan perubahan fisik dengan pertimbangan agama. Namun secara umum, 

ada kecenderungan toleransi dari para Waria untuk melakukan perubahan fisik seperti suntik 

hormon. 

Upaya lain untuk merubah penampilan fisiknya yaitu  menumbuhkan payudara. Diantara 

kelopok Waria, ada  dua pendapat tentang perubahan fisik yang sengaja dilakukannya. 

Pada sebagian Waria bependapat bahwa melakukan pembesaran payudara dan pergantian 

kelamintidak dibenarkan dalam agamanya. 

Pada kelompok Warian ini masih merasa takut untuk mengambil keputusan untuk merubah 

fisiknya tubuhnya. Mereka berpikir bahwa suatu hari nanti bisa saja mereka kembali ke jalan 

yang benar dengan menjadi laki-laki seutuhnya. Mereka berpendapat bila sudah berganti 

kelamin maka pertaubatan akan semakin sulit. Sebagian lain tidak mau melakukan operasi 

pergantian kelamin lantaran menyadari bahwa ukuran tubuhnya besar sehingga tidak pantas 

jika berganti kelamin.

“Kalo itu belum.. jadi kalo itu kan harus berpikir dengan matang yah. Biar pun 

berpenampilan begini yah tapi untuk yang satu itu harus berpikir dengan 

matang dan harus berpikir dengan panjang, jangan sampe menyesal kemudian. 

Karena yah kalo emang eh apa kita punya Tuhan sudah mengijinkan eeeh  

istilahnya dikasih hidayah untuk kembali ke asal jadi laki-laki yah jadi kan 

tinggal buang payudaranya gitu” 

“Nggak deh.. (ganti kelamin), emang sih hati pengennya ganti fisik begitu, kayanya ga 

pantes aja.. udah jalanin aja.. selagi sehat.. terus kalo lagi pengen dandan, udah gitu 

aja.. ga usah.. lagian mahal juga.. ga terjangkau.. ngeliat kita kaya begini operasi ga 

pantes, harus siang malem dandan, udah gitu.. lingkungan keluarga bisa nerima kalo 

dandan.. Kan tiap orang beda fisiknya ya.. ada yang gemulai, kurus kecil gitu.. Kalo aku 

kan gede.. ga pantes aja kayanya.. terus kalo dia mampu baru mungkin bisa.. Kalo yang 

kasar-kasar gede ga pantes, lucu jadinya” 

“Oh kalo itu saya tidak. Saya tidak mau, kalau mau dari dulu. Karena dimata 

Tuhan, kita begini aja kita udah dosa. Saya Kristen. Saya orang Kristen. Dimata 

tuhan kita sudah berdosa, apalagi bikin bikin begini. Gak ada artinya. Nanti 

kalo mati, meninggal siapa yang mandiin. Bisa, Cuma saya gak mau. Dimata 

Tuhan uda berdosa begini, cuma orang kan gak tahu saya seperti ini. Nanti kalo 

mati biar kita Kristen, islam nanti yang mandiin siapa?” 

“ya mungkin saya udah termasuk transgender tapi belum mengubah karena 

saya lebih memikirkan agama dibandingkan hal-hal yang sifatnya hanya 

sementara di dunia aja karena saya kan Islam” 


Sebagian informan menyadari bahwa perilaku seks yang dilakukan berisiko tertular penyakit 

kelamin. Tertular penyakit seksual sebagai risiko yang harus dihadapi. Sementara sebagian lain 

Waria bisa mengantisipasi penularan penyakit dengan menggunakan kondom saat melakukan 

hubungan seks. Kelompok Waria ini merasa untung dengan bergabung bersama komunitas 

atau LSM yang beroperasi di lingkungan mereka. Salah seorang informan berinisial IK dari 

Depok mengungkapkan bahwa komunitas yang ia ikuti membantu mengedukasi orang-orang 

seperti dirinya untuk mendapatkan informasi tentang HIV/AIDS. Ia sendiri sudah mengidap HIV 

selama dua tahun. Dengan bergabung di komunitas, Ia merasa mendapatkan pemahaman 

bahwa ia masih memiliki harapan hidup asalkan melakukan perawatan dan pengobatan dengan 

benar.

Sebagian transgender lainnya merasa tidak perlu bergabung ke komunitas karena dianggap 

terlalu banyak aturan yang membuat mereka menjadi tidak bebas bergerak. Selain itu 

lingkungan di dalam komunitas sendiri menurutnya belum tentu mendukung satu sama lain.

“Dulu sebenernya ada tapi sekarang udah ga ada Cuma sekarang kan mungkin 

udah cape juga mengordinir begini, gay kan susah diarahin karena masing 

masing punya jalan sendiri, kalau diarahin mulu kan lama-lama bosen karena 

lingkungan beda-beda, kebanyakan lebih suka condong ke luar akhirnya satu 

persatu pada ilang, dan komunitas itu bubar, dan masing-masing aja karena 

cara pikir di dalam dan di luar beda, terlalu banyak aturan begini begitu, harus 

begini begitu kan manusia kebanyakan pengen kebebasan” 

“Ya sendiri-sendiri aja, kalau di koordinir gitu kan sakitnya kita ketahuan, tapi 

tetep aja yang satu komunitas belum tentu punya penilaian baik sama mereka, 

dari anak buahnya, belum tentu dia bisa menutup keburukannya, karena satu 

koordinir semuanya jadi ketahuan, satu komunitas pasti tetep aja mulutnya ga 

bisa diem, tetep mereka berbicara mending masing-masing aja kita bisa 

menyembunyikan penyakit kita, melihat gejalanya seperti apa, merahasiakan 

sakitnya, kalau satu komunitas sebagian mungkin ada yang bisa menutupi tapi 

sebagian lagi lemes mulutnya. Orang boleh sama tapi belum tentu hatinya kaya 

gimana, kita bisa satu tempat, belum tentu diluarnya gimana” 

. Faktor pendorong memutuskan menjadi Transgender

Kebanyakan Waria mulai mempertanyakan jatidiri mereka sejak kecil. Sebagian ada yang 

merasa sudah begitu adanya sejak dilahirkan, ada yang karena pengaruh keluarga, pengaruh 

lingkungan pertemanan, trauma masa kecil, dan faktor ekonomi. Bagi kelompok yang pertama, 

mereka merasa sulit untuk berubah karena memang sudah merupakan takdir yang diberikan 

dari Tuhan sehingga mereka memiliki kecenderungan untuk berperilaku seperti perempuan.

“Kalo kaya saya yah itu udah kodrat, emang udah jalannya dari Allah begini, 

dari lahir. Kalo yang lain mungkin saya ga tau kenapa tapi mungkin juga karena 

kodrat dari Allah” 

Mereka merasa tidak mungkin untuk membohongi diri sendiri hingga akhirnya memutuskan 

untuk menjadi Waria. Mereka lebih memilih menjadi Waria meskipun ada pilihan untuk 

menjadi laki-laki heteroseksual. Biasanya mereka yang menganggap kecenderungan menjadi 

Waria mengingat kembali masa kecil mereka ketika pilihan permainan dan kelompok bermain 

yang tidak seperti teman-teman lainnya yang laki-laki. Mereka lebih menyukai permainan 

boneka ketimbang permainan lainnya.

“Saya waktu masih SD juga udah mulai. Gaya itu udah ada. Cuma kadang-kadang kan 

dari itu kan makin lama-lama gitu kan kita nggak bisa di, itu kan hati ya. Hati kan nggak 

bisa dibohongin daripada kita nyiksa. Maap salah ngomong. Daripada kita nyiksa diri 

terus akhirnya jadi kayak gitu ada beban jadi mending ya apa adanya aja yang penting  

kita nggak ngerugiin orang lain. terutama juga kita nggak pernah jahat” 

“Dari kecil sudah diperlakukan seperti perempuan. diberi mainan apa saja dan memang 

tertarik dengan boneka” 

Diantara informan mengungkapkan bahwa penyebab mereka menjadi Waria karena 

orangtuanya semula menginginkan anak perempuan karena di keluarga lebih banyak anak 

namun yang lahir yaitu  anak laki-laki. Meski begitu, tidak semua orangtua yang awalnya 

mengharapkan anak perempuan itu bisa menerima dan memaksa mereka untuk melakukan 

kegiatan-kegiatan yang diasosiasikan dengan kegiatan untuk laki-laki seperti bermain bola.

“Karena gini mas, saya cerita nih dulu saya 6 bersaudara. Perempuannya Cuma 

satu. Saya kan paling bontot, paling kecil. dulu ceritanya abang bang saya, 

nanti kalo dia lahir mau dia laki mau dia perempuan mau saya pakein baju 

perempuan. Teryata dibalik semua itu, lahirnya laki laki. Yaudah keterusan. 

Saya sampe SMP saya pake baju perempuan” 

“Iya. Tapi dulu waktu aku masih kecil, maksudnya, orang tua aku tu orangnya 

emang pengen cewek dulunya. Di rumah kan main boneka gitu, kan. Trus 

disuruh jangan, main bola, ngaji, gitu kan dulu” 

Diantara informan menjadi Waria karena merasa sebagai minoritas di keluarganya. Sebagian 

besar anak yaitu  perempuan sehingga cenderung berperilaku seperti perempuan juga. Hal ini 

dianggap oleh salah seorang informan sebagai kelalaian orangtua karena kurang memahami 

gejala yang dialami anaknya ketika kecil. Informan lain berpendapat bahwa mejadi Waria 

karena pola asuh orang tua yang terlalu memanjakan dirinya seperti yang dialami oleh KK

“Saya sih ya begitu aja ya mungkin dari faktor keluarga kali ya. Keluarga kan 9, 

perempuan satu. Mungkin karena dulu dari keluarga kan nggak tahu ya jadi 

kan terus mengalir begitu aja” 

"Dan saya juga kan anak dan cucu terakhir di keluarganya ayah saya. nah suka 

dimanja... apalagi saya dimanjanya bener-bener banget lah sama mamah jadi"

“...dan mendapat kasih sayang yang berlebihan seperti diperlakukan secara 

cewek” 

Salah satu informan meceriterakan bahwa ada Waria yang berasal dari keluarga yang tidak 

utuh. Ia menceriterakan bahwa menjadi Waria karena sebagai akibat dari keluarganya yang 

berantakan, “Ada juga transgender yang disebabkan keluarga yang broken home”  Sebagian juga ada yang merasa dirinya bisa menjadi Waria karena memiliki trauma  

masa kecil akibat diperkosa. Tidak semua Waria setuju dengan alasan ini. Menurut salah satu 

informan, alasan traumatis seperti ini hanya merupakan justifikasi atas perilaku yang pada 

dasarnya sudah ia inginkan.

“Omongannya sih ada tapi nggak tahu kenyataannya saya nggak tahu. 

Kadang-kadang ada yang suka begitu. ‘Udah kita disodomi aku jadi ama laki’. 

Ada begitu temen-temen aku bilang. Tapi menurut aku sih itu alasan ya. Alasan 

mungkin karena malu jadi waria" 

“Kadang-kadang gitu dari faktor kejadian yang trauma masa dulu yah, yah 

misalnya kaya korban itu eeeh pemerkosaan, korban gituan. Nah kan jadinya 

dia merasa ada perasaan berbeda gitu yah, jadi muncul. Kaya misal temen aku 

ada yang digituin sama orang waktu kecil” 

Tidak hanya perlakuan orangtua, hal yang juga menjadi pemicu seseorang 

untuk menjadi Waria yaitu  ketika ia mendapatkan opini positif seperti pujian 

dari orang lain sebagaimana yang dialami oleh KK. Ia pernah dipakaikan atribut

perempuan, yaitu rambut palsu, lalu dipuji cantik oleh keluarganya, “pernah 

dipakein wig juga (oleh keluarga), dibilang, ‘ih cantik ya, cantik ya’. Jadi itu 

yang memacu saya” 

KK juga mendapatkan opini semacam itu dari teman-temannya saat sekolah dasar. Dengan 

kondisi fisik yang menurutnya cenderung lembut dan terlihat seperti perempuan, ia menerima 

opini-opini dari temannya di sekolah dan mulai mempertanyakan jatidirnya sendiri. Beberapa 

laki-laki bahkan menyatakan suka kepadanya ketika di sekolah dasar.

"Awalnya itu dulu kan emang waktu kecil saya itu kan mungkin tubuhnya beda 

sama yang lain. mungkin lebih putih, lebih bersih, dan cowok-cowok 

kebanyakan ngeliatnya cantik. Nah waktu SD jadi ada beberapa cowok yang 

ngomong suka sama saya, ‘kiki, gue suka sama lo’. Nah kan kalau masih kecil 

kan masih proses dalam pembentukan keperibadian. Masih mencari jati dirinya. 

Nah kalau misalkan ada cowok yang ngomong suka sama suatu anak kecil tapi 

dia cowok juga, nah otomatis dia berpikir lagi dong. Dia mirroring kenapa 

orang itu bisa ngomong seperti itu kan. Makanya saya mirroring juga nih 

kenapa ya. Terus lama-lama dilihat, ‘oh jadi emang bener ya muka saya emang 

cantik.’ Tapi mungkin persepsinya itu loh yang membuat saya seperti itu nah 

pas saya besar jadi kayak ke-replace. Itu yang memacu saya untuk jadi 

pandangannya beda tentang laki-laki, jadi ada ketertarikan, penampilannya 

jadi berbeda” 

Beberapa di antara informan yaitu  perantau dari daerah yang datang ke Jakarta untuk 

mengadu nasib. Kecenderungan yang sudah mereka rasakan sejak kecil semakin menguat 

ketika mereka datang ke Jakarta dan bergabung dengan teman pergaulan yang sama. 

“Ketika umur 20 pindah ke Jakarta dan mulai menggunakan pakaian 

perempuan... Datang ke Jakarta diajak teman yang juga waria di Jakarta” 

Faktor ekonomi juga menjadi latar belakang mereka menjadi Waria karena adanya anggapan 

bahwa tanpa keahlian khusus, menjadi Waria merupakan jalan mudah untuk mendapatkan 

penghasilan. Informan ini sudah dari awal merasa tidak sebagai laki-laki heteroseks namun 

kesempatan ekonomi ini menjadi lebih meyakinkan dirinya untuk menjadi Waria secara utuh.

“Dulu kan kita juga kadang-kadang kan, ‘oh kita dalam keadaan begini jadi 

waria. Nyari kerjaan gampang. Menjadi stylist juga gampang. Sedangkan jadi 

laki-laki kan belum tentu segampang kayak waria gitu nyari pekerjaan. Kalau 

jadi laki-laki ya jatohnya kalau nggak punya pendidikan ya di bangunan. Ada 

juga aku pikiran ke situ kalau ah jadi waria gampang, cari kerjaan gampang. 

Selain itu juga ada jiwa begitu juga nyari kerjaan gampang" 

Selain dari informan di atas, ada juga yang merasa butuh untuk menjadi Waria karena ia

memiliki cita-cita untuk membuat usaha salon. Akhirnya ia merubah penampilan untuk 

mendukung usahanya ini .

“Setelah saya kerja pun saya tetep berpenampilan laki-laki, cuman saya punya 

cita-cita yah dalam istilah dalam arti cita-cita saya kepengen berpenampilan 

layaknya seperti perempuan setelah saya kalo punya usaha sendiri… Saya kerja 

di Jhonny Andrean, iyah gitu. Jadi saya kerja di Jhonny, di Pondok Kelapa, ehhh 

kurang lebih itu saya kerja tiga tahun empat tahun lah. Iyah tahun 98 saya baru 

buka usaha. Iyah jadi eh yah mulai dari situ yah saya mulai berpenampilan 

perempuan. Terus berfikir oh saya harus seperti apa gitu kan. Gitu. Tapi kalo 

misalnya berpenampilan perempuan tuh bukan berarti kita harus dandan yang 

menor atau yang apah gitu kan gitu, intinya berpenampilan perempuan” 

3.6. Pandangan dan sikap lingkungan sosial terhadap Transgender

Keberadaan Waria di tengah warga  ditanggapi secara beragam. Sebagian warga  

mendukung, sebagian bersikap cuek, mendiamkan, dan ada yang tidak bisa menerima 

kehadirannya. Salah seorang informan mengatakan bahwa dengan melihat usahanya sebagai 

penata rambut, warga  sekitarnya memaklumi dan mendukung kegiatan yang ia lakukan.

“Sebenarnya ada dua, kadang kadang manusia ada yang mendorong. “udah kamu terusin aja, 

biar kamu jadi orang sukses” 

Ada juga sekelompok warga  yang bisa menerima kehadiran mereka asal tidak bertingkah 

secara berlebihan seperti yang dikemukakan oleh AP. Ia menambahkan bahwa batas toleransi 

warga  yaitu  ketika perilaku seks dan pertemanan Waria tidak mencolok dan terlihat oleh 

warga  tempat mereka tinggal, “soalnya kan dari sifat sendiri yang nggak nonjolin, dan 

nggak sembarangan bawa orang” Terlebih lagi, menurutnya, apabila 

warga  bisa melihat bahwa Waria yang tinggal di sekitar mereka memang memiliki 

pekerjaan yang jelas, “Apalagi kita ada kerjaan jadi warga  tau, dan warga  nggak 

mandang negatif” 

“rata-rata kalo yang berlebihan gitu warga  membenci, soalnya itu kan 

terlalu frontal terlalu nggak sadar diri, kalo misalnya kita biasa aja paling di 

diemin aja” 

Sebagian warga  tidak bisa menerima kehadiran Waria dengan alasan bertentangan 

dengan norma agama, “ada yang suka ngelarang ‘jangan, dosa itu!’” 

Menurut GG, orang-orang yang memandang transgender secara diskriminatif yaitu  orang orang picik yang merasa dirinya paling benar.

“mereka yang memandang berbeda tuh mereka yang pandangannya picik, 

belum tentu dirinya sempurna atau gimana, kalau sudah merasa sempurna sih 

gapapa” 

Tidak hanya di lingkungan warga , penolakan juga kadang terjadi di lingkungan keluarga. 

Salah seorang informan yang merupakan perantau asal Sumatera Barat pernah tidak dianggap 

kehadirannya oleh keluarga ketika ia pulang kampung. Tidak hanya LV, penolakan dari keluarga 

juga dialami oleh DR yang merasa telah dibuang oleh keluarganya karena mengetahui bahwa 

dirinya Waria.

“aku dari padang, aku kabur, pas kemarin lebaran aku ke padang aku dibukain 

kamar di hotel, jangankan ngenalin aku, namaku aja udah jelek di sana” 

“Iya, saya kan sama keluarga udah di buang karena saya waria...Engga, jadi 

saya dari dulu tuh dari SMP saya hidup mandiri tanpa saudara tanpa 

orangtua.orangtua saya tau...” 

Beberapa Waria lain bahkan juga mengalami perlakuan penganiyaan fisik. KK, mahasiswa 

tingkat akhir di salah satu perguruan tinggi negeri mengatakan bahwa ia pernah mengalami 

pemukulan oleh seniornya sewaktu ia duduk di bangku SMA. Senior ini  yaitu  gay yang 

merasa tersaingi dengan keberadaan KK yang Waria. Kekerasan fisik ini juga pernah dialami 

oleh GG yang tidak bisa diterima oleh keluarganya “Kalau aku dulu awalnya kakak aku ga nerima, dari mulai smp sampai sudah 

kerja masih sering kena kepalan tangan kakak aku, ya mungkin dia malu punya 

adik waria” 

Pengalaman penganiayaan menjadi bahan renungan bagi Waria yang pernah mengalaminya. 

Seperti yang diceritakan oleh MR. Dalam suatu pesta pernikahan di mana Waria dipersilahkan 

naik ke panggung untuk menghibur tapi justru mendapatkan perlakuan kurang menyenangkan 

dari ulama setempat yang melempari mereka dengan telur busuk. Dengan adanya peristiwa 

ini , MR yang saat itu menyaksikan tanpa merasakan langsung, menyadari bahwa Ia dan 

teman-temannya perlu melakukan pendekatan dengan RT dan tokoh agama untuk meminta 

izin jika hendak mengadakan acara sejenis. 

“pernah nonton dimana dulu dilemparin telor busuk, makanya sekarang kalau 

kita mau ngadain kontes bilang dulu sama rtnya, ulamanya, tokoh agamanya, 

ga sembarangan sih kalau kaya gitu” 

Tidak semua Waria menunjukkan identitasnya kepada khalayak umu. Menurutnya ada ruang ruang sosial tertentu yang bisa membuat mereka mau menunjukkan jatidirinya. Mereka akan 

melihat situasi terhadap lingkup sosial yang akan ditunjukan identitasnya. Jika dilihat bahwa 

lingkungan sosial ini  belum bisa menerima kehadiran mereka, maka mereka cenderung 

menutup jatidirinya, “di lingkungan aku masih tertutup karena orang di sana masih awam, kan 

kalo yang tau cuma kita doang” 

Bagi para Waria yang memiliki pekerjaan khususnya yang bekerja di bidang yang tidak 

terasosiasi dengan Waria (salon), mereka menutupi identitasnya ketika bekerja. Mereka 

memberikan istilah ‘siang-malam’. Artinya, mereka bekerja dan berpenampilan seperti laki-laki 

pada siang hari namun ketika malam hari penampilan berubah menjadi Waria. Sebagian 

informan merasa belum siap untuk mengubah penampilannya siang dan malam.

“Hanya malem aja… Ada juga sih yang siang malem maunya begitu.. tapi kalo 

saya kan. maksudnya kalo siang kan ada kesibukan kan kerja jadi siang engga… 

Emang lebih nyaman begitu.. karena saya masih belum ada kemauan lah untuk 

berubah siang malem... emang dari dulu begitu” 

Di lingkungan keluarga biasanya mereka terbuka. Ada keluarga yang bisa menerima karena 

menganggap bahwa anggota keluarganya bisa menjadi Waria akibat asuhan mereka. Ada juga 

yang pada akhirnya menerima setelah berkali-kali mencoba untuk menjodohkannya dengan 

perempuan.

“keluarga juga alhamdulillah nggak ada, ini ya, ibarat kalau di kampung kan, 

maaf salah ngomong ya menurut agama ya, itu tergantung kitanya, perbuatan 

kita. Kalau mau melakuin, itu ibarat kan satu lobang nggak mungkin dua gitu  ibarat kata. Ya nggak nyuruh nggak, ya kadang-kadang keluarga udah ngga 

ributkan sih alhamdulillah” 

Ada juga keluarga Waria yang bisa menerima keadaan anaknya namun tidak membuka identitas 

ini  ke orang lai. Keluarga ini lebih memilih untuk mengatakan bahwa ia yaitu  gay 

ketimbang Waria karena bisa lebih diterima dengan penampilan yang tetap seperti laki-laki. 

Namun bagi transgender, hal ini justru membuatnya serba salah.

“Jadi di mata keluarga saya, saya waria. Cuma kalo di umum, dia gak mau 

ngatain saya waria tapi Gay… makanya saya bajunya biasa aja, baju cowo. Jadi 

kalau saya tuh serba salah mas, jadi orang bilang “ah waria gak mungkin”, 

padahal sebenarnya saya waria. Saya berdandan” 

Meski sebagian anggota keluarga Waria bisa menerima, ada yang berusaha menutupi 

identitasnya dengan menjodohkan mereka di kampung dengan tujuan agar tidak dicurigai oleh 

tetangga.

“Orangtua ngejodohin. Udah. Waktu itu ke jogja, kadang di kampung. Di 

kampung biar orang nggak tau bahwa aku waria” 

. Sosialisasi Transgender di lingkungan sosial/ warga  


Di lingkungan sosial warga , orang-orang yang bisa menerima kehadiran Waria biasanya 

yaitu  orang yang berpendidikan dan memiliki pergaulan yang luas sehingga sudah sering 

berinteraksi dengan transgender. Untuk bisa diterima di lingkungan tempat tinggal/kos, Waria 

biasanya menjaga agar sekeliling mereka tidak merasa terganggu

“menurut gue masih agak kentel diskriminasinya, cuman dari beberapa sektor 

aja yang nggak terlalu mendiskriminasi, kayak di tempat lsm, dan lingkungan 

kampus. Menurut gue yang berpendidikan tidak akan terlalu diskriminatif”

“...kebanyakan kalo misalnya orang pergaulan bebas, dalam arti sering bergaul 

sama siapa pun, mereka welcome... kalo orang sering bergaul ngeliatnya itu 

lucu gitu.” 

“kalo orang sekitar sih masih nerima ya, cuman dengan batasan, misalnya aku 

kan masih suka terima tamu tapi jangan lewat waktu lah, jangan ada gaduh 

apa-apa” 

Kebanyakan informan yang tinggal di lingkungan perumahan biasa juga bertetangga baik

dengan bergaul bersama mereka, menawarkan bantuan sehingga warga  juga merasa 

nyaman dengan keberadaannya. Namun ada juga yang selektif memilih tempat kos yang 

nyaman sehingga mereka bisa bebas dengan pasangan ataupun kliennya

“tetangga gue welcome, gue kan orangnya baik ya, lo mau potong rambut ga? 

Sini ga usah bayar sama gue…” 

“Bencong kan kalo mau ngontrak liat lokasi, aman apa nggak.. yang punya 

kontrakan enak apa nggak.. kalo bencong kan kadang-kadang nyamannya kaya 

gini ya, kalo dia bawa lelaki.. atau punya lelaki bebas gitu..”

. Lingkungan Pendidikan 

Sikap orang-orang di lingkungan sekolah hampir sama dengan warga  umum. Menurut 

Transman yang sedang kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri, di lingkungan kampusnya 

banyak orang-orang berpendidikan sehingga mereka bisa menerima kehadiran Waria seperti

Transman “kalo lingkungan kampus/pergaulan temen-temen SMA mereka terima aja sih” 

Namun demikian ada lingkungan sekolah yang tidak bisa menerima keberadaan Waria. Hal ini 

ditunjukkan dengan sikap yang tidak bersahabat, “Banyak yang dikucilin di sekolah.. dikatain 

orang, dihina sama orang.. dicibir..” 


Menurut sebagian informan, mereka pada dasarnya bisa diterima di lingkungan kerja asal tidak 

menunjukan perilaku yang tidak wajar, yang membuat orang lain tidak nyaman. Di sisi lain, para 

Waria harus bisa menutupi identitasnya. Hal ini karena apabila diketahui orientasinya maka 

mereka bisa dikeluarkan dari pekerjaan.

“dulu aku kerja kantoran, cuman taunya biasa aja, soalnya aku juga diem 

nggak terlalu banyak sosor sana sosor sini, tapi ada sebagian yang nanyain sih 

kok diumur segini belum nikah hehehe” 

“Kadang kadang yang seperti itu memang bisa diterima. Cuma nanti 

dilatarbelakangnya suka ada saling pacaran sama temennya yang lama lama 

kebongkar dan bisa dikeluarin. Banyak yang begitu..Bisa. Bank bank aja banyak 

yang gay gay itu. (masuk ke kantor-kantor)..Iya, pasti lama lama ketauan dan 

dikeluarin” 

Pengalaman di tempat Pelayanan Kesehatan 

Ketika ditanya mengenai hambatan yang dihadapi dalam mengakses layanan kesehatan 

biasanya mereka mengatakan bahwa tidak pernah mendapat permasalahan yang berarti 

kecuali dalam bentuk tatapan sinis dari pasien ataupun tenaga kesehatan. Mereka sudah 

terbiasa dengan hal itu sehingga tidak menganggapnya sebagai masalah besar ketika 

mengakses layanan kesehatan. Ketika pergi ke rumah sakit atau instansi kesehatan lainnya yang 

perlu diperhatikan yaitu  berpakaian secara layak, yaitu dengan berpakaian dan berperilaku 

seperti laki-laki pada umumnya. Kemudian yang juga penting diperhatikan ketika mengakses 

layanan kesehatan yaitu  mereka harus memiliki uang. Ketimbang mendapatkan masalah 

karena orientasi seks, mereka lebih banyak mendapatkan hambatan apabila datang ke rumah 

sakit namun tidak memiliki uang.

“Ga pa pa, dia kan profesional.. mau apa kek, apa kek, yang penting kan duit.. 

ga ada.. ga ada semua.. (hambatan)” “Yang penting mereka duit, pakaian kita 

gimana.. udah gitu sopan ya pasti diterima.. apalagi kita mau bayar” 

Tidak semua Waria merasa mudah dalam mengakses layanan kesehatan. Sebagian merasa 

dipandang sinis oleh sesama pasien saat menunggu antrian ataupun dipandang sisni oleh 

tenaga kesehatan. Salah satu informan bercerita bahwa dirinya dipermalukan oleh dokter yang 

menangani kasusnya. Ia dimaki-maki dan hasil diagnosanya dibeberkan ke muka umum.

“paling cuma disinisin kalo lagi ngecek hehe” 

“pas aku tau kena hiv/aids ada dokter ngomong hasilnya di depan banyak 

orang, jadinya kan malu ya, jadi aib gitu” 

Menurut salah satu informan, aanaya stigma yang berkembang di warga  terhadap Waria 

membuat mereka enggan datang ke tempat layanan kesehatan meskipun layanan ini  

sangat dibutuhkannya. Mereka merasa terhambat untuk mengkases layanan kesehatan karena 

ditolak saat datang di rumah sakit atau instansi kesehatan lainnya dengan berbagai alasan 

seperti fasilitas ruang inap sudah penuh atau lasan eknis lainnya. 

“itu perlu sih untuk yang permasalahan hiv itu perlu, tapi gue suka bingung gitu 

loh, disaat itu diperlukan, ketika mereka ditawarkan itu terus responnya kayak  

bete terstigma, jadi kadang suka menolak atau gimana, butuh tapi suka 

ditolak” 

“Kadang kadang temen temen waria apalagi yang bertete, kadang kadang 

bilang pasiennya penuhlah, Inilah, itulah” 


Lapangan pekerjaan dan industri yang umumnya diasosiasikan dengan Waria yaitu  fesyen, 

salon kecantikan, dan rumah makan. Bagi yang bekerja di ranah formal biasanya menutupi 

jatidiri mereka dengan tidak berpenampilan dan bergaya sebagaimana Waria ketika bekerja, 

“Ada juga yang kantoran tapi dia nutupin dirinya”  Kehadiran Waria di 

lingkungan kerja tidak selalu mendapatkan penerimaan dari sekelilingnya. Salah seorang 

informan menceritakan bahwa ada seorang temannya yang Waria menjadi seorang dokter. 

Diskriminasi justru datang dari pasiennya yang tidak mau ditangani olehnya.

“temen gue dia dokter, kadang-kadang pasiennya suka minta ganti dokter, 

karena penampilannya kayak gue, berarti langsung terstigma gitu kan, ada 

juga kan orang yang nggak mau liat kemampuannya tapi dari penampilan 

doang” 

Kesulitan Waria untuk masuk ke lingkungan kerja formal membuat mereka harus melakukan 

penyesuaian seperti tidak menunjukan bahwa dirinya transgender ketika bekerja. Namun hal ini 

menjadi masalah tersendiri apabila sudah terlanjur mengubah tampilan fisiknya dengan 

memperbesar payudara.

“Satusatunya jalan jangan nonjolin tete aja...Hambatannya penampilan, dari 

penampilan itu rambutnya panjang. Jangan bertete aja deh. Kalo di kantor, di 

rumah sakit kek. Ya kalo di di salon maah udah wajar” (WM, TG, DR 40 Jakarta).

Keadaan ini  akan membenarkan pandangan umum bahwa Waria memang terkait dengan 

jenis-jenis industri khusus seperti salon, fesyen, dan rumah makan. Meskipun memiliki 

kapasitas untuk menempati posisi tertentu dalam pekerjaan formal, warga  akan sulit 

menerima mereka. Atau jika mereka tetap ingin bekerja formal, mereka bisa bekerja di 

lingkungan LSM yang kondisi lingkungan lebih permisif.

“Kebanyakan susah ya, perusahaan kan kadang malu juga ya istilahnya buat 

yang punya nama gitu itu juga kualitas juga” 

“Waria diremehin banget, waria juga ada yang pinter” 

“kalo pekerjaan sih ya lsm, ketika mereka tidak bisa mendapatkan pekerjaan di 

perusahaan, mereka pasti akan bekerja di lsm yang merupakan tempat untuk 

mengutarakan apresiasi mereka” 

HAM dan Diskriminasi 

Salah satu informan yang sedang menempuh pendidikan tinggi mengatakan bahwa hak asasi 

yang selama ini dilanggar oleh negara yaitu  hak bagi dirinya untuk bisa bebas memilih 

orientasi seksual. Hal lain yang umunya belum terpenuhi yaitu  hak untuk memeperoleh 

layanan kesehatan dan reproduksi. 

"hak-hak yang rasanya agak terlanggar oleh negara gue rasa dari hak 

kesehatan dan reproduksi, kalo nggak salah setiap warga negara berhak 

memilih orientasinya, ya kayak kebebasan setiap individu” 

Tidak semua Waria menyetujui soal pencatuman identitas Waria dalam tanda pengenal diri. 

Ada beberapa alasan atas ketidaksetujuan mereka perihal pengakuan identitas di kartu tanda 

pengenal. Pertama yaitu  karena beberapa di antara Waria masih nyaman dengan 

merahasiakan identitasnya. Dengan adanya tanda pengenal, mereka khawatir hal itu dapat 

membocorkan rahasia yang selama ini dijaga.

“perlu nggak perlu sih tapi lebih baik nggak usah, tapi akhirnya kayak 

kebanyakan pada nggak mau, terutama yang tertutup ya, soalnya kalo suatu 

saat dia lupa naro dan ditemuin orang kan jadinya ketauan ya identitasnya”

Kedua, mereka juga khawatir apabila dengan adanya label Waria di KTP justru akan 

menyuburkan diskriminasi di kemudian hari. Ketiga, mereka juga menganggap bahwa status di 

kartu identitas harus sesuai dengan jenis kelamin.

“menurut gue ketika ditambahkan malah akan menambah diksriminasi sih jadi 

menurut gue sebaiknya dihilangkan” 

“Engga…tetap. Laki-laki perempuan. ( kolom jenis kelamin) ..Ya emang 

dasarnya kita begitu. Gak boleh. Status laki, ya laki laki.” 

Keempat, sebagain juga mempertimbangkan ketika suatu hari mereka meninggal. Jika status 

mereka masih Waria, mereka tidak ingin warga  kebingungan menangani jenazahnya 

sebagai perempuan atau laki-laki. Kelima, ada juga yang merasa bahwa pengakuan identitas 

transgender di KTP itu tidak perlu karena salah satu informan pernah melihat salah seorang 

temannya yang kesulitan ketika ingin membuat paspor. Hal ini menjadi permasalahan karena 

orang ini  memiliki KTP dengan jenis kelamin perempuan. 

“Aku jenis kelami cowo, aku memang apa adanya, memang menurut agama 

kaya gini, ibaratnya kan kita suatu saat bakal mati, kalau kita di KTP nya beda 

kan bingung, diperlakukan kaya apa bingung” 

“Dia mau bikin paspor gitu kan, gitu.. yah tapi di KTPnya kan permpuan… Aku 

sendiri laki-laki.. Engga sih.. makanya mendingan saya laki-laki daripada ganti 

identitas jadi masalah kan, jadi memalsukan data” 

Namun di sisi lain, sebagian juga berharap adanya pengakuan identitas dalam tanda pengenal. 

Akan tetapi, mereka ia merasa masih harus melakukan banyak perombakan dirinya secara fisik 

sehingga benar-benar menjadi perempuan utuh untuk bisa mendapatkan status ini .

“Sebenernya sih kepengen yah dikasih kesempatan sepert itu, jadi yah 

identitasnya jadi apa namanya bener-bener perempuan atau laki gitu kan. Tapi 

ya kalo emang dia belum seutuh perempuan sih kenapa harus diubah jadi 

perempuan di KTP gitu kan. Kecuali udah ganti kelamin baru perempuan yah 

oke lah karena dia kan sudah berubah total gitu yah. Gitu” Keinginan Mengadopsi Anak 

Pada umumnya para informan yang merupakan Waria menginginkan untuk mengadopsi anak. 

Jikapun tidak bisa mengadopsi anak secara legal, menurut salah satu informan sekarang ini 

sudah banyak trangender yang mengasuh anak dari anggota keluarganya.

“Rata-rata kalo emang transgender itu dia emang mengasuh atau mungut 

anak dari sodara dia sendiri.. kebanyakan dari sodara dia sendiri kaya ade atau 

kakanya dia gitu… Yah mungkin karena lebih enakan sama anak sodara kali 

yah” 

Informan lain menambahkan bahwa adopsi anak boleh saja dilakukan dengan syarat tidak 

mendidik anak ini  untuk memiliki orientasi sejenis seperti mereka. Hal serupa juga 

dikatakan oleh KK. Menurutnya Waria boleh megasuh anak asalkan dengan gender yang sama 

dalam artinya jika seseorang sudah menjadi Waria, maka anak yang diasuh harus perempuan, 

dan begitu juga sebaliknya sehingga tidak membuka kesempatan bagi anak ini  untuk 

menyukai sesama jenis.

“Itu sih hak kita, yang pasti kita mendidiknya benar dan tidak mendidiknya 

mengikuti jejak kita, ga jadi masalah LGBT atau bukan yang penting cara 

mendidiknya, masa sih aku mengadopsi anak dan mendidiknya jadi banci juga. 

Masalah adopsi anak kan urusannya sama tuhan” 

Salah satu informan mengatakan bahwa seharusnya Waria bisa dan diperbolehkan untuk 

mengadopsi anak. Hal ini lantaran ia berpikir bahwa setiap orang memiliki konsep yang berbeda  

soal keluarga. Jika mengacu ke peraturan, menurutnya saat ini syarat untuk menjadi orangtua 

adopsi yaitu  pasangan ayah dan ibu. Hal ini membatasi pasangan sejenis untuk bisa memiliki 

anak adopsi. Seorang informan lain juga setuju dengan alasan untuk bisa menjada dan merawat 

dirinya saat sudah tua.

“perlu untuk kelompok lgbt, karena setiap orang memiliki pandangan berbeda 

tentang keluarga itu sendiri, walaupun teknologi sekarang udah maju, tapi 

tetep aja kan masih susah untuk pasangan sejenis mendapatkan anak, jadi 

kadang-kadang emang mereka berkeinginan untuk adopsi tapi peraturan disini 

kan harus ayah dan ibu” 

“Gapapa. Gak masalah. Itu kan buat masa depan kita mas kedepannya..Ya 

nanti seandainya kita udah tua, ada yang ngurusin. Saya kalo banyak duit juga 

bias” 

Kebanyakan informan menganggap bahwa pernikahan sesama sejenis itu tidak mungkin untuk 

dilakukan di negara kita  mengingat warga nya masih banyak yang menentang. Disadari 

bahwa hukum yang berlaku di negara kita  idak memungkinkan untuk mengesahan perkawinan 

sejenis. Pada sisi lain, sebagian kelompok memperjuangkan hak untuk diakuinya secara sah 

perkawinan sejenis ini. 

“Kalo gay saya uda pernah, si Indra brugman sama Bertran di Belanda. Nikah 

dia..Ya aneh yah kok bisa terjadi gitu. Cuma klo disini kok gak ada, tapi yang 

diluar negeri ada..Kalo di negara kita  kayaknya di tentang sih mas, gak bisa kalo 

di negara kita ” 

Sebagian besar informan lebih memilih agar perkawinan sejenis tidak ada di negara kita . Hal ini 

mempertimbangkan beberapa faktor yang mengindikasikan akan adanya resistensi di tengah 

warga  karena merasa khawatir perilaku transgender menular kepada warga  umum.

“Ooh gak bisa...Nanti diwarga  nilainya jadi jelek aja, “emang warga  

mau jadi kayak elo” pasti kan begitu” 

Sementara yang lainnya memberikan pandangan yang kaitannya dengan pemahaman agama. 

Meskipun dirinya yaitu  Waria, mereka memahami bahwa posisi mereka secara agama yaitu  

salah sehingga mereka lebih memilih agar perkawinan sejenis tidak ada karena kehadiran 

mereka pada dasarnya menyalahi kodrat. 

“aku kan nggak setuju (perkawinan sejenis), kita gini aja istilahnya dosa, lain 

kalo di luar negeri, kan disana beda ya, ini kan kita kasarnya udah menyalahi 

kodrat” 

“tapi kalo untuk pernikahan sejenis aku paling marah, karena apa ya lu 

diciptakan sebagai apa, bukannya dipuji sama yang diatas, emang kita 

perbuatan udah dosa ya” 

Dengan pertimbangan ini, salah satu informan bahkan mengatakan bahwa adanya pernikahan 

sejenis bisa memberi pengaruh buruk terhadap negara, “Jangan sampai ada karena negara 

akan hancur” 

Di sisi lain, ada juga transgender yang merasa perkawinan sejenis perlu diakui oleh negara. 

Salah satu yang menyetujui yaitu  Waria yang saat ini memiliki pasangan yang hidup bersama 

dengannya. Ia melihat pernikahan sejenis sebagai hal yang baik karena ia bisa hidup bebas 

dengan suaminya di tengah warga  umum karena bisa mendapatkan pengakuan legal dari 

pemerintah bahwa mereka yaitu  pasangan sehingga mereka juga bisa memiliki KTP dan 

mudah mengurus jika hendak pindah tempat tinggal. 

“Uh aku paling seneng (perkawinan sejenis). Kan aku jadi bisa bebas sama 

suami. Mau kemana-mana sama dia ada surat jalan. Kalau kemana-mana 

pindah kasih KTPnya” 

Informan lain ada juga yang menyetujui dengan pandangan bahwa saat ini mereka sudah cukup 

tersakiti oleh keadaan yang cenderung memberikan label “sakit” kepada mereka padahal 

menurutnya tidak.

"Aku sih setuju-setuju aja, ya kalau memang menteri agama menyetujui dan 

warga nya sudah menerima ya silahkan-silahkan aja, kasian orang-orang 

yang terbuang, yang tersakiti padahal mereka ga sakit. Kenapa tiba-tiba 

disakiti, aku sih setuju-setuju aja" 

Sebagian menyetujui bahwa Waria juga memiliki hak dalam berpolitik khususnya ketika 

membicarakan apabila mereka hendak menjadi pemimpin dan mencalonkan diri dalam Pemilu. 

Ada yang berpendapat setuju karena hak berpolitik dianggap sebagai bagian dari hak asasi 

manusia. 

“Yah berhak aja.. itu kan hak asasi manusia.. maksudnya walaupun kita 

berbeda fisik tapi kan maksudnya yah hatinya sama aja gitu, sedangkan 

perempuan aja bisa kan jadi presiden, masa seorang waria engga” 

Sementara di sisi lain ada yang kembali lagi bercermin pada posisi mereka di tengah 

warga . Menurutnya boleh saja Waria menjadi pemimpin rakyat tapi harus siap menerima  

konsekuensi akan adanya komentar-komentar sinis yang akan dilemparkan bahwa mereka saja 

belum bisa mengurus hidupnya sendiri, “lo aja nggak bener idupnya” 

. Hak untuk memperoleh pendidikan 

Kebanyakan Waria menutupi jatidirinya ketika dulu berada di lingkungan sekolah (SD, SMP, 

SMA). Dengan demikian, banyak di antara para informan yang tidak mengalami hambatan 

ataupun diskriminasi ketika masih duduk di bangku sekolah. Namun salah satu informan 

menambahkan bahwa biasanya meski tidak ada hambatan bagi Waria untuk mengikuti kegiatan 

sekolah namun tetap ada perlakuan diskriminatif dari orang-orang di lingkungan sekolah. Bukan 

hanya di lingkungan sekolah, seorang informan lainnya juga mengalami hambatan untuk 

melanjutkan sekolah karena dihalangi oleh orangtua.

“hambatan mendapatkan pendidikan sih engga, tapi diskriminasi dalam ranah 

pendidikan tetep ada, bukan dari pendidikannya tapi dari lingkungan kayak 

cowo agak melambai dikit langsung mengalami pelecehan seksual, ngadu ke 

gurunya tetep juga disalahin” 

“Itu sebenernya dari keluarga, kalo keluarga dia mampu dan ga menilai gitu gitu (merendahkan).. terus kemauan orang itu tersendiri, anak waria yang mau 

disekolahin juga itu, sebetulnya kalo sharing antara keluarga dan anak 

mungkin bisa.. tapi ya gitu deh.. kalo udah ngeliat kaya gitu, terserah deh 

hidupnya (tidak peduli ke anak yang waria).. gitu sih kebanyakan..” 

Walaupun mengakui dirinya sebagai Waria, tidak berarti semuanya setuju apabila ada pelajar 

yang ingin menunjuka jatidirinya di lingkungan sekolah. Menurut informan ini, tidak semestinya 

mereka menjadi Waria terlebih di sekolah. Namun ia menambahkan bahwa tidak menjadi 

masalah jika orang ini  sudah dewasa dan berada di lingkungan pendidikan tinggi. Hal ini 

ia nilai boleh saja karena menurutnya orang dewasa sudah bisa membuat keputusan untuk 

dirinya.

"kalau udah dewasa kan udah punya, kalau yang udah punya pengalaman kan 

udah punya pilihan sendiri. Udah tahu. Kalau masih kecil kan masih bisa 

terkontrol. Kan kita (dewasa) udah punya pendirian tetap gitu. apa lagi udah 

kuliah. Punya pendirian sendiri. Bisa milih" 

Untuk menjadi pekerja di lingkungan pendidikan, salah satu informan menerangkan bahwa hal 

itu tentu baik untuk Waria yang bersangkutan karena telah diberikan kesempatan untuk 

bekerja di sana. Akan tetapi ia menambahkan bahwa Waria ini  harus bisa mengontrol 

dirinya untuk tidak mengganggu orang lain ketika bekerja. 

ya antara setuju tidak setuju. Itu kalau memang untuk membantu mereka 

sebagai waria atau homo di tempat yang itu mungkin bisa. Tapi itu tergantung 

ke kitanya sendiri juga sih ya. Apa dia mau melakukan yang.. kadang-kadang 

kan kalau waria itu lepas kontrol. Kalau kita di kampus jadi cleaning service, 

ada laki-laki ganteng diganggu nah itu kan kadang-kadang. Tapi kalau untuk 

mendidik, dan untuk membantu itu bagus juga sih" 

Sebagian besar informan merasa bahwa ibadah urusan pribadi seseorang dengan Tuhannya 

sehingga mereka merasa seharusnya boleh saja jika ada Waria yang ingin beribadah asalkan 

sesuai dengan jenis kelaminnya. Jika terlahir sebagai laki-laki maka beribadah dengan tata cara 

yang ditentukan agama sebagai laki-laki, begitu juga sebaliknya. 

“emang kita perbuatan udah dosa ya, ada banci yang solat dia pake mukena, 

itu pernah aku jorokin, tapi kalo solat biasa pake baju koko, ya maksudnya 

siapa sih yang mau jadi begini” 

Dalam melaksanakan ritual ibadah, pada dasarnya mereka menyadari bahwa warga  tidak 

keberatan menerima mereka di rumah-rumah ibadah. Meski tidak bisa dipungkiri bahwa 

sebagian juga mendapatkan tatapan sinis dan pengusiran dari orang-orang di sekitarnya ketika 

ingin menjalankan ibadah. Tapi mereka cenderung tidak peduli dengan opini orang lain dalam 

hal ini.

“Masalah agama kan keyakinan, masjid atau gereja itu ga ada penolakan yang 

menolak mah orang-orangnya juga, istilahnya kan kita menyerahkan diri ya, 

yang punya pandangan gitu tuh orangnya yang melarang kita masuk, tapi 

masjidnya kan engga” 

“beribadah? ya biasa pakai mukena.... Ya biasa pakai sarung pake kopiah ya 

sama aja... Kadang kadang gimana ya suka “ih jijik”..Yaa jalanin. Mau diterima 

sukur, engga sukur. Ada temen saya, rambut panjang, alis melengking tapi kalo 

solat jumat ikut jumat mas. Mau diterima sukur, kaga sukur..Dia pake baju 

yang tebalan. (untuk yang payudaranya terlihat) ..Tapi tetep solat..Iya. Rambut 

dimasukin dalam peci yak an, jadi gak keliatan perempuannya” 

“Ada sih, kamu mau duduk di cowo ga boleh di cewe juga kadang ga boleh, 

padahal kita udah pakaian cowo, tetep kamu sana ga boleh deket-deket..Iya 

akhirnya paling pojok gitu” 

Seperti halnya yang dialami oleh transgender beragama kristen. Meskipun pendetanya kurang 

menerima kehadirannya di gereja, namun ia tetap pergi ke gereja karena menurutnya ibadah 

yaitu  urusannya dengan Tuhan dan posisi pendeta hanyalah perantara. 

Kadang kadang pendeta, pendeta tidak menerima saya. Tapi saya jalanin 

aja..Maksudnya “jangan seperti itu”, dia buka khotbah baca firman tuhan yang 

begini begini “kamu jangan suka hubungan laki sama laki” tapi saya jalanin aja. 

“Emang saya nyembahnya sama kamu, saya nyembahnya sama Tuhan” Mau 

diterima kan urusan saya, pendeta kan Cuma perantara. Belum tentu pendeta 

masuk surga. Saya berdebat sama dia. Kalo ada saya tuh dia suka buka firman 

yang ada ayat “laki laki tak boleh berhubungan dengan lakilaki”. Awalnya sih 

gak kayak itu, pas di tengah tengah baru dia nyebut laki laki sama laki laki gak 

boleh. Saya bertentangan, gak takut saya. “kamu berani banget si Adi” 

yaiyalah manusia tuh sama, makan sama, Cuma kita beda” 

Hambatan terbanyak justru datang dari dalam diri Waria itu sendiri yang merasa malu untuk 

masuk ke rumah-rumah ibadah, misalnya mesjid. Mereka tidak percaya diri untuk masuk ke 

mesjid dengan pakaian laki-laki namun secara fisik penampilannya sudah seperti perempuan.

Sebagian juga cenderung menghindari rumah-rumah ibadah pada akhirnya karena khawatir 

kehadirannya mengganggu kenyamanan jamaah lain.

“hambatannya ya biasa, dari transwomannya, sebenernya bukan hambatan 

dari warga , mereka kayak takut, mau masuk ke barisan cowo tapi muka 

cewe, mau pake mukena nggak nyaman” 

“Aku kalau ke mushola jarang teh, paling di rumah doang solatnya. Dzikir jam 

1, senin kamis sering puasa. Buat doain orang tua saya supaya saya sehat bisa 

nyari duit. Orang bilang apa mah saya masa bodoh… Tapi kadang-kadang kan 

nempel haram. Kita kalau taraweh di belakang ujung deh biar gak nempel nempel. Saking keselnya sih… Tapi kadang-kadang kan nempel haram. Kita 

kalau taraweh di belakang ujung deh biar gak nempel-nempel. Saking keselnya 

sih” 

Sorang Waria dinilai tidak antas menjadi pemimpin agama karena memperbaiki dulu dirinya 

sendiri sebelum menyebarkan kebaikan kepada orang lain. Ada juga yang beranggapan tidak 

mungkin apabila ada Waria yang ingin menjadi pemimpin agama terlebih yang sudah memiliki 

payudara. warga  sudah pasti akan menolak mereka. Ada juga yang beranggapan bahwa 

Waria boleh menjadi pemimpin agama selama yang disampaikan dengan benar.

“Jarang sih, orang gak bakalan mau mas. Maksudnya warga  gabakalan 

mau. Kecuali yang tidak bertete ya, Cuma kalo yang bertete tidak bisa diterima. 

Susah” 

“Kalau menyimpang atau tidak itu urusan pribadinya, ya kan, pokoknya dalam 

amanatnya tidak menyampaikan hal-hal yang aneh, tapi untuk warga  

banyak tidak begitu, untuk dirinya sendiri mungkin, jadi siapapun yang  

memimpin negara kita kalau LGBT wajar-wajar aja kalau dia mampu karena 

dia harus memangku beban yang besar. Jadi supaya orang-orang yang normal 

terpacu juga, kenapa yang LGBT bisa kita ga bias” 

Dalam kehidupan sehari-hari, para Waria cenderung merasa tidak memiliki masalah untuk 

menjadi bagian dari warga  umum. Jikapun ada yang memiliki pandangan negatif terhadap 

mereka, hal ini tidak akan diambil pusing dengan tidak mengindahkan opini ini . 

“kalo aku kan emang biasa aja sama orang-orang (tidak peduli dengan opini) 

jadi kalo hambatan ya jarang sih hehe” 

Selain karena kurang peduli terhadap opini orang lain, sebagian juga bisa menyesuaikan 

perilaku dalam konteks-konteks sosial tertentu. Sehingga orang awam yang tidak terbiasa 

dengan kehadiran transgender tidak merasa terganggu.

“kayaknya enggak sih, belum tau, tapi kalo yang di lingkungan baru aku selalu 

menutup diri, kalo belum ada kerjaan baru ya gitu deh mending jaga jarak dulu 

dan nunggu waktu yang tepat. Kalo yang udah tau sih pasti bilangnya ah elu 

gini padahal hahaha” 

Berdasar perspektif Waria, mereka menggolongkan dirinya menjadi dua kelompok, yaitu 

kelompok Waria karena pengaruh lingkungan sosial dan kelompok Waria karena “kodrat”. Pada 

kelompok pertama, mereka merasa bahwa diri mereka dirasakan berbeda dengan orang lain 

sejak remaja yang terbentuk perilakunya karena lingkungan keluarga atau kelompok peernya 

atau lingkungan sosialnya. Kelompok Waria lain menganggap bahwa menjadi Waria bukan 

karena penyimpangan melainkan kodrat dari Tuhan yang tidak bisa diubah perilakunya. 

Keberadaan kelompok Waria di tengah warga  ditanggapi dengan berbagai respon. 

Sebagian warga  mendukung keberadaannya dan warga  lain bersikap cuek, 

mendiamkan, dan ada yang tidak bisa menerima kehadirannya. warga  mendukung 

keberadaan Waria karena dikaitkan dengan ketrampilan bekerja di bidangnya, seperti salon, 

entertain dan sebagainya. warga  bisa menerima keberadaan Waria sepanjang tidak 

melakukan display affection secara terbuka. Bisa diterima warga  selama mereka tidak 

terlalu menonjolkan jatidirinya seperti berpakaian seksi dan membawa pasangan di lingkungan 

tempat tinggal. Sebagian warga  membiarkan Waria bersosialisasi dengan warga  

umum asal mereka tidak membuat masalah, beritikat baik, sopan dan tidak menggganggu tata 

krama dalam bersosialisasi. Sebagian warga  tidak bisa menerima kehadiran Waria dengan 

alasan bertentangan dengan norma agama. 

Dalam hidupnya para Waria berharap memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan 

pekerjaan dan bersosialisasi sebagaimana orang biasa. Mereka berharap mendapat 

kesempatan kerja, promosi dan karier sama dengan anggota warga  lain bila kapasitasnya 

memenuhi kualifikasi dan tidak menjadikan transgender sebagai bahan cemoohan sehingga 

membuat mereka bekerja secara tidak aman. Pada sisi lain warga  juga berharap mereka 

bisa berubah, paling tidak mengurangi tampilan sebagai transgender yang menor dalam 

berdandan, berlebihan dalam berbicara dan berpakaian. 

Tuntutan mereka terhadap persamaan hak Hak politik, ekonomi, sosial, pendidikan dan budaya, 

tempat tinggal cukup beralasan. Sebenarnya mereka dapat memenuhi hak hak sebagaimana 

anggota warga  lain karena isu ini tidak cukup riskan bukan karena konteknya di luar 

keagamaan. 

Belum semua Waria nyaman saat datang ke tempat layanan kesehatan. Sering kali petugas 

kesehatan memberi layanan dengan tatapan sinis, makian, dan stigma lainnya. Instansi 

kesehatan juga seharusnya bisa menerima tanpa perlu membuat-buat alasan sebagai 

penolakan halus seperti ruangan penuh dan sebagainya. Kemungkinan ini terjadi karena 

perilaku yang berlebihan dari Waria saat berhadapan dengan petugas kesehatan. 

Sebagian kelompok tidak menuntut akan pengakuannya sebagai Waria. Mereka tidak menuntut 

status Waria dicantumkan dalam KTP nya karena khawatir identitasnya diketahui orang lain 

sedangkan mereka ingin merahasiakan keadaan dirinya. Bila dicantumkan dalam KTP 

dikuatirkan akan berpotensi menjadi ruang diskriminasi baru, misal, kalau meninggal orang 

tahu bagaimana memperlakukan jenazahnya, repot kalau mau buat paspor (dokumen tidak 

konsisten) dan sebagainya. 

Sebagian kelompok LGBT termasuk Waria di negara kita  menuntut haknya agar bisa kawin 

dengan sesama jenis kelamin. Sebagian kelompok lain merasa tidak perlu menuntut haknya 

untuk bisa kawin dengan sesama jenis karena menganggap bahwa kawin dengan sesama jenis 

tidak dibenarkan secara sosial dan agama dan jika hal terjadi maka akan ada resistensi dari 

warga .

Pada umumnya para Waria mendapat pengalaman yang kurang menyenangkan saat mengakses 

layanan kesehatan dan mencari pekerjaan formal. Ketika mengakses layanan kesehatan 

biasanya mereka akan memilih datang ke tempat layanan yang dikelola LSM atau ke petugas 

kesehatan yang sudah mereka kenal. Bagi mereka yang tidak mempunyai ketrampilan hidup 

maka mereka akan menjadi pengamen atau PSK. Dalam kehidupan beragama, Sebagian Waria 

berkeinginan bisa melakukan kegiatan keagamaan tanpa hambatan. Namun demikian 

warga  masih memperlakukan dengan orang: sinis bahkan dari tempat ibadah. 

. Rekomendasi 

1. Pemerintah perlu memperhatikan pemenuhan hak –hak transgender terkait hak-hak 

kehidupan dasar, seperti hak mendapatkan pendidikan, partisipasi politik, terlibat dalam 

kegiatan keagamaan dan kehidupan sosial dan ekonomi, serta kesehatan.

2. Pemerintah perlu mendorong warga  agar tidak melakukan diskriminasi 

terhadap transgender di berbagai sektor agar transgender mampu mandiri dan dapat 

mengembangkan potensinya.